Anda di halaman 1dari 17

BAB III

Demam Berdarah Dengue


3.1

Definisi
Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis

hemoragik.

Pada DBD

terjadi perembesan plasma

yang

ditandai

oleh

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.


Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.(1, 2)
3.2

Epidemiologi
DBD pertama kali ditemukan di Filipina tahun 1953.

(1,2,4,6,7)

Kemudian menyebar ke

seluruh negara tropis dan subtropis. Kini sekitar 2,5 milyar (2/5 penduduk dunia) punya
risiko terserang virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami
letusan wabah demam dengue dan DBD .(7) Setiap tahun diperkirakan terdapat 20 juta kasus
infeksi dengue.(4)
Di Indonesia Kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968.

(1,6,7,8)

Kasusnya makin lama makin meningkat dan menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Dari 27
propinsi di Indonesia tahun 1997,
meninggal

sebanyak 31.789 menderita DBD 705 di antaranya

dunia.Sedangkan pada tahun 1998, Sebanyak 65.968 orang menderita DBD

dengan 1275 berakhir dengan kematian. (7)


Studi epidemiologi di daerah tropis dan subtropis:
-

Epidemi terjadi tiap 2-5 tahun. (1,4)

Sebelum tahun 1997 kebanyakan menyerang usia < 15 tahun kini baik dewasa maupun
anak kasusnya seimbang. (4,7)

Meningkat pada musim hujan. (1,4,7) Suhu dan turunnya hujan dapat mempengaruhi daya
tahan hidup, laju penularan, pola makan dan reproduksi nyamuk. (4)
Namun epidemiologi DBD dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi geografis dan

serotipe virusnya. (4,6,7,8)

13

Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011) 9


Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02
per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum
mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk.

14

3.3

Etiologi
Penyebab Demam Dengue maupun Demam Berdarah Dengue adalah virus dengue yang

merupakan anggota genus Flavivirus .Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah
dengue.(3)
Infeksi dari dari 1 serotipe virus akan memberikan imunitas seumur hidup terhadap
serotype virus tersebut, sedangkan untuk serotype yang lain kekebalan silang hanya berlaku
untuk beberapa bulan. Infeksi sekunder dari serotype yang berbeda dengan serotype pertama
dikatakan dapat mengakibat gejala klinis yang lebih hebat, dari DBD hingga Dengue Shock
Syndrome.(9)
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100
meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih.
Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah dan pohon pohon, tempat menampung air
hujan yang bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada
siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter.

Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO, 2011)
3.4

Patogenesis
Patogenesis dari penyakit DBD belum dketahui dengan pasti. Terdapat beberapa macam

teori, namun teori yang banyak berkembang adalah teori infeksi sekunder.
Dalam teori infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder
oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotype virus
dengue tersebut untuk jangka waktu lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi
sekunder oleh serotype virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi berat. Ini terjadi
15

karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks
dengan infeksi virus dengue serotype baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat opsonisasi nternalisasi,
selanjutknya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor alpha (TNFA), dan platelet activating factor (PAF). TNF-A akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh.

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.2

16

3.5

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Infeksi virus Dengue memiliki spektrum penyakit yang luas, antara lain dapat

asimptomatik maupun simptomatik berupa demam dengue, demam berdarah, maupun


Sindrom Syok Dengue.

a.

Undifferentiated fever
Infan, anak-anak, maupun orang dewasa yang terinfeksi virus dengue terumata pada

infeksi primer dapat bermanifestasi pada demam yang tidak spesifik dan tidak dapat
dibedakan dari infeksi virus lainnya. Dapat ditemukan lesi hiperemis makulopapular selama
17

demam. Selain itu dapat juga bermanifewstasi pada infeksi saluran napas bagian atas ataupun
infeksi gastrointestinal.
b.

Demam Dengue
Demam Dengue banyak ditmeukan pada anak yang lebih besar, remaja, maupun pada

orang dewasa. Manifestasi klinik yang dapat diitemukan antara lain demam 5-7 hari, dapat
berupa pola bifasik dengan suhu 39-40C. Selain itu juga dapat ditemukan nyeri kepala hebat,
mialgia, arthralgia, rashes. Leukopeni dan trombositopenia pada temuan laboratorium juga
dapat ditemukan. Kadang-kadang manifestasi perdarahan juga dapat ditemukan, namun
jarang.
c.

Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah lebih sering muncul pada anak usia <15 tahun pada daerah

hiperendemik. Namun terdapat peningkatan jumlah penderita DBD pada usia dewasa.
Demam berdarah sendiri dicirikan dengan demam tingggi akut dengan tanda dan gejala yang
sama seperti demam dengue pada fase awal. Perbedaan yang ditemukan adalah terjadinya
diatesa hemoragik yang dapat terlihat pada uji torniket positif, ptekie, perdarahan hebat pada
saluran cerna pada kasus berat. Pada akhir fase febris, terjadi tendensi syok hivolemik atau
sering dikenal dengan DSS akibat kebocoran plasma.
Terdapat 3 fase pada perjalanan penyakit meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan. Pada fase demam, terjadi demam 2-7 hari disertai facial flush, muntah, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, dan nyeri perut
kanan atas juga epigastrium. Fase kedua yaitu fase kritis, dimana pada saat ini demam
biasanya hilang dan terjadi kebocoran plasma hebat, dapat terjadi efusi pleura maupun
ascites. Syok biasanya terjadi pada fase ini. Terakhir fase penyembuhan dimana terjadi
kebocoran plasma berhenti, terjadi reabsorbsi cairan kembali ke intravaskuler.

18

d.

Sindrom Syok Dengue


Manifestasi paling parah dari demam berdarah adalah kegagalan multi organ akibat

syok hipovolemik yang terjadi. Terjadi kegagalan multiorgan akibat penurunan perfusi
jaringan karena hipovolemik. Tanda-tanda kebocoran ditemukan disertai tanda kegaalan
sirkulasi.
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan WHO pada tahun 2009, demam dengue dibagi
menjadi 3 bagian seperti yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

Pembagian di atas merupakan pedoman praktis yang dapat digunakan oleh klinisi
untuk memprediksikan perjalanan penyakit serta menentukan tatalaksana yang diperlukan.
Sedangkan terdapat juga pembagian derajat keparahan penyakit seperti pada tabel di
bawah ini.9
Grade
DF

Tanda dan Gejala


Demam disertai :

nyeri kepala

nyeri retro-orbita

mialgia

arthralgia/nyeri

rash

manifestasi

Trombositopeni
a <150.000/ul

Peningkatan
hematokrit (5%-10%)

pada

tulang

Laboratorium
Leukopenia

Tidak

terdapat

kebocoran plasma

19

perdarahan

DHF

TIDAK TERDAPAT

KEBOCORAN PLASMA
Demam dengan torniket tes (+) Trombositopenia
dan bukti kebocoran plasma

DHF

II

Derajat

disertai

20%
perdarahan Trombositopenia

spontan
DHF

III

<100.000/ul, Ht meningkat

<100.000/ul, Ht meningkat

20%
Derajat I/III disertai tanda-tanda Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (nadi lemah, <100.000/ul, Ht meningkat
tekanan

DHF

IV

nadi

20

mmHg, 20%

hipotensi)
Derajat III dengan tekanan darah Trombositopenia
yang tidak terukur maupun nadi <100.000/ul, Ht meningkat
tidak teraba

20%

3.6

Diagnosis Banding

a.

Demam karena virus (campak, influenza). Infeksi virus dengue dapat bermanifestasi
sama seperti infeksi virus lainnya seperti panas tinggi, nyeri tenggorokan, namun yang
berbeda adalah hasil pemeriksaan darahnya. Pada demam akibat influenza, ataupun
campak, tidak terdapat trombositopenia yang signifikan. Sedangkan pada campak selain
pada hasil laboratorium, keluhan ruam merah lebih menonjol daripada keluhan demam/
ruam merah muncul setelah fase demam yang disertai dengan inflamasi pada mukosa
seperti konjungtivitis, batuk pilek (serta bercak koplik pada pemeriksaan fisik), maupun
diare.

b.

Demam Chikungunya. Pada gejala klinik awal, sangat sulit dibedakan antara demam
berdarah dengan demam cikungunya kecuali pada fase syok. Pada demam cikungunya,
tidak pernah terjadi syok. Pada pemeriksaan laboratorium, pada cikungunya tidak
ditemukan penurunan trombosit signifikan yang disertai dengan peningkatan Hb serta
hematokrit.

c.

Malaria. Pada malaria terdapat trias demam, menggigil serta bekeringat. Pola demam
pada malaria juga berbeda dengan demam berdarah, sesuai dengan jenis Plasmodium.
Pada sediaan darah tepi, ditemukan parasit pada eritrosit.

20

3.7

Pemeriksaan Penunjang 2
Diagnosis pasti demam berdarah dapat ditegakkan dengan isolasi virus dengue atau

deteksi antigen virus RNA dengan mengunakan teknik PCR, namun pemeriksaan ini tidak
ruti dilakukan.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan antara lain yaitu pemeriksaan darah perifer,
yaitu hemoglobin, leukosit, hematokrit, dan trombosit. Dapat ditemukan leucopenia,
trompenia, hematokrit dapat meningkat menunjukkan adanya kebocoran plasma, Hb juga
dapat meningkat seiring denan peningkatan hematokrit. Perubahan yang bisa ditemukan
akibat kebocoran plasma selain Hb, dan Ht adalah penurunan albumin.
Pemeriksaan hemostasis berupa PT, APTT, fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan perdarahan massif yang dicurigai terjadinya perubahan hemostasis diperlukan.
Pada keadaan dicurigai adanya komplikasi lanjut (biasanya pada kasus syok), ataupun
non syok namun dengan komplikasi serta tanpa ada perbaikan klinis setelah terapi caran
diberikan adalah analisa gas darah untuk menyikirkan kemungkinan asidosis akibat syok.
Dapat juga dicek fungsi hati maupun ginjal. Pemeriksaan gula darah juga dapat dilakukan
karena pada beberapa kasus DHF yang berat, intake makanan kurang sehingga dapat terjadi
hipoglikemia pada pasien dengan gangguan fungsi hati, ataupun hiperglikemia. Pemeriksaan
cross

match

juga

perlu

dilakukan

terutama

pada

kasus

syok,

karena

pada

penanganannyadiperlukan transfusi darah.


NS1 dapat didedeteksi pada hari pertama setelah demam dan akan menurun bahkan
menghilang pada hari ke 5-6. Deteksi NS1 dapat menjadi penanda diagnosis awal infeksi
dengue namun tidak dapat membedakan antara DD dengan DBD.
Uji serologi IgM dan IgG anti dengue. Antibodi IgM dideteksi pada hari ke 5, dan
mencapai puncak pada hari sakit ke 10-14 dan menghilang pada akhir minggu ke 4. Antibodi
IgG muncul pada hari ke 14 infeksi primer dan meningkat pada hari ke 2 infeksi sekunder.
IgD akan hilang pada bulan 6 sampai 4 tahun. Selain itu, dapat digunakan rasio IgM dan IgG.
Apabila IgM:IgG > 1,2 menunjukkan infeksi primer, sedangkan < 1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.

Selain cek darah dapat dilakukan pemeriksaan radiologis thoraks atas indikasi distress
pernafasan disebabkan oleh efusi pleura karena kebocoran plasma, pemantauan pemberian
21

cairan untuk menilai kemungkinan terjadi edema paru akibat kelebihan cairan. Biasanya
untuk menilai kebocoran plasma, dapat dilakukan foto right lateral decubitus. Pada
umumnya, lebih sering ditemukan efusi pleura kanan dibandingkan kiri. 2
3.8

Penatalaksanaan2
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi

supoetif. Penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat menyelamatkan pasien DBD.
Denfan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.
Perhimpunan Dokter Ahli {enyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada
pasien dewasa berdasarkan kriteria :
1.
Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi
2.
Praktis dalam pelaksanaannya
3.
Mempertimbangkan cost effectiveness
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori : Protokol 1 (Penanganan tersangka (Probable)
DBD dewasa tanpa syok), Protokol 2 (Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di
ruang rawat), Protokol 3 (Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%), Protokol 4
(Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa), Protokol 5 (Tatalaksana Sindoma
Syok Dengue pada dewasa).
Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok. Potokol 1 ini
digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD
atau yang diguga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat
Darurat dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila
didapatkan :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam)

atau bila keaadaan penderita memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat)
Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

22

Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat. Pasien
yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tampak syok maka di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini: Volume
cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg 20)
Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 20) = 2200 ml
(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap 24 jam :

Bila Hb, HT meningkat 10 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan tian 12

jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%. Meningkatnya Ht

> 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi
awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7
ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.
2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7 ml/ kgBB/ jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam.

2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keaadaan tidak menunjukkan perbaikan makajumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana
sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai
lagi seperti terapi cairan awal.
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
23

sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan
jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tandatanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien
DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai
atau tanpa KID.
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa. Bila kita berhadapan
dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa
renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang
harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),hemostasis, AGD, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,51cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120
menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 120
menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

24

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama


dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan (karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap
dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan
2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian
koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan
target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.
3.9

Pemberantasan Demam Berdarah Dengue


Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan penunjang.

Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita, pemberantasan vektor,


penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.3
Kegiatan pokok:
1.

Pengamatan dan penatalaksanaan penderita


Setiap penderita/tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit/puskesmas dilaporkan

secepatnya ke Dinas Kesehatan. Penatalaksanaan penderita dilakukan dengan cara rawat jalan
dan rawat inap sesuai dengan prosedur diagnosis, pengobatan dan sistem rujukan yang
berlaku.3
25

2.

Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan perorangan,

pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk mencegah


gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di dalam rumah dan
memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di lubang ventilasi dan memakai
penolak nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan dengan obat yang dibeli di toko
seperti mortein, baygon, raid, hit dll.3
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke rumah/tempat umum
secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk melakukan penyuluhan dan
pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuluh dan memotivasi keluarga dan
pengelola tempat umum untuk melakukan PSN secara terus menerus sehingga rumah dan
tempat umum bebas dari jentik nyamuk Ae. aegypti. Kegiatan PSN meliputi menguras bak
mandi/wc dan tempat penampungan air lainnya secara teratur sekurang-kurangnya seminggu
sekali, menutup rapat TPA, membersihkan halaman dari kaleng, botol, ban bekas,
tempurung, dll sehingga tidak menjadi sarang nyamuk, mengganti air pada vas bunga dan
tempat minum burung, mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau talang, menutup
lubang pohon atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada perangkap semut,
dan pendidikan kesehatan masyarakat.3
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di kelurahan
endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota. Pengasapan dilakukan di dalam
dan di sekitar rumah dengan menggunakan larutan malathion 4% (atau fenitrotion) dalam
solar dengan dosis 438 ml/Ha.3
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi
Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan jentik berkala oleh
petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di rumah sakit/puskesmas/praktik dokter
oleh dokter/perawat. Media yang digunakan adalah leaflet, flip chart, slides, dll.3
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah penderita,
pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola tempat umum, dan organisasi
sosial kemasyarakatan lainnya. 3
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan pencapaian target masingmasing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan pelaporan untuk kegiatan pemberantasan
sebelum musim penularan. Peninjauan di lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran
pelaksanaan kegiatan program.3
Kegiatan Penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan tenaga melalui
pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan buku petunjuk, publikasi dll.

26

Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa jentik, kader, dan
tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan kepada petugas sanitasi puskesmas,
dokter/kepala puskesmas, para medis, petugas pelaksana pemberantasan DBD Dinas
Kesehatan. Selain itu diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai tingkat mulai dari
puskesmas sampai tingkat pusat.3
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan teknologi pemberantasan
meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi, dan klinik. Penelitian
diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau lembaga penelitian lainnya.3

BAB IV
Penutup
4.1

Kesimpulan
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopeni, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue adalah demam berdarah
dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Untuk mengurangi kecenderungan

penyebarluasan

wilayah

terjangkit

DBD,

mengurangi kecenderungan peningkatan jumlah penderita dan mengusahakan agar angka


kematian tidak melebihi

3% maka

pemerintah terus

menyempurnakan program

pemberantasan DBD. Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada upaya preventif.
Peran dokter dalam program pemberantasan DBD adalah penemuan, diagnosis,
pengobatan dan perawatan penderita, pelaporan kasus dan penyuluhan. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka pengetahuan patofisiologi, patogenesis, manifestasi klinis/laboratoris
DBD, pengenalan vektor dan pemberantasannya adalah sangat penting.
27

Daftar Pustaka
1)

Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia

2)

Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Direktorat

Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.


Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

3)

Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.


Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan

4)

Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan

5)

Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.


Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central Journal List.
Terdapat

6)

di:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.

Diakses pada: 2016, Desember 8.


Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The Emergence of a
Global
Centers

Health
for

Problem.

National

Disease

Center
Control

for

Infectious
and

Diseases
Prevention

Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160. Diakses pada: 2016, April 8.
28

7)

Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease. Terdapat di:

8)

http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada: 2016, April 9.


World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:

9)

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm. Diakses pada: 2016, April 8.


World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf. Diakses pada: 2016, April 10.

29

Anda mungkin juga menyukai