Anda di halaman 1dari 3

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, baik secara sosial,

budaya, maupun linguistik. Berdasarkan aspek linguistik, masyarakat Indonesia


merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa). Setidak-tidaknya masyarakat
Indonesia menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa etnik dan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahkan penutur bahasa yang terpelajar tidak
jarang menguasai lebih dari dua bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan
salah satu bahasa Asing. Dengan demikian, terjadilah masyarakat bahasa yang
dwibahasawan atau bahkan multibahasawan.

Penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur bahasa ternyata membawa
dampak, yaitu terjadinya transfer unsur-unsur bahasa, baik transfer negatif maupin
transfer positif, dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua ataupun sebaliknya.
Transfer positif menyebabkan terjadinya integrasi yang sifatnya menguntungkan
kedua bahasa karena penyerapan unsur dari suatu bahasa yang dapat berintegrasi
dengan sistem bahasa penyerap. Sebaliknya transfer negatif akan melahirkan
interferensi, yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa dalam bahasa yang
digunakan sebagai akibat pengenalan terhadap bahasa lain.

Transfer dalam kontak bahasa dapat terjadi dalam semua tataran linguistik, baik
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Dalam kesempatan ini,
dilakukan penelitian terhadap gejala interferensi leksikal antara bahasa Indonesia dan
bahasa Sunda ragam tulis.

Penelitian ini berusaha mengungkapkan dan menganalisis gejala-gejala interferensi


leksikal yang terjadi antara bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia ragam tulis
dengan interferensi leksikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam tulis.
Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah, ?Seberapa besarkah intensitas
perbandingan interferensi leksikal bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia ragam
tulis dengan interferensi leksikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam
tulis??. Pertanyaan pokok ini selanjutnya dijabarkan ke dalm pertanyaan-pertanyaan
dan hipotesis-hipotesis penelitian yang lebih spesifik.

Sumber data penelitian ini adalah karangan bebas dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Sunda dengan topik yang relatif sama sebanyak 80 karangan yang melibatkan 40
siswa dari SMP Negeri 1, SMP Negeri 4, SMP Negeri 4, dan SMP Negeri Ciawi
Kotamadya Bogogr. Selain itu, dilengkapi pula dengan data non linguistik
berdasarkan angket yang disebarkan terhadap 100 orang responden dwibahasawan
Sunda-Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sinkronis yang menekankan pada penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda
pada saat sekarang.

Bertitik tolak pada hasil deskripsi dan analisis data, penelitian ini berhasil
mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut: (a) Penutur dwibahasawan Sunda-Indonesia
di wilayah Kotamadya Bogor sebagian besar (66,67%) selalu menggunakan ragam
bahasa campuran Sunda-Indonesia dan kadang-kadang diselingi dengan dialek
Betawi, bahasa Indonesia murni digunakan oleh sekitar 30,00%, dan bahasa Sunda
murni hanya digunakan oleh sebagian kecil (23,33%). (b) Intensitas interferensi
leksikal bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia ragam tulis hanya sebesar 0,017%,
sedangkan intensitas interferensi leksikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda
ragam tulis sebesar 12,43%. Dengan demikian, intensitas interferensi leksikal bahasa
Indonesia ke dalam Bahasa Sunda ragam Tulis lebih besar daripada interferensi
leksikal bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia ragam tulis. (c) Tinggi rendahnya
intensitas interferensi leksikal yang dilakukan penutur bahasa tidak mempunyai
hubungan positif signifikan dengan prestasi belajarnya. Intensitas interferensi leksikal
sangat erat hubungannya dengan kebiasaan menggunakan ragam bahasa dalam
lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. (d) Latar
belakang timbulnya interfernsi leksikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda
ragam tulis terjadi karena leksikal bahasa Indonesia lebih luwes dan sesuai (75%),
belum ada padanannya dalam bahasa Sunda (20%), dan alasan-alasan lain (5%).

Implikasinya dalam pengajaran bahasa antara lain: (a) proses belajar mengajar
leksikal dalam pokok bahasan kosakata hendaknya ditekankan pada konteksnya, (b)
guru bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, hendaknya mampu
mendeskripsikan perbedaan sistem kedua bahasa, khususnya sistem kosakata,
sehingga intensitas interferensi leksikal antara kedua bahasa sedikit tapi pasti dapat
diperkecil, (c) proses pembelajaran kosakata sebaiknya menggunakan metode koreksi
langsung agar siswa terbiasa segera memperbaiki kesalahan berbahasanya.

Gambar Prasasti dari Singosari, Malang bertarikh tahun 1351 Masehi. Prasasti yang
merupakan koleksi Museum yang juga dikenal sebagai Museum Gajah ini, terkenal
karena menyebut nama Mada yang kemungkinan berkaitan dengan tokoh Gajah
Mada.
Celengan Majapahit dari Trowulan, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai