Anda di halaman 1dari 3

http://www.kompasiana.

com/de-be/4-6-juta-balita-gizi-buruk-kurang-di-indonesia-pertandaketahanan-pangan-lampu-kuningkah_54f4bf79745513982b6c8ecf
4,6 Juta Balita Gizi Buruk-Kurang di Indonesia: Pertanda Ketahanan Pangan Lampu Kuningkah?
22 September 2014 19:43:18 Diperbarui: 17 Juni 2015 23:56:28 Dibaca : 6,631 Komentar : 1
Nilai : 0 4,6 Juta Balita Gizi Buruk-Kurang di Indonesia: Pertanda Ketahanan Pangan Lampu
Kuningkah? 14113642381134330285 Tanggal 16 Oktober 2014 nanti diperingati Hari Pangan
Sedunia (HPS). Sebuah hari peringatan yang sangat penting untuk berintrospeksi. Banyak hal
yang terkait dengan aspek ketahanan pangan, baik secara Nasional, Regional bahkan hingga
Rumah tangga dan Individu.Salah satunya adalah aspek Kesehatan yaitu masalah Gizi Balita dan
Keluarga. Konsep ketahanan pangan yang disepakati secara internasional dalam World
Conference on Human Right 1993 dan World Food Summit 1996, seperti dilaporkan oleh Saliem
et al. (2005); adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah
maupun mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya
setempat. Sehingga Persoalan ketahanan pangan selalu diidentikkan dengan munculnya kasus
gizi buruk. Apabila banyak masyarakat yang tidak bisa memenuhi ketahanan pangannya, maka
mereka akan menderita gizi buruk. Secara Nasional, kewajiban mewujudkan ketahanan pangan
tertuang secara eksplisit dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, di mana secara umum
mengamanatkan bahwa Pemerintah bersama masyarakat berkewajiban mewujudkan ketahanan
pangan nasional. Implementasi dari UU tersebut tertuang dalam: (i) PP Nomor 68 Tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang Ketahanan Pangan yang mencakup
ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat,
pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan
iklan pangan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan (iii)
PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, yang mengatur tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan kewilayah Indonesia,
pengawasan dan pembinaan, serta peranserta masyarakat mengenai hal-hal di bidang mutu dan
gizi pangan. Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan
melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan,
jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah
salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status
gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan
dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia,
2002). BAGAIMANA STATUS GIZI BALITA DI INDONESIA ? Sebagai salah satu Indikator
yang mudah ditemui dan diukur dari Ketahanan Pangan Rumah Tangga, status Gizi Balita saat
ini perlu mendapat perhatian yang khusus. APA PASAL??? Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) th 2013 secara Nasional diperkirakan Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang
sebesar 19,6 %. Jumlah ini jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, terjadi
peningkatanyaitu dari 18,4 %. Bila dilakukan konversi ke dalam jumlah absolutnya, maka ketika
jumlah Balita tahun 2013 adalah 23.708.844, sehingga jumlah Balita Giburkur sebesar 4.646.933
Balita. Wahhhh.. Ada 4,6 Juta lebih Balita Gizi Buruk dan Kurang di Indonesia..!!! Apabila
ditinjau menurut provinsi, terlihat ada 19 provinsi yang mempunyai proporsi lebih tinggi dari

angka Nasional. Proporsi tertinggi Balita Giburkur terdapat pada provinsi Nusa Tenggara Timur
(33%). Sedangkan proporsi terendah Giburkur pada provinsi Bali (13,2 %). Selanjutnya jika
dilihat berdasarkan tingkat ekonomi masyarakat, yaitu Terbawah (kuintil 1), Menengah Bawah
(Kuintil 2), Menengah (Kuintil 3), Menengah Atas (Kuintil 4) dan Teratas (Kuintil 5), maka
gambaran di bawah menunjukkan bahwa ada kecenderungan menurun proporsi Gizi Buruk dan
Gizi Kurang seiring dengan meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat.Akan tetapi jika kita
cermati lebih jauh, tren Gizi Buruk antara tahun 2007dan tahun 2013 terjadi persimpangan di
titik Kuintil 3 (Tingkat ekonomi menengah), sehingga pada kuintil 3,4 dan 5 terjadi penurunan
proporsi.Artinya disini bahwa status ekonomi menengah ke atas keluarga berpotensi untuk bisa
menurunkan kejadian balita gizi buruk. 1411364281793999134 1411364281793999134 Dilihat
dari sudut pandang lain bahwa Balita Gizi Buruk bukan hanya terjadi pada masyarakat / keluarga
dengan status ekonomi kurang saja namun juga terjadi pada keluarga / masyarakat dengan status
ekonomi menengah ke atas meski ada kecenderungan lebih sedikit. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, apa yang menjadi akar permasalahan Balita Gizi Buruk / Kurang jika kejadian
tersebut di semua level status ekonomi keluarga/masyarakat??? 14113643821004154280
14113643821004154280 Wahh.. kalau terjadinya Balita Gizi Buruk dan Kurang di semua level
status ekonomi keluarga/masyarakat, lantas apa akar masalahnya ?? Apa iya Ketahanan Pangan
Keluarga, yang dicerminkan oleh status ekonomi masyarakat menjadi Akar masalah Giburkur
di Daerah?? Sebelum menjawab pertanyaan yang muncul tersebut, coba kita lihat bersama secara
absolut perkiraan jumlah balita yang berstatus gizi buruk dan kurang menurut provinsinya dan
jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. 1411364429348666001 1411364429348666001
Dari table diatas terlihat bahwa jumlah absolut Balita Gizi Buruk dan Kurang di masing-masing
provinsi berkisar antara 29.000 an hingga 681.000 an. Sebuah kondisi yang memang sangat perlu
segera di tindak lanjuti. Jumlah absolut di atas merupakan angka perkiraan di populasi, karena
hasil sampling dalam riset. (skrg musimnya menyebut QUICK COUNT). Lantas apakah selama
ini tidak terlaporkan?? Wahhh. Di Provinsi perkiraan jumlah Balita Gizi Buruk dan Kurang
ada 29.000 an 681.000 an ?? Luarrrrr Biasaaa.!!! Data dari laporan Komunikasi data di
Direktorat Jendral Gizi dan KIA pada tahun 2013 (skrg musimnya menyebut REAL COUNT)
memberikan gambaran seperti pada table di bawah. 1411451186876786431
1411451186876786431 Dari gambaran table diatas, kita lihat pada kolom Jumlah Balita
Giburkur yang Dilaporkan dan kolom Perkiraan jumlah Absolut Balita Giburkur terlihat
perbedaan atau selisih yang sangat signifikan. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara, dimana
jumlah Balita Giburkur yang Dilaporkan (REAL COUNT) adalah3,558 balita dan perkiraan
jumlah absolut Balita Giburkur (QUICK COUNT) adalah 334,362 Balita. Sehingga ada selisih
sekitar: 334,362 3,558 = 330,804 Balita. Artinya bahwa Masih terdapat 330,804 balita
Giburkur yang belum terlaporkan,sehingga di dalam penuntasan program Gizi Balita akan
menjadi kendala yang sangat potensial. Pertanyaan Logic yang muncul: (1) Dimanakah
mereka yang tak terlaporkan itu bersembunyi ?? (2) Adakah kemungkinanmereka
bersembunyi di Balita yang tidak tertimbang ?? (3) jika ya,mungkin jawabannya, lantas apa
solusinya agar bisa menemukan mereka ?? Kemudian jika dilihat kolom balita Giburkur di
desa, secara rata-rata di masing-masing Provinsi berkisar antara 16 Balita hingga 415 Balita.
Bagaimana caranya agar Balita Giburkur tersebut bisa ditemukan ? mari kita lihat kondisi pada
table di bawah. 1411364549646945605 1411364549646945605 Dengan melihat gambaran di
atas dan pertanyaan-2 tsb, maka solusi yang tepat adalah MELIBATKAN UNSUR NON
NAKES, seperti Kepala Desa / Kelurahan beserta aparatnya untuk bergerak bersama (Collective
Action) memburuBalita Giburkur yang masih belum terlaporkan. Dari gambaran table di atas

terlihat bahwa jumlah balita giburkur per desa secara matematis ada yang berjumlah 16 balita
hingga 415 balita. Dan jika disandingkan dengan jumlah Kader / Tomaper desa, maka terlihat 1
orang kader aktif di desa mengcover mulai dari 4 balita giburkur hingga terbanyak sekitar 347
balita giburkur. Sehingga pertanyaan logis yang muncul adalah: 1.Apakah SULIT untuk mencari
dan memburu Balita Giburkur sebanyak 4- 30 Balita di desa ?? (seperti Sulsel, Sulteng, Sumbar,
Jateng, Jakarta dll). 2.Untuk Balita Giburkur > 30 orang per Desa perlu dilakukan menggalakan
kembali DASA WISMA selain mengandalkan Kader. Apakah SULIT menggalakkan kembali
DASA WISMA di Desa ?? atau Local wisdom lainnya ?? 3.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di
atas jawabannya TIDAK SULIT, maka pertanyaan lanjutan adalah: Apakah bukan
KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan dari Balita Giburkur yang tak pernah Tuntas ??
Kepedulian Keluarga, Kepedulian Aparat (Nakes Non Nakes) dan Kepedulian Masyarakat.
4.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di atas jawabannya: SULIT, maka bukankah hal ini makin
menguatkan kondisi bahwa KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan Balita Giburkur di
masyarakat ?? 5.Apakah dengan meningkatkan KEPEDULIAN masyarakat terhadap masalah
Balita Giburkur, maka Ketahanan Pangan Keluarga akan menjadi meningkat?? Demikian sekilas
ulasan tentang BALITA GIBURKUR sebagai indicator Ketahanan Pangan Keluarga di
Indonesia. Semoga Bermanfaat dan bisa menambah wawasan dalam rangka menyongsong Hari
Pangan Sedunia 16 Oktober 2014. Mohon maaf jika kurang berkenan. Salam, Debe Belajar
Tanpa Batas
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/de-be/4-6-juta-balita-gizi-buruk-kurang-diindonesia-pertanda-ketahanan-pangan-lampu-kuningkah_54f4bf79745513982b6c8ecf

Anda mungkin juga menyukai