Anda di halaman 1dari 7

Membangun Corporate Culture Unggul di Kalangan Muda NU*

Oleh: M. Fahmi Mubarok

Kaum Muda dalam Organisasi Nahdlatul Ulama

Dalam pandangan para cerdik pandai, kaum muda diidentikkan


dengan manusia yang penuh dengan semangat tinggi. Masa muda
digambarkan oleh Bang Haji Rhoma Irama sebagai masa yang berapi-
api, karena memang dalam masa ini gairah untuk melakukan apapun
sedang panas-panasnya. Jika dimanfaatkan untuk hal yang positif maka
akan mengarah pada kejayaan. Begitupun sebaliknya jika
disalahgunakan, maka akan menjerumuskan pada keterpurukan yang
serendah-rendahnya.

Begitu pentingnya kaum muda, Presiden RI yang pertama,


Soekarno, membandingkannya dengan kaum tua dalam kata-kata
mutiaranya, Berikan aku 50 orang tua, akan aku guncangkan
Mahameru; berikan aku 5 orang muda, akan aku guncangkan dunia. Ini
menunjukkan betapa besarnya potensi yang dimiliki para pemuda.

Potensi dalam jiwa muda ini dilihat betul oleh Nahdlatul Ulama,
yang dalam perjalanannya membentuk underbow yang dinamakan IPNU
dan IPPNU. Wadah ini menjadi ajang pertarungan ide dan aksi kaum
muda NU. Meskipun sempat berubah singkatan dari pelajar menjadi
pemuda, kemudian menjadi pelajar lagi, hal ini tidak mengurangi makna
kemudaan di dalamnya.

Bahkan sebelum adanya IPNU dan IPPNU pun, Nahdlatul Ulama


mendapat kontribusi kaum muda yang di antaranya dimotori KH. Abdul
Wahid Hasyim. Ketika memutuskan untuk bergabung dengan NU, Wahid
Hasyim masih berusia sangat muda. Beliau memilih NU bukan semata-
*
Disampaikan dalam Konferancab IPNU-IPPNU Kecamatan Tarub, Tegal, 9 Januari
2010.
mata karena ayahnya mendirikan organisasi ini. Sebagai pemuda yang
sangat kritis, Wahid Hasyim melakukan pertimbangan yang cukup lama.
Beliau membanding-bandingkan organisasi-organisasi yang ada ketika
itu dengan NU. Bahkan konon Muhammadiyah pun menawarinya
menjadi pengurus. Namun, akhirnya beliau menjadikan NU sebagai
wadah berjuang merealisasikan ide-ide nakal beliau. Bunga rampai
pemikiran tentang ikhwal ketertarikannya dengan NU dia tumpahkan
dalam bukunya Mengapa Memilih NU.

Dalam perkembangan selanjutnya, kaum muda menjadi bagian


tak terpisahkan dari perjuangan NU untuk mengembangkan ajaran
ahlussunnah wal jamaah. Melalui IPNU dan IPPNU pembelajaran ke-NU-
an ditanamkan sejak dini kepada generasi muda NU. Pengenalan nilai
kejuangan NU sebagai jamaah maupun jamiyyah dimulai dari sini.

Akan tetapi, perjuangan tidak berhenti di situ. Masa sekarang dan


yang akan datang adalah tantangan nyata yang dihadapi kaum muda
NU. Di tangan mereka arah perjuangan NU ditentukan. Isu-isu global
hendaklah segera direspon kaum muda jika tidak ingin tercecer berada
di belakang sebagai pecundang. Efek perkembangan teknologi informasi
menjadi tanggung jawab mereka untuk mengendalikannya.

Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat


menerobos langsung dalam kehidupan masyarakat hingga ke pedesaan.
Seiring masuknya telepon ke pelosok desa, warnet-warnet pun mulai
menjamur di sana. Masyarakat desa dihadapkan langsung dengan
kecanggihan teknologi yang jika salah antisipasi akan menjadi blunder di
kemudian hari. Kaum muda lah yang harus meng-counter efek negatif
ini, bukan malah terjerumus asyik di dalamnya.

Teknologi informasi yang canggih, dengan internet sebagai


lokomotifnya tentu merupakan sesuatu yang netral. Namun, bagaimana
menggunakannya akan menghasilkan hal positif dan negatif; atau
produktif dan kontraproduktif. Misalnya saja, pengunaan internet untuk
mengkampanyekan/menyebarkan ide-ide humanis tentu merupakan hal

2
yang produktif. Sebaliknya, browsing situs-situs porno atau chatting dan
facebookan berlebihan tentu mengarah ke hal negatif dan
kontraproduktif.

Menghadapi tantangan yang semakin berat ini kaum muda NU


wajib membekali diri dengan kompetensi dan skil yang memadai. Dan
untuk memulainya dibutuhkan sikap yang benar dalam melihat kerja
suci ini. Oleh karena itu, budaya kerja yang unggul menjadi persyaratan.
Hal ini perlu dimiliki kalangan muda NU, baik sebagai pribadi maupun
sebagai organisasi.

Memiliki corporate culture unggul

Saya lebih tertarik untuk terlebih dahulu menyederhanakan


corporate culture dengan bertindak produktif. Dalam arti sederhana
produktif adalah segala sesuatu yang membuat seseorang menjadi: a).
benar, b). pintar, c). sehat, d). kaya, dan e). terhormat. 1 Jadi, orang
disebut produktif jika melakukan kegiatan yang memuat kriteria-kriteria
tersebut di atas. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi, semakin tinggi
pula grade produktivitasnya.

Kadangkala kita melakukan banyak hal dalam satu waktu, tetapi


tidak disebut produktif. Sementara di sisi lain kita melakukan sedikit hal,
tetapi malah tindakan itu disebut produktif. Banyak pilihan kegiatan
yang ada di jaman yang maju ini. Adalah keharusan bagi kaum muda
untuk bisa mengambil kegiatan mana yang sesuai dengan tujuan hidup
mereka.

Apakah seseorang memiliki corporate culture yang unggul bisa


dilihat dari sikap mentalnya. Dalam hal ini saya membagi menjadi
mental kuli vs mental majikan.2 Gagasan ini hanya untuk mengibaratkan
mana mental unggul dalam bekerja, belajar, ataupun beraktivitas

1
Definisi sederhana ini penulis dapatkan dari hasil kajian tematik dengan pengasuh
Ponpes Al-Muayyad cab. Windan, Surakarta di sekitar akhir 1990an.
2
Pembagian mental kuli vs. mental majikan ini penulis sarikan dari hasil beberapa
diskusi dengan rekan-rekan di sebuah ponpes mahasiswa di Solo di awal 2000an.

3
lainnya. Ini tidak untuk merendahkan kelas pekerja tertentu atas kelas
pekerja yang lain. Karena, ada kuli yang bermental majikan (tentu dalam
pengertian positifnya), dan ada juga majikan yang bermental kuli (dalam
pengertian negatifnya).

Mental kuli yang saya maksud di sini adalah mental seorang yang
tidak mandiri, tidak memiliki prinsip yang teguh terhadap hal yang
ditanganinya. Orang bermental kuli hanya akan (terlihat) bekerja rajin
jika sedang ditunggui mandornya. Dia kelihatan sangat sibuk
mencermati setiap detail pekerjaannya. Namun, setelah semua
(terutama majikan) yang mengawasinya lenyap dari pandangan, dia
akan back to nature menjadi bermalas-malasan dan tidak memiliki
kepedulian pada tanggung jawabnya. Dia hanya berpikir kalau dia
bekerja lebih rajin paling dia akan bertambah capek, dan tidak akan
mengubah posisinya sebagai kuli.

Sedangkan pribadi bermental majikan akan selalu mandiri dalam


pekerjaannya. Tidak perlu diawasi pun dia akan bekerja maksimal
karena dia pada hakikatnya tidak mengabdi pada atasan, melainkan
pada karya/kerja itu sendiri. Dia bisa menghargai kerja sebagai aktivitas
berharga yang harus dilakukan demi tujuan mulia. Dia percaya hanya
dengan produktivitas tinggi lah dia akan benar-benar puas dengan hasil
yang akan diraih kelak. Dia tidak terlalu ambil pusing dengan hasil
sesaat yang mungkin tidak jauh berbeda jika ia cukup bermalas-malasan
saja. Ia yakin bahwa dalam jangka panjang akan ada kemajuan yang
sangat besar jika sikap rajin dan tekun itu dilakukan terus-menerus.

Orang bermental kuli banyak juga lho ditemukan di dalam


pekerjaan yang kelihatannya untuk kelas majikan. Sebagai contoh, di
perusahaan-perusahaan besar BUMN, berapa banyak orang yang
berleha-leha. Juga di lembaga pemerintahan dari tingkat desa sampai
dengan ibukota. Pegawai malas gampang sekali ditemukan di sana
karena status pekerjaan mereka boleh dikatakan sangat tidak mungkin
diganggu kalau hanya karena malas. Memang di institusi swasta akan
jarang terliat karena ada power pemilik yang bisa memecat karyawan

4
kapan saja jika tidak terlihat tidak produktif.

Bandingkan saja dengan institusi negeri atau BUMN yang akan


terlihat janggal jika pemecatan dilakukan. Di sini masalah kemalasan
dan ketidakproduktifan bekerja sudah menjadi hal yang wajar sehingga
tidak akan dipermasalahkan terlalu serius. Juga mungkin karena
birokrasi pemecatan juga akan panjang. Imbas imbisnya pun akan lebih
dahsyat. So, daripada repot, pimpinan seringkali membiarkan saja hal ini
terjadi, selain juga mungkin sebagai kartu as kalau pegawai ini berlaku
tidak menyenangkan secara pribadi kepada sang pimpinan.

Dalam institusi negeri maupun BUMN, sikap pegawai bermental


kuli sangat mudah menular. Hal ini juga disebabkan tidak adanya
perbedaan dalam penghasilan antara pegawai bermental kuli dengan
yang bermental majikan. Banyaknya orang di pos yang kecil pun
membuat pekerjaan hanya dilakukan segelintir orang saja, sementara
yang lainnya asyik bersantai pula. Dalam hal ini job distribution
berperan besar terhadap keadaan ini. Parahnya lagi kalau di pos yang
kecil dengan jumlah pekerjaan yang relatif kecil juga tidak menjamin
selesainya tugas. Ini lebih disebabkan masing-masing pegawai memilih
lempar tugas maupun tanggung jawab kalau dirasa di item pekerjaan ini
kurang ngrejekeni.

Makanya tidak mengherankan jika banyak institusi yang berhasil


justru dikuasai oleh swasta, karena bisa membuat sistem supaya
pekerjanya bermental majikan. Di sisi lain, institusi negeri cenderung
stagnan tanpa prestasi yang memadai karena sebagian besar dijalankan
orang yang bermental kuli. Di dunia yang semakin kompetitif ini
semestinya institusi negeri bergerak cepat dan meniru rekan
swastanya jika tidak ingin terlempar. Jadi kita tinggal pilih akan
bermental apa kita, kuli atau majikan?

Belajar dari Pengalaman

Cara kita memandang pekerjaan akan berpengaruh pada


keseriusan kita dalam melakukannya. Jika kita menghargai pekerjaan

5
kita, seremeh apapun pekerjaan itu, tentu akan membuat kita
bersemangat. Saya sering memperhatikan beberapa pekerja kasar di
Amerika. Ada yang menjadi tukang kebun yang menyirami bunga,
janitor atau kita biasa menyebut petugas cleaning service, tukang pos
yang mengantarkan seabrek paket dan surat, supir bus kampus, dan
banyak lagi lainnya. Sebagian besar dari mereka adalah orang yang
serius dengan pekerjaan mereka tanpa harus kehilangan keceriaan.
Senyum selalu tampak di muka mereka biarpun pekerjaan mereka
hanyalah pekerjaan remeh-temeh di negeri kita. Semangat melakukan
yang terbaik pun mereka tunjukkan dari cara mereka bersosialisasi
dengan orang lain.

Para pekerja sosial pun demikian. Biarpun mereka sering


mengalami pengusiran dan penentangan dari berbagai pihak, tidak
menjadikan alasan untuk berhenti. Presiden Amerika Serikat sekarang,
Barack Obama, adalah aktivis sosial di kotanya, Chicago, dalam
memperjuangkan hak-hak warga kulit hitam.3 Perjuangan tak kenal lelah
yang dia lakukan, meskipun awalnya dianggap absurd, akhirnya menuai
hasil. Masa-masa awal yang sulit melakukan kerja sosial dengan kondisi
keuangan Obama yang sangat minim tidak menyurutkan langkahnya
untuk terus memperjuangkan apa yang dia yakini sebagai kebenaran.
Puncaknya adalah ketika dia berhasil terpilih menjadi Senator Negara
Bagian Illinois dan berhasil menelurkan kebijakan yang pro-masyarakat
kelas bawah, utamanya kulit hitam.

Di dalam negeri, khususnya di kalangan Nahdliyyin, sosok Gus Dur


menjadi acuan terkini dan paling fenomenal. Jika kita lihat ke belakang,
perjalanan beliau dalam merealisasikan ide besarnya, tidaklah mudah.
Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendobrak kejumudan
berfikir kaum Nahdliyyin, sekaligus menyadarkan semua pihak tentang
pentingnya NU dalam kancah nasional maupun internasional. Sejak awal
terpilihnya menjadi ketua PBNU pada 1984 di Muktamar Situbondo, Gus
Dur tidak henti-hentinya melempar bola panas yang langsung serta

3
Diambil dari sebagian kisahnya dalam buku The Audacity of Hope.

6
merta direspon banyak pihak, baik dari pemerintah yang kemudian
menyisihkannya, dari kalangan kiai yang menganggapnya seolah
imam yang kentut, sehingga tidak layak diikuti, sampai dengan
masyarakat umum yang menilainya gendheng. Dan kita saksikan
bahwa hal itu tidak pernah menghentikannya. Belakangan hampir
semua pihak mengikuti langkahnya.

Belajar dari sejumlah pengalaman di atas, generasi muda NU perlu


mengambil pelajaran. Konsistensi perjuangan dalam menjalankan roda
organisasi IPNU-IPPNU akan membuahkan hasil menakjubkan seperti
yang diraih tokoh-tokoh sukses yang kita kenal. Benih corporate culture
unggul yang disemai dengan baik akan menghasilkan panen peradaban
yang dahsyat. Selamat berjuang!

Anda mungkin juga menyukai