Anda di halaman 1dari 6

1.

4 Kasus 4
1. Surgical disaster in temporomandibular joint: Case report
a. Kasus
Seorang pasien wanita berkebangsaan Brasil usia 22 tahun dibawa ke klinik tiga
bulan setelah menjalani operasi di tempat pelayanan kesehatan lain untuk
memperbaiki congenital bilateral TMJ Ankylosis dengan penempatan acrylic
spheres, sekrup titanium kondilar dan plate di kedua sendi.
Pendekatan pra tragal dilakukan untuk melakukan operasi ini dengan diseksi
subfasia. Ankilosis sendi temporomandibular telah dihilangkan dan ditempatkan
prostesis yang terbuat dari akrilik dalam format bola untuk mengisi ruang kosong
yang diciptakan oleh prosedur ini. Kondilus menjadi retak selama operasi dan
membutuhkan fiksasi lebih lanjut dengan plate titanium dan sekrup.
Selain mengeluhkan kurangnya gerakan wajah dan gangguan pendengaran pada
sisi kanan segera setelah operasi, pasien melaporkan telah mengalami kebocoran
cerebrospinal di telinga kanan, diterapi dengan lumbar shunt, yang menutup secara
spontan selama satu bulan pertama. Selama pemeriksaan fisik pasien menunjukkan
kelumpuhan saraf perifer grade IV (skala House-Brackmann) sebelah kanan.
Otoscopy menunjukkan sendi prostetik tertutup oleh jaringan lunak yang menonjol
dan memblokir seluruh kanalis auditori eksternal. Tes audiometri menunjukkan
ketulian di sisi kanan dan pendengaran normal di sisi kiri. Electromyography
sebelumnya menunjukkan kerusakan total pada saraf wajah sebelah kanan tanpa
tanda-tanda reinervasi. CT scan menunjukkan kerusakan yang luas di wilayah
dasar tengkorak lateral yang melibatkan telinga tengah dan dalam serta middle
fossa floor.
Setelah evaluasi yang cermat dari tulang temporal menggunakan computed
tomography resolusi tinggi, dapat diamati situasi berikut : diskontinuitas
disepanjang tepi atas tulang temporal kanan, yang menunjukkan area yang
menghubungkan antara lantai fossa tengah dan lokasi pembedahan. Tanda-tanda
kalsifikasi diamati sekitar koklea kanan, terutama dalam pergantian basal, yang
kompatibel dengan labyrinthitis ossificans. Ada juga bahan hiperdens yang
diproyeksikan disebelah vestibul dan oval window yang mungkin sesuai dengan
bahan yang digunakan selama operasi atau kalsifikasi residual. Harus dicatat juga
bahwa ada sedikit penyempitan pada sisa dari kanalis karotis kanan (dibandingkan
dengan sisi kontralateral) yang sesuai dengan perubahan konstitusi pasien.
Intracranial carotis angiography dibutuhkan untuk mengkonfirmasi kemungkinan
cedera iatrogenik pada arteri carotid kanan.
Tuba eustachius tidak berubah selama evaluasi radiologi. Gross calcification
juga diamati berdekatan dengan rantai tulang pendengaran di telinga kanan
kompatibel dengan timpanosklerosis.
Sebuah operasi perbaikan saraf wajah ditawarkan kepada pasien, namun karena
kemungkinan kehilangan prostesis dalam prosedur ini, pasien menolak operasi.
Selama 8 tahun follow-up telinga kanan tetap tuli, pembukaan mulut 2,5 cm dan
kelumpuhan saraf wajah grade III (skala House-Brackmann) sisi kanan, dengan
beberapa sinkinesis dan spastisitas otot orolabial.
Jadi setelah kesimpulan dari evaluasi klinis (pembukaan mulut 2,5 cm, tidak ada
rasa sakit) dan mempertimbangkan keputusan pasien, dokter memutuskan hanya
melakukan follow-up klinis tanpa penggantian prostesis atau pendekatan bedah
lainnya dari ankilosis sendi temporomandibular.
b. Diskusi

Dalam literatur medis ada beberapa statistik tentang komplikasi dari operasi
ATM, dengan deskripsi berkisar antara 17 sampai 25%.
TMJ memiliki hubungan dekat dengan dasar tengkorak lateral dan struktur di
daerah ini. Telinga tengah dan tulang-tulangnya, telinga bagian dalam dan
komponen sensorineuralnya, saraf wajah dan arteri karotid di jalur
intratemporalnya termasuk dalam elemen yang paling berisiko dalam prosedur
bedah TMJ. Pengetahuan anatomi telah menunjukkan hubungan embriologis yang
dekat, hubungan anatomi dan fungsional antara TMJ dan telinga tengah. TMJ
stratum superior melekat pada posterior tulang rawan meatus auditori, fascia
kelenjar parotis dan tulang meatus auditori dengan variasi anatomi. Sebagai
tambahan, perlekatan superior kapsul dibatasi dengan tulang temporal.
Dalam literatur medis, komplikasi tulang ekstratemporal dilaporkan dalam
operasi TMJ seperti abses cervicomediastinal, pneumomediastinum, emfisema
subkutan dan fistula parotis. Di antara potensi risiko terbesar dari prosedur ini,
komplikasi lesi vaskular di temporal superfisial, arteri maxillary internal dan arteri
meningeal media mungkin serius atau bahkan fatal.
Semakin diterima bahwa pengobatan terbaik untuk penggantian ankilosis sendi
adalah dengan prostetik total , dengan kedua komponen, cabang dan fossa. Namun,
isu ini masih dalam pembahasan dan masih tidak ada bukti yang menunjukkan apa
yang merupakan pilihan terbaik.
Berbagai teknik telah dikutip dari literatur untuk pengobatan patologi ini, seperti
artroplasti sederhana, penempatan dan rekonstruksi sendi dengan bahan alloplastic
atau autogenous. Berbagai teknik yang digunakan selama bertahun-tahun,
menunjukkan betapa sulitnya untuk menemukan metode yang memuaskan untuk
rekonstruksi TMJ. Biasanya jenis operasi dan bahan yang digunakan bervariasi dari
satu negara dengan negara lain, namun tujuannya sama.
Bahkan intervensi yang kurang invasif seperti artroskopi TMJ dapat
menyebabkan keterlibatan telinga. Namun meskipun komplikasi serupa telah
dijelaskan, situasi dengan kebocoran cairan serebrospinal, kelumpuhan saraf wajah
dan gangguan pendengaran yang mendalam tidak ditemukan dalam literatur. Lesi
sekunder yang luas pada operasi dalam kasus ini menunjukkan diseksi anatomi
dilakukan tanpa referensi.
Setelah operasi reduksi untuk fraktur condylar, Lim melaporkan adanya kawat
Kirschner di fossa tengah. Mengingat hubungan anatomi, pada ankilosis diseksi
hati-hati dan penggunaan bor diperlukan karena batas duramater dan otak yang
tidak jelas.
Menurut Yu, penggunaan panduan navigasi dibantu komputer memungkinkan
eksisi aman dari pembentukan tulang baru yang luas dalam kompleks anatomi
dasar tengkorak dalam kasus-kasus ankilosis TMJ. Reseksi dengan panduan
navigasi dari tulang yang mengalami ankilosis dianjurkan dalam jenis operasi ini
untuk mengurangi potensi risiko dari prosedur. Dampak estetika, fungsional dan
psikologis dari kelumpuhan saraf wajah bisa menyebabkan ketidakmampuan,
bahkan lebih daripada yang disebabkan oleh ankilosis. Dalam prosedur ini, resiko
kerusakan dari bagian ekstratemporal saraf wajah lebih tinggi daripada bagian
kanalis Fallopi yang memiliki lokasi yang konstan dan lebih mudah diidentifikasi.
Dalam situasi ekstrim, sebagai tindakan preventif yang tepat, disarankan
mengidentifikasi jalannya saraf wajah di telinga tengah ke parotis.
Gangguan pendengaran sensorineural dibuktikan sebagai akibat dari kehancuran
pergantian koklea basal dalam prosedur ini. Menurut pendapat kami, tidak ada
pembenaran untuk luka dari kapsul otic seperti ini. Pengetahuan yang dalam dan

komprehensif mengenai struktur ini, pendekatan bedah, fisiologi dan patologi


diperlukan untuk memperoleh hasil pengobatan yang memuaskan dan semua
dokter dari berbagai spesialisasi yang terlibat dalam perawatan pasien harus
menyadari kondisi akut ini.
Rekonstruksi TMJ, yang tetap menjadi tantangan utama dalam bedah kepala dan
leher, dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik dengan bahan
autogenous atau alloplastic.
Menurut Ebrahimi,tidak ada gold standart yang ditetapkan untuk operasi ini, dan
hasil rekonstruksi ramus-kondilus dengan gangguan osteogenesis menunjukkan
bahwa ini bisa menjadi teknik standar pada pasien tertentu. Meskipun hasil
penelitian menunjukkan hasil yang kurang dapat diprediksi, costochondral grafting
merupakan metode pilihan pada anak-anak. Menurut Loveless hasil fungsional dan
pengurangan nyeri pada pasien dengan ankilosis TMJ yang diobati dengan
menggunakan prostetik total atau gap artroplasti akan sama. Hasil fungsional yang
baik dari rekonstruksi prostetik mencerminkan kemajuan yang dibuat dalam bahan
dan teknik bedah. Meskipun penggunaan pelat rekonstruksi dengan logam kondilus
terisolasi di fossa glenoid dengan disc alami menunjukkan stabilitas pada destruksi
TMJ yang disebabkan oleh tumor atau trauma, dianjurkan penggunaan total
prostesis (fossa Glenoid dan kondilus) untuk rekonstruksi TMJ alloplastic, dalam
kasus-kasus ankilosis serta pada pasien dengan penyakit degeneratif lanjut,
kerusakan condylar pasca traumatik atau beberapa operasi. Kurangnya studi yang
membandingkan hasil fungsional jangka panjang dari berbagai jenis prostesis yang
tersedia menentukan pilihan sistem yang akan digunakan untuk pengalaman
pribadi masing-masing ahli bedah.
2. Recurrent bilateral TMJ dislocation in a 20-month-old child: A rare case presentation
a. Kasus
Seorang anak usia 20 bulan dirujuk ke Departemen Bedah Mulut dan
Maksilofasial DAV (C) Dental College and Hospital Yamuna Nagar, Haryana,
India dengan riwayat ketidakmampuan untuk menutup mulut selama 20 jam.
Riwayat lengkap mengungkapkan bahwa pasien menderita trauma di daerah dagu
karena jatuh yang kemudian menyebabkan ketidakmampuan untuk menutup mulut.
Pada pemeriksaan klinis, pasien mengungkapkan ketidakmampuan untuk
menggigit, rahang bawah menonjol, gigitan terbuka anterior dan meneteskan air
liur. Pasien tidak mampu berbicara, minum atau makan dengan benar. Untuk
mengkonfirmasi pemeriksaan klinis dan untuk menyingkirkan fraktur mandibula,
dilakukan pemeriksaan radiografi. Karena anak tidak kooperatif, tidak dapat
diperoleh orthopantomogram dan GE HiSPEED CT scan dilakukan dimana seri
tipis 1/1mm diambil dari dasar tengkorak ke batas bawah mandibula. Scan
mengungkapkan bahwa kedua fossa rahang bawah kosong sebab kepala condylar
mengalami anterior displaced. Tidak ada bukti fraktur mandibula.
Anak tersebut segera dikonsultasikan pada bagian pediatrik. Dislokasi ditangani
secara manual dengan sedasi ringan dengan melakukan tekanan lembut ke bawah
di posterior bawah alveolus dan ke atas pada dagu. Hasil memuaskan dicapai
dengan kembalinya oklusi normal anak dan mobilitas rahang bawah. Kemudian
perban dililitkan disekeliling dagu dan vertex untuk membatasi pembukaan rahang
lebar. Pasien disarankan diet lembut dan membatasi pembukaan mulut, kemudian
pasien dipulangkan. Pemeriksaan rutin dilakukan selama 1 bulan dan hasilnya
normal.

Setelah 3 bulan, pasien kembali lagi dengan masalah yang sama yaitu
ketidakmampuan untuk menutup mulut yang terjadi akibat pembukaan mulut lebar
untuk pemeriksaan ulkus oral oleh seorang praktisi lokal. Dislokasi tersebut
ditangani kembali secara manual di bawah sedasi. Untuk kenyamanan anak,
dipasangkan cervical colar selama 2 minggu. Pasien berada di bawah pengamatan
teratur selama 1 tahun dan tidak ada laporan mengenai episode lebih lanjut.
b. Diskusi
Dislokasi mengacu pada perpindahan kondilus keluar fossa glenoid, yaitu ketika
kondilus bergerak ke posisi anterior ke tonjolan artikulasi (open lock) dan tidak
dapat kembali secara volunter. Mungkin rekuren, lama atau kronis. Dislokasi
rekuren diidentifikasi oleh episode open lock yang berlangsung untuk jangka
waktu pendek sebelum reduksi, sedangkan dislokasi lama terjadi ketika kondilus
tetap tersangkut di anterior dari tonjolan artikulasi dalam jangka waktu lebih dari 3
minggu. Dislokasi kronis dan habitual mengacu pada dislokasi berulang dan
reduksi, yang biasanya merupakan ekspresi dari gangguan motor pusat seperti
dyskinesis orofacial. Insiden dislokasi tertinggi pada wanita muda usia 21-30
tahun, tetapi sangat jarang terjadi pada bayi. Dislokasi akut dapat disebabkan
cedera overekstensi seperti saat pembukaan mulut lebar dalam ekstraksi atau
perawatan gigi, intubasi dengan anestesi umum, trauma ekstrinsik dan lain-lain.
Presentasi kasus dislokasi akut termasuk anterior open bite, protrusi mandibula dan
kesulitan dalam berbicara dan makan. Penilaian radiografi mungkin jarang
diperlukan untuk evaluasi hipermobilitas sebab kekosongan preauricular dan tanda
serta gejala khas dapat digunakan sebagai dasar diagnosa. Tapi dalam kasus trauma
ekstrinsik, radiografi atau CT scan harus selalu dilakukan untuk menyingkirkan
fraktur tulang wajah, seperti yang dilakukan dalam kasus ini.
Dislokasi akut paling sering disebabkan oleh kombinasi dari hiperekstensi TMJ
dan tidak sinkronnya fungsi otot. Hiperekstensi sendi mungkin disebabkan oleh
menguap, muntah, berteriak, tertawa atau selama kejang epilepsi. Kontraksi otot
yang tidak sinkron akibat perubahan kontraksi yang normal dari otot protractor dan
elevator mandibula. Setelah terbentuk, dislokasi diikuti oleh spasme dari otot
kunyah yang menyakitkan dan dikelola oleh refleks saraf. Jika kepala condylar
tergelincir dari tonjolan artikular dan terdapat di anterior tonjolan, berarti tonjolan
artikular mempunyai ukuran yang cukup untuk mempertahankan dislokasi. Namun,
dalam kasus bayi, tonjolan artikular kurang berkembang dan fossa glenoid hampir
datar, maka mengurangi kemungkinan dislokasi. Tapi dalam kasus yang disajikan
di sini, tonjolan artikular terbentuk dengan baik karena dislokasi terjadi untuk
pertama kalinya akibat trauma ekstrinsik karena jatuh dan terulang pada
pembukaan mulut lebar setelah 3 bulan. Oleh karena itu, harus selalu diingat
bahwa dislokasi berulang juga dapat terjadi pada bayi, meskipun kasus seperti ini
belum dilaporkan dalam literatur.
Pemeriksaan radiografi serial 10 pasien dari kelompok umur yang sama
menunjukkan bahwa tonjolan artikular dari pasien ini terbentuk lebih baik,
sehingga tidak hanya menyebabkan dislokasi yang bertahan tetapi juga episode
kedua dislokasi setelah 3 bulan. Manajemen ditujukan untuk reduksi kondilus
kembali ke posisi normal. Untuk reduksi manual sedasi ringan dan relaksasi otot
dibutuhkan. Ini dilakukan untuk meringankan spasme otot. Pasien dibuat duduk
nyaman di kursi gigi dengan operator di depan. Mandibula dipegang dengan kedua
tangan sambil menerapkan tekanan ke bawah pada gigi molar dengan ibu jari dan
tekanan ke atas pada dagu dengan jari untuk melepaskan mandibula. Setelah

reduksi untuk membatasi gerakan mandibula, perban dililitkan di kepala atau dapat
dilakukan fiksasi maksilomandibula. Untuk kenyamanan bayi dapat dipasang
cervical collar. Pada kasus ini orang tua pasien telah diberikan instruksi yang tepat
untuk membatasi pembukaan mulut anak dan menghindari pembukaan lebar
sampai setidaknya usia 12-13 tahun. Pasien diawasi dengan melakukan follow up
dan jika masalah terus berlanjut koreksi bedah mungkin diperlukan pada tahap
selanjutnya ketika TMJ telah mencapai bentuk dan fungsi yang lengkap.
3. The Trauma Associated with TMJA and Surgical Methods of Temporomandibular
Joint Ankylosis
a. Kasus
Seorang pria usia 35 tahun. Pasien jatuh dari pohon dengan dagu memukul
tanah saat usia 9 tahun, mengakibtan fraktur condylar. Di daerah pedesaan, orang
tidak memiliki kesadaran yang cukup untuk periksa ke dokter, jadi tidak diketahui
tentang pengobatan yang dilakukan pada waktu itu. Setelah trauma, ia mulai
mengalami kesulitan untuk dapat membuka mulutnya, dari 2 mm sampai
keterbatasan total membuka mulut selama 2 tahun. Sekarang pasien datang ke
dokter karena tidak bisa membuka mulutnya selama 24 tahun. Pasien didiagnosis
dengan ankilosis sendi temporomandiblular, dengan deformitas rahang atas,
asimetri wajah, micrognathia, maloklusi, pembatasan lengkap pembukaan mulut
dan kebersihan mulut yang buruk. CT scan menunjukkan sendi temporomandibular
kiri benar-benar hilang oleh massa ankylotic tulang yang tumbuh antara ramus
mandibula dan dasar tengkorak. Sisi kanan kepala dari prosesus condylar terlihat
tetapi mengalami kerusakan signifikan dengan adhesi fibrosa yang tidak
memungkinkan gerakan dari sendi temporomandibular. Dokter merencanakan
insisi preauricular untuk mengekspos keseluruhan ankilosis dan menghindari
kerusakan saraf wajah. Protokol operasi untuk ankilosis sendi temporomandibular
kiri mensyaratkan reseksi massa ankylotic, artroplasti, transfer jaringan
interpositional untuk TMJ dengan flap fasia temporalis, TMJ kanan dilakukan
pelepasan jaringan fibrosa dan reseksi sebagian kepala condylar. Setelah operasi ia
bisa membuka mulut sampai 25 mm.
b. Diskusi
Ankilosis sendi temporomandibular merupakan gabungan intracapsular dari
kondilus dan permukaan artikular temporal yang membatasi gerakan mandibula,
termasuk adesi fibrosa atau fusi tulang antara kondilus, disc, fossa glenoid, dan
tonjolan artikular. Penyebab utamanya termasuk trauma dan infeksi. Dalam hal ini,
pasien mengalami trauma yang menyebabkan fraktur mandibula dan tidak
ditangani dengan baik, sehingga berkembang menjadi ankilosis sendi
temporomandibular. Ini bisa menjadi kondisi serius dan menimbulkan keterbatasan
yang mengarah ke kesulitan dalam pengunyahan, menelan, estetika dan kebersihan
mulut. Terapi ankilosis TMJ dihadapkan pada tantangan yang signifikan karena
kesulitan teknis dan tingginya insiden kekambuhan. Terapi ini melibatkan
ortodontis dan ahli bedah mulut dan maksilofasial. Sawhney (1986) membagi
ankilosis TMJ menjadi 4 jenis: Tipe I: Kepala prosesus condylar terlihat tetapi
cacat dengan fibroadesi yang membuat gerakan TMJ tidak memungkinkan; Tipe II:
Konsolidasi kepala prosesus condylar yang cacat dan permukaan artikular
kebanyakan terjadi di tepi dan di anterior serta bagian posterior dari struktur, dan
bagian medial dari permukaan kepala condylar tetap tidak rusak; Tipe III: Masa
ankylotic melibatkan ramus mandibula dan zygomatic arch; sebuah atrofi dan

fragmen yang berpindah dari bagian anterior kepala condylar di lokasi medial; Tipe
IV: TMJ benar-benar hilang oleh massa tulang ankylotic yang tumbuh antara ramus
mandibula dan dasar tengkorak. Menurut klasifikasi Ankylosis TMJ yang
diusulkan oleh Sawhney, protokol pengobatan untuk Tipe I ankylosis adalah
melepaskan jaringan fibrosa atau reseksi kepala condylar dengan costochondral
graft (CCG) dan flap myofascial temporalis (TMF). Untuk Tipe II ankilosis, fusi
tulang lateral direseksi sedangkan fragmen utuh sisa condilus yang berpindah ke
medial tetap tidak rusak. Operasi itu bernama "Lateral Artroplasti" (LAP). TMF
atau masseter muscle flap (MMF) digunakan sebagai penghalang dalam
kesenjangan lateralis antara fossa sendi temporomandibular dan tonggak ramus
mandibula. Jika fragmen medial condylar terlalu kecil untuk menanggung beban,
maka fragmen tersebut direseksi dengan massa tulang. Sendi tersebut dibangun
kembali dengan CCG dan TMF atau MMF. Untuk Type III dan IV, fusi tulang
benar-benar dihilangkan dan sendi dibangun kembali dengan CCG dan TMF atau
MMF. Autogenous bone graft termasuk non-vaskular dan vaskuler graft, berbagai
autogenous bone graft non-vascularisasi dari tulang tibia atau clavikula, sendi
sternoklavikularis,
iliaka
crest,
tulang
metatarsal
atau
artikulasi
metatarsophalangeal yang digunakan, autogenous vascular graft dipanen dari
tulang rusuk, krista iliaka atau tulang tibia. Sumber daya lain untuk merekonstruksi
TMJ adalah penggunaan prostesis alloplastic penggantian sendi. Berkat
pengembangan teknologi dan bahan, pencitraan rinci seperti computed tomografi
3D dan penyusunan model stereolithographic memungkinkan pembangunan
sebuah prostesis individu untuk setiap pasien. Menurut pendekatan klasik, jaringan
autogenous harus digunakan dalam terapi gangguan perkembangan dan fungsional
yang menyertai ankilosis TMJ pada anak-anak. Secara teoritis, autogenous graft
harus tumbuh bersama dengan pasien. Namun dalam prakteknya, kinerja pasca
operasi graft melibatkan fenomena yang tidak diinginkan seperti resorpsi,
pertumbuhan berlebih tak terduga, asimetri sekunder dan bahkan kembali ankilosis.
Sebuah pengobatan dengan prostesis TMJ harus dipertimbangkan dalam kasus
kelainan anatomi dan fungsional serius pada TMJ, kegagalan terapi sebelumnya
yang dilakukan dengan menggunakan free bone graft, ankilosis rekuren, atau
pertumbuhan berlebih tak terduga. Meskipun rekonstruksi TMJ dengan CAD/CAM
yang disesuaikan dengan individu tampaknya sangat mahal, biaya jangka panjang
secara keseluruhan sama atau kurang dari rekonstruksi TMJ autogenous. Setelah
itu, efek pengobatan jangka panjang terus diamati.

Anda mungkin juga menyukai