Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang
akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data
kedalaman suatu daerah dengan menghitung waktu saat gelombang ditembakkan
sampai gelombang pantulan diterima kembali. Saat ini ada banyak tipe dari
echosounder, namun yang biasa digunakan untuk mengetahui kedalaman adalah
singlebeam echosounder dan multibeam echosounder.
Singlebeam echosounder memberikan titik-titik kedalaman sesuai dengan
stasiun perum yang ditentukan sedangkan multibeam echosounder memberikan area
kedalaman berupa kolom-kolom memanjang. Menurut International Hydrographic
Organization Spesial Publication 44 (2008) beberapa orde pekerjaan yang telah diatur
memerlukan cakupan area 100%, biasanya untuk pekerjaan tersebut maka dipilihlah
multibeam echosounder.
Ada konsekuensi tersendiri ketika memilih alat multibeam dibandingkan
dengan singlebeam. Konsekuensinya adalah pemrosesan data yang lebih kompleks.
Meskipun saat ini sudah banyak perangkat lunak yang dapat melakukan pemrosesan
data multibeam, kendala lainnya adalah mahalnya lisensi yang harus dibeli. Bila
menggunakan perangkat lunak open source, belum bisa dipastikan bahwa perangkat
lunak tersebut kinerjanya sama dengan perangkat lunak berlisensi.
MB-system merupakan salah satu perangkat lunak open source yang di
kembangkan oleh Lamont-Doherty Earth Observatory (LDEO) dan Monterey Bay
Aquarium Research Institute (MBARI) untuk keperluan penelitian. MB-System
sebagai perangkat lunak open source dapat menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi
kendala mahalnya lisensi. Untuk keperluan akademis perangkat lunak ini sangat
dianjurkan karena tidak memerlukan biaya untuk pembelian lisensi. Hal ini dapat
menguntungkan pula bagi pembuat proyek survei batimetri, dengan menggunakan

perangkat lunak ini biaya proyek dalam hal pembelian lisensi perangkat lunak tidak
diperlukan. Sehingga akan meminimalkan biaya total proyek.
Pada setiap pekerjaan selalu ditentukan terlebih dahulu kerangka acuan kerja
agar data yang dihasilkan memenuhi standar dan kualitasnya tetap terjaga sesuai
dengan kebutuhan pengguna. Pada pekerjaan ini data yang digunakan berkisar pada
kedalaman 0 sampai 50 m, sesuai dengan penentuan orde pengukuran yang di atur oleh
IHO SP 44 area pengukuran masuk pada orde spesial. Untuk dapat mempertahankan
kualitas data yang dihasilkan, maka dilakukan pekerjaan kontrol kualitas yang
mengacu pada standar yang telah ditetapkan International Hydrographic Organization
(IHO) pada International Hydrographic Organization Spesial Publication 44 (IHO
SP 44) pada orde spesial, sehingga data yang dihasilkan akan memenuhi standar dari
IHO SP 44.
Hasil akhir yang disajikan pada pekerjaan aplikatif ini berupa visualisasi 3D
yang langsung di keluarkan oleh perangkat lunak ini. Visualisasi 3D dipilih karena
tidak semua pengguna peta topografi bawah laut dapat dengan mudah mencerna peta
kontur dengan titik-titik kedalaman. Jika peta topografi dasar laut ini disajikan dengan
visualisasi 3D maka pengguna akan langsung melihat tampakan asli dari topografi area
yang dipetakan, sehingga mereka dengan mudah memahami dan mudah untuk
melakukan perencanaan lanjutan sesuai dengan keinginan mereka. Jadi hasil akhir dari
pekerjaan ini berupa visualisasi 3D dan peta batimetri yang datanya telah teruji
kualitasnya sesuai dengan standar IHO SP44.

I.2. Lingkup Kegiatan


Pada pekerjaan pengolahan data Multibeam dengan menggunakan perangkat
lunak MB-System ini, lingkup kegiatannya meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MB-System
untuk pengolahan data Multibeam echosounder.
2. Data yang dipakai merupakan data hasil pengukuran oleh BPPT di daerah
Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

3. Penyajian hasil dalam bentuk visualisasi 3D menggunakan perangkat lunak


Generic Mapping Tool (GMT) yang termasuk dalam paket Linux Poseidon,
pembuatan layout peta batimetri menggunakan QGIS.
4. Uji kualitas data mengacu pada standar IHO pada IHO Special Publication 44
tahun 2008 pada orde spesial, dengan sampel data sebanyak 40 pasang titik.
5. Hasil dari proyek ini adalah visualisasi 3D permukaan bawah laut dan peta
batimetri.
I.3. Tujuan
Kegiatan aplikatif ini bertujuan untuk menghasilkan data kedalaman dasar laut
hasil pengukuran multibeam echosounder sesuai dengan standar IHO Special
Publication 44 tahun 2008 pada orde spesial menggunakan perangkat lunak MBSystem.
I.4. Manfaat
Manfaat yang didapat dari pekerjaan aplikatif ini adalah :
1. Pemanfaatan perangkat lunak MB-System untuk penyelesaian masalah yang
sejenis terkait dengan pengolahan data hasil pengukuran multibeam
echosounder.
2. Sebagai referensi ilmu pengetahuan mengenai perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk memproses data multibeam echosounder, sehingga dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan pengembangan keilmuan
hidrografi.
I.5. Landasan Teori
I.5.1. Multibeam echosounder (MBES).
I.5.1.1. Pengertian multibeam echosounder. Multibeam echosounder adalah
sebuah instrumen hydrographic-acoustic yang digunakan untuk meningkatkan
cakupan area, konsekuensi dan produktifitas dalam pembuatan peta laut (nautical
chart). Hal ini dikarenakan banyaknya beam yang ditembakkan dalam satu kali
sapuan, dengan demikian akan terbentuk kolom-kolom yang saling bertampalan
sehingga menghasilkan cakupan area yang luas. Meskipun mempunyai prinsip yang

sama dengan singlebeam echosounder namun akurasi pengukurannya tidak lebih baik,
karena pada kenyataannya akurasi berkurang seiring dengan meningkatnya sudut
sapuan (de Jong dkk,2002).
Awal pengembangan dari sistem ini adalah pada tahun 1970. Sistem ini dapat
menghasilkan data dari wilayah yang luas secara akurat dan efektif, serta juga dapat
dipergunakan untuk aplikasi oseanografi yang lain seperti pemetaan geologi serta
investigasi ilmiah lainnya, survei ZEE dan survei untuk peletakan kabel bawah laut.
Pada tahun 1990 sistem multibeam echosounder untuk area laut dangkal mulai
dikembangkan secara pesat untuk keperluan survei laut dangkal seperti pembangunan
dermaga serta survei konstruksi saluran air yang memerlukan 100% cakupan area
dengan akurasi tinggi. Atas dasar keperluan teknik konstruksi perairan yang
berkembang, maka multibeam echosounder mulai dikembangkan secara pesat hingga
saat ini.
I.5.1.2. Prinsip kerja multibeam echosounder. Multibeam echosounder bekerja
dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dapat merambat dengan baik di bawah
air. Secara sederhana multibeam echosounder memancarkan gelombang akustik dan
kemudian akan dipantulkan kembali ketika gelombang tersebut menyentuh material di
dasar laut. Gelombang yang kembali dipantulkan akan diterima kembali oleh sensor
dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang
kembali diterima. Parameter inilah yang nanti akan diproses menjadi informasi
mengenai kedalaman air.
Dalam perkembangannya multibeam echosounder memiliki dua macam sistem
pemancaran gelombang yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep bekerja
dengan memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan
multi-single beam, sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang
yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga
dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk, 2002). Apabila sistem swath dan
sistem sweep dibandingkan, sistem swath akan menghasilkan area lebih besar pada
perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut akan

menghasilkan cakupan area yang sama. Pada gambar I.1 akan di perlihatkan perbedaan
sistem swath dan sistem sweep.

Permukaan laut
Posisi MBES

y
Dasar laut
jejak pada sudut swath
maksimum

jejak pada sudut swath


minimum (0o)

Keterangan :
D
: Kedalaman
y
: Across-track position

: Sudut Swath

: Sudut Beam
Gambar I.1. Ukuran jejak MBES versus sudut swath (Sumber : de Jong dkk, 2002)
Baik sistem swath maupun sistem sweep multibeam echosounder selalu
mempunyai alat yang bernama tranduser yang digunakan sebagai pemancar
gelombang akustik dan dilengkapi sensor untuk menangkap kembali sinyal pantulan
dari dasar laut. Tranduser ini merupakan gabungan dari beberapa projector yang
disusun sedimikian rupa membentuk seperti array (matriks). Projector ini berfungsi
sebagai saluran untuk memancarkan pulsa akustik menuju dasar laut dan pantulannya
akan diterima kembali oleh rangkaian hydrophones. Gelombang akustik yang diterima
kembali selanjutnya dianalisis oleh tranduser sehingga arah pantul gelombang yang
berbeda dapat dipisahkan. Untuk melakukan pendeteksian tersebut tranduser pada
MBES menggunakan 3 metode yaitu
interferometrik.

pendeteksian amplitudo, fase dan

Pada umumnya yang lebih banyak dipakai adalah metode interferometrik


dengan mendeteksi sudut pantul menggunakan fungsi dari waktu. Informasi waktu
menjadi penting dengan mengakumulasi sinyal akustik yang diterima dari 2 array
terpisah dan kemudian akan membentuk pola yang akan menunjukkan hubungan fase
pada setiap sinyal yang diterima. Apabila informasi ini kemudian dikombinasikan
dengan jarak maka akan didapatkan data kedalaman (Sasmita, 2008).
I.4.1.3. Kalibrasi multibeam echosounder. Pada setiap pengukuran pada
dasarnya harus dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk meminimalisir kesalahan
sistematik karena alat. Setiap pengukuran mempunyai prosedur kalibrasi yang
berbeda-beda.

Sebelum

pengukuran

kedalaman

menggunakan

multibeam

echosounder dilakukan perlu adanya kalibrasi pada alat multibeam echosounder.


Menurut presentasi dari L3 Coomunication Elac Nautik (2009) ada lima jenis kalibrasi
yang harus dilakukan sebelum pengkuran dimulai yaitu :
1. Kalibrasi nilai offset
Nilai offset sangat penting pada pengukuran menggunakan multibeam. Pada
saat pengukuran terkadang pemasangan alat tidak dalam posisi yang sama.
Setiap posisi alat didefinisikan menjadi posisi X, Y, dan Z, hal ini
menyesuaikan dengan bentuk kapal yang memiliki panjang lebar dan tinggi.
Pada gambar I.2 akan diilustrasikan pendefinisian dari sistem posisi pada
kapal.

Gambar I.2. Ilustrasi posisi pada kapal (Sumber : L3 Communication Elac Nautik,
2009)

Nilai X positif selalu di definisikan dari titik tengah kapal ke arah kiri,
sedangkan Y positif dari titik tengah ke arah depan kapal dan Z positif adalah
dari titik tengah ke arah bawah kapal. Nantinya nilai ini akan dimasukkan pada
perangkat lunak navigasi pada saat pengukuran pada bagian pendefinisian
vessel serta offset yang ada untuk alat yang digunakan.
Pada dasarnya nilai offset ini didefinisikan untuk mendapatkan nilai posisi
sebenarnya dari titik pemeruman, karena terkadang posisi GPS dan tranducer
tidak pada titik yang sama. Sehingga dari nilai offset yang ada maka akan
dihitung posisi sebenarnya pada tranducer bukan pada titik GPS dipasang.
2. Kalibrasi roll
Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi kesalahan
kedalaman akibat perubahan gerakan kapal pada arah sumbu X. Kesalahan ini
juga bisa terjadi akibat pemasangan tranduser yang tidak sama rata antara
kedua sisi (L3 Communication Elac Nautik, 2009). Figur kesalahan ini dapat
dilihat pada gambar I.3. Arah yang seharusnya benar adalah sepanjang sumbu
X namun terdapat kesalahan sebesar . Nilai ini dapat dicari dengan
persamaan (I.1)sebagai berikut :
=

...................................................................................... (I.1)

Gambar I.3. Figur kesalahan roll (Sumber : L3 Communication Elac Nautik,


2009)

3. Kalibrasi pitch
Kalibrasi pitch merupakan pekerjaan untuk meminimalisir kesalahan akibat
putaran kapal searah sumbu Y. Kesalahan ini akan mengakibatkan pergeseran
jalur akibatnya geometri dari jalur pengukuran menjadi tidak sesuai. Pada
gambar I.4 akan di ilustrasikan kesalahan pitch.

Gambar I.4. Ilustrasi kesalahan pitch (Sumber : L3 Communication Elac


Nautik, 2009)
Pada gambar I.4 jarak antara kesalahan figur pada kedua jalur disimbolkan
sebagai da. Penjelasan lebih lanjut mengenai dabisa dilihat pada gambar I.5.
Jalur 1

Jalur 2
Gambar I.5. Penjelasan mengenai da (Sumber : L3 Communication Elac
Nautik, 2009)
Pada gambar I.5. bulatan putih merupakan letak dari objek yang
sebenarnya,namun karena kesalahan pitch maka objek berubah posisi menjadi
bulatan merah. Untuk mendapatkan nilai koreksi nya yaitu pitch offset maka
bisa dicari dengan persamaan (I.2) sebagai berikut :

= arctan( 2 ) .................................................................................. (I.2)


Keterangan :

: pitch offset

da

: jarak antara dua objek yang mengalami kesalahan

: kedalaman

4. Kalibrasi yaw (Gyro)


Kalibrasi yaw adalah kalibrasi yang dilakukan untuk mengurangi kesalahan
akibat perubahan dari heading kapal sepanjang survei berjalan. Kesalahan ini
biasanya dikarenakan angin kencang yang menghempas kapal. Ilustrasi
kesalahan akibat kesalahan yaw di gambarkan pada gambar I.6.

Keterangan :
y : jarak antara objek yang
sebenarnya ke objek
yang salah
x : jarak antara jalur dengan
objek
r : jarang miring antara jalur
dengan objek yang
salah
: sudut antara objek yang
sebenarnya
dengan
objek yang salah

Gambar I.6. Ilustrasi kesalahan yaw (Sumber : L3 Communication Elac


Nautik, 2009)
5. Kalibrasi time delay
Kalibrasi ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat lamanya waktu
tunggu saat posisi dikirimkan oleh GPS dan pada saat yang hampir bersamaan
gelombang telah kembali ke tranduser, sehingga ada perbedaan posisi dan
penerimaan kedalaman. Hal ini akan menyebabkan posisi dari nilai kedalaman
menjadi tidak akurat. Berikut ini adalah ilustrasi dari kesalahan akibat time
delay :

10

Gambar I.7. Ilustrasi kesalahan akibat time delay (Sumber : L3


Communication Elac Nautik, 2009)
Kesalahan ini mirip seperti kesalahan pitch yang menyebabkan posisi bergeser
tidak pada tempatnya. Untuk mendapatkan nilai kesalahan yang terjadi maka
bisa digunakan persamaan (I.3) sebagai berikut :
=

(1)

........................................................................................ (I.3)

Keterangan :
da

: jarak antara dua posisi yang mengalami kesalahan

dt

: time delay

Vh

: kecepatan maksimum

V1

: kecepatan minimum

I.5.2. Pasang Surut


Dalam pekerjaan survei batimetri, pasang surut merupakan suatu komponen
penting dalam penetuan hasil akhir dari pekerjaan tersebut. Dalam setiap pekerjaan
survei batimetri akan dibarengi pula dengan pengamatan pasang surut pada waktu
yang sama dengan pekerjaan, atau dapat pula surveyor meminta data pada stasiun
pengamatan terdekat dalam kurun waktu yang sama dengan pada saat pekerjaan survei
dilakukan. Namun terkadang, untuk mendapatkan nilai reduksi yang valid,
pengamatan pasang surut akan dilakukan dalam waktu 15 sampai 30 hari dimana pada
selang waktu tersebut mencakup hari dimana survei dilakukan.
Dari data pengamatan pasang surut ini, nilai yang didapatkan akan digunakan
sebagai koreksi pada hasil pekerjaan survei batimetri. Hal ini dilakukan karena waktu
pekerjaan survei batimetri tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat. Waktu
pekerjaan survei ini dapat menempuh waktu sampai beberapa hari sehingga

11

permukaan laut berubah seiring dengan berjalannya waktu dikarenakan oleh pengaruh
pasang surut laut. Pasang surut laut sendiri merupakan gerakan periodik dari tubuh air
yang disebabkan oleh diferensial gaya gravitasi dari benda-benda langit (yang lebih
banyak berpengaruh matahari dan bulan) di berbagai belahan bumi yang berotasi.
Pasang surut biasanya diamati sebagai gerakan vertikal naik dan turun dari lautan yang
mempunya periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk, 2002). Karena fenomena ini
merupakan fenomena periodik, pasang surut dapat di prediksi menggunakan teori
keseimbangan yang dikembangkan oleh Newton. Teori keseimbangan ini
mengesampingkan ukuran, kedalaman, friksi, masa tanah, inersia atau massa air dan
gaya koriolis. Teori keseimbangan ini mengasumsikan bahwa bumi dibungkus oleh air
dengan kedalaman dan densitas yang sama serta ketidak berhinggaan waktu
menyebabkan keseimbangan dengan tujuan untuk menyelaraskan antar gaya
hidrostatik dan gaya atraktif laut.
Menurut de Jong dkk (2002) di seluruh perairan dunia terdapat empat macam
jenis pasang surut yaitu :
1. Diurnal : memiliki satu puncak high water dan satu lembah low water.
2. Semi-Diurnal : memililiki 2 puncak high water dan 2 lembah low water.
3. Campuran, condong ke diurnal : mempunyai 2 puncak high water dan low
water yang tidak penuh dengan spasi tidak tetap antar satu bulan penuh, atau
hanya satu puncak high water dan low water dalam satu hari.
4. Campuran, condong ke semi-diurnal : memiliki 2 puncak high water dan low
water antara satu bulan penuh dengan tinggi dan interval waktu yang tidak
teratur
Dengan demikian di setiap perairan dengan kondisi yang berbeda memiliki
jenis pasang surut yang berbeda pula. Pengklasifikasian dari jenis pasang surut tersebut
biasanya tidak hanya disebabkan faktor lintang dan bujur, namun juga disebabkan oleh
pengaruh dari bentuk topografi dasar laut pada perairan tersebut.
Dalam keilmuan geodesi pasang surut merupakan salah satu aspek penting
dalam penetuan referensi dari koordinat vertikal atau ketinggian. Dalam hal ini pada
topografi daratan, referensi ketinggian orthometrik mengacu pada geoid yang

12

merupakan model bumi yang berhimpit dengan nilai mean sea level (msl). Mean sea
level merupakan duduk tengah antara kedudukan muka air tinggi dan muka air rendah
saat bulan purnama atau saat bulan perbani (Robinson, 1894). Selain mean sea level
terdapat pula referensi koordinat vertikal yang dipakai yaitu chart datum yang
merupakan nilai muka surutan terendah dari air laut. Nilai chart datum ini hanya
dipakai sebagai referensi dari peta batimetri ataupun peta laut.
Dalam survei batimetri terdapat fungsi lain dari pasang surut selain untuk
mengkoreksi nilai kedalaman akibat perubahan muka laut seiring dengan bergulirnya
waktu pengukuran. Pasang surut juga digunakan sebagai referensi untuk reduksi
kedalaman, sehingga kedalaman yang didapat tidak hanya merupakan kedalaman lokal
namun telah merujuk pada referensi tertentu. Referensi yang dipakai pada peta
batimetri atau peta laut biasanya adalah chart datum, namun terkadang nilai mean sea
level juga dapat digunakan sebagai referensi. Chart datum lebih banyak digunakan
karena alasan keselamatan pelayaran, karena kedalaman yang di rujuk pada peta
batimetri atau peta laut sudah pada keadaan muka surutan terendah sehingga kapal
dengan aman melintasi perairan ketika laut dalam keadaan surut sekalipun.
I.5.3. Sound Velocity Profile
Multibeam echosounder bekerja dengan menggunakan gelombang akustik
yang ditembakkan ke perairan. Di dalam air gelombang akustik merambat dengan
kecepatan normal sekitar 1500 m/s, namun dalam beberapa kondisi kecepatan ini dapat
berubah menjadi lebih lambat ataupun lebih cepat, karena alasan ini pada saat
pemrosesan data multibeam harus didefinisikan nilai yang benar dari sound velocity
profile pada saat pengukuran dilaksanakan.
Sound Velocity Profile (SVP) atau profil kecepatan suara merupakan gambaran
perambatan gelombang akustik di dalam air. Di setiap perairan tentu memiliki SVP
yang berbeda-beda tergantung dari salinitas, suhu serta tekanan yang ada pada perairan
tersebut. Seperti yang telah disebutkan di atas, kecepatan suara umumnya merambat
1500 m/s di dalam air, nilai kecepatan ini meningkat seiring peningkatan salinitas,
suhu dan tekanan. Kecepatan akan meningkat 3 m/s setiap kenaikan suhu, 1,2 m/s
setiap kenaikan 1 part per thousand (ppt), dan akan naik 0,5 m/s setiap perubahan 30

13

meter kedalaman (Schmidt dkk, 2003). Karena hal tersebut perambatan gelombang
akustik di dalam air tidak pernah konstan, seperti terlihat pada gambar I.8. yang
menampilkan contoh dari profil kecepatan suara secara vertikal.

Gambar I.8. Contoh profil kecepatan suara (Sumber : Ferreira, 2013)


Dapat dilihat pada gambar tersebut ada perubahan bentuk setiap kenaikan
kedalaman, dan agak sedikit melengkung di tengah biasanya diakibatkan oleh
perubahan suhu atau salinitas, untuk perubahan tekanan akan konstan seiring
bertambahnya kedalaman. Perbedaan salinitas bisa dikarenakan beberapa faktor misal,
penumpukan sedimen dari sungai, atau pengaruh pasut yang menyebabkan
penumpukan garam hal ini menyebabkan salinitas menjadi tinggi dan menaikkan
kecepatan gelombang suara di dalam air. Sedangkan temperatur sendiri dipengaruhi
oleh pemanasan oleh matahari, pendinginan saat malam hari atau pun pengaruh hujan
sehingga temperatur dapat berubah-ubah. Jadi banyak faktor yang menyebabkan
perbedaan SVP pada setiap perairan.
Pada suatu daerah survei yang memiliki variasi kolom kedalaman akan banyak
mempengaruhi kecepatan dari gelombang akustik yang ditembakkan. Perbedaan
kolom kedalaman akan menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi
kecepatan gelombang suara yang telah disebutkan sebelumnya. Perbedaan kolom
kedalaman akan menyebabkan perbedaan salinitas temperatur dan suhu, semakin

14

dalam maka nilai suhu semakin turun dan tekanan makin meningkat sedangkan
salinitas bergantung dari komponen yang dikandung pada perairan tersebut. Setiap
perambatan gelombang akustik disetiap kolom kedalaman akan mengalami perubahan
kecepatan yang sangat kompleks dikarenakan pengaruh dari ketiga faktor tersebut,
karena setiap penambahan kedalaman perubahan dari ketiga faktor tersebut tidaklah
konstan.
Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air akan berubah seiring
dengan perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang
suara merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang
rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah dan begitu juga
sebaliknya (L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000). Penjelasan tersebut dapat
dilihat pada gambar I.9.

Gambar I.9. Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kolom
kedalaman (Sumber : L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000)
Dalam pemrosesan data multibeam, profil kecepatan suara sangatlah penting.
Jika ada kesalahan pada SVP akan menyebabkan jalur menjadi tidak horisontal atau
melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena salah dalam menentukan nilai sound

15

velocity dalam sebuah perairan yang dapat menggangu penghitungan waktu tembakan
dan penerimaan beam, akibatnya kedalaman yang tercatat menjadi tidak valid.
Tranduser memiliki hydrophones yang akan menembakkan gelombang akustik ke
permukaan bawah laut dan akan memantul kembali sehingga gelombang tersebut akan
diterima kembali oleh tranduser. Dari perjalanan gelombang tersebut tranduser akan
menghitung lamanya waktu penjalaran gelombang dalam air, apabila terdapat
kesalahan dalam menentukan kecepatan suara maka kedalaman yang akan dihitung
menjadi salah pula, bila terlalu lambat maka nilai kedalaman bisa menjadi lebih dari
yang sebenarnya dan bila terlalu cepat maka nilai kedalaman bisa saja kurang dari yang
sebenarnya. Pada gambar I.10. akan ditampilkan bagaimana bentuk jalur jika ada
kesalahan SVP.

Gambar I.10. Kenampakan jalur saat adanya kesalahan SVP (Sumber : Brennan,
2009)
Pada gambar I.10. bentuk smile atau bentuk figur setengah lingkaran yang
menghadap ke atas menunjukkan bahwa nilai SVP terlalu besar, ini mengakibatkan
kedalaman yang dihasilkan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, efek ini bisa
dilihat pada ujung-ujung beam (yang dilingkari) menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya, begitu pula sebaliknya pada bentuk frown atau bentuk figur setengah
lingkaran yang menghadap ke bawah.

16

I.5.4. Perangkat Lunak MB-System


Pada penjelasan mengenai multibeam telah disebutkan bahwa ada konsekuensi
tersendiri ketika memilih untuk memakai alat multibeam. Konsekuensinya adalah
pemrosesan data menjadi lebih rumit, namun beberapa perangkat lunak diciptakan
untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari perangkat lunak
tersebut adalah MB-System.
MB-System adalah sebuah paket perangkat lunak open sources yang digunakan
untuk mengolah dan menampilkan data citra batimetri, backscatter dari multibeam,
Interferometry dan Side Scan Sonar (Ferreira, 2013). Awalnya MB-System
dikembangkan di Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University (LDEO), namun seiring berkembangnya teknologi kini L-DEO berkolaborasi dengan
Monterey Bay Aquarium Reasearch Institute (MBARI). Namun kini MB-System telah
didukung pula perkembangannya oleh SeaBeam Instrumen dan juga National Oceanic
and Atmospheric Administration (NOAA).
Perangkat lunak ini tidak hanya dapat mengolah data multibeam echosounder,
namun dapat pula mengolah data side scan sonar. Secara umum, pengolahan data yang
dilakukan oleh perangkat lunak ini adalah berupa filterisasi data atau pembersihan data
dari data-data outlier atau data spike. Namun beberapa fitur tersembunyi dapat
digunakan untuk melakukan pemrosesan data lebih dari hal tersebut.
I.5.5. Generic Mapping Tool
Dalam pekerjaan ini tidak hanya sebatas melakukan pemrosesan data
multibeam, namun juga untuk visualisasi data akhir hasil dari pemrosesan data.
Pekerjaan tersebut dilakukan sengan menggunakan perangkat lunak lain yang juga
telah ada di dalam satu paket sistem operasi Linux Poseidon yaitu Generic Mapping
Tool. Generic Mapping Tool merupakan sebuah perangkat lunak open source yang
dikembangkan oleh Universitas Hawaii (Wessel, dkk, 2014).
Perangkat lunak ini memiliki 80 tool yang dapat digunakan untuk membuat
peta, dengan didukung oleh 40 sistem koordinat (SOEST, 2006). Perangkat lunak ini
memanfaatkan script untuk membuat peta atau bisa dibilang pengguna melukis

17

menggunakan angka. Perangkat lunak ini dapat dijalankan di sistem operasi berbasis
Linux, Windows, dan Machintos. Script yang digunakan dalam perangkat lunak ini
adalah shell script, pengguna harus mengeksekusi script tersebut sebelum memulai
untuk membuat peta. Hasil akhir dari peta tersebut berbentuk post-script yang dapat
di ubah kedalam format image apapun.
Keunggulan dari perangkat lunak ini adalah gratis, pengguna tidak diharuskan
membeli lisensi untuk menjalankan perangkat lunak ini. Dengan demikian semua
kalangan dapat menggunakan perangkat lunak ini, namun pengguna harus sedikit lebih
bersabar untuk menggunakannya karena pengguna harus membuat tampilan peta dari
command yang ditulis satu persatu.
I.5.6. Standardisasi Survei Hidrografi
Dalam setiap survei atau pengukuran yang dilakukan selalu ada standar resmi
yang telah di tetapkan untuk menjaga seluruh kualitas data hasil survei tetap baik.
Ketetapan standar ini biasanya berskala nasional maupun internasional. Dalam
keilmuan hidrografi, ketetapan internasional mengenai survei hidrografi diatur oleh
International Hidrogaphic Organization (IHO). Di indonesia sendiri standar survei ini
diatur pada SNI yang isinya pun merujuk pada ketentuan dari IHO.
I.5.6.1. International Hydrographic Organization (IHO) Standards of
hydrographic survey. International Hydrographic Organisation (IHO) merupakan
badan internasional yang mengatur mengenai standar, publikasi serta menyiapkan
saran-saran dalam bidang-bisang survei hidrografi, organisasi ini mengatur pula
mengenai produksi dari peta laut (SNI, 2010). IHO sebagai organisasi internasional
resmi di bidang hidrografi mengeluarkan standardisasi atau pokok-pokok aturan bagi
survei hidrografi yaitu IHO Special Publication 44 (IHO SP44) . Special publication
44 sendiri adalah sebuah petunjuk yang berisikan standar minimum untuk survei
hidrografi agar data survei hidrografi yang sesuai dengan standar ini cukup akurat
dengan ketidakpastian data spasial yang diukur cukup memadai untuk digunakan
secara aman oleh pelaut (komersial, militer atau rekreasi) sebagai pengguna utama
informasi ini (IHO SP44, 2008).

18

Seiring dengan berjalannya waktu, teknologi dalam dunia hidrografi makin


berkembang pula sehingga terjadi banyak revisi atau perubahan susunan maupun isi
dari IHO SP44. Dari awal penerbitannya pada tahun 1968, IHO SP44 telah
menerbitkan 5 edisi sampai pada tahun 2008. IHO SP44 yang di terbitkan pada tahun
2008 merupakan edisi paling baru yang telas disesuaikan dengan kondisi teknologi
saat ini, dan panduan mengenai standar minimal survei yang harus dilakukan pun
menjadi lebih baik.
I.5.6.2. Standar Nasional Indonesia (SNI). Indonesia sebagai salah satu negara
dengan mayoritas wilayahnya terdiri dari perairan memiliki acuan sendiri mengenai
pelaksanaan survei hidrografi sebagai penunjang keselamatan dalam pelayaran. Acuan
yang ditetapkan ini disusun dalam sebuah Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
isinya tetap merujuk pada ketentuan dari IHO. SNI dikeluarkan oleh Badan
Standardisasi Nasional Indonesia, yang sebelumnya dirancang terlebih dahulu oleh
ahli survei hidrografi dan maritim Indonesia.
SNI yang mengatur mengenai survei hidrografi adalah SNI 7646-2010. Secara
umum SNI 7646-2010 hanya mengatur mengenai survei hidrografi dengan
menggunakan singlebeam echosounder, karena saat ini di Indonesia alat ini adalah
yang paling banyak digunakan (Pramanda, 2013). Ketetapan dalam SNI meliputi
ketentuan prosedur pelaksanaan, pengolahan data, penyimpanan data dan penyajian
data serta pelaporan hasil dari survei hidrografi.
I.5.7. Uji Kualitas Data Pemeruman
Pada data multibeam terdapat daerah yang saling bertampalan, seperti pada
lajur silang singlebeam, pada dasarnya nilai kedalaman pada daerah yang bertampalan
antara lajur kanan dan kiri adalah sama. Pada kenyataannya pengukuran tidak ada yang
sempurna pasti terdapat kesalahan di setiap pengukuran. Untuk menjaga kualitas data
tetap baik maka pada daerah yang bertampalan tersebut diuji kualitasnya dengan acuan
yang telah ditetapkan oleh IHO dan SNI. Meskipun ketetapan ini berlaku untuk
singlebeam, namun karena prinsipnya yang sama jadi acuan ini juga bisa dipakai untuk
menguji kualitan data pada pertampalan lajur pada data multibeam echosounder.

19

Acuan yang ditetapkan pada IHO dan SNI merupakan uji dengan tingkat
kepercayaan 95%, persamaan yang digunakan adalah persamaan (I.4) sebagai berikut:
2 + ( )2 ................................................................................................ (I.4)
Keterangan :
a

: kesalahan independen

: faktor kesalahan kedalaman yang dependen

: kedalaman rata-rata

(bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan


kedalaman yang dependen)
Konstanta a dan b yang akan digunakan dalam persamaan tersebut harus
disesuaikan dengan orde survei yang telah diatur oleh IHO, konstanta tersebut akan
diberikan pada tabel I.1.
Tabel I.1. Konstanta ketelitian kedalaman
Orde
konstanta

Spesial
a = 0,25

b = 0,0075
(sumber: IHO SP44, 2008)

1
a = 0,5

1b
a = 0,5

2
a = 1,0

b = 0,013

b = 0,013

b = 0,023

Uji ini dilakukan dengan mengambil 40 pasang sampel acak pada area
pertampalan dua lajur. 40 pasang sampel acak ini diambil dari 2 titik beda lajur yang
berdekatan ataupun pada posisi yang sama. Dari 2 titik sampel beda lajur yang
berdekatan tersebut yaitu Hn dan Hn-1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama.
Kemudian dari asumsi tersebut dicari selisih atara Hn dan Hn-1 . dari selisih tersebut
dicari nilai rata-rata dan rata-rata absolut, kemudian nilai standar deviasinya. Pada
persamaan (I.5) disajikan persamaan untuk rata-rata dan persamaan (I.6) adalah
persamaan standar deviasi. Berikut ini adalah persamaan tersebut :
a. Rata-rata
=

( 1 )

b. Standar deviasi

........................................................................................ (I.5)

20

( )2
1

........................................................................................... (I.6)

Keterangan :
S

: Standar deviasi

Hn

: Kedalaman lajur 2

Hn-1 : Kedalaman lajur 1

: rata-rata

Hi

: beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2

: banyaknya sampel
Selanjutnya dihitung nilai kesalahan beda kedalaman dengan tingkat

kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96 x S.
Kualitas di uji berdasarkan hasil dari nilai kesalahan beda kedalaman tersebut, jika
hasilnya masih dibawah dari toleransi pada persamaan (I.4) maka data tersebut masih
diterima dalam batas toleransi, dan juga sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai