PENDAHULUAN
perangkat lunak ini biaya proyek dalam hal pembelian lisensi perangkat lunak tidak
diperlukan. Sehingga akan meminimalkan biaya total proyek.
Pada setiap pekerjaan selalu ditentukan terlebih dahulu kerangka acuan kerja
agar data yang dihasilkan memenuhi standar dan kualitasnya tetap terjaga sesuai
dengan kebutuhan pengguna. Pada pekerjaan ini data yang digunakan berkisar pada
kedalaman 0 sampai 50 m, sesuai dengan penentuan orde pengukuran yang di atur oleh
IHO SP 44 area pengukuran masuk pada orde spesial. Untuk dapat mempertahankan
kualitas data yang dihasilkan, maka dilakukan pekerjaan kontrol kualitas yang
mengacu pada standar yang telah ditetapkan International Hydrographic Organization
(IHO) pada International Hydrographic Organization Spesial Publication 44 (IHO
SP 44) pada orde spesial, sehingga data yang dihasilkan akan memenuhi standar dari
IHO SP 44.
Hasil akhir yang disajikan pada pekerjaan aplikatif ini berupa visualisasi 3D
yang langsung di keluarkan oleh perangkat lunak ini. Visualisasi 3D dipilih karena
tidak semua pengguna peta topografi bawah laut dapat dengan mudah mencerna peta
kontur dengan titik-titik kedalaman. Jika peta topografi dasar laut ini disajikan dengan
visualisasi 3D maka pengguna akan langsung melihat tampakan asli dari topografi area
yang dipetakan, sehingga mereka dengan mudah memahami dan mudah untuk
melakukan perencanaan lanjutan sesuai dengan keinginan mereka. Jadi hasil akhir dari
pekerjaan ini berupa visualisasi 3D dan peta batimetri yang datanya telah teruji
kualitasnya sesuai dengan standar IHO SP44.
sama dengan singlebeam echosounder namun akurasi pengukurannya tidak lebih baik,
karena pada kenyataannya akurasi berkurang seiring dengan meningkatnya sudut
sapuan (de Jong dkk,2002).
Awal pengembangan dari sistem ini adalah pada tahun 1970. Sistem ini dapat
menghasilkan data dari wilayah yang luas secara akurat dan efektif, serta juga dapat
dipergunakan untuk aplikasi oseanografi yang lain seperti pemetaan geologi serta
investigasi ilmiah lainnya, survei ZEE dan survei untuk peletakan kabel bawah laut.
Pada tahun 1990 sistem multibeam echosounder untuk area laut dangkal mulai
dikembangkan secara pesat untuk keperluan survei laut dangkal seperti pembangunan
dermaga serta survei konstruksi saluran air yang memerlukan 100% cakupan area
dengan akurasi tinggi. Atas dasar keperluan teknik konstruksi perairan yang
berkembang, maka multibeam echosounder mulai dikembangkan secara pesat hingga
saat ini.
I.5.1.2. Prinsip kerja multibeam echosounder. Multibeam echosounder bekerja
dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dapat merambat dengan baik di bawah
air. Secara sederhana multibeam echosounder memancarkan gelombang akustik dan
kemudian akan dipantulkan kembali ketika gelombang tersebut menyentuh material di
dasar laut. Gelombang yang kembali dipantulkan akan diterima kembali oleh sensor
dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang
kembali diterima. Parameter inilah yang nanti akan diproses menjadi informasi
mengenai kedalaman air.
Dalam perkembangannya multibeam echosounder memiliki dua macam sistem
pemancaran gelombang yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep bekerja
dengan memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan
multi-single beam, sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang
yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga
dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk, 2002). Apabila sistem swath dan
sistem sweep dibandingkan, sistem swath akan menghasilkan area lebih besar pada
perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut akan
menghasilkan cakupan area yang sama. Pada gambar I.1 akan di perlihatkan perbedaan
sistem swath dan sistem sweep.
Permukaan laut
Posisi MBES
y
Dasar laut
jejak pada sudut swath
maksimum
Keterangan :
D
: Kedalaman
y
: Across-track position
: Sudut Swath
: Sudut Beam
Gambar I.1. Ukuran jejak MBES versus sudut swath (Sumber : de Jong dkk, 2002)
Baik sistem swath maupun sistem sweep multibeam echosounder selalu
mempunyai alat yang bernama tranduser yang digunakan sebagai pemancar
gelombang akustik dan dilengkapi sensor untuk menangkap kembali sinyal pantulan
dari dasar laut. Tranduser ini merupakan gabungan dari beberapa projector yang
disusun sedimikian rupa membentuk seperti array (matriks). Projector ini berfungsi
sebagai saluran untuk memancarkan pulsa akustik menuju dasar laut dan pantulannya
akan diterima kembali oleh rangkaian hydrophones. Gelombang akustik yang diterima
kembali selanjutnya dianalisis oleh tranduser sehingga arah pantul gelombang yang
berbeda dapat dipisahkan. Untuk melakukan pendeteksian tersebut tranduser pada
MBES menggunakan 3 metode yaitu
interferometrik.
Sebelum
pengukuran
kedalaman
menggunakan
multibeam
Gambar I.2. Ilustrasi posisi pada kapal (Sumber : L3 Communication Elac Nautik,
2009)
Nilai X positif selalu di definisikan dari titik tengah kapal ke arah kiri,
sedangkan Y positif dari titik tengah ke arah depan kapal dan Z positif adalah
dari titik tengah ke arah bawah kapal. Nantinya nilai ini akan dimasukkan pada
perangkat lunak navigasi pada saat pengukuran pada bagian pendefinisian
vessel serta offset yang ada untuk alat yang digunakan.
Pada dasarnya nilai offset ini didefinisikan untuk mendapatkan nilai posisi
sebenarnya dari titik pemeruman, karena terkadang posisi GPS dan tranducer
tidak pada titik yang sama. Sehingga dari nilai offset yang ada maka akan
dihitung posisi sebenarnya pada tranducer bukan pada titik GPS dipasang.
2. Kalibrasi roll
Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi kesalahan
kedalaman akibat perubahan gerakan kapal pada arah sumbu X. Kesalahan ini
juga bisa terjadi akibat pemasangan tranduser yang tidak sama rata antara
kedua sisi (L3 Communication Elac Nautik, 2009). Figur kesalahan ini dapat
dilihat pada gambar I.3. Arah yang seharusnya benar adalah sepanjang sumbu
X namun terdapat kesalahan sebesar . Nilai ini dapat dicari dengan
persamaan (I.1)sebagai berikut :
=
...................................................................................... (I.1)
3. Kalibrasi pitch
Kalibrasi pitch merupakan pekerjaan untuk meminimalisir kesalahan akibat
putaran kapal searah sumbu Y. Kesalahan ini akan mengakibatkan pergeseran
jalur akibatnya geometri dari jalur pengukuran menjadi tidak sesuai. Pada
gambar I.4 akan di ilustrasikan kesalahan pitch.
Jalur 2
Gambar I.5. Penjelasan mengenai da (Sumber : L3 Communication Elac
Nautik, 2009)
Pada gambar I.5. bulatan putih merupakan letak dari objek yang
sebenarnya,namun karena kesalahan pitch maka objek berubah posisi menjadi
bulatan merah. Untuk mendapatkan nilai koreksi nya yaitu pitch offset maka
bisa dicari dengan persamaan (I.2) sebagai berikut :
: pitch offset
da
: kedalaman
Keterangan :
y : jarak antara objek yang
sebenarnya ke objek
yang salah
x : jarak antara jalur dengan
objek
r : jarang miring antara jalur
dengan objek yang
salah
: sudut antara objek yang
sebenarnya
dengan
objek yang salah
10
(1)
........................................................................................ (I.3)
Keterangan :
da
dt
: time delay
Vh
: kecepatan maksimum
V1
: kecepatan minimum
11
permukaan laut berubah seiring dengan berjalannya waktu dikarenakan oleh pengaruh
pasang surut laut. Pasang surut laut sendiri merupakan gerakan periodik dari tubuh air
yang disebabkan oleh diferensial gaya gravitasi dari benda-benda langit (yang lebih
banyak berpengaruh matahari dan bulan) di berbagai belahan bumi yang berotasi.
Pasang surut biasanya diamati sebagai gerakan vertikal naik dan turun dari lautan yang
mempunya periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk, 2002). Karena fenomena ini
merupakan fenomena periodik, pasang surut dapat di prediksi menggunakan teori
keseimbangan yang dikembangkan oleh Newton. Teori keseimbangan ini
mengesampingkan ukuran, kedalaman, friksi, masa tanah, inersia atau massa air dan
gaya koriolis. Teori keseimbangan ini mengasumsikan bahwa bumi dibungkus oleh air
dengan kedalaman dan densitas yang sama serta ketidak berhinggaan waktu
menyebabkan keseimbangan dengan tujuan untuk menyelaraskan antar gaya
hidrostatik dan gaya atraktif laut.
Menurut de Jong dkk (2002) di seluruh perairan dunia terdapat empat macam
jenis pasang surut yaitu :
1. Diurnal : memiliki satu puncak high water dan satu lembah low water.
2. Semi-Diurnal : memililiki 2 puncak high water dan 2 lembah low water.
3. Campuran, condong ke diurnal : mempunyai 2 puncak high water dan low
water yang tidak penuh dengan spasi tidak tetap antar satu bulan penuh, atau
hanya satu puncak high water dan low water dalam satu hari.
4. Campuran, condong ke semi-diurnal : memiliki 2 puncak high water dan low
water antara satu bulan penuh dengan tinggi dan interval waktu yang tidak
teratur
Dengan demikian di setiap perairan dengan kondisi yang berbeda memiliki
jenis pasang surut yang berbeda pula. Pengklasifikasian dari jenis pasang surut tersebut
biasanya tidak hanya disebabkan faktor lintang dan bujur, namun juga disebabkan oleh
pengaruh dari bentuk topografi dasar laut pada perairan tersebut.
Dalam keilmuan geodesi pasang surut merupakan salah satu aspek penting
dalam penetuan referensi dari koordinat vertikal atau ketinggian. Dalam hal ini pada
topografi daratan, referensi ketinggian orthometrik mengacu pada geoid yang
12
merupakan model bumi yang berhimpit dengan nilai mean sea level (msl). Mean sea
level merupakan duduk tengah antara kedudukan muka air tinggi dan muka air rendah
saat bulan purnama atau saat bulan perbani (Robinson, 1894). Selain mean sea level
terdapat pula referensi koordinat vertikal yang dipakai yaitu chart datum yang
merupakan nilai muka surutan terendah dari air laut. Nilai chart datum ini hanya
dipakai sebagai referensi dari peta batimetri ataupun peta laut.
Dalam survei batimetri terdapat fungsi lain dari pasang surut selain untuk
mengkoreksi nilai kedalaman akibat perubahan muka laut seiring dengan bergulirnya
waktu pengukuran. Pasang surut juga digunakan sebagai referensi untuk reduksi
kedalaman, sehingga kedalaman yang didapat tidak hanya merupakan kedalaman lokal
namun telah merujuk pada referensi tertentu. Referensi yang dipakai pada peta
batimetri atau peta laut biasanya adalah chart datum, namun terkadang nilai mean sea
level juga dapat digunakan sebagai referensi. Chart datum lebih banyak digunakan
karena alasan keselamatan pelayaran, karena kedalaman yang di rujuk pada peta
batimetri atau peta laut sudah pada keadaan muka surutan terendah sehingga kapal
dengan aman melintasi perairan ketika laut dalam keadaan surut sekalipun.
I.5.3. Sound Velocity Profile
Multibeam echosounder bekerja dengan menggunakan gelombang akustik
yang ditembakkan ke perairan. Di dalam air gelombang akustik merambat dengan
kecepatan normal sekitar 1500 m/s, namun dalam beberapa kondisi kecepatan ini dapat
berubah menjadi lebih lambat ataupun lebih cepat, karena alasan ini pada saat
pemrosesan data multibeam harus didefinisikan nilai yang benar dari sound velocity
profile pada saat pengukuran dilaksanakan.
Sound Velocity Profile (SVP) atau profil kecepatan suara merupakan gambaran
perambatan gelombang akustik di dalam air. Di setiap perairan tentu memiliki SVP
yang berbeda-beda tergantung dari salinitas, suhu serta tekanan yang ada pada perairan
tersebut. Seperti yang telah disebutkan di atas, kecepatan suara umumnya merambat
1500 m/s di dalam air, nilai kecepatan ini meningkat seiring peningkatan salinitas,
suhu dan tekanan. Kecepatan akan meningkat 3 m/s setiap kenaikan suhu, 1,2 m/s
setiap kenaikan 1 part per thousand (ppt), dan akan naik 0,5 m/s setiap perubahan 30
13
meter kedalaman (Schmidt dkk, 2003). Karena hal tersebut perambatan gelombang
akustik di dalam air tidak pernah konstan, seperti terlihat pada gambar I.8. yang
menampilkan contoh dari profil kecepatan suara secara vertikal.
14
dalam maka nilai suhu semakin turun dan tekanan makin meningkat sedangkan
salinitas bergantung dari komponen yang dikandung pada perairan tersebut. Setiap
perambatan gelombang akustik disetiap kolom kedalaman akan mengalami perubahan
kecepatan yang sangat kompleks dikarenakan pengaruh dari ketiga faktor tersebut,
karena setiap penambahan kedalaman perubahan dari ketiga faktor tersebut tidaklah
konstan.
Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air akan berubah seiring
dengan perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang
suara merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang
rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah dan begitu juga
sebaliknya (L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000). Penjelasan tersebut dapat
dilihat pada gambar I.9.
Gambar I.9. Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kolom
kedalaman (Sumber : L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000)
Dalam pemrosesan data multibeam, profil kecepatan suara sangatlah penting.
Jika ada kesalahan pada SVP akan menyebabkan jalur menjadi tidak horisontal atau
melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena salah dalam menentukan nilai sound
15
velocity dalam sebuah perairan yang dapat menggangu penghitungan waktu tembakan
dan penerimaan beam, akibatnya kedalaman yang tercatat menjadi tidak valid.
Tranduser memiliki hydrophones yang akan menembakkan gelombang akustik ke
permukaan bawah laut dan akan memantul kembali sehingga gelombang tersebut akan
diterima kembali oleh tranduser. Dari perjalanan gelombang tersebut tranduser akan
menghitung lamanya waktu penjalaran gelombang dalam air, apabila terdapat
kesalahan dalam menentukan kecepatan suara maka kedalaman yang akan dihitung
menjadi salah pula, bila terlalu lambat maka nilai kedalaman bisa menjadi lebih dari
yang sebenarnya dan bila terlalu cepat maka nilai kedalaman bisa saja kurang dari yang
sebenarnya. Pada gambar I.10. akan ditampilkan bagaimana bentuk jalur jika ada
kesalahan SVP.
Gambar I.10. Kenampakan jalur saat adanya kesalahan SVP (Sumber : Brennan,
2009)
Pada gambar I.10. bentuk smile atau bentuk figur setengah lingkaran yang
menghadap ke atas menunjukkan bahwa nilai SVP terlalu besar, ini mengakibatkan
kedalaman yang dihasilkan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, efek ini bisa
dilihat pada ujung-ujung beam (yang dilingkari) menjadi lebih pendek dari yang
seharusnya, begitu pula sebaliknya pada bentuk frown atau bentuk figur setengah
lingkaran yang menghadap ke bawah.
16
17
menggunakan angka. Perangkat lunak ini dapat dijalankan di sistem operasi berbasis
Linux, Windows, dan Machintos. Script yang digunakan dalam perangkat lunak ini
adalah shell script, pengguna harus mengeksekusi script tersebut sebelum memulai
untuk membuat peta. Hasil akhir dari peta tersebut berbentuk post-script yang dapat
di ubah kedalam format image apapun.
Keunggulan dari perangkat lunak ini adalah gratis, pengguna tidak diharuskan
membeli lisensi untuk menjalankan perangkat lunak ini. Dengan demikian semua
kalangan dapat menggunakan perangkat lunak ini, namun pengguna harus sedikit lebih
bersabar untuk menggunakannya karena pengguna harus membuat tampilan peta dari
command yang ditulis satu persatu.
I.5.6. Standardisasi Survei Hidrografi
Dalam setiap survei atau pengukuran yang dilakukan selalu ada standar resmi
yang telah di tetapkan untuk menjaga seluruh kualitas data hasil survei tetap baik.
Ketetapan standar ini biasanya berskala nasional maupun internasional. Dalam
keilmuan hidrografi, ketetapan internasional mengenai survei hidrografi diatur oleh
International Hidrogaphic Organization (IHO). Di indonesia sendiri standar survei ini
diatur pada SNI yang isinya pun merujuk pada ketentuan dari IHO.
I.5.6.1. International Hydrographic Organization (IHO) Standards of
hydrographic survey. International Hydrographic Organisation (IHO) merupakan
badan internasional yang mengatur mengenai standar, publikasi serta menyiapkan
saran-saran dalam bidang-bisang survei hidrografi, organisasi ini mengatur pula
mengenai produksi dari peta laut (SNI, 2010). IHO sebagai organisasi internasional
resmi di bidang hidrografi mengeluarkan standardisasi atau pokok-pokok aturan bagi
survei hidrografi yaitu IHO Special Publication 44 (IHO SP44) . Special publication
44 sendiri adalah sebuah petunjuk yang berisikan standar minimum untuk survei
hidrografi agar data survei hidrografi yang sesuai dengan standar ini cukup akurat
dengan ketidakpastian data spasial yang diukur cukup memadai untuk digunakan
secara aman oleh pelaut (komersial, militer atau rekreasi) sebagai pengguna utama
informasi ini (IHO SP44, 2008).
18
19
Acuan yang ditetapkan pada IHO dan SNI merupakan uji dengan tingkat
kepercayaan 95%, persamaan yang digunakan adalah persamaan (I.4) sebagai berikut:
2 + ( )2 ................................................................................................ (I.4)
Keterangan :
a
: kesalahan independen
: kedalaman rata-rata
Spesial
a = 0,25
b = 0,0075
(sumber: IHO SP44, 2008)
1
a = 0,5
1b
a = 0,5
2
a = 1,0
b = 0,013
b = 0,013
b = 0,023
Uji ini dilakukan dengan mengambil 40 pasang sampel acak pada area
pertampalan dua lajur. 40 pasang sampel acak ini diambil dari 2 titik beda lajur yang
berdekatan ataupun pada posisi yang sama. Dari 2 titik sampel beda lajur yang
berdekatan tersebut yaitu Hn dan Hn-1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama.
Kemudian dari asumsi tersebut dicari selisih atara Hn dan Hn-1 . dari selisih tersebut
dicari nilai rata-rata dan rata-rata absolut, kemudian nilai standar deviasinya. Pada
persamaan (I.5) disajikan persamaan untuk rata-rata dan persamaan (I.6) adalah
persamaan standar deviasi. Berikut ini adalah persamaan tersebut :
a. Rata-rata
=
( 1 )
b. Standar deviasi
........................................................................................ (I.5)
20
( )2
1
........................................................................................... (I.6)
Keterangan :
S
: Standar deviasi
Hn
: Kedalaman lajur 2
: rata-rata
Hi
: banyaknya sampel
Selanjutnya dihitung nilai kesalahan beda kedalaman dengan tingkat
kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96 x S.
Kualitas di uji berdasarkan hasil dari nilai kesalahan beda kedalaman tersebut, jika
hasilnya masih dibawah dari toleransi pada persamaan (I.4) maka data tersebut masih
diterima dalam batas toleransi, dan juga sebaliknya.