Anda di halaman 1dari 110

PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE

TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA


ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
DI RUANG ANGGREK I RSUD Dr.
MOEWARDI SURAKARTA

DI SUSUN OLEH :

NUR WAHYU UTAMI


NIM. P11 044

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUDASA
SURAKARTA
2014
i

PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE


TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA
ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
DIRUANG ANGGREK I RSUD Dr.
MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Progam Diploma III Keperawatan

DI SUSUN OLEH :

NUR WAHYU UTAMI


NIM. P11 044

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUDASA
SURAKARTA
2014

ii

SURAT PERYATAAN KEASLIAN TULISAN


Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama

: Nur Wahyu Utami

NIM

: P11 044

Program Studi

: DIII Keperawatan

Judul Karya Tulis

: PEMBERIAN

DIAFRAGMATIC

BREATHING

EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS


PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. D DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG
ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapan dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.

Surakarta,
Yang Membuat Pernyataan

Nur Wahyu Utami


NIM. P11 044

iii

LEMBAR PERSETUJUAN

KaryaTulis Ilmiah ini diajukan oleh :


Nama

: Nur Wahyu Utami

NIM

: P.11 044

Program Studi

: DIII KEPERAWATAN

Judul

:PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE


TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA
ASUHAN

KEPERAWATAN

Ny.

DENGAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DIRUANG


ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di :
Hari/Tanggal :

Pembimbing : Amalia Agustin, Skep., Ns.,


NIK.201289111

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh :


Nama

: Nur wahyu Utami

NIM

: P.11 044

Program Studi : DIII KEPERAWATAN


Judul

:PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING EXERCISE

TERHADAP

PENURUNAN

SESAK

NAFAS

PADA

ASUHAN

KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK


DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan

: Surakarta

Hari/Tanggal : Senin, 19 mei 2014

DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Amalia Agustin, Skep., Ns.

NIK.201289111
penguji I

:Atiek Murharyati, Kep. Ns., M.Kep


NIK. 200680021

Penguji II

:Alfyana Nadya R, S,Kep.,Ns., M.Kep


NIK. 201086057

Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII Keperawatan
STIKES Kusuma Husada Surakarta

Atiek Murharyati, S.Kep,. Ns., M. Kep


NIK. 200680021

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul PEMBERIAN DIAFRAGMATIC BREATHING
EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Ny. D DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
DIRUANG ANGGREK 1 RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1.

Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan sekaligus penguji I yang telah memberikan kesempatan untuk
dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.

2.

Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi
DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.

3.

Amalia Agustin, S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbing yang telah


membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.

4.

Alfyana Nadya R, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji II yang telah


membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
v

5.

perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempuranya


Karya Tulis Ilmiah ini.

6.

Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada


Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.

7.

Kedua orang tuaku yang tercinta, yang selalu menjadi inspirasi, motivasi dan
memberikan semangat lahir maupun batin untuk menyelesaikan pendidikan.

8.

Teman-teman seperjuangan mahasiswa program studi DIII Keperawatan


STIKES Kusuma Husada dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu per satu, yang telah memberi kandukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

keperawatan dan kesehatan. Aamiin


Surakarta, Mei 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...............................................................................

PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME.............................................

ii

LEMBAR PERSETUJUAN.....................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................

iv

KATA PENGANTAR..............................................................................

DAFTAR ISI......................... ...................................................................

vii

DAFTAR TABEL.....................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................

B. Tujuan Penulisan............................................................................. 5
C. Manfaat Penulisan........................................................................... 6
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar PPOK......................................................................

B. Asuhan Keperawatan...................................................................... 24
C. Sesak Nafas....................................................................................

33

D. Pernapasan Diafragma.................................................................... 37
BAB III LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien

....................................................................

vii

43

B. Pengkajian.....................................................................................

43

C. Masalah keperawatan...................................................................

52

D. Perencanaan keperawatan.............................................................

54

E. Implementasi................................................................................

56

F. Evaluasi keperawatan....................................................................

60

BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian.....................................................................................

64

B. Diagnosa Keperawatan.................................................................

71

C. Intervensi Keperawatan................................................................

75

D. Implementasi Keperawatan...........................................................

80

E. Evaluasi Keperawatan ...................................................................

86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan.............................................................................

92

B. Saran.......................................................................................

95

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4

.........................................................................
.........................................................................
.........................................................................
.........................................................................

ix

Halaman
14
22
34
41

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 3.1 Genogram ....................................................................... 45

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 : Log Book


2. Lampiran 2 : Format Pendelegasian
3. Lampiran 3 : Lembar Konsultasi
4. Lampiran 4 : Asuhan Keperawatan
5. Lampiran 5: Standart Operasional Prosedur latihan pernafasan diafragmtic
6. Lampiran 6 : Daftar Riwayat Hidup

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit paru obstruksi kronik/Cronik Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utama. Bronkitis kronik,
emfisema paru, dan asma bronkial membentuk suatu kesatuan yang disebut
COPD. Penyakit diatas memiliki perbedaan yang mendasar yaitu: bronkitis
kronik di definisikan menurut gejala klinisnya, emfisema paru menurut
patologi anatominya, sedangkan asma menurut patologi klinisnya (Price dan
Wilson, 2006:783).
Menurut WHO (2007) dalam Suradi (2007:03) PPOK membunuh
seorang manusia setiap sepuluh detik. PPOK juga merupakan salah satu
penyebab kematian yang bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati
tangga ke-4 atau ke-5 setelah penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler, dan infeksi akut saluran pernapasan. Laporan terbaru
sebanyak 210 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia
meninggal akibat PPOK pada tahun 2005, diperkirakan pada tahun 2030,
PPOK akan menjadi penyebab ke-3 kematian di seluruh dunia.
Dikatakan 80-90% kematian pada penderita PPOK berhubungan
dengan merokok. WHO menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan

emfisema diakibatkan oleh rokok. Dilaporkan perokok mencapai angka 45%


lebih berisiko untuk terkena PPOK dibanding yang bukan perokok, tetapi
kemungkinan perokok pasif berisiko tinggi, terutama pada anak-anak dan
individu yang terpapar. Diperkirakan perokok pasif dapat meningkatkan
risiko PPOK pada orang dewasa sebanyak 10 - 43% (Brashers, 2007 : 85).
Menurut Regional COPD Working Group jumlah kasus PPOK di Asia
adalah tiga kali lipat jumlah kasus di negara-negara lain di dunia. Di negaranegara yang sedang berkembang, perilaku merokok semakin bertambah
sekitar 3.4% setiap tahun. Menurut WHO, bagian Pasifik Barat, yang meliputi
Asia Timur dan Pasifik, adalah bagian yang tercatat dengan angka merokok
tertinggi. Sekitar 80,000 hingga 100,000 anak-anak di seluruh dunia merokok
setiap hari dan hampir sebagiannya adalah dari Asia. Data di dapatkan dari
induvidu berumur 30 tahun ke atas di 12 buah negara Asia (Ikawati,
2007:66).
Menurut Depkes RI (2004) dalam Suradi (2007:02), survei di lima
rumah sakit propinsi di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%),
diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).
Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan telah menyebabkan 70%
kematian akibat penyakit paru kronik dan emfisema. Dari data RSUD Dr.
Moewardi Surakarta di dapatkan pasien PPOK yang rawat inap berjumlah
608 dan presentasi yang paling banyak adalah pada usia 65 keatas yaitu

dengan jumlah 404, sedang pasien dengan rawat jalan berjumlah 514 dan
yang paling banyak umur 65 keatas dengan jumlah 332.
Masalah yang sering muncul pada kasus PPOK antara lain batuk
produksi sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas. Ketidakmampuan
beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya
kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja akan tetapi juga akibat
pengaruh beberapa faktor. Salah satunya sesak nafas yang dialami oleh pasien
PPOK akan membatasi penurunan aktivitas (Tarwoto dan Watonah, 2010
:39).
Sesak nafas atau Dispnea (breathlessness) adalah keluhan yang sering
memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat
berupa rasa tidak nyaman di dada yang serius (severe air hunger) sampai
yang fatal. Tanda dan gejala meliputi adanya gangguan fisiologis akut, seperti
serangan asma bronkial, emboli paru, pneumotoraks atau infark miokard.
Gejala yang menyertai yaitu nyeri dada yang di sertai dengan sesak, batuk
yang disertai sesak, demam yang menggigil mendukung adanya suatu infeksi,
dan hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskuler. Gejala yang berasal
dari keadaan lingkungan adalah alergen seperti serbuk, debu, asap, bahan
kimia yang menimbulkan iritasi jalan nafas, dan obat-obat yang dimakan dan
yang diinjeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan
rasa sesak. Rasa sesak itu sendiri dapat di kurangi salah satunya dengan
melakukan latihan pernapasan diafragma (Sudoyo, 2010:2189).

Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010:4), teknik


relaksasi pernapasan diafragma adalah suatu proses pernapasan secara
konsentrasi merasakan udara masuk melalui hidung kedalam tubuh kemudian
keluarkan dari mulut yang dilakukan dengan posisi nyaman dan berbaring
dengan relaks dan menutup mata, serta melonggarkan pakaian disekitar leher
dan pinggang. Pernapasan diafragma ini memerlukan konsentrasi dan
keyakinan yang memusatkan perhatian hanya dengan pernapasan.
Menurut Windarti (2011:03), pemberian teknik diafragmatic breathing
exercise mampu meningkatan kualitas hidup penderita asma. Kualitas hidup
dalam penelitian ini dihubungkan dengan timbulnya gejala episodeik pada
pasien asma yang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batukbatuk terutama malam atau dini hari. Diafragmatic breathing exercise
diberikan pada 7 responden selama 1 bulan dan hasilnya menunjukkan
terjadinya peningkatan hidup pada pasien asma.
Menurut Holloways, Ram (2004) dalam jurnal Windarti (2011:03),
latihan pernapasan diafragma bertujuan untuk melatih cara bernafas dengan
benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan serta meningkatkan
sirkulasi. Pada penderita PPOK latihan ini di tujukan untuk memperbaiki
fungsi pernapasan, juga bertujuan melatih penderita mengatur pernapasan jika
terasa serangan sesak nafas yang mendadak.
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan penulis di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta, penulis menemukan kasus Penyakit paru obstruktsi
kronik ( PPOK ) yang terjadi pada Ny. D dengan tanda dan gejala sesak

nafas, batuk, sesak nafas saat posisi terlentang, ekspirasi memanjang, tampak
menggunakan alat bantu pernafasan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun
karya ilmiah yang berjudul pemberian diafragmatic breathing exercise
terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan
penyakit paru obstruksi kronik di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.

B. Tujuan Penulisan
1.

Tujuan Umum
Melaporkan pemberian diafragmatic breathing exercise terhadap
penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit
paru obstruksi kronik di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.

2.

Tujuan Khusus
a.

Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. D dengan penyakit


paru obstruksi kronik (PPOK)

b.

Penulisan mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. D


dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

c.

Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Ny. D


dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

d.

Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. D dengan


penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

e.

Penulis mampu melalukan evaluasi pada Ny. d dengan penyakit paru


obstruksi paru (PPOK)

f.

Penulis mampu menganalisa hasil pengaruh pemberian diaframatic


breathing exercise terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan
keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronik di ruang
anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien yang mengalami
penyakit paru obstruksi kronik dan sebagai pertimbangan perawat dalam
mendiagnosa kasus sehingga perawat mampu memberikan tindakan yang
tepat kepada klien.
2. Bagi instansi pendidikan
Memberikan kontribusi laporan kasus bagi pengembangan praktik
keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang atau profesi
keperawatan.
3. Bagi pembaca
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dalam
penanganan nyeri penyakit paru obstruksi kronik.
4. Bagi Penulis
Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam

menambah pengetahuan dan memperoleh pengalaman khususnya dibidang


keperawatan Medikal Bedah.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar PPOK


1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi kronik (COPD) merupakan suatu istilah
yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik,
emfisema paru dan asma bronkial membentuk kesatuan yang di sebut
COPD (Price dan wilson, 2005:784)
Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit di
karakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak
reversibel sepenuhnya, sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat
progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya, dua gangguan yang terjadi
pada PPOK yaitu bronkitis kronis dan emfisema paru (Ikawati, 2007:65).
Penyakit paru obstruksi kronik merupakan kelompok kelainan
yang gambaran klinisnya berupa obstruksi aliran udara pernafasan,
kelainannya obstruksi yang utama adalah penyakit paru obstruksi kronik
(COPD; chronic obstructive pulmonary disease) yang meliputi emfisema
serta bronkitis kronis, penyakit asma dan bronkiektasis. Obstruksi aliran
udara pernafasan dapat berasal dari tempat mana pun dalam percabangan

traktus respiratorius mulai dari bronkiolus hingga cabang brongkus yang


utama, semuanya ini menyebabkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(FEV1) yang menurun secara nyata, kapasitas vital paksa (FVC) yang
normal atau menurun, dan dengan demikian rasio FEV1 : FVC akan
berkurang. Keadaan ini merupakan tanda utama penyakit paru obstruksi
(Kendall, 2013:96).
2. Etiologi
Menurut Ikawati (2007:65), ada beberapa faktor resiko utama
berkembangnya penyakit ini, yang di bedakan menjadi faktor paparan
lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara
lain:
a.

Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadi PPOK, dengan risiko
30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok,
dan merupakan penyebab dari 85-90 % kasus dan kurang lebih 1520% akan mengalami kematian. Kematian akibat PPOK terkait
dengan rokok yang dihisap, namun tidak semua PPOK adalah
perokok, 10 % orang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK
contohnya perokok pasif.

b.

Pekerjaan
Karena pekerjaan erat dengan unsur alergi dan hiperreaktivitas
brokus, dan umunya para pekerja di batu bara atau tambang emas,

10

indrustri gelas dan keramik, mempunyai resiko yang lebih besar


karena paparn debu.
c.

Polusi udara
Di sebabkan asap dapur, asap pabrik yang makin memperburuk
PPOK. Terutama yang tinggal di kota yang resikonya lebih tinggi.

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host


a.

Usia
Semakin tua semakin beriko terkena PPOK, pada pasien diagnosa
PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan menderita gangguan
genetikberupa defisiensi 1 antitripsin. defisiensi 1 antitripsin
merupakan senyawa protein atau polipeptida yang dapat diperoleh
dari darah atau cairan bronkus. Defisiensi 1 antitripsin yang
ditemukan pada keluarga yang menderita emfisema yang munculnya
terlalu dini dan pada kelompok keluarga ini ditemukan defisiensi
Alfa 1 Antitripsin (AAT). Defisiensi AAT adalah suatu kelainan
yang diturunkan secara autosom resesif.

b.

Jenis kelamin
Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita, dikarenakan
laki-laki terkait dengan kebiasaan merokok. Dan menjadi perokok
aktif dan prevenlasi PPOK pada laki-laki 10-15% dan pada wanita 15% dengan sex ratio 3-10:1.

11

c.

Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi


Adanya gangguan fungsi paru yang merupakan faktor resiko
terjadinya PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulin a (Ig
A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti
TBC dan bronkiektasis. Individu yang mengalami penurunan fungsi
paru lebih besar sejalan dengan waktu dari pada yang fungsinya
normal.

d.

Presdiposisi genetik, yaitu difisiensi a1 antritipsin (AAT)


Difisiensi AAT ini terutama dikaitkandengan emfisema, yang di
sebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru
secara progresif karena ketidakseimbangan jaringan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif.

3. Tanda dan Gejala


a.

Menurut Williams dan Wilkins, (2011:125), tanda dan Gejala pada


PPOK:
1) Batuk produktif
2) Dispnea saat beraktivitas
3) Sering mengalami traktus respiratorik
4) Hipoksemia intermiten atau terus-menerus
5) Studi fungsi pulmoner yang abnormal secara kasat mata
6) Bentuk tingkat atas: deformitas thoraks, ketidak mampuan yang
sangat parah, gagal respiratorik parah, dan kematian

12

b.

Menurut Ikawati (2007:67) Tanda dan gejala PPOK


1)

Smokers cough (batuk khas perokok), biasanya hanya diawali


sepanjang pagi yang dingin, kemudian berkembang menjadi
sepanjang tahun.

2)

Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna


kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi infeksi.

3)

Dipsnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada


saluran pernafasan.

c.

Menurut Aziz dkk (2006 : 05):


a.

Keluhan: sesak nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang


produktif, faktor resiko, PPOK ringan tanpa keluhan dan
gejala.

b.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi : Pernafasan Pursed Lips, takipnea,
dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik
pink puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah,
eksirasi memanjang, ronki kering atau wheezing, bunyi
jantung jauh, menggunakan otot bantu nafas.

c.

Diagnose pasti dengan uji spirometri


a) FEV1 /FVC < 70%
b) Uji bronkodilator
FEV1 pasca bronkodilator < 80% prediksi.

13

4. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis


Menurut Ikawati, (2007 :71-72) Klasifikasi PPOK di bedakan menjadi
dua yaitu:
a.

Berdasarkan

tandanya,

penyakit

PPOKdapat

diklasifikasikan

menjadi2 golongan, yaitu:


1) Tipe A yang didominasi oleh emfisema, disebut juga dengan
pink puffer.
2) Tipe B yang didominasi oleh bronkitis kronis di sebut blue
bloaters.
Karakteristik tipe emfisema atau pink puffer:
a) Pasien emfisema biasanya lebih tua dari pada bronkitis
kronis, keluhan utamanya dipsnea, termasuk dalam keadaan
istirahat, dengan batuk yang jarang.
b) Pasien bernafas cepat (takipnea).
c) Pasien akan terlihat lemah dan bibir mengatup dalam usaha
untuk mengkompensasi kurangnya elastisitas pengempisan
dan mengeluarkan sejumlah besar udara.
b.

Karakteristik tipe bronkitis kronis atau blue bloaters:


1) Biasanya pasien obesitas, mempunyai riwayat batuk produktif,
adanya peningkatan dipsnea
2) Pasien yang mengalami blue bloaters cenderung menahan
karbon dioksida akibat penurunan respon pusat pernafasan
terhadap hipoksemia dan terjadi hiperkarbia

14

3) Terdapat edema perifer akibat cor pulmonale


4) Diameter anteroposterior dada meningkat
5) Pada kronik hipoksemia terjadi sianosis pada bibir, mukosa
membran, dan ekstremitas.
c.

Menurut GOLD, (2005) dalam Ikawati, (2007:73) tingkat keparahan


PPOK berdasarakan nilai FEV1, dan gejala
Tingkat
0 berisiko

I ringan

II sedang
III berat

IV
berat

sangat

Nilai FEV1, dan gejala


Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum,
dan dipsnea. Ada faktor resiko lain (rokok, polusi), spirometri,
normal.
FEV1/FVC < 70% ? 80%, dan umumnya, tapi tidak selalu, ada
gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini pasien
biasanya belum merasa parunya bermasalah.
FEV1/ FVC < 70% ; 50% , FEV1< 80%, gejala biasanya mulai
progresif/ memburuk\, dengan nafas pendek.
FEV1 / FVC < 70%; 30% < FEV1< 50%. Terjadi eksaserbasi
berulang yang dimulai mempengaruhi hidup pasien. Pada tahap
ini pasien mulai sesak nafas atau serangan penyakit.
FEV1 /FVC ,70% ; FEV1 , 30% atau < 50% plus kegagalan
respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
FEV1> 30% tapi mengalami kegagagalan pernafasan atau gagal
jantung kanan.
Tabel 2.1 Tingkat keparahan

5. Pemeriksaan Diagnostik
a.

Menurut Sudoyo (2010:2189), pemeriksaan Diagnostik pada PPOK


antara lain:
1) Tes fungsi paru
PEF < 100L/ menit atau FEV1 < 1 L mengindikasikan adanya
ekserbasi yang parah.
2) Pemeriksaan analisis gas darah
a) PaO2< 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau SaO2< 90% dengan atau
tanpa PaCO2< 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara
ruangan, mengindikasikan adanya gagal nafas.

15

b) PaO2< 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2> 9,3 kPa (70 mmHg) dan
pH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa
perlu dilakukan monitor ketat serta penangan intensif.
3) Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat membantu penegakan diagnosis
hipertrofi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
4) Kultur dan sensitivitas kuman
Untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap

antibiotik

yang dipakai,

pemeriksaan ini

juga

diperlukan jika adanya respon terhadap antibiotik yang di pakai


sebagai pengobatan pada pemulaan penyakit.
b.

Menurut Murwani (2012: 25), pemeriksaan laboratorium antara lain :


1) Pemeriksaan laboratorium
a) Leukosit
Hitung sel darah putih menunjukkan jumlah sel darah putih
per mikroliter darah. Peningkatan leukosit dapat ditemukan
pada berbagai kondisi, seperti: Penyakit infeksi bakteri,
perdarahan akut,

disfungsi endotel, Leukimia, Terpapar

bahan beracun, gagal ginjal (nefritis), Penyakit inflamasi


kronis, reaksi stres, olahraga, panas, dingin, anestesi,
merokok sigaret.

16

b) Eritrosit
Pemeriksaan eritrosit dilakukan untuk mengetahui adanya
kelainan sel darah merah yang berfungsi sebagai alat
transport utama yang membawa oksigen. Umur eritrosit
normal rata-rata 110-120 hari. Setiap hari terjadi kerusakan
sel eritrosit sebesar 1% dari seluruh jumlah eritrosit yang ada
dan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit oleh sumsum
tulang. Bila tingkat kerusakan sel eritrosit lebih cepat (umur
eritrosit lebih pendek) dari kapasitas sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit (disebut proses hemolisis), maka
akan menimbulkan kondisi anemia.
c) Hemoglobin
Hb merupakan protein di dalam sel darah merah yang
berfungsi mengikat oksigen. Hb tinggi ditemukan pada
kondisi PPOK, gagal Jantung kongestif, perokok, preeklamsia, sedangkan Hb rendah ditemukan pada kondisi
penyakit hati kronik, anemia, hipertyroid, kanker, lupus.
d) BBS atau LED
Merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah untuk
mengetahui tingkat peradangan dalam tubuh seseorang.
Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini
diukur dengan memasukkan darah kita ke dalam tabung
khusus LED dalam posisi tegak lurus selama satu jam. Sel

17

darah merah akan mengendap ke dasar tabung sementara


plasma darah akan mengambang di permukaan. Kecepatan
pengendapan sel darah merah inilah yang disebut LED.
e) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
Analisis gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur
keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam
darah. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi kerja
paru-paru dalam menghantarkan oksigen ke dalam sirkulasi
darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah.
Analisis gas darah meliputi pemeriksaan PO2, PCO3, pH,
HCO3, dan saturasi O2.
2) Foto thoraks
1)

Bayangan lobus

2)

Corakan paru bertambah (bronkitis akut)

3)

Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema).

6. Patofisologi
a.

Bronkitis Kronis
Secara normal sillia dan mukus di bronkus melindungi dari
inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkan, iritasi
yang terjadi terus menerus seperti asap rokok atau polutan dapat
menyebabkan

respon

yang

menghambat

pembersihan

berlebihan.
mukosiliar

Asap

rokok

dapat

(mucociliaryclearance).

Faktor yang menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah

18

adanya poliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia


dengan yang tidak bersilia. Iritasi asap rokok juga menyebabkan
inflamasi bronkiolus dan alveoli, akibatnya makrofag dan neutrofil
berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel.
Bersama dengan adanya produksi mukus dapat terjadinya sumbatan
bronkiolus dan alveoli, banyaknya mukus yang kental dan lengket
serta menurunnya pembersihan mukosiliar dapat meningkatkan
resiko infeksi (Ikawati, 2007 : 65).
Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan
pengeluaran mukus dan penyempitan lumen bronkus juga di ikuti
fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafan yang kecil, yang
makin

mempersempit

saluran

pernafasan.

Bronkitis

kronis

berkembang beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas kecil


menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap,
sehingga terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia, karena
adanya mukus dan kurangnya jumlah sillia dan gerakan sillia untuk
membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi yang
berulang. Bakteri yang dapat menyerang adalah streptococcus
pneumonia dan haemophilus influenza (Ikawati, 2007 : 65).
b.

Emfisema
Emfisema melibatkan asinus yaitu bagian dari paru yang
bertanggung jawab untuk pertukaran gas, asinus terdiri dari:
bronkitis, duktus alveolus dan kantong alveolar. Emfisema yang

19

paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobulor,


Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus.
Dinding-dingding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang, penyakit ini seringkali lebih
berat menyerang pada bagian atas paru-paru, emfisema sentrilobulor
lebih banyak ditemukan pada orang yang merokok (Ikawati,
2007:68).
Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam
asinus berakibat pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil), hal
ini menyebabkan tertekannya jalan udara selama penghembusan
nafas yang berkontribusi secara signifikan pada jalur obstruksi yang
terlihat pada tes fungsi pulmunar. Hilangnya dinding alveolar
berakibat pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi
yang cukup, akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi
sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik dari pada
bronkitis kronik, oleh karena itu pada pasien emfisema lebih banyak
mengalami dipsnea (sesak nafas) dari pada pasien bronkitis (Ikawati,
2007 :69).
7. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK menurut Somantri (2009:56), yaitu :
a.

Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2< 55 mmHg
dengan nilai saturasi O2 < 85 %. Pada awalnya pasien akan

20

mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi


pelupa, dan pada ada tahap lanjut timbul sianosis.
b.

Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue,
letargi, dizziness, dan takipnea.

c.

Infeksi Saluran Pernafasan


Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mucus, peningkatan rangsang otot polos bronchial, dan edema
mukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas
dan menimbulkan dipsnea.

d.

Gagal Jantung
Terutama cor pulmona (gagal jantung kanan akibat penyakit paruparu) harus diobservasi, terutama pada pasien dipsnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
namun beberapa psaien enfisema berat juga mengalami masalah ini.

e.

Disritmia jantung
Disritmia jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung
lain, dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan farmakologi
Menurut Francis (2008:77), penatalaksaan farmakologi:

21

1) Bronkodilator
Perburukan sesak nafas biasanya dapat ditangani dengan
penambahan bronkodilator kerja secara singkat biasa maupun
dengan meningkatkan frekuensi penggunaannya. Penggunaan
nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi secara rutin
digunakn di rumah sakit, walaupun demikian jika pasien
mampun mempetahankan tehnik inhalasi yang baik dengan
menggunakan spacer bervolume besar, maka metode ini telah
terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi.
2) Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi PPOK,
dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada kebijakan lokal,
terapi secara umum berkisar pada penggunaan yang disukai
antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri, biasanya lama
terapi tujuh hari sudah mencukupi.
Menurut Murwani, (2012: 2) penalaksanaan farmakologi:
1) Indikasi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau menahun
yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan jangka pendek
dengan ekserbasi akut, dan serangan akut pada asma
2) Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi
dengan gagal nafas akut, gagal nafas akut pada gagal nafas
kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan nafas

22

kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di


ruang ICU atau di rumah.
Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut
PPOK (Ikawati, 2007:80)
Terapi yang
direkomendasikan

Karakteristik pasien

Patogen penyebab yang mungkin

a. Eksaserbasi tanpa
komplikasi
b. < 4 kali eksaserbasi setahun
c. Tidak
ada
penyakit penyerta
d. FEV1 > 50%

S. pneumoniae, H. Influenzae, H.
Parainfluenzae, dan M. Catarrhalis.
umumnya tidak resisten

Makrolid
(azitromisin,
klaritromisin),
selalosporin generasi
2 atau 3, doksisiklin.

a. Eksaserbasi
kompleks
b. Umur > 65 th
c. > 4 kali eksaserbasi pertahun
d. FEV1 < 50% tapi
> 35 %
Eksaserbasi
kompleks
dengan
resiko P. Aeruginosa

Seperti di atas, di tambah H.


Influenza dan
M. Catarrhalis
penghasil beta-laktamase

Amoksisilin/
klavulanat,
Fluorokuinolon
(levofloksasin,
gatiflokasin,
moksifloksasin)

Seperti di
Aeruginosa

Fluorokuinolon
(levofloksasin,
gatiflokasin,
moksifloksasin),
Terapi I.V jika di
perlukan
:
sefalosporin generasi
3 atau 4

atas,

di

tambah

P.

Tabel 2.2 Terapi Antibiotika

b. Penatalaksanaan non farmakologi


Menurut Morton,dkk, (2011: 741) penatalaksaan non farmakologis
adalah
1) Aktivitas olahraga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK

dapat terdiri atas

sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan diatur

23

waktunya, dan frekuensinya dapat bekisar dari setiap hari


sampai setiap minggu.
2) Konseling nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada
lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden
malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas
pertukaran gas.
3) Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif
dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan memperlambat
kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling singkat untuk
mendorong perokok berhenti merokok menyebabkan angka
berhenti menjadi 5% sampai 10%.
Menurut

Suwardiantono (2011), batuk efektif merupakan

salah satu upaya untuk mengeluarkan dahak dan menjaga paru-paru


agar tetap bersih, disamping dengan memberikan tindakan nebulizer
dan postural drainage. Batuk efektif dapat di berikan pada pasien
dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak
dapat lancar.
Menurut Holloway, Ram, (2004) dalam jurnal Windarti
(2011:03), latihan pernafasan diafragma merupakan salah cara cara
mengurangi sesak nafas yang dilakukan untuk melatih cara bernafas
yang benar, melenturkan dan memperkuat otot pernafasan, dan

24

meningkatkan sirkulasi yang terkontrol. Deep breathing exercise


merupakan salah latihan pernafasan yang di tujukkan kepada pasien
PPOK dengan cara tehnik bernafas secara perlahan dan dalam,
menggunakan otot diafragma, sehingga memungkinkan abdomen
terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Priyanto,
2010:24).
Menurut Perry, Anne Grifin (2005:04), posisi semi fowler
adalah posisi yang bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dan
ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan berkemih, dalam
posisi ini tempat tidur ditinggikan 45-600 dan lutut pasien agak
diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas.

B. Asuhan keperawan
Menurut Morton dkk (2002:737), asuhan keperawatan yaitu pada pengkajian
yaitu
1. Panjanan terhadap faktor risiko, seperti merokok, dan panjanan
okupasional atau lingkungan.
2. Riwayat penyakit dahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis atau polip
hidung, infeksi pernafasan pada masa kanak-kanak, dan penyakit
pernafasan lain-nya.
3. Riwayat keluarga PPOK atau Penyakit Pernafasan kronis lain.
4. Pola perkembangan gejala, PPOK biasanya terjadi pada orang dewasa dan
sebagian besar pasien menyadari terjadinya peningkatan sesak nafas,

25

peningkatan frekuensi pilek pada musim dingin, dan beberapa


keterbatasan sosial selama beberapa tahun sebelum mencari pertolongan
medis.
5. Riwayat eksaserbasi atau hospitalisasi sebelumnya untuk gangguan
pernafasan.
6. Komorbiditas seperti penyakit jantung dan penyakit reumatik yang juga
dapat mengakibatkan keterbatasan aktivitas.
7. Ketetapan terapi medis saat ini, seperti penyekat beta yang biasanya
diresepkan untuk penyakit jantung.
8. Dampak penyakit terhadap kehidupan pasien, termasuk keterbatasan
aktivitas, kehilangan pekerjaan dan konsekuensinya dalam ekonomi.
9. Dukungan sosial dan keluarga.
10. Kemungkinan untuk mengurangi penyebab utama yaitu dengan berhenti
merokok.
Menurut Smeltzer, (2002: 595) asuhan keperawatan meliputi:
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir
juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah daftar
pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan
riwayat kesehatan yang jelas dari proses penyakit:
a) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan?
b) Kapan gejala muncul?
c) Batasan terhadap toleransi aktifitas?

26

d) Makanan dan pola tidur?


e) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan:
a) Frekuensi nadi dan pernafasan?
b) Sianosis?
c) Penggunaan otot bantu pernafasan?
d) Pembesaran vena leher?
e) Edema perifer?
f)

Warna, jumlah, dan konsistensi sputum/

g) Tingkat kegelisahan ?
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Smeltzer (2002:595), diagnosa keperawatan berdasarkan pada
semua data pengkajian, dignosa keperawatan utama pasien dapat
mencakup yang berikut ini:
a.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak samaan


ventilasi-perfusi.

b.

Bersihan

jalan

nafas

tidak

efektif

berhubungan

dengan

bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan ukus, batuk tidak


efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
c.

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mukus,


bronkokonstriksi dan iritan jalan nafas.

27

d.

Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder


akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi dan
oksigen.

e.

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola


pernafasan tidak efektif.

f.

Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang


sosialisasi, anestesi, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidak
mampuan untuk bekerja

g.

Defisit pengetahuan berhubungan denagn prosedur perawatan diri


yang akan dilakukan dirumah.

3. Intervensi keperawatan
a.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak samaan


ventilasi-perfusi.
Intervensi keperawatan:
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator sesuai dengan yang
diharuskan.
Rasional: bronkodilator mendilatasi jalan nafas dan membantu
melawan edema mukosa bronkial dan spasme moskular karena
efek samping biasa terjadi pada tindakan ini, dosis obat
disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan
toleransi dan respon klinisnya.
a) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pernafasan
diagfragmatik dan batuk yang efektif.

28

Rasional:

teknik

ini

memperbaiki

ventilasi

dengan

membuka jendela nafas dan membersihkan jalan nafas dari


sputum, pertukaran gas diperbaiki.
b) Berikan oksigen sesuai dengan metode yang diharuskan.
Rasional:

oksigen

akan

memperbaiki

hipoksemia.

Diperlukan observasi yang cermat terhadap aliran atau


presentase yang diberikan dan efektifnya pada pasien jika
pasien mengalami retensi CO2 kronis maka hipoksia
dirangsang untuk bernafas, kelebihan oksigen dapat
menekan dorongan hipoksik dan dapat terjadi kematian.
Pasien umumnya membutuhkan laju aliran oksigen yang
rendah 1 sampai 2 L/menit. Gas darah arteri periodik dan
oksimetri

nandi

membantu

untuk

mengevaluasi

keadekuatan oksigenasi.
b.

Bersihan

jalan

nafas

tidak

efektif

berhubungan

dengan

bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif.


Intervensi keperawatan:
1) Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan per hari kecuali terapat kor
pulmonal.
Rasional: hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan
memudahkan untuk pengeluaran. Cairan harus diberikan dengan
kewaspadaan jika terdapat gagal jantung sebelah kanan.

29

2) Ajarkan dan berikan doronggan penggunaan teknik pernafasan


diafragmatik ( price dan wilson, 2006).
Rasional: teknik ini akan menyebakan kontraksi diafragma
menjadi desenden, menyebabkan tekanan pleural yang negatif
dan peningkatan dimensi vertikal paru, yang memberikan
kontribusi pada inflamasi paru-paru. Peningkatan dimensi
vertikal dan penurunan tekanan intrapulmonal (negatif dengan
pada tekanan atmosfer)

hal ini menyebabkan udara masuk

kedalam paru-paru.
3) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok,
aerosol, suhu yang ekstrim dan asap.
Rasional: iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan
meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian membantu.
4) Berikan antibiotik sesuai yang diharapkan.
Rasional: antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau
mengatasi infeksi.
c.

Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek,


lendir, bronkokonstriksi dan iritan jalan nafas.
Intevensi keperawatan:
1) Ajarkan pasien pernafasan diagfragmatik dan pernafasan bibir
dirapatkan.
Rasional: membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi.
Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif.

30

2) Berikan dorongan untuk meyelingi aktivitas dengan periode


istirahat. Biarkan pasien membuat beberapa keputusan (mandi,
bercukur) tentang perawatannya berdasarkan pada tingkat
toleransinya.
Rasional: memberikan jeda aktivitas akan memungkinkan
pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.
3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan
jika diharuskan.
Rasional:

menguatkan

dan

mengkondisikan

otot-otot

pernafasan.
d.

Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder


akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufiensif ventilasi dan
oksigenasi.
Intervensi keperawatan:
1) Ajarkan

pasien

diagframatik

denga

untuk

mengkoordinasikan

efektivitas

(misalnya

pernafasan

berjalan

dan

membungkuk).
Rasional: akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan
untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea
selama aktivitas.
2) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri,
berpakaian sendiri, berjalan, dan minum. Bahas tentang tindakan
penghematan energi.

31

Rasional: sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu


melakukan

lebih

banyak

namun

perlu

didorong

untuk

menghindari peningkatan ketergantungan.


3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan
Rasional: memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat
dalam perawatan dirinya, membantu membangun harga diri dan
menyampaikan untuk mengatasi dirumah.
e.

Intoleransi

aktifitas

berhubungan

dengan

akibat

keletihan,

hipoksemia, dan pola pernafasan tidak efektif.


Intervensi keperaawatan:
1) Dukung pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur
dengan menggunakan treadmill dan exercycle berjalan atau
latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
Rasional: otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan
lebih banyak oksigenasi dan memberikan beban tambahan pada
paru-paru. Melalui latihan yang teratur berharap kelompok otot
ini menjadi lebih terkondisi dan pasien dapat melakukan lebih
banyak tanpa mengalami nafas pendek. Latihan yang berharap
memutus siklus yang mematikan ini.
f.

Koping individu tidak efektif berhubungan dengan

kurang

sosialisai, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidak


mampuan untuk bekerja.
Intevensi keperawatan:

32

1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan


semangat yang ditujukan pada pasien.
Rasional: suatu perasaan harapan akan memberikan pasien
sesuatu yang dapat dikerjakan, ketimbang sikap merasa kalah
dan tidak berdaya.
2) Dorong aktivitas samai tingkat toleransi gejala.
Rasional: aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi
tingkat dispnea sejalan dengan pasien lebih terkondisi.
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi
bagi pasien.
Rasional: relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu
pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya.
g.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan prosedur perawatan diri


yang akan dilakukan dirumah.
Intervensi keperawatan:
1) Ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.
Rasional: pasien harus mengetahui bahwa ada metode dan
rencana dimana dia memainkan peran yang besar, pasien harus
mengetahui apa yang diperkirakan. Mengajarkan pasien tentang
kondisinya adalah salah satu aspek yang paling penting alam
perawatannya. Tindakan ini akan menyiapkan pasien untuk
hidup dalam dan mengatasi kondisi serta memperbaiki kualitas
hidup.

33

2)

Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan


informasi tentang sumber-sumber kelompol (misalnya smoke
enders dan American cancer society).
Rasional: asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada
paru dan menghasilkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran
udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

C. Sesak Nafas
1. Pengertian
Breathing exercise atau dispnea adalah keluhan yang sering
memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat
berupa rasa tidak nyaman di dada yang serius (severe air hunger) sampai
yang fatal (Sudoyo, 2010:2189).
Sesak nafas adalah suatu yang dirasakan oleh pasien secara
patofisiologis dapat terjadi karena menurunnya oksigenasi jaringan,
meningkatknya kebutuhan oksigen, meningkatnya kerja pernafasan,
adanya rangsang pada system syaraf pusat dan adanya penyakit
neuromuscular (Muttaqin, 2006:40).
2. Tanda dan Gejalanya
Menurut Sudoyo (2007: 2189), tanda dan gejala sesak nafas adalah:
a.

Keluhan awalnya
Adanyan gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial,
emboli paru, pneumotoraks atau infarks miokard. Serangan

34

berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering


akibat eksaserbasi penyakit paru kronik.
b.

Gejala yang menyertai:


1) Nyeri dada yang disertai sesak.
2) Batuk yang disertai dengan sesak.
3) Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi.
4) Hemoptisis mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskuler.

c.

Gejala dengan keadaan lingkungan atau obat tertentu:


1) Alergen seperti serbuk
2) Debu, asap dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan
nafas berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang
sensitif.
3) Obat-obatan yang di minum atau di injeksi dapat menyebabkan
reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak

Menurut Sudoyo (2007:2189), sesak nafas dapat disebabkan:


Penyakit saluran nafas:
a. Asma
b. Bronkitis kronis
c. Emfisema
d. Sumbtan laring
e. Tertelan benda asing
Penyakit parenkimal:
a. Pneumonia
b. Gagal jantung jantung kongestif
c. Adult respiratory distress
d. ARDS
e. PIE

Penyakit vaskular paru:


a. Emboli paru
b. Kor pulmonal
c. Hipertensi paru primer
d. Penyakit vena-oklusi paru
Penyakit pleura:
a. Pneumotoraks
b. Efusi pleura
c. Fribrosis
Penyakit dinding paru :
a. Trauma
b. Penyakitneurologik
Kelainan tulang
Tabel 2.3 Sebab sesak nafas

35

3. Patofisologi
Dispnea atau sesak nafas bisa terjadi dari berbagai mekanisme
seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan
gangguan pada pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan
kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak nafas. Pada
orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu
penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran
pernafasan maka ruang mati akan meningkat (Prince dan wilson,
2006:736).
Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan nafas maka
pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat menyebabkan
dispnea. Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami
penurnan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan
terhadap compliance paru maka makin besar gradien tekanan transmural
yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan
paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa
bermacam salah satunya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan
ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama (Prince dan
wilson, 2006:736).
4. Pemeriksaan umum
Menurut Sudoyo (2007:2190), pemeriksaan umum pada sesak nafas
adalah:

36

a.

Tampilan umum
Pasien terlihat sesak nafas dan nafas pendek, dan terlihat gelisah.

b.

Kontraksi otot bantu nafas


Otot bantu pernafasan dan otot interkostal akan berkontraksi pada
keadaan adanya obstruksi saluran nafas.

c.

Tekanan vena jugularis harus di catat


Peninggian menandakan adanya peningkatan tekanan atrium kanan.

d.

Palpasi
Fremitus taktil, dengan perintah untuk menyebutkan angka 77
berulang-ulang.

e.

Perkusi
Hipersonor pada hiperinflasi paru seperti saat serangan asma akut,
emfisema dan juga pada pneumotoraks, sedangkan redup pada
perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura.

f.

Auskultasi
Ronkhi kasar dan nyaring terdengar adanya penyempitan saluran
nafas, sedangkan basah halusterdengar pada parenkim paru yang
berisi cairan.

5. Penatalaksanaan sesak nafas


Menurut Sudoyo (2007:2191), penatalaksanaan sesak nafas adalah:
a.

Saluran nafas
Periksa orofaring untuk memastikan saluran tidak tersumbat karena
adanya edema atau benda asing.

37

b.

Oksigen
Oksigen harus diberikan kecuali apabila ada bukti bahwa CO2
memburuk karena tingginya oksigen yang di berikan.

c.

Ventilasi mekanik
Pasien yang diintubasi untuk sementara dapat diberi oksigen melalui
ambubag

sambil

mempersiapkan

suatu

ventilator

sebagai

kelanjutannya.
d.

Latihan diafragma
Untuk mengurangi rasa sesak nafas, dengan latihan yang
memusatkan pada pernafasan perut.

D. Pernafasan diafragma
1. Pengertian
Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010),
Breathing exercise diafragmatic atau latihan pernafasan diafragma
adalah suatu proses pernafasan secara konsentrasi merasakan udara
masuk melalui hidung kedalam tubuh kemudian keluarkan dari mulut
yang dilakukan dengan posisi nyaman dan berbaring dengan relaks dan
menutup mata, serta melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang.
Pernafasan diafragma ini memerlukan konsentrasi dan kenyakinan yang
memusatkan perhatian hanya dengan pernafasan.
Menurut, Holloway, Ram, (2004) dalam jurnal Windarti, (2011)
Latihan pernafasan diafragma dimaksudkan untuk melatih cara bernafas

38

karena ketika terjadi sesak nafas pasien cenderung tegang yang membuat
pasien tidak dapat mengatur pernafasannya sehingga mengakibatkan
bertambah penyempitan pernafasan dibronkus.

Melenturkan dan

memperkuat otot pernafasan bertujuan untuk mempertahan pasien asma


terkontrol dan melatih penderita untuk pernafasan diafragma jika terasa
serangan mendadak atau sewaktu.
2. PemberianTerapi
Windarti, (2011:03) dalam jurnal yang berjudul Pengaruh
diafragmatic breathing exercise terhadap peningkatan kualitas hidup
penderita asma, melakukan penelitian dengan pemberian diafragmatic
breathing exercise yang melibatkan responden yang berjumlah 7 orang,
sebelum dilakukan diafragmatic breathing exercise, kualitas hidup dari
ketujuh responden diukur diawal dan di akhir bulan dengan
menggunakanMini Asthma Quality of Life (MAQLQ). Dimana penurunan
kualitas hidup penderita asma dipengaruhi oleh adanya faktor
diantaranya gejala episodeik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama di malam hari atau dini hari.
Dalam penelitian ini hasil pre dan post test kualitas hidup dengan
MAQLQ dapat diketahui, dimana kualitas hidup semua responden
sebelum

diberikan

perlakuan

diafragmatic

breathing

exercise

mempunyai kualitas hidup antara 41 samapi 69, sedangkan nilai kualitas


hidup setelah diberikan diafragmatic breathing exercise menunjukkan
peningkatan antara 71 samapi 84. Jadi dapat disimpulkan bahwa

39

diafragmatic breathing exercisedapatmeningkatkankualitas hidupbagi


penderita asma.
Kuisoner penilaian Mini Asthma Quality of Life (MAQLQ) terdiri
dari 15 kriteria pertanyaan yang terdiri dari penilaian terdiri dari fisik,
psikologis, dan aktivitas. Dimana pertanyaan terdiri dari permasalahan
sesak nafas yang mungkin mucul saat beraktivitas, gangguan dari
lingkungan seperti dari debu, perasaan frustasi akibat penyakitnya,
gangguan karena adanya batuknya, ketakutan jika tidak memiliki obat,
merasa sesak nafas dan dada berat, sering menghindari asap rokok atau
di wilayah lingkungannya, kesulitan untuk tidur malam hari, prihatin
terhadap penyakitnya,sering merasakanmengi, merasa terganggu oleh
cuaca dan pencemaran udara di lingkungannya. Empat pertanyaan
selanjutnya terdiri dari pertanyaan keterbatasan aktivitas yang dirasakan
2 minggu terahkir seperti aktivitas berat, kegiatan yang biasa dilakukan,
kegiatan sosial, dan kegiatan kerja yang terkait.
Menurut Nursalam (2003) dalam jurnal Prihandiono (2010:04),
latihan pernafasan diafragma dapat mengurangi sesak nafas dan
meningkatkan kualitas hidup, latihan ini dapat dilakukan dengan cara:
1.

Fase 1: inspirasi, menarik udara masuk ke dalam paru melalui


saluran hidung.

2.

Fase 2: beri sedikit jeda sebelum mengeluarkan udara dari paru,


selama 3 detik berikutnya yang akan menimbulkan daya letting
elastisitas dinding paru melalui saluran masuknya udara tersebut

40

3.

Fase 3: ekspirasi, mengeluarkan udara dari paru melalui saluran


masuknya udara tersebut.

4.

Fase 4: beri jeda kembali selama 2 detik setelah mengeluarkan udara


sebelum mulai menghirup nafas kembali.

5.

Pernafasan diafragma dilakukan selama 5 atau 15 menit setiap kali,


satu atau dua sehari selama dua minggu

41

MINI ASTHMA QUALITY OF LIFE QUESTIONNAIRE (MiniAQLQ)

Setiap
saat

No

3
4

9
10

11

Merasa sesak
napas sebagai
akibat dari
penyakit asma?
Merasa terganggu
oleh atau harus
menghindari debu
di lingkungan?
Merasa frustrasi
akibat penyakit
asma?
Merasa terganggu
karena batuk?
Merasa takut
tidak memiliki
obat untuk
penyakit asma?
Merasa sesak
nafas atau dada
berat?
Merasa harus
menghindari asap
rokok di
lingkungan?
Memiliki
kesulitan untuk
tidur malam yang
baik sebagai
akibat penyakit
asma?
Merasa prihatin
karena menderita
asma?
Pengalaman
mengi di dada?
Merasa terganggu
harus
menghindari pergi
keluar karena
cuaca atau
pencemaran
udara?

Sebagia
n besar
waktu

Pada
waktu
yang
khusus

Bebera
pa
waktu

Sedikit
waktu

Hampir
tidak
terjadi

Tidak
pernah

42

Selama 2 minggu terkahir, adakah keterbatasan aktivitas sebagai akibat


penyakit.
12

Aktivitas
berat(seperti
terburu-buru,
berolahraga,
berlari dan
olahraga)

13

Kegiatan yang
biasa (seperti
berjalan,
pekerjaan rumah
tangga, berkebun,
belanja, naik
tangga)

14

Kegiatan sosial
(seperti berbicara,
bermain dengan
hewan
peliharaan/anakanak,
mengunjungi
teman/kerabat)

15

Kegiatan kerja
terkait (tugas yang
harus lakukan di
tempat kerja)

Tabel 2.4 Mini

AQLQ

BAB III
LAPORAN KASUS

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume Pengaruh Breathing


exercises for chronic obstruktive dengan latihan pernafasan diafragma pada
asuhan keperawatan Ny. D dengan penyakit paru obstruksi kronis di ruang
anggrek 1 RSUD Dr.Moewardi surakarta. Resume asuhan keperawatan pada Ny.
D meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah
keperawatan, implentasi yang telah dilakukan dan evaluasi.Pengkajian dilakukan
pada tanggal 11 April 2014 jam 10.30 WIB, pada kasus ini dilakukan dengan
metode autoanamnase dan aloanamnase.
A. Identitas Pasien
Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Ny. D
berumur 77 tahun, beragama islam, pasien tidak tamat sekolah dasar, Ny. D
sebagai ibu rumah tangga yang beralamat di mojosongo, Ny. D datang ke
RSUD Dr.Moewardi pada tanggal 11 April 2014 dengan dengan diagnosa
medis penyakit paru obstruksi kronik dengan nomor rekam medis 01249843.
Identitas penanggung jawab bernama Ny.P berumur 56 tahun, bekerja sebagai
ibu rumah tangga, pendidikan terkahir Sekolah Menengah Pertama (SMP),
beralamat di Mojosongo, hubungan dengan Ny. D sebagai anak.
B. Pengkajian
Hasil pengkajian pada tanggal 11 April 2014 pasien mengeluhkan
sesak nafas. Riwayat kesehatan sekarang, pasien mengatakan sebelum masuk

43

44

rumah sakit mengeluh sesak nafas yang memberat 4 bulan sesak terus
menerus meningkat jika beraktivitas. Awalnya pasien mengira sesak biasa
dan memeriksakan ke mantri tetapi setelah satu minggu pasien tidak
mengalami perubahan, oleh keluarganya pasien dibawa ke rumah sakit Dr.
Moewardi Surakarta untuk mendapatkan perawatan, sampai di IGD pasien
mendapatkan terapi oksigen 3 liter, dari pemeriksaan didapatkan keadaan
umum lemah, tekanan darah 160/120 mmHg, nadi 92 kali per menit, respirasi
29 kali per menit, suhu tubuh 36,7C. Di rumah sakit pasien juga
mendapatkan obat aminophilin 240mg dan ceftriason 2gr, dengan infus NaCl
0,9% 20 tpm. Dari IGD pasien dipindah ke ruang anggrek 1 untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan 6 tahun yang lalu
merasakan sesak nafas, dan berobat ke rumah sakit. Namun pasien belum
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, dan juga belum pernah operasi.
Pasien mengatakan bahwa tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun
obat-obatan tertentu, selain itu pasien mengatakan bahwa saat masih kecil
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Pasien tidak merokok, tetapi
pasien merupakan perokok pasif.
Riwayat kesehatan keluarga, dikeluarga pasien tidak memiliki
penyakit keturunan seperti diabetes militus, hipertensi, jantung. Riwayat
kesehatan lingkungan pasien, lingkungan rumah pasien dekat dengan
lingkungan industri atau pabrik, sehingga terdapat banyak polusi udara di
lingkungan tempat tinggal pasien.

45

Genogram keluarga Ny. D

Ny. D

Gambar 3.1 gambar Ny. D


Keterangan
: Laki-laki

: perempuan
: Meninggal
: Pasien
: Ikatan pernikahan
: Keturunan
: Tinggal serumah

Pola pengkajian primer, Airway mulut pasien simetris, tidak ada luka,
ada sumbatan sekret, sesak nafas, dahak sulit dikeluarkan, batuk tidak efektif.
Breathing, respirasi 29 kali per menit, sesak saat posisi terlentang, ekspirasi
memanjang, pola nafas takipnea, pada pemeriksaan Inspeksi, bentuk dada
simetris, retraksi dada dalam, tampak penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi fokal fremitus sama kanan dan kiri. Perkusi sonor, auskultasi
terdengar ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Circulation nadi 92 kali per

46

menit, tekanan darah 160/120 mmHg, mukosa bibir kering. Disability


composmentis, GCS 15. Exposure suhu 36,8c, tidak ada jejas pada tubuhnya.
Hasil

pengkajian

menurut

pola

Gordon,

pola

persepsi

dan

pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien selalu


menjaga kesehatannya, akan tetapi 6 bulan pasien merasa sesak nafas saat
beraktivitas, mudah lelah dan lemas. Pasien sudah mencoba berobat ke mantri
di dekat rumahnya akan tetapi tidak membuahkan hasil kemudian oleh
keluarga pasien di bawa ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Pola nutrisi dan metabolisme, sebelum sakit Antropometri Berat badan
45 kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh (IMT) Berat badan
(kg)/Tinggi badan (m2), 45 kg/ (1,52m) hasilnya 20 (normal), Biochemical
tidak diketahui, Clinical Sign pasien mengatakan bahwa pasien sehat dan
tanpa ada gangguan, Dietary data pasien mengatakan makan makanan yang
disukai meliputi nasi, lauk, sayuran dan pasien makan 3 kali sehari, dengan
satu kali makan pasien menghabiskan 1 porsi makanan, dan meminum air
putih 6-7 gelas. Selama sakit antropometri didapatkan data berat badan 41 kg,
tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data 18,2 (tidak normal),
biochemical didapatkan data pada tanggal 11 April 2014 hematokrit 30%,
hemoglobin 10 g/dl, clinical sign didaptkan data mukosa bibir kering, turgor
kulit kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien mengatakan makan 3
kali sehari dengan diit TKTP, nasi, sayur, dan buah pisang, porsi habis 3 atau
4 sendok makan dan air putih dan teh hangat 3 sampai 4 gelas.

47

Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air kecil 5


sampai 6 kali sehari dengan warna kencing jernih dan bau khas, sedangkan
buang air besar pasien satu kali sehari konsistensi lunak dan bau khas. Saat
buang air besar dan buang air kecil pasien tidak mengalami keluhan dan
gangguan apapun, sedangkan selama sakit pasien mengatakan buang air kecil
3 sampai 4 kali sehari dengan warna kencing jernih dan bau khas, sedangkan
buang air besar belim keluar. Saat buang air kecil pasien dibantu oleh
anaknya.
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat
beraktivitas secara normal dan mandiri, sedangkan selama sakit pasien
mengatakan bahwa hampir semua aktivitas seperti makan/minum, toiletting,
berpakaian, mobilisasi di tempat tidur dan juga berpindah harus dibantu oleh
orang lain (skor penilaian 2), sedangkan untuk ambulasi/ ROM, pasien dapat
melakukan secara mandiri (skor penilaian 0).
Pola istirahat dan tidur, sebelum sakit pasien mengatakan dapat tidur
dengan nyenyak 9 jam pada malam hari yaitu dari pukul 22.00-06.00WIB
dan tidur siang tidur siang 2 jam bila memiliki waktu luang. Selama sakit
pasien mengatakan tidur kurang nyenyak karena mengalami sesak nafas.
Dalam satu hari pasien hanya tidur selama 6 jam yaitu jam 22.00 WIB05.00WIB dan sering terbangun karena sesak nafas. Saat siang hari pasien
biasanya tidur 2 jam setelah minum obat.

48

Pola kognitif perseptual sebelum sakit, pasien dapat berbicara dengan


jelas dan masih bisa melihat, sedangkan selama sakit pasien masih dapat
berbicara, namun tidak jelas dan juga badannya terasa lemas.
Pola konsep diri, body image pasien mengatakan merasa senang dan
bangga atas apa yang ada pada tubuh pasien. Ideal diri, pasien mengatakan
berharap cepat sembuh dari sakitnya, dan berharap bisa sembuh seperti
dahulu. Identitas diri pasien mengatakan bahwa pasien merupakan seorang
ibu berusia 77 tahun. Peran diri pasien mengatakan melakukan perannya
sebagai ibu dari 4 orang anak dengan baik. Harga diri, pasien mengatakan
bahwa sangat percaya diri dengan apa yang dimiliki pasien saat ini.
Pola hubungan peran, pasien mengatakan bahwa hubungan antara
pasien dengan keluarganya terjalin harmonis. Pasien juga mengatakan bahwa
pasien dalam kehidupan bermasyarakat juga terjalin dengan baik dan tidak
memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Pola seksualitas reproduksi,
pasien seorang janda karena suaminya telah meninggal sekitar sepuluh tahun
yang lalu. Pola mekanisme koping pasien ingin cepat sembuh dan ingin cepat
pulang, apabila pasien memiliki permasalahan selalu mendiskusikan dengan
anak-anaknya. Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan bahwa pasien
beragama islam. Sebelum sakit pasien selalu melaksanakan shalat 5 waktu,
tetapi selama pasien sakit tidak dapat melaksanakan shalat.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaann umum pasien
lemah, dengan kesadaran composmentis (CM) GCS E=4, V=5, M=6. Tandatanda vital tekanan darah 160/120 mmHg, Nadi 92 kali per menit, respirasi 29

49

kali per menit, suhu 36,8oc. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih,
rambut hitam keputih-putihan. Pada pemeriksaan mata didapatkan data
palpebra tidak oedema, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, reflek cahaya
positif. Pada pemeriksaan hidung didapatkan data tidak ada polip, ada sedikit
sekret, terpasang nasal kanul O2 3 liter per menit, pada pemeriksaan mulut
didapatkan data mukosa bibir kering, tidak ada siaonis. Pada pemeriksaan
gigi didapatka bahwa tidak ada gigi. Pada pemeriksaan telinga didapatkan
hasil telinga simetris kanan kiri, bersih, tidak menggunakan alat bantu
pendengaran. Pada pemeriksaan leher didapatkan hasil tidak ada pembesaran
kelenjar tyroid, tidak ada nyeri tekan.
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi
bentuk dada simetris kanan-kiri, tampak penggunaan otot bantu pernafasan,
respirasi 29 kali per menit dengan ekspirasi memanjang, pola nafas takipnea,
saat dilakukan palpasi vokal fremitus kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi
sonor, saat dilakukan auskultasi terdengar ronkhi di lobus 2 anterior sinestra.
Pada pemeriksaan jantung inspeksi didapatkan hasil ictus kordis tidak
tampak, saat dilakukan palpasi didapatkan hasil ictus cordis teraba antara
ictus cordis 4 dan 5, saat dilakukan perkusi didapatkan hasil pekak. Saat
auskultasi didapatkan hasil terdengar suara Bj 1 dan Bj 2. Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan hasil inspeksi perut datar, tidak ada bekas luka, saat
auskultasi didapatkan hasil bising usus 16 kali/ menit, saat perkusi didapatkan
hasil suara redup di kuadran 1, dan tympani pada kuadran 2, 3, 4. Saat palpasi
didapatkan hasil tidak ada nyeri tekan.

50

Pada pemeriksaan genetalia didapatkan hasil tidak terpasang Dc,


rektum bersih dan tidak ada hemoroid. Pada pemeriksaan ekstremitas atas
didapatkan hasil terpasang infus NaCl di tangan kiri, akral hangat, tidak ada
oedema. Ekstremitas bawah, di bagian kaki kiri terdapat luka bekas jatuh dari
kamarnya. Memiliki kekuatan otot 4 dapat bergerak dengan beban ringan.
Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada
tanggal 11 april 2014, yaitu hemoglobin 10 g/dl (11,6 16,1 g/dl), hematokrit
30 % (33 -45 %), leukosit 10,8 ribu/dl (4,5 11,0 ribu/dl), trombosit 27,8
ribu/ul (150 450 ribu/ul), eritrosit 4,68 juta/ul (4,10 5,10 juta/ul),
golongan darah B, gula darah sewaktu 110 mg/dl (60-140mg/dl), SGOT 3,4
u/l (0-35u/l), SGPT 26 u/l(0-45u/l), albumin 3.0 g/l (3,2-4,5 g/l), creatinin 0,6
mg/dl (0,6 1,2), ureum 30 mg/dl (<50 mg/dl), natrium darah 129 mg/dl (132
146 mg/dl), kalium darah 4,3 mmol ( 3,7 5,4 mmol), klorida darah 97
mmol (98 106 mmol). Data analisa gas darah pH 7,266 ( 7,310-7,420), BE 2,4 mmol/l (-2+3 mmol/l), PCO2 40,6 mmHg (27,0-100,0 mmHg), PO2 128,5
mmHg (70,0-100,0), hematokrit 45 % (37-50 %), HCO3 20,3 mmol/l (21,028,0 mmol/l), total CO2 20,5 mmol/l (19,0-24,0), O2 saturasi 98,7 % (94,098,0 %), dapat kesimpulan yaitu asidosis metabolik terkompensasi sebagian.
Dari hasil rontgen terlihat cardiomegali dengan besar dan bentuk normal,
pulmo tak tampak hyperaerateid, sinus cospophrenitus kanan kiri,anterior
tajam, rentras ternal dan nechocoirdlac, spasme dalam batas normal,
hemidiaphragma kanan kiri mendatar, trakhea tulang baik, kesan Emfisema
lung.

51

Selama diruang anggrek 1 pasien mendapatkan terapi injeksi


Aminophillin 360 mg, ceftriaxone 1gr, Dexamethasone 5mg, infus Nacl 0,9%
20 tetes per menit. Pasien mendapatkan obat oral aspilet 80 mg, captopril
1x1,25 mg, N. Asetil sistein 200 mg, vitamin B komplek 2mg.
Hasil penilaian Mini Asthma Quality of Life (MAQLQ) pada tanggal
11 april 2014 pukul 12.00 WIB, diantaranya pasien mengatakan merasa sesak
nafas setiap saat, pasien mengatakan pada waktu khusus atau tertentu merasa
terganggu dan harus menghindari debu dilingkungannya, pasien mengatakan
pada waktu khusus atau tertentu merasa frustasi akibat penyakitnya, pasien
mengatakan setiap saat merasa terganggu dengan batuknya, pasien
mengatakan pada waktu khusus atau tertentu merasa takut bila tidak memiliki
obat untuk penyakitnya, pasien mengatakan sering merasa sesak nafas dan
dada berat, pasien mengatakan pada waktu tertentu merasa harus menghindari
asap rokok lingkungannya, pasien mengatakan pada waktu tertentu memiliki
kesulitan untuk tidur malam, pasien mengatakan pada waktu tertentu pasien
merasa prihatin karena menderita penyakit asma, pasien mengatakan kadangkadang merasa mengi dada, pasien mengatakan kadang-kadang merasa
terganggu dan harus menghindari cuaca dan pencemaran udara yang ada
dilingkungan. Untuk empat kategori pertanyaan selanjutnya terdiri dari
pertanyaan keterbatasan aktivitas yang dirasakan 2 minggu terahkir seperti
pasien mengatakan kadang-kadang dalam aktivitas berat seperti berolahraga
atau berlari mengalami keterbatasan, pasien mengatakan pada waktu tertentu
dalam melakukan kegiatan seperti pekerjaan rumah tangga dan berkebun

52

mengalami keterbatasan, pasien mengatakan dalam kegiatan sosialnya


terkadang mempunyai keterbatasan, pasien mengatakan dalam kegiatan kerja
terkait atau tugas kerja pada waktu tertentu memiliki keterbatasan.
C. Masalah Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.30
WIB pada Ny. D ditemukan data fokus yaitu data subyektif, pasien
mengatakan sesak nafas dan batuk tidak efektif, sedangkan data objektifnya
di tandai dengan respirasi 29 kali per menit, tekanan darah 160/120 mmHg,
suhu 36,8o c, nadi 92 kali per menit, bunyi tambahan ronkhi di lobus 2
anterior sinestra, pasien tampak batuk tidak efektif, pernafasan takipnea.
Maka

penulis

merumuskan

prioritas

masalah

keperawatan

yaitu

ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam


jumlah yang berlebih.
Pada tanggal 11 April 2014 pukul 10.35 WIB hasil dari pengkajian
didapatkan data subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak
nafas saat posisi terlentang sedangkan data objektif ditandai dengan respirasi
29 kali per menit ,ekspirasi memanjang, pola nafas takipnea, tampak
menggunakan otot bantu nafas, terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, vokal fremitus kanan kiri sama. Maka penulis merumuskan prioritas
masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi.
Pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.40 WIB di dapatkan data
subjektif pasien mengatakan Sesak nafas dan menyebabkan tidak nafsu

53

makan, bila makan rasanya cepat kenyang,berat badannya menurun,


sedangkan data objektif tampak lemah, konjungtiva anemis, turgor kulit jelek,
hanya makan 3-4 sendok, pasien hanya makan menu dari rumah sakit dengan
diit TKTP, berat badan sebelum sakit 45 kg sedang waktu sakit menjadi 41
kg, IMT 18,2 (kurang), hemoglobin 10 g/dl, hematokrit 30 %, albumin 3,0
g/dl. Maka penulis merumuskan diagnoasa keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan dengan faktor biologis.
Pada tanggal 11 April 2014 pukul 11.50 WIB didapatkan hasil
pengkajian dengan data subjektif pasien mengatakan sesak nafas saat
beraktivitas, mudah lelah, dan badan terasa lemas data objektif tekanan darah
160/120 mmHg, nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali per menit, pasien
tampak lemah, pasien berbaring lemas, dari data aktivitas latihan didapatkan
data makan atau minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah
dibantu orang lain (nilai skore 2), toileting dibantu orang lain (nilai skore 2),
ambulasi/ROM mandiri (nilai skore 0). Maka penulis merumuskan masalah
keperawatan intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Berdasarkan prioritas masalah yang ada muncul masalah keperawatan
dengan diagnosaketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
mukus dalam jumlah yang berlebih,ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi, keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, intoleransi aktifitas

54

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan


oksigen.
D. Rencana Keperawatan
Berdasarkan rumusan masalah yang didapatkan, maka penulis
menyusun rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam bersihan jalan nafas
dapat efektif dengan kriteria hasil pasien dapat bernafas dengan mudah, jalan
nafas paten, respirasi 24 kali per menit, dahak dapat keluar.
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji
vital sign dan pola nafas dengan rasional untuk mengetahui suara nafas
tambahan dan adanya suara tambahan, ajarkan batuk efektif dan nafas dalam
dengan rasional untuk mengeluarkan sekret dan mengurangi sesak nafas, beri
penjelasan pada pasien tentang manfaat sebelum dan sesudah di lakukan
batuk efektif dan nafas dalam dengan rasional untuk mengurangi rasa cemas
dan menambah ilmu pengetahuan, beri posisi semi fowler dengan rasional
untuk meningkatkan ekpansi paru dan mengurangi rasa sesak, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian O2

dengan rasional untuk memberikan

kebutuhan oksigenasi pasien.


Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2x24 jam pola nafas menjadi efektif dengan kriteria hasil tidak
ada penggunaan otot bantu pernafasan, bunyi nafas tambahan tidak ada,

55

pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit, dispnea tidak ada,
ortopnea tidak ada.
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah
observasi vital sign, bunyi nafas dan letak sekret, ajarkan teknik latihan
pernafasan diafragma dengan rasional untuk mengurangi rasa sesak, beri
penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tehnik pernafasan diafragma
dengan rasional untuk menurunkan kecemasan, beri posisi semi fowler
dengan rasional untuk meningkatkan ekpansi paru dan mengurangi rasa
sesak, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian O2 dengan rasional untuk
memberikan kebutuhan oksigenasi pasien.
Rencana keperawatan untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam

kekurangan nutrisi dapat teratasi dengan

kriteria hasil adanya peningkatan berat badan yang sesuai dengan tujuan (1
kg), nafsu makan meningkat, mukosa lembab, asupan nutrisi adekuat.
Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan adalah kaji
pola makan dengan rasional untuk mengetahui pola makan/kebiasaan makan
pasien, anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering dengan rasional
memungkinkan pasien mengkonsumsi kalori dan karbohidrat dan protein
yang adekuat, beri penjelasan tentang pentingnya mengkonsumsi makanan
yang kaya akan karbonhidrat, vitamin, mineral, dan protein yang adekuat
dengan rasional nutrisi berperan sebagai sumber yang membangun jaringan
yang mengatur proses metabolisme tubuh, kolaborasi dengan tim ahli gizi/

56

nutrisi dalam pemberian diit TKTP dengan rasional menentukan metode diit
yang memenuhi asupan kalori dan nutrisi yang optimal.
Rencana

keperawatan

untuk

diagnosa

intoleransi

aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen


dengan

diagnosa

intoleransi

aktivitas

berhubungan

dengan

kertidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen dengan tujuan setelah


dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam aktivitas dapat ditoleransi
dengan kriteria hasil tanda-tanda vital dalam batas normal, dapat beraktivitas
secara mandiri, dapat mentoleransi aktivitas, pasien tampak segar.
Intervensi atau rencana keperawatan yan akan dilakukan adalah
observasi vital sign dan kemampuan aktivitas pasien dengan rasional untuk
mengetahui tingkat kemampuan aktivitas dan untuk mengetahui kemampuan
yang dimiliki pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala
dengan rasional mencegah terjadinya kelemahan otot, anjurkan keluarkan
untuk memenuhi ADL pasien dengan rasional untuk memenuhi ADL pasien,
anjurkan pasien untuk bedrest dengan rasioanal ntuk menghemat energi.
E. Implementasi
Tindakan keperawatan hari pertama yang dilakukan pada tanggal 11
april 2014 jam 11.30 WIB mengobservasi keadaan umum dan vital sign
pasien dengan respon subyektif Ny.S mengatakan sesak, lemah. Respon
objektif Ny. D tampak lemah, terpasang O2 nasal kanul 3 liter, Tekanan darah
160/120 mmHg, respirasi 29 kali per menit, suhu 36 o C dan nadi 92 kali per
menit.

57

Pada tanggal 11 april 2014 Jam 11.30 WIB implementasi selanjutnya


adalah mengobservasi/auskultasi bunyi paru dengan respon subjektif Ny. D
mengatakan sesak nafas, data objektif terdengar suara ronkhi di lobus 2
anterior . pada jam 11.37 WIB memberikan penjelasan kepada Ny. D sebelum
dan sesudah melakukan nafas dalam denganrespon subjektif Ny. D dan
keluarga bersedia diberi penjelasan dengan respon objektif Ny. D tampak
mendengarkan dan mencoba ntuk mempraktikkan penjelasan yang diberikan.
Pada jam 11.45 WIB mengajarkan tarik nafas dalam dan batuk efektif dengan
respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dengan respon objektif Ny. D
dahak tampak keluar dan pasien tampak rileks.
Pada tanggal 11 April 2014 jam 12.00 WIB implementasi selanjutnya
adalah mengobservasi pola makan Ny. D dengan respon subjektif Ny. D
mengatakan tidak nafsu makan, data objektif Ny. D hanya makan 3 sendok.
Pada jam 12.05 WIB menganjurkan Ny. D untuk makan sedikit tapi sering,
respon subjektif dari Ny. D mengatakan bahwa nafsu makan menurun, respon
objektif Ny. D tampak mengerti anjuran dari perawat. Pada jam 12.10 WIB
mengobservasi vital sign dan pola nafas dengan respon subjektif pasien
mengatakan sesak nafas dan respon objektif tekanan darah 140/90 mmHg,
respirasi 28 kali permeni, suhu tubuh 36,7oc, dan denyut nadi 87 kali per
menit, serta suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra. Pada jam 12.13 WIB
mengobservasi

aktivitas

pasien

dengan

respon

subyektifnya

pasien

mengatakan ADLnya dibantu oleh anaknya dan data obyektif pasien tampak
lemah di tempat tidur.

58

Pada tanggal 11 April 2014 jam 12.20 WIB implementasi selajutnya


adalah mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif
Ny. D mengatakan bersedia dan respon objektif Ny. D terlihat rileks. Pada
jam 12.55WIB memberi O2 dengan nasal kanul O2 3 liter/menit, respon
subjektif Ny. D mengatakan sesak nafas dan respon objektif Ny. D nampak
rileks di tempat tidurnya. Pada pukul 13.10 WIB menganjurkan pasien untuk
bedtres ditempat tidur dengan respon subyektif pasien mengatakan badannya
masih lemah sedang data obyektifnya pasien tampak tiduran ditempat tidur.
Tindakan keperawatan hari kedua yang dilakukan pada tanggal 15
April 2014 jam 08.30 WIB mengobservasi vital sign/ mengauskultasi bunyi
paru dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bahwa masih sesak nafas
dengan respon objektif tekanan darah Ny. D 130/90 mmHg, respirasi 28 kali
permenit, suhu tubuh 36,8o C, denyut nadi 89 kali per menit, terpasang O2 3
liter/menit, dan terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra.
Pada tanggal 12 April 2014 jam 09.00 WIB implementasi selanjutnya
adalah memberi injeksi Aminophilin 360 mg dengan respon subjektif Ny. D
bersedia diinjeksi dan data objektif Ny. D obat masuk lewat intravena. Pada
jam 09.15 WIB mengajarkan tarik nafas dalam dan batuk efektif dengan
resespon subjektif Ny. D mengatakan bersedia, dan respon objektif Ny. D
tampak mengikuti, respirasi 28 kali per menit, sekret keluar. Pada jam 09.15
WIB mengajarkan latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif
pasien mengatakan sesak nafas dan respon objektif pasien tampak
mempraktekkan latihan pernafasan diafragma. Pada jam 09.20 WIB

59

memposisikan semi fowler dengan subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan


data objektif Ny. D terlihat rileks. Pada jam 10.00WIB mengisi humidifer
dengan air oksigen dan mengecek O2 apakah sudah benar atau belum dengan
respon subjektif Ny. D mengatan bersedia dan respon objektif humadifer
terisi air O2 3 liter/menit.
Pada tanggal 12 April 2014 jam 10.15WIB implementasi selanjutnya
mengajarkan kepada Ny. D makanan apa saja yang boleh dimakan (sesuai diit
TKTP) dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan respon
objektif Ny. D mengerti dan mendengarkan. Pada jam 10.17 WIB
mengajarkan Ny. D untuk makan sedikit tapi sering dengan respon subjektif
Ny .D mengatakan bersedia, respon objektif tampak rileks dan tampak makan
5 sendok. Pada jam 10.25 WIB mengobservasi vital sign dan auskultasi bunyi
paru dengan respon subjektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan
respon objektif terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tekanan
darah 120/80 mmHg, suhu 36,1 o C, respirasi 25 kali per menit, nadi 84 kali
per menit.
Pada pukul 10.30 WIB mengajarkan tarik nafas dalan dan batuk
efektif dengan respon subjektif Ny. D mengatakan masih sesak nafas dan
respon objektif Ny. D mengikuti, sekret keluar, respirasi 26 kali per menit.
pada jam 10.40 WIB memberikan posisi semi fowler dengan respon subjektif
Ny. D mengatakan bersedia, respon objektif Ny. D mengikuti arahan. Pada
jam 11.00 WIB mengobservasi aktivitas pasien dengan respon subjektif

60

pasien mengatakan ADLnya masih di bantu oleh anaknya dan respon objektif
pasien tampak lemah di tempat tidur.
Pada tanggal 12 april 2014 pada jam 10.10 WIB menganjurkan pasien
untuk mengubah posisi secara berkala dengan respon subjektif pasien
mengatakan sesak posisi terlentang dan respon objektif pasien tampak miring
ke kanan. Pada pukul 11.30 WIB mengajarkan latihan pernafasan diafragma,
dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bersedia dan respon objektif
tampak rileks, respirasi 25 kali per menit. Pada tanggal 12 April 2014 jam
12.00 WIB implementasi selanjutnya mengobservasi vital sign dan auskultasi
bunyi paru dengan respon subjektif Ny. D mengatakan bahwa sesak nafas
mulai berkurang dan respon objektif

suara ronkhi di lobus 2 dianterior

sinestra, tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 26 kali per menit, suhu tubuh
36,1oc, denyut nadi 89 kali per menit. Pada jam 12.30 WIB menganjurkan
pasien untuk makan makanan dari rumah sakit yaitu diit tktp dengan respon
subjektif pasien mengatakan bersedia dan data objektif pasien tampak makan,
makan 1 porsi habis. Pada pukul 13.00 WIB memposisikan semi fowler
dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia dan respon objektif
pasien tampak rileks.
F. Evaluasi
Setelah

dilakukan

perencanaan

keperawatan

dan

tindakan

keperawatan, evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas


berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih pada hari jumat tanggal
11 April 2014 jam 13.45 WIB adalah Subjektif: pasien mengatakan sesak

61

nafas dan batuk tidak efektif. Ojektif: teterdapat suara ronkhi di lobus 2
anterior sinestra, terpasang O2 3 liter/menit, respirasi 29 kali per menit, sekret
sudah keluar. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas belum teratasi. Planing: mengobservasi TTV, ajarkan teknik nafas,
ajarkan batuk efektif, dan memposisikan semi fowler.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 11 April 2014 jam 14.45
WIB adalah subjektif: pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak
saat posisi terlentang. Ojektif: terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang,
respirasi 29 kali per menit. Analisa: masalah kerawatan ketidakefektifan pola
nafas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, ajarkan latihan pernafasan
diafragma, mengauskultasi bunyi paru.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis pada jam
13.15 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan tidak nafsu makan, cepat
merasa kenyang, dan hanya makan 3 sendok. Objektif: pasien tampak lemah,
konjungtiva anemis, mukosa bibir kering. Analisa:masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi.
Planing: memberi penjelasan pentingnya mengonsumsi karbohidrat (TKTP),
menganjurkan makan sedikit tapi sering, dan menimbang berat badan.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

62

pada jam 14.04 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan badannya masih
lemah dan ADLnya di bantu anaknya. Objektif: pasien tampak lemas dan
berbaring ditempat tidur. Analisa: masalah keperawatan intolerandi aktivitas
belum teratasi. Planing: observasi vital sign, observasi kemampuan yang
dimiliki pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, anjurkan
keluarga untuk membantu dalam memenuhi ADL pasien.
Evaluasi hasil dari masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih pada hari sabtu 12 April
2014 jam 13.48 WIB, subjektif: pasien mengatakan masih sesak nafas dan
batuk tidak efektif. Objektif: terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra,
sekret sudah keluar, respirasi 25 kali per menit. Analisa: masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi. Planing:
maka intervensi dilanjutkan dengan mengobsrvasi vital sign, mengajarkan
taik nafas dalam, mengajarkan batuk efektif, memberi posisi semi fowler.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal 12 April 2014 jam 14.15
WIB adalah subjektif: pasien mengatakan masih sesak nafas dan bertambah
sesak saat posisi terlentang. Ojektif: terdapar suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, respirasi 25 kali per menit, terdapat penggunaan alat bantu nafas, dan
ekspirasi memanjang. Analisa: masalah keperawatan ketidakefektifan pola
nafas belum teratasi. Planing: observasi vital sign, kaji bunyi paru, ajarkan
latihan pernafasan diafragma dan batuk efektif.

63

Evaluasi hasil dari masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis pada jam
13.15 WIB dengan subjektif: pasien mengatakan sudah mau makan, makan 5
sendok. Objektif: pasien tampak sedang makan 5 sendok, pasien terlihat
rileks. Analisa: masalah keperawatan ketidak seimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh teratasi sebagian. Planing: anjurkan untuk makan sedikitsedikit tapi sering, memberi penjelasan tentang pentingnya makan makanan
yang mengandung karbohidrat (TKTP) sesuai diit, dan menimbang berat
bada, mengobservasi kemampuan aktivitas pasien, observasi Tekanan darah,
nadi, respirasi, bantu pasien untuk mngubah posisi dan selanjutnya anjurkan
keluarga untuk membantu ADL pasien.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
pada jam 13.45 WIB adalah subjektif: pasien mengatakan badannya masih
lemah dan ADLnya masih di bantu. Objektif: pasien tampak

tiduran di

tempat tidur. Analisa: masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum


teratasi. Planing: observasi vital sign, observasi kemampuan yang dimiliki
pasien, bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, anjurkan keluarga
untuk membantu dalam memenuhi ADL pasien.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan tentang Ny. D
dengan PPOK di ruang anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pembahasan
pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara
teori dengan kasus. Terkait dengan hal tesebut pada bab ini penulis akan
melakukan pembahasan tentang pemberian diafragmatic breathing exercise
terhadap penurunan sesak nafas pada Asuhan keperawatan Ny. D dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Bangsal Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang kontinue
tentang respon manusia, kekuatan dan masalah pasien (Dermawan, 2012:45).
Dalam pengkajian terhadap Ny. D penulis menggunakan metode wawancara,
obsevasi serta catatan rekam medis. Pengkajian didapatkan data yang
bernama Ny. D dengan diagnosa medis penyakit paru Obstruksi kronik
(PPOK). Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit di karakterisir
oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya,
sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang

64

65

berbahaya, dua gangguan yang terjadi pada PPOK yaitu bronkitis kronis dan
Emfisema paru (Ikawati, 2007:65).
Pengkajian Ny. D pada tanggal 11 April 2014 dengan keluhan utama
sesak nafas. Sesak nafas adalah suatu yang dirasakan oleh pasien secara
patofisiologis dapat terjadi karena menurunnya oksigenasi jaringan,
meningkatknya kebutuhan oksigen, meningkatnya kerja pernafasan, adanya
rangsang pada system syaraf pusat dan adanya penyakit neuromuscular
(Muttaqin, 2008:45). Sesak nafas pada pasien PPOK terjadi karena adanya
mekanisme kebutuhan ventilasi yang meningkat akibat peningkatan ruang
rugi fisiologi, hipoksia, hiperkapnia, onset awal asidosis laktat, penekanan
pergerakan saluran nafas, hiperinflasi, kelemahan otot nafas dan kelemahan
otot ekstremitas oleh karena efek sistemik, deconditioning dan nutrisi yang
buruk (Ardiyansyah, 2012:67).
Riwayat penyakit sekarang, Ny. D mengatakan sesak nafas yang
memberat 4 bulan, sesak terus menerus meningkat jika beraktivitas. Hal ini
sesuai dengan teori, dimana tanda dan gejala dari PPOK yaitu adanya sesak
nafas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif dan faktor resiko, namun
PPOK ringan biasanya tanpa keluhan dan gejala (Aziz dkk, 2006:05).
Riwayat dahulu pasien 6 tahun yang lalu pernah mengalami sesak nafas
seperti ini hanya berobat ke mantri dan belum pernah dirawat sebelumnya di
rumah sakit. Pasien Ny. D mengatakan merupakan perokok pasif. Penyebab
paling utama adanya perokok pasif adalah asap rokok, baik yang di hisap
maupun terhisap dari asap rokok orang lain, apabila ini terus menerus akan

66

mengakibatkan semakin cepat menderita penyakit ini (Danusantosa,


2013:211).
Pola pengkajian primer airway: mulut pasien simestris, ada sumbatan
sekret, sesak nafas, dahak sulit di keluarkan dan batuk tidak efektif.
Berdasarkan teori produksi sekret pada pasien PPOK di hasilkan oleh
defisiensi alfa-anti-protease inhibitor yang terus menerus menghasilkan
sekret, sekret bronkus merupakan perbenihan yang ideal bagi berbagai jenis
kuman yang berhasil masuk dalam saluran nafas bawah, apabila terjadi
infeksi sekunder, maka dahak akan menjadi semakin pekat, kental dan
lengket (Danusantosa, 2013:212).
Pada breathing di dapatkan pernafasan 29 kali per menit, pasien
mengatakan sesak bertambah saat terlantang, inspirasi dalam dan ekspirasi
memanjang, inspeksi: tampak penggunaan alat bantu pernafasan, palpasi:
fokal fremitus sama anatara kanan dan kiri, perkusi: sonor, auskultasi:
terdengar suara ronkhi di lobus anterior sinestra. Hal ini sesuai teori pada
pemeriksaan fisik PPOK Pemeriksaan fisik meliputi: Pernafasan Pursed Lips,
takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink
puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, eksirasi memanjang,
ronkhi kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan otot bantu
nafas (Aziz dkk, 2006 : 05).
Pola nutrisi dan metabolisme, antropometri didapatkan data berat
badan 41kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data 18,2
(kurang), biochemical didapatkan data pada tanggal 11 april 2014 Hematokrit

67

30% normal, hemoglobin 10 g/dl turun, clinical sign didapatkan data mukosa
bibir kering, turgor kulit kering, konjungtiva anemis, dietary data pasien
mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, nasi, lauk dan buah, porsi
habis 3 atau 4 sendok makan karena rasanya cepat kenyang.
Pada pasien didapatkan data hemoglobin menurun atau dibawah
normal yaitu 10 g/dl normalnya 11,6-16,1 g/dl konjungtiva anemis, mukosa
bibir kering dan turgor kulit kering. Hemoglobin berfungsi sebagai
penyimpan dan pengangkut oksigen. Proses penghantaran oksigen ke organ
atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa
cardiac output serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam
darah yaitu konsentrasi Hb dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi
oksigen antara darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas penghantar
oksigen akan menurun jika kadar Hb < 7 g/dl dan akan memperburuk kondisi
sesak napas pada pasien (Paniselvan, 2011:39).
Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mengatakan dapat
beraktivitas secara normal dan mandiri, sedangkan selama sakit pasien
mengatakan dalam memenuhi aktivitasnya seperti makan/minum, berpakaian,
mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan toileting dengan dibantu orang lain
(score penilaian 2), pada ambulasi atau ROM dengan mandiri (score penilain
0). Pada kasus PPOK, pasien sering mengalami penurunan toleransi terhadap
olah raga pada periode yang pasti dalamsehari, hal ini tampak saat ketika
bangun tidur, karena sekresi bronkial dan edema menumpuk dalam paru-paru
selama penderita berbaring. Pada PPOK periode peningkatan kesulitan

68

lainnya terjadi segera setelah makan, terutama saat makan dimalam hari.
Keletihan akibat aktivitas siang hari disertai dengan distensi abdomen yang
membatasi toleransi (Smeltzer, 2002:596). Hal ini sesuai dengan data pada
pasien Ny. D yang kebutuhan ADL nya perlu bantuan dan pasien mengeluh
sesak nafas.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
lemah, dengan kesadaran composmentis (CM). Tanda-tanda vital tekanan
darah 160/1200 mmHg, Nadi 92 kali per menit, respirasi 29 kali menit, suhu
36,8o C, terlihat penggunaan otot bantu pernafasan. Data pasien menunjukkan
peningkatan respirasi yaitu 29 kali per menit, dimana nilai normal pernapasan
berkisar 16-24 kali per menit, terlihat otot bantu pernafasan, beberapa data
sesuai dengan teori PPOK, dimana dalam teori ditemukan adanya pernafasan
takipnea, dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink
puffer atau blue bloater, bunyi nafas vesikuler melemah, ekspirasi
memanjang, ronkhi kering atau wheezing, bunyi jantung jauh, menggunakan
otot bantu nafas (Aziz dkk, 2006 : 05).
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakukan inspeksi
bentuk dada simetris, saat dilakukan palpasi vokal fremitus kanan kiri sama,
saat dilakukan perkusi sonor, saat dilakukan auskultasi terdengar suara ronkhi
di lobus 2 anterior sinestra. Hal ini dalam teori didapatkan hasil inspeksi pada
pasien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
penafasan, serta penggunaan otot bantu nafas (sternocleidomastoid)
(Muttaqin, 2006:158). Pada Ny. D bentuk dada simetris, dalam teori

69

dikatakan pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat pasien mempunyai


bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa
otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernafasan abnormal yang
tidak efektif. Pada palpasi, ekpansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma mendatar atau menurun. Pada auskultasi sering
didapatkan adanya bunyi ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2006:158).
Pada pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan hasil sebelah kanan
terpasang infus NaCl, akral hangat, tidak ada edema, kekuatan otot penuh
(didapatkan nilai 5), capilery refil kurang dari 2 detik. Ekstremitas bawah
kekuatan otot 4, karena ada bekas luka habis jatuh dari kamar mandi.
Pemeriksaan data penunjang laboratorium yang dilakukan pada
tanggal 11 april 2014, yaitu Pada Ny. D pemeriksan yang dilakukan sesuai
dengan teori yaitu hemoglobin 10 g/dl terjadi penurunan dengan rentang
penurunan (11,6 16,1 g/dl), hematokrit 30 % normal (33 -45 %), leukosit
10,8 ribu/dl normal (4,5 11,0 ribu/dl), trombosit 27,8 ribu/ul penurunan
dengan rentang penurunan (150 450 ribu/ul), eritrosit 4,68 juta/ul normal
(4,10 5,10 juta/ul), golongan darah B, gula darah sewaktu 110 mg/dl normal
(60-140mg/dl), SGOT 3,4 u/l normal (0-35u/l), SGPT 26 u/l normal (0-45u/l),
albumin 3.0 g/l penurunan dengan rentang penurunan (3,2-4,5 g/l), creatinin
0,6 mg/dl normal (0,6 1,2), ureum 30 mg/dl normal (<50 mg/dl), natrium
darah 129 mg/dl normal (132 146 mg/dl), kalium darah 4,3 mmol normal (

70

3,7 5,4 mmol), klorida darah 97 mmol normal (98 106 mmol). Data
analisa gas darah pH 7,266 penurunan dengan rentang penurunan ( 7,3107,420), BE -2,4 mmol/l normal (-2+3 mmol/l), PCO2 40,6 mmHg normal
(27,0-100,0 mmHg), PO2 128,5 mmHg terjadi kenaikan dengan rentang
(70,0-100,0), hematokrit 45 % normal (37-50 %), HCO3 20,3 mmol/l
penurunan dengan rentang penurunan (21,0-28,0 mmol/l), total CO2 20,5
mmol/l normal (19,0-24,0), O2 saturasi 98,7 % (94,0-98,0 %). Berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui kadar hemoglobin Ny. D
mengalami penurunan. Dalam teori hemoglobin berfungsi sebagai penyimpan
dan pengangkut oksigen. Proses penghantaran oksigen ke organ atau jaringan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor hemodinamik berupa cardiac output
serta distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu
konsentrasi Hb dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara
darah arteri dan vena, oleh karena itu kapasitas penghantar oksigen akan
menurun jika kadar Hb < 7 g/dl (Paniselvan, 2011:38).
Pasien pada tanggal 11 12 April 2014 mendapatkan terapi infus
NaCl 0,9% 12 tpm. Injeksi aminophilin 360 mg intravena. Aminophilin
merupakan golongan teofillin efilendiamin atau obat untuk saluran
pernafasan, terdiri dari furosemid 360 mg, yang diberikan pada pasien asma
bronkhial dan asma cardial dan kejang koroner pernafasan(ISO, 2011:492).
Obat oral N. Aseptil sistein 200mg golongan N. Acetyne 200 mg obat untuk
saluran pernafasan fungsinya untuk meredakan batuk dan menurukan demam
(ISO, 2011/2014). Ceftriaxone merupakan antimikroba golongan sefalosporin

71

yang terdiri dari seftriakson 1 gr, diberikan pada pasien dengan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri patogen pada saluran napas, sepsis, jaringan lunak,
intra abdominal, dan infeksi pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh
(ISO, 2011/2014 : 148). Aspilet 3 x 80 mg. Aspilet merupakan golongan
analgesik non narkotik yang terdiri dari asetosal 80 m, diberikan pada pasien
diberikan pada pasien dengan demam, sakit kepala, rasa nyeri pada otot dan
sendi, sakit gigi (ISO, 2011:04). Captopril 3 x 12,5 mg. Captopril merupakan
golongan antihipertensi yang terdiri dari kaptopril tab 12,5 mg. Captopril
diberikan pada pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (ISO,
2011:316). Dexamethasone obat peroral 5 mg, golongan kartikus teroid
fungsinya anti alergi, anti inflamasi dengan gangguan dermatologik dan
pernafasan (ISO, 2011:289).
B. Diagnosa masalah
Diagnosa keperawatan yang muncul berdasarkan data pengkajian
pasien Ny. D dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yaitu
ketidakefektifan bersihan jalan berhubungan mukus dalam jumlah berlebihan,
ketidakefektifan

pola

nafas

berhubungan

dengan

hiperventilasi,

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


faktor

biologis,

dan

intoleransi

aktivitas

berhubungan

dengan

ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.


Diagnosa pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan mukus dalam jumlah berlebih. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
merupakan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari

72

saluran pernafasan untuk mempertahankan kebesihanjalan nafas (NANDA,


2013: 450). Mukus dalam jumlah berlebih selain karena infeksi, keadaan
tertentu yang bersifat kongenital atau difisiensi alfa-anti-protease inhibitor
akan

menyebabkan

bronkus

terus

menerus

menghasilkan

sekret

yangberlebihan (Danusantoso, 2013:211).


Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data
subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan batu-batuk, respirasi 29 kali per
menit, ekspirasi memanjang, terdapat otot bantu pernafasan, vokal fremitus
kanan kiri sama, terdengar sonor, dari hasil auskultasi terdengar suara ronkhi
di lobus 2 anterior sinestra, data pada Ny. D sesuai dengan teori, dimana
batasan karakteristik bersihaan jalan nafas tidak efektif adalah dispnea,
penurunan suara nafas, orthopnea, sianosis, kelainan suara nafas (ronkhi,
wheezing), kesulitan berbicara, batuk tidak efektif atau tidak ada, mata
melebar, produksi sputum, gelisah, perubahan frekuensi dan irama nafas
(NANDA, 2013:450). Maka dari data diatas penulis mengambil diagnosa
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan mukus dalam
berlebih.
Diagnosa kedua yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi. Ketidakefektifan pola nafas adalah adalah insiparasi
atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (NANDA,
2013:303). Hiperventilasi merupakan peningkatan jumlah udara yang masuk
ke dalam paru-paru karena kecepatan ventilasi melebihi kebutuhan metabolik
untuk pembuangan karbon dioksida. Hiperventilasi ditandai dengan

73

peningkatan denyut nadi, nafas pendek, dada nyeri dan penurunan konsentrasi
CO2 ( Jamilah, 2013:141).
Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data
subjektif pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi
terlentang, data objektif, respirasi 29 kali per menit, tampak penggunaan otot
bantu pernafasanter, vokal fremitus kanan kiri sama, terdengar sonor, dari
hasil auskultasi terdengar suara ronkhi di lobus 2 anterior sinestra.
Berdasarkan (Jamilah, 2013:141), data pada Ny. D sesuai dengan batasan
karakteristik ketidakefektifan pola nafas perubahan kedalaman pernafasan,
dispnea, ortopnea, penggunaan otot aksesorius untuk bernafas, penurunan
tekanan inspirasi, penurunan tekanan ekspirasi, takipnea. Maka dari data
diatas penulis mengambil diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi.
Diagnosa ketiga yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik (NANDA, 2013:309). Faktor biologis karena
pasien mengalami sesak nafas, batuk dan produksi sputum tak berarti, maka
semakin lama semakin berat dan kehabisan nafas sehingga tidak napsu makan
dan tubuhnya keliatan kurus tak berotot (Price dan Wilson, 2006:739).
Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data
subjektif antropometri didapatkan data berat badan sebelum sakit 45 kg dan
selama sakit 41 kg, tinggi badan 150 cm, indeks masa tubuh didapatkan data

74

18,2 (kurang), biochemical didapatkan data pada tanggal 11 april 2014


Hematokrit 30% normal, hemoglobin 10 g/dl turun, clinical sign didapatkan
data mukosa bibir kering, turgor kulit kering, konjungtiva anemis, dietary
data pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan diit TKTP, nasi, lauk dan
buah, porsi habis 3 atau 4 sendok makan karena rasanya cepat kenyang. data
pada Ny. D sesuai dengan batasan karakteristik ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis adalah berat badan
menurun, cepat kenyang setelah mencerna makanan, membran mukosa pusat
(NANDA, 2013:308). Maka dari data diatas penulis mengambil diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan faktor biologis.
Untuk menegakkan diagnosa yang keempat yaitu intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis
untuk melnjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang
harus atau yang ingin dilakukan (NANDA, 2013:280). Ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen menyebabkan intoleransi aktivitas karena
dengan pasien gagal jantung akan cepat merasa lelah hal ini terjadi akibat
curah jantung yang berkurang yang dapat menghambat sirkulasi normal dan
suplai oksigen ke jaringan dan menghambat pembuangan sisa hasil
metabolisme, perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan
kelemahan dan keletihan (Muttaqin, 2006:67).

75

Pada Ny. D penegakkan diagnosa ini dilakukan dengan adanya data


subjektif pasien mengatakan sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah dan
lemas sedangkan data objektif tekanan darah 160/120 mmHg, nadi 92 kali per
menit, respirasi 29 kali per menit, pasien tampak lemah, pasien berbaring
lemas, dari data aktivitas latihan didapatkan data makan atau minum,
berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan toileting dibantu orang
lain (nilai skore 2), ambulasi/ROM mandiri (nilai skore 0). Dari data yang
didapatkan sesuai dengan batasan karakteristik dari intoleransi aktivitas
menyatakan merasa lemah, merasakan letih, dispnea setelah beraktivitas,
ketidaknyamanan setelah beraktifitas, respon frekuensi jantung abnormal
terhadap aktivitas (NANDA, 2013:280).
C. Intervensi
Intervensi yang dilakukan penulis sesuai dengan NIC dan NOC,
kriteria hasil meliputi spesifik (jelas), measurable (dapat diukur), acceptance
(dapat diterima), rational (rasional), time (jelas waktunya).
Berdasarkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas berhubungan dengan mucus dalam jumlah berlebih, penulis menyusun
rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperwatan
selama 2x24 jam bersihan jalan nafas efektif pola nafas menjadi efektif
dengan kriteria hasil tidak ada sesak, jalan nafas paten, dahak dapat keluar,
pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit. Hal ini sesuai
dengan teori dimana kriteria hasil yang ingin dicapai pada diagnosa
ketidakefektifan bersihan jalan napas antara lain mendemonstrasikan batuk

76

efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah), menunjukkan jalan
nafas yang paten, mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas (NANDA, 2013:297).
Berdasarkan NIC dan NOC intervensi yang dilakukan penulis dalam
mengatasi masalah Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan
adalah observasi tanda-tanda vital dan pola nafas dengan rasional untuk
mengetahui

adanya suara nafas atau adanya bunyi tambahan (Smeltzer,

2002:607), intervensi selanjutnyaajarkan nafas dalam dan batuk efektif


dengan rasional untuk mengurangi sesak nafas dan mengencerkan dahak dan
mengeluarkan sekretyang ada di jalan nafas (Smeltzer, 2002:607). Intervensi
selanjutnya memberikan penjelasan kepada

pasien tentang manfaat

melakukan nafas dalam dan batuk efektif dengan rasional untuk mengurangi
tingkat kecemasan dan menambah pengetahuan selain itu berguna bagi pasien
untuk mengatur pernapasan dan mengeluarkan dahak dengan batuk efektif
sehingga akan mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2002:607), intervensi
selanjutnya posisikan semi fowler dengan rasional pemberian posisi semi
fowler untuk membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari
abdomen pada diafragma (Andriyani dkk, 2011). Intervensi selanjutnya
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen dengan rasional untuk
memberikan

kebutuhan oksigenasi pasien yang mengalami sesak nafas

(Smeltzer, 2002).

77

Berdasarkan diagnosa keperawatan Pada Intervensi yang dilakukan


untuk diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah
dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam pola nafas menjadi efektif
dengan kriteria hasil tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, bunyi nafas
tambahan tidak ada, pernafasan teratur dengan respirasi 18-24 kali per menit.
Hal ini sesuai dengan teori dimana kriteria hasil yang ingin dicapai pada
diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
adalah mendemontrasikan batuk efektif dan suara nafas bersih, tidak ada
dispnea, menunjukkan jalan paten, tanda tanda vital dalam rentang (tekanan
darah, nadi, arteri).
Intervensi

atau

rencana

keperawatan

untuk

diagnosa

ketidakseimbangan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yang akan


dilakukan adalah observasi pola nafas, irama dan usaha inspirasi, sesuai
dengan teori tindakan ini dilakukan untuk mengetahui respirasi, bunyi nafas
dan letak sekret pada pasien PPOK (Smeltzer, 2002:607).
Intervensi yang kedua yaitu ajarkan latihan pernafasan diafragma.
Dalam teori latihan ini dilakukan untuk memperbaiki fungsi alat pernafasan
dan melatih penderita mengatur pernafasan (holloway, ram, 2004). Windarti
(2013:03) dalam jurnal pengaruh diaframatic breathing exercise terhadap
peningkatan kualitas hidup penderita asma dengan cara melibatkan 7
responden dengan pre post test, penelitian ini di lakukan selama 1 bulan
dengan berfokus kepada kualitas hidup penderita asma dan hasil

78

menunjukkan setelah diberikan diaframatic breathing exercise terjadi


peningkatan kualitas hidup dari sedang ke tinggi, dimana kualitas hidup
dihubungkan dengan gejala episodeik berulang berupa mengi, sesak nafas,
dan terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam dan dini hari. Pemberian
breathing exercise pada pasien PPOK juga mampu menurunkan kejaadian
sesak

napas,

dimana

pemberian

latihan

menggabungkan latihan pernafasan diafragma,

dilakukan

dengan

cara

menggerutkan bibir, dan

pernapasan yoga, hasil menunjukkan pernapasan dapat mengubah perekrutan


otot pernafasan yang akan mengurangi dispnea, mengurangi hiperinflasi,
meningkatkan pernafasan pada kinerja otot dan mengoptimalkan gerak
thoraco-abdominal (Holland, 2008:44).
Intervensi yang ketiga yaitu beri penjelasan kepada pasien tentang
manfaat melakukan latihan pernafasan diafragma dalam teori untuk
mengurangi rasa cemas dan menanambah pengetahuan (Wilkinson, 2006:55).
Intervensi keempat beri posisi semi fowler dalam teori pemberian posisi semi
fowler untuk membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari
abdumen pada diafragma (Andriyani dkk, 2011:5).
Berdasarkan diagnosa keperawatan Pada Intervensi yang dilakukan
untuk diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan faktor biologis dengan tujuan kekurangan
nutrisi dapat teratasi, penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 2x24 jam kekurangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh dapat tertasi dengan kriteria hasil adanya

79

peningkatan berat badan pasien (BB) mencapai 2-3 kg, nafsu makan
meningkat, mukosa lembab, asupan nutrisi adekuat Hal ini sesuai dengan
teori

dimana

kriteria

hasil

yang

ingin

dicapai

pada

diagnosa

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan faktor


biologis adalah adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan, berat
badan sesuai dengan tinggi badan, mampu mengidentifikasi kebutuhan
nutrisi, tidak ada tanda-tanda mal nutrisi, hasil laboratorium menyatakan
albumin dan hemoglobin (Hb) dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda mal
nutrisi.
Intervensi kaji adanya pola makan. Dalam teori pengkajian di lakukan
untuk mengetahui kebiasaan makan dan jenis makanan (Wilkinson,
2006:321). Intervensi selanjutnya anjurkan makan sedikit tapi sering, dalam
teori tindakan ini memungkinkan pasien mengkomsunsi kalori dan
karbonhidrat dan protein yang adekuat (Wilkinson, 2006:322), kemudian beri
penjelasan tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang kaya protein,
vitamin, dan mineral dan karbonhidrat yang adekuaat, dalam teori nutrisi
berperan sebagai sumber membangun jaringan dan mengatur proses
metabolisme (Wilkinson, 2006:322). Kolaborasi dengan ahli nutrisi dalam
pemberian diit TKTP. Dalam teori menentukan TKTP dalam teori
peningkatan asupan protein dapat membantu perbaikan, berikan vitamin
sesuai indikasi, anjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah yang
disukai oleh pasien jika tidak ada kontra indikasi, kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan diit yang tepat (Somantri, 2009:73).

80

Berdasarkan tujuan dari dignosa intoleransi aktivitas berhubungaan


dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dilakukan
2x24 jam di harapkan aktivitas dapat ditoleransi kriteria hasil: tanda-tanda
vital dalam batas normal. Dalam teori bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesui dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
(NANDA, 2013:280). pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri.
Dalam teori membantu pasien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
di lakukan oleh pasien (NANDA, 2013:280) dapat mentoleransi aktivitas,
pasien tampak segar.
Intervensi atau rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan
adalah observasi vital sign dan kemampuan aktivitas pasien dengan rasional
untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki, bantu
pasien untuk mengubah posisi secara berkala dengan rasional untuk
mencegah terjadinya kelemahan otot, anjurkan keluarga untuk memenuhi
ADL, untuk memenuhi ADL pasien, anjurkan pasien untuk bedtrest dengan
rasional untuk menghemat energi (Smeltzer, 2002: 608).
D. Implementasi
Tindakan yang dilakukan pada Ny. D sesuai dengan intervensi yang
telah disusun pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan mukus dalam jumlah yang berlebih. Tindakan yang dilakukan
antara lain mengauskultasi bunyi paru, memberi penjelasan kepada pasien
sebelum dan sesudah melakukan nafas dalam dan batuk efektif dan
memposisikan posisi semi fowler. Dalam teori pemberian nafas dalam dan

81

batuk efektif berguna untuk mengurangi sesak nafas dan mengencerkan dahak
serta mengeluarkan sekret yang ada di jalan nafas, sedangkan auskultasi
dilakukan untuk mengetahui
tambahan.

adanya suara nafas atau adanya bunyi

Dalam teori pemberian posisi semi fowler dilakukan untuk

membantu mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdumen pada


diafragma (Andriyani, ddk, 2011:05).
Tindakan yang dilakukan pada Ny. D untuk diagnosa kedua penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Tindakan
pada hari pertama tanggal 11 april pada jam 11.30 wib penulis melakukan
observasi pola nafas, irama dan usaha respirasi, dari hasil implementasi yang
dilakukan didapatkan data respon subjektif pasien mengatakan lemah dan
sesak nafas, respon objektifnya pasien tampak lemah, terpasang O2, tekananan
darah 160/120 mmHg, respirasi 29 kali per menit, suhu 36,8 oC dan nadi 92
kali per menit. Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi untuk
mengetahui pola nafas dan letak adanya bunyi tambahan yang ada gangguan
(Smeltzer,

2002:607).

Pada

jam

11.30

wib

di

lakukan

tindakan

mengauskultasi bunyi paru dengan hasil pemeriksaan respon subjektif pasien


mengatakan sesak nafas dan data objektifnya terdapat bunyi ronkhi di lobus 2
anterior sinistra, respirasi 29 kali. Dalam teori pemeriksaan auskultasi sering
di dapatkan bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan
obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin, 2006:66).

82

Penulis melakukan implementasi selanjutnya pada jam 12.05 wib,


untuk mengatasi permasalahan nafas pada pasien, dengan mengajarkan
pelatihan diafragma, hasil pemberian latihan menunjukkan respon respon
subjektif pasien mengatakan sesak nafas bertambah sesak bila posisi
terlentang dan respon objektifnya pasien terlihat lebih rileks dan respirasi 29
kali per menit. Dalam teori tindakan menurut Nursalam (2003) dalam jurnal
Prihandiono (2010:05) mengajarkan latihan pernafasan diafragma merupakan
suatu proses pernafasan secara konsentrasi merasakan udara masuk melalui
hidung kedalam tubuh kemudian keluarkan dari mulut yang dilakukan dengan
posisi nyaman dan berbaring dengan rileks dan menutup mata, serta
melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. Pernafasan diafragma ini
memerlukan konsentrasi dan kenyakinan yang memusatkan perhatian hanya
dengan pernafasan.
Mengajarkan latihan pernafasan diaframa dalam teori latihan ini
berguna untuk memperbaiki pola nafas yang salah, dan cenderung
menggunakan pernafasan dada atas dan pengempisan perut saat inspirasi.
Ketika pasien di ajarkan teknik pernafasan diafragmatik sangat berguna
karena dapat meningkatkan sirkulasi dan pernafasan terkontrol. Windarti
(2013) dalam jurnal pengaruh diaframatic breathing exercise terhadap
peningkatan kualitas hidup penderita asma dengan cara melibatkan 7
responden dengan pre post test, penelitian ini di lakukan selama 1 bulan
dengan berfokus kepada kualitas hidup penderita asma dan hasil
menunjukkan peningkatan dari sedang ke tinggi. Penulis di sini melakukan

83

latihan pernafasan diafragma terhadap Ny. D dengan cara pertama: inspirasi,


menarik udara masuk ke dalam baru melalui saluran hidung, kemudian fase 2:
beri sedikit jeda sebelum mengeluarkan udara dari paru, selama 3 detik
berikutnya yang akan menimbulkan daya leting elastisitas dinding paru
melalui saluran masuknya udara tersebut, kemudian fase 3: ekspirasi,
mengeluarkan udara dari paru tmelalui saluran masuknya udara tersebut,
kemudian fase 4: beri jeda kembali selam 2 detik setelah mengeluarkan udara
sebelum mulai menghirup nafas kembali, kemudian pernafasan diafragma
dilakukan selama 5 atau 15 menit setiap kali, satu atau dua sehari selam dua
minggu, langkah langkah yang diambil penulis disesuaikan dengan jurnal
Prihadiono dkk (2010), dimana langkah pemberian latihan pernapasan
diafragma dilakukan seperti uraian diatas. Hasilnya pasien masih mengatakan
masih sesak nafas dengan respirasi 25 kali per menit, karena pengelolaan
penulis hanya 2 hari maka hasilnya belum maksimal.
Pada hari kedua tanggal 12 april 2014 implementasi pada jam
mengobservasi tanda vital dan mengauskutasi bunyi paru. Dengan data
respon subjektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan respon objektif
terdengar bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, tekanan darah 130/90
mmHg, respirasi 28 kali per menit, suhu 36,8 oC , nadi 89 kali per menit.
Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi untuk mengetahui pola nafas
dan letak adanya bunyi tambahan yang ada gangguan (Smeltzer, 2002:607),
sedang implementasi pada auskultasi dapatkan adanya bunyi nafas paru yang
berupa ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan (Muttaqin, 2006:66).

84

Implementasi selanjutnya pada jam 09.00 wib memberi injeksi


aminophilin 360 mg dengan respon subjektif pasien bersedia di berikan
injeksi dan respon objektif obat sudah masuk melalui intra vena. Dalam teori
pemberian aminophilin sangat berguna karena unuk mengurangi rasa sesak
(ISO, 2011:492). Implementasi selanjutnya pada jam 09.15 mengajarkan
latihan pernafasan diafragma dengan respon subjektif pasien mengatakan
sesak nafas dan respon objektif pasien terlihat mempraktekkan latihan
pernafasan diafragma dengan respirasi 28 kali per menit. Tindakan
pernafasan diafragma yaitu pernafasan yang bertujuan untuk melatih cara
bernafas karena ketika terjadi sesak nafas pasien cenderung tegang yang
membuat

pasien

tidak

dapat

mengatur

pernafasannya

sehingga

mengakibatkan bertambah penyempitan pernafasan dibronkus, dan setelah di


lakukan latihan pernafasan pasien mengalami penurunan dari 29 ke 26 kali
per menit.
Implementasi selanjutnya pada jam 10.25 wib mengobservasi vital
sign dan mengauskultasi bunyi paru dengan respon subjektif pasien masih
merasa sesak nafas, respon objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 26 kali per menit, nadi 84
kali per menit, suhu 36, 1o C. Dalam teori pemeriksaan pola nafas berfungsi
untuk mengetahui pola nafas dan letak adanya bunyi tambahan yang ada
gangguan (Smeltzer, 2002:607), sedang implementasi pada auskultasi
dapatkan adanya bunyi nafas paru yang berupa ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan (Muttaqin, 2006:66). Implementasi selanjutnya pada hari

85

yang sama pada jam 11.30 penulis kembali mengajarkan latihan pernafasan
diafragma dengan respon subjektif pasien mengatakan sesak nafas mulai
berkurang, respon pasien tampak rileks, respirasi 25 kali per menit dan
setelah di lakukan latihan pernafasan, respirasi pasien mengalami penurunan
dari 26 ke 25 kali per menit.
Implementasi selanjutnya pada jam 13.00 wib memberikan posisi
semi fowler dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia di posisikan
semi fowler data objektif pasien tampak rileks. Dalam teori membantu
mengembangkan baru dan mengurangi tekanan dari abdumen pada diafragma
(Andriyani, 2011:05).
Tindakan yang dilakukan pada Ny. D penulis lakukan sesuai dengan
intervensi pada diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan faktor biologis. Tindakan dilakukan dalam 2 hari
pengelolaan, implementasi tersebut antara lain mengobservasi polamakan,
menganjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering, menganjurkan pasien
makanan apa yang boleh di makan sesuai dengan diit TKTP, menganjurkan
pasien untuk sedikit makan tapi sering, berikan vitamin sesuai indikasi,
anjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah yang disukai oleh
pasien jika tidak ada kontra indikasi. Dalam teori mengatasi masalah nutrisi
dilakukan agar pasien mengkonsumsi kalori dan karbohidrat dan protein yang
adekuat dan mengetahui kebiasan pasien makan dan jenis makan (wilkinson,
2006:321). Nutrisi berperan sebagai sumber membangun jaringan untuk
mengatur proses metabolisme tubuh (Wilkinson, 2006:322)

86

Tindakan yang dilakukan pada Ny. D penulis sesuaikan dengan


rencana keparawatan pada diagnosa intolerensi aktivitas berhubungan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Implementasi
dilakukan selama 2 hari pengelolaan, implementasi tersebut antara lain
mengkaji aktivitas pasien, mengajurkan pasien untuk mengubah posisi secara
berkala, anjurkan keluarga untuk memenuhi ADL, menganjurkan pasien
untuk bedrest di tempat tidur. Dalam teori mengatasi maslah aktivitas
dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki
pasien dan untuk mengetahui tingkat kemampuan dan aktivitas yang di miliki
pasien, selain itu untuk mencegah terjadinya kelemahan otot, untuk
memenuhi ADL pasien perlu dilakukan tindakan untuk mengatasi masalah
aktivitas pasien (Smeltzer, 2002:608).
E. Evaluasi
Evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11
april untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan mukus dalam jumlah yang berlebih adalah pasien mengatakan sesak
nafas dan batuk tidak efektif, objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, terpasang oksigen 3 liter per menit, untuk menindak lanjuti hal
tersebut, telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan
observasi vital sign, ajarkan teknik nafas dalam, ajarkan batuk efektif,
memposisikan semi fowler. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan
penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis dimana

87

pemberian latihan pemberian diafragma di lakukan baru sekali dan pasien


belum terlalu mengerti apa yang di ajarkan oleh penulis.
Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan nafas belum teratasi karena pasien mengatakan masih sesak
nafas dan batuk tidak efektif, objektif terdapat suara ronkhi di lobus 2 anterior
sinestra, sekret sudah keluar, respirasi 25 kali per menit, untuk menindak
lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi
dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu observasi vital sign,
ajarkan tarik nafas dalam, beri posisi semi fowler dan ajarkan batuk efektif.
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya
mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas Ny. D, hal ini
disebabkan karena keterbatasan penulis yang hanya mengelola 2 hari.
Evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11
April 2014 pada pukul 14.45 wib untuk diagnosa ketidaefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi adalah pasien mengatakan sesak nafas dan
bertambah sesak saat posisi terlentang, obyektif terdapat suara ronkhi di lobus
2 anterior sinestra, terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi
memanjang, respirasi 29 kali per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut,
telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan observasi ttv,
ajarkan latihan pernafasan diafragma, mengauskultasi bunyi paru. Tindakan
keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi
masalah ketidakefektifan pola nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena
keterbatasan penulis dimana pemberian latihan pemberian diafragma

di

88

lakukan baru sekali dan pasien belum mengerti bagaimana melakukan latihan
pernafasan diafragma.
Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 pada jam 14.15 wib untuk
diagnosa ketidakefektifan pola nafas belun teratasi karena pasien belum
mengerti tentang latihan pernafasan diafragma di dukung pasien mengatakan
sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang dengan objektif
terdapat bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra, respirasi 25 kali per menit,
terdapat penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang. untuk
menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan
intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu observasi vital
sign, kaji bunyi paru, ajarkan latihan pernafasan diafragma. Tindakan
keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi
masalah ketidakefektifan pola nafas Ny. D, hal ini disebabkan karena
keterbatasan penulis dimana pemberian terapi hanya berlangsung selama 2
hari dan pasien belum terlalu mengerti tentang pernafasan diafragma, namun
penurunan respirasi belum sesuai dengan jurnal, dimana dalam jurnal
pemberian latihan diafragma akan menurunkan periode sesak napas dan
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengukuran selama 1 bulan.
Evaluasi

pada

tanggal

11

april

2014

untuk

diagnosa

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


faktor biologis adalah pasien mengatakan tidak nafsu makan, cepat merasa
kenyang dan hanya makan 3 sendok, objektifnya pasien tampak lemah,
konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, untuk menindak lanjuti hal

89

tersebut, telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan beri


penjelasan pentingnya mengkonsumsi karbonhidrat (TKTP), anjurkan makan
sedikit tapi sering, timbang berat badan. Tindakan keperawatan yang telah
dilakukan penulis belum sepenuhnya mengatasi masalah ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, hal ini disebabkan karena keterbatasan
penulis dimana pasien sesak nafas jadi untuk makan pasien tidak mau, hanya
mau minum kalau di paksa.
Evaluasi hari sabtu pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, dengan subjektif pasien
mengatakan sudah sudah mau makan 5 sendok, untuk menindak lanjuti hal
tersebut telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan
pendelegasian kepada perawat ruangan yaitu anjurkan untuk makan sedikit
tapi sering, beri penjelasan tentang pentingnya makan karbohidrat, timbang
berat badan. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum
sepenuhnya mengatasi masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Ny. D hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis yang
hanya mengelola 2 hari.
Evaluasi pada tanggal 11 april untuk diagnosa keperawatan intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen adalah pasien mengatakan badannya masih lemah,
ADLnya di bantu oleh anaknya. Objektif pasien tampak lemah dan hanya
berbaring di tempat tidurnya, pasien tampak makan di suapi ananknya dan
buang air kecil di abntu olehanaknya, untuk menindak lanjuti hal tersebut,

90

telah diambil keputusan untuk melanjutkan intervensi dengan observasi vital


sign, observasi kemampuan aktivitas pasien, bantu untuk mengubah posisi
secara berkala dan anjurkan keluarga pasien untuk membantu dalam
ADLnya. Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum
sepenuhnya mengatasi masalah intoleransi aktivitas pasien, hal ini disebabkan
karena keterbatasan penulis dimana pasien mengalami sesak nafas dan
bertambah sesak bila posisi terlentang.
Evaluasi pada tanggal 12 april 2014 untuk diagnosa intoleransi
aktivitas belum tertasi, dengan subjektif Pasien mengatakan masih lemah,
ADLnya masih di bantu, objektif pasien tampak tiduran di tempat tidur,
tekanan darah 120/80 mmHg, respirasi 25 kali per menit, suhu 36,2 oC, nadi
89 kali per menit, untuk menindak lanjuti hal tersebut telah diambil keputusan
untuk melanjutkan intervensi dengan pendelegasian kepada perawat ruangan
yaitu observasi vital sign, observasi kemampuan aktivitas pasien, bantu
pasien untuk mengubah posisi, anjurkan keluarga dalam ADL penderita.
Tindakan keperawatan yang telah dilakukan penulis belum sepenuhnya
mengatasi masalah intoleransi aktivitas Ny. D, hal ini disebabkan karena
keterbatasan penulis yang hanya mengelola 2 hari.
Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat memberikan informasi
kepada pihak lain sehingga dapat memperluas pengetahuan tentang penyakit
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan penatalaksanaannya. Walaupun
dalam penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak kekurangan, tetapi
dengan kekurangan tersebut penulis mandapatkan masukan dari pihak lain

91

sehingga penulis mampu melengkapinya dan menjadikannya lebih sempurna


serta dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnose,


implementasi dan evaluasi tentang pemberian diafragmatik breathing exercise
terhadap penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan Penyakit
paru Obstruksi Kronik di ruang Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta secara
metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan
A. KESIMPULAN
Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengkajian
Pengkajian pada Ny. D diperoleh data pasien mengeluh sesak nafas saat
beraktivitas dan tampak penggunaan otot bantu pernafasan, terdengar
suara ronkhi di lobus 2 interior sinestra, respirasi 29 kali per menit
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Ny. D adalah
Ketidaksefektifan bersihan jalan nafas berhubungan mucus dalam jumlah
berlebih, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor bilogis, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.

92

93

3. Intervensi
Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas Ny. D,
observasi vital sign dan pola nafas, ajarkan nafas dalam dan batuk efektif,
beri penjelasan pada pasien tentang manfaat melakukan nafas dalam dan
batuk efektif, beri posisi semi fowler, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian O2. Intervensi untuk diagnosa ketidakefektifan pola nafas
pada Ny. D yaitu observasi pola nafas, irama, dan usaha, ajarkan latihan
pernafasan diafragma, beri penjelasan kepada pasien tentnang manfaat
melakukan latihan pernafasan diafragma, beri posisi semi fowler.
Intervensi untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh pada Ny. D yaitu kaji pola makan, anjurkan pasien
untuk sedikit makan tapi sering, beri penjelasan kepada pasien tentang
pentingnya mengkonsumsi makananyang kaya protein, minera, vitamin,
karbonhidrat yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian
diit TKTP.
4. Implementasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny. D penulis lakukan sesuai
dengan di intervensi yang telah disusun sebelumnya.
5. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan selama dua hari sudah dilakukan secara
komprehensif dengan acuan Rencana Asuhan Keperawatan, serta telah
berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya didapatkan hasil evaluasi
keadaan pasien dengan kriteria hasil belum tercapai, diagnosa

94

ketidakefektifan bersihan berhubungan mukus dalam jumlah berlebih


pada Ny. D belun teratasi intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian
kepada perawat ruangan dengan observasi vital sign, ajarkan teknik nafas
dalam, ajarkan batuk efektif dan posisikan semi fowler.
Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi hasil evaluasi dengan kriteia hasil belum tercapai, maka
hambatan mobilitas fisik pada Ny. D belum teratasi intervensi dilanjutkan
dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan Observasi vital
sign, ajarkan latihan diafragma, mengauskultasi bunyi paru.
Pada diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan faktor biologis hasil evaluasi keadaan pasien
dengan kriteria hasil belum tercapai, sehingga ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi dan intervensi dilanjutkan
dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan beri penjelasan
tentang pentingnya mengkonsumsi karbonhidrat (TKTP), anjurkan makan
sedikit tapi sering, timbang berat badan.
6. Analisa
Hasil pengaruh pemberian diaframatic breathing exercise terhadap
penurunan sesak nafas pada asuhan keperawatan Ny. D dengan diagnosa
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi yaitu
pasien mengatakan sesak nafas dan bertambah sesak saat posisi terlentang
dengan data objektif terdengar bunyi ronkhi di lobus 2 anterior sinestra,
tampak penggunaan alat bantu pernafasan, ekspirasi memanjang dan

95

respirasi 25 kali per menit. Sesuai dengan penelitian yang di lakukan


Windarti (2011) dengan pemberian diafragmatic breathing exercise
terhadap

peningkatan

kualitas

hidup

penderita

asma

mampu

meningkatkan kualitas hidup penderita asma. Kualitas hidup dalam


penelitian ini dihubungkan dengan timbulnya gejala episodeik pada
pasien asma yang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batukbatuk terutama malam atau dini hari. Pada asuhan keperawatan Ny. D
dengan penyakit paru obstruksi kronik mengalami penurunansesak napas
setelah diberikan diafragmatic breathing exercise dimana respirasinya
menunjukkan penurunan dari 29 ke 25 kali per menit, namun hasil ini
belum maksimal, karena pasien masih tampak menggunakan alat bantu
pernafasan dan masih terdengar dari suara ronkhi di lobus 2 interior
sinestra

B. SARAN
Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai
berikut :
1. Bagi rumah sakit
Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien lebih optimal dan
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan

institusi

pendidikan

memberikan

kemudahan

dalam

pemakaian sarana dan prasarana yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa

96

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dalam


melalui praktek klinik dan pembuatan laporan.
3. Bagi pembaca
Diharapkan pembaca menjadi lebih mengerti tentang penyakit paru
obstruksi kronik.
4. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan penulis dapat menggunakan atau memanfaatkan waktu lebih
efektif, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien
secara optimal.

97

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, dkk .2011. Keefektifian Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Penurunan
Sesak Nafas Pasien Asma Di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta.Jurnal.http://www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id/index.php/gaster/articl
e/view/29/26.Diakses tanggal 8 April 2014.
Ardiyansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Cetakan Pertama.
DIVA Press (Anggota IKAPI). Jogjakarta
Aziz, dkk. 2006. Panduan Pelayanan Medik : Perhimpunan Dokter Spesialis Dalam
Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Branshers,

Valentina. 2007. Aplikasi


Manajemen.EGC : Jakarta

Klinis

Patofisiologi

Pemeriksaan

dan

Danusantoso, Halim. 2013. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Edisi 2. EGC: Jakarta
Dermawan, Deden .2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja.
Gosyen Publising. Yogyakata.
Francis, caia. 2008. Perawatan respiratori. Erlangga: Jakarta.
Holland, dkk. 2012. Breathing exercises for chronic obstructive pulmonary disease
(Review).
Jurnal.
onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.../pd..Diakses pada tanggal 27
maret 2014
Ikawati, zullies. 2007. Farnakologi Penyakit Sistem Pernafasan. Pustaka Adipura.
Yogyakarta
ISO. 2010. Iso_Informasi Spesialis Obat Indonesia, Penerbit ikatan Apoteker Indonesia :
Jakarta.
Jamilah, andi siti. 2013. Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia, Binarupa Aksara
Publisher :Jakarta
Kendall. 2013. Sinopsis Organ System Pulmonologi, Karisma Pubishing Group : Jakarta
Morton, dkk. 2011. Critical CarevNursing: A Holistic Approach Keperawatan Kritis.
Volume 1. EGC: Jakarta.
Murwani, Arita. 2012. Perawatan Pasien Penyakit dalam, Gosyen Publishing:
Yogyakarta
Muttaqin, arif. 2006. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Pernafasan,
SalembaMedika : Jakarta.
NANDA. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-NOC. Media
Hardi : Yogyakarta.

98

Paniselvam, Paramasundari. 2011. Hubungan derajat Gagal Jantung kronis Dengan


Derajat anemia Di Rumah Sakit Umum Pusat haji Adam Malik Medan. Karya
Tulis
Ilmiah.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31664/8/Cover.pdf. Diakses
tanggal 26 Maret 2014.
Perry, AnneGriffin. 2005. Buku Saku Keterampilan & Prosedur Dasar. EGC : Jakarta
Pranowo.2010. Efektivitas Batuk Efektif Dalam PengeluaranSputum untuk Penemuan
BTA pada Pasien TB paru Di ruang rawat inap rumah sakit mardi Rahayu
Kudus.Karya Tulis Ilmiah. http://eprints.undip.ac.id/10476/1/artikel.pdf.
Diakses pada tanggal 28 maret 2014
Price, A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit, EGC: Jakarta
Prihandiono, Aryani, Yuli. 2010. Pengaruh tehnik relaksasi pernafasan diafragma
terhadap penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di instalasi
rawat jalan jantung rsud dr. Harjono ponorogo.Jurnal Keperawatan.
apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/download.php?id=158.Diakses tanggal 25
maret 2014
Priyanto. 2010. Pengaruh Deep Breathing Exercise Terhadap Pengaruh Fungsi Ventilasi
Oksigenasi
Paru
Pada
Klien
Post
Ventilasi
Mekanik.Tesis.http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20284827T520PRIYANTO.pdf. Diakses tanggal 3 April 2014
Smeltzer. 2002. Keperawatan medikal Bedah Brunner dan Suddart. Volume 1. EGC.
Jakarta
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan, Salemba Medika : Jakarta
Sudoyo, Aru W dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing : Jakarta
Suradi. 2007. Pengaruh rokok pada penyakit paru obstruksi konik. Jurnal keperawatan.
si.uns.ac.id/profil/.../pengukuhan_suradi.pdf. Diakses 5 april 2014
Tarwoto, Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Salemba
Medika: Jakarta
Wilkinson. 2006. Buku saku diagnosa keperawatan. EGC : Jakarta
Williams dan Wilkins. 2011. Nursing The Series For Clinical Exellence: Memahami
Berbagai Macam Penyakit, Indeks: Jakarta
Windarti, rini. 2011. Pengaruh diafragmatic breathing exercise terhadap peningkatan
kualitas
hidup
penderita
asma.
Karya
Tulis
Ilmiah.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/3340/3.%20RIN
I%20WIDIARTI.pdf?sequence=1.Diakses tanggal 6 April 2014

Anda mungkin juga menyukai