KIAT SUKSES
MENGHANCURKAN
KONSERVATIFISME
Oleh:
BOEDHI MARGONO
Boedhi Margono
Rabu Legi, 13 Juli 2005
Untuk Yooke dan Dio
MULAI
Pilihlah satu,
wahai yang mendendam.
Membunuh satu tiran atau membebaskan seribu budak.
Atau membunuh seribu tiran,
dibandingkan membebaskan satu orang budak.
Manakah yang lebih berharga?
Dalam hidup yang demikian singkat,
dan zaman penindasan yang abadi,
semua pilihan,
adalah penderitaan.
Wah!!!
Aku tak bisa menghormati,
mereka,
yang tidak menghargai,
kebebasan.
Walau mereka pintar,
kaya,
atau hebat,
terhormat di mata umum,
bahkan berkuasa…
Bagiku,
mereka sebenarnya,
cuma sampah,
parasit,
bagi kehidupan.
Cuh!!!
Cuh!!!
Cuh!!!
Kuludahi mereka,
untuk selama-lamanya.
Biarlah,
ukuran-ukuran perubahan,
tak ditentukan,
oleh para juragan.
Biarlah karya-karya,
difahami,
oleh mereka yang berhati terbuka.
Biarlah jalan-jalan hidup,
bercabang-cabang.
biarlah keanehan dan keunikan,
bahkan yang seolah-oleh gila,
atau bodoh,
mampu menampar pipi-pipi,
para penentu harga.
Oh,
kalian wahai penggubah,
yang selalu serba dikhianati…
Janganlah tersedu sedan!!
Disini kita semua,
akan selalu saling membela.
Selalu saja,
disini dan disana,
ada orang-orang brengsek,
yang menuntut orang lain,
berubah,
menjadi apa standar-standar mereka.
membuat penderitaan,
dan ketidakadilan,
menyebar,
seperti sampar.
Orang-orang brengsek itu,
tak tahu mana yang menjadi bagian mereka.
Kenapa mereka tak puas,
hanya menindas,
diri mereka sendiri saja?
Menentang batasan-batasan,
tanpa nyawa,
tanpa rupa,
hanya menembus halus,
masa dan kala,
seperti hantu.
Oh,
kita selalu beriman pada sesuatu.
Di dalam kebodohan,
terdapat iman.
Di dalam iman,
terdapat kebodohan.
Oh,
kita selalu beriman.
Disanalah kita selalu beriring,
menuju meja jagal,
yang kita buat sendiri,
yang kita operasikan sendiri,
memotong leher-leher kita sendiri.
Terkutuklah mereka yang minta disembah.
Terkutuklah diri kita semua.
Realistislah saja…
Hei orang-orang yang mapan…
Kekayaan berasal dari perampokan…
Seperti semua bahan makanan…
Berasal dari pembunuhan…
Maka jauhkanlah diriku…
Dari senyum itu…
Memang kutunggu sumbangan itu…
Biar untuk mengganjal perutku…
Tetapi itu bukan karena ku yakin dan tidak yakin…
Atas asal usul uang itu…
Aku yakin itu semua adalah hasil kejahatan…
Kutahu pasti…
Seperti aku tahu pasti,
jika dirimu adalah pembunuh,
seperti diriku juga…
Disini,
kusarankan,
di sana sini,
tak ada keadilan nyata.
Maka karitas yang ternoda itu,
tetap kuminta.
Peduli amat dengan doa,
hapusan dosa,
dan juga rasa taubat…
Rantai makanan selalu berjalan,
di atas rel yang sombong.
jalur yang berjalan,
terbangun dari tulang belulang dan darah korban.
Beriringlah,
kalian kaum borjuis,
kapitalis,
dan proletar.
Dalam perayaan ini,
perayaan tanpa arti,
dan harga diri.
Sengatlah aku,
Dengan seribu hukum itu.
Si pembatas.
Antara kebebasan.
Dan ketaklukan.
Bukiarkan kalian.
Wahai para algojo dan hakim.
Mencambk dan memotong tubuhku.
Atas nama kebenaran dan norma?
Sadarkah kalian, wahai penguasa,
dan pengusaha,
juga pendakwah,
BAHWA SEBAHAGIAN BESAR HUKUM-HUKUMMU ITU,
hanya pembenar,
bagi penindasan.
Hanya menguntungkan,
kelompok kalian saja:
Para konservatif, fundamentalis, fasis, kalianlah si keji; yang tak
punya hati, dan tak tahu diri.
Jamban.
Jamban-jamban lebih indah dan suci,
dibanding mereka yang di TV-TV itu,
yang bersuara nyaring,
dengan nada disejuk-sejukkan,
bicara tentang iman.
Jamban.
Lebih memikat!!!
Dibanding sorot-sorot mata itu,
mata yang licik,
berkaca-kaca,
namun berpendar buram.
Aku tahu mata bajingan yang lebih jernih,
daripada mata mereka.
Apalagi,
melihat senyum mereka,
yang beracun.
jamban lebih berharga,
sekalian dengan tai-tainya.
Tai-tai itu,
lebih harum,
dibandingkan kata-kata mereka,
dari lidah yang bercabang lima.
Roh-roh mereka adalah roh penindas!!!
VIVA JAMBAN BESERTA TAI-TAINYA!!!!!
Di sana-sini,
kaum konservatif itu,
tiba-tiba menang telak.
Mereka didukung khalayak,
khalayak cecurut yang cupet,
oleh janji-janji kebajikan surga,
dan bahaya neraka.
mereka juga menurut pada,
kata-kata para patriak,
menyitir sana-sini,
kata-kata mutlak,
dari teks-teks abadi,
nan beku.
Sementara di sini,
kaum bebas,
harus diam,
atau terbiasa diam,
karena tak kuasa melawan kehendak umum.
Kaum bebas,
terbiasa menurut,
dan ketakutan,
menyerah,
dan kalah.
Sungguh mengerikan!!!!
Melihat kita mengungsi terus ujung-ujung,
yang masih tersisa.
Sementara mereka terus mengejar,
mengepakkan sayapnya,
sayap-sayap kegelapan itu.
Kita wajib sedia,
wahai para moinoritas,
yang edan dan sinting,
yang membela hak-hak bebas,
untuk semenstinya membela kebebasan itu.
Mau apa lagi??
Kita perlu siap sedia,
mengobarkan api peperangan,
melawan hal-hal yang sudah jamak,
di lingkungan kita.
Kita perlu berani,
berseteru,
dengan mereka,
yang dengan seenaknya saja,
menuntut semua orang,
menuruti kebenaran-kebenaran versi mereka.
Kita patut pula,
menentukan kata-kata dan agenda,
mengatakan pada mereka,
bahwa kita punya cara sendiri,
yang takkan kita buang,
takkan kita jual,
atau gadaikan,
kepada mereka.
Bajingan-bajingan konservatif itu,
perlu tahu,
bahwa kita tak takut,
kepada mereka.
Iman-iman itu,
lebih banyak,
menjadi racun hati.
Iman-iman itu,
lebih banyak,
membawa kebencian dan petaka.
Iman-iman itu,
bodoh.
Iman-iman itu,
lebih banyak mengarahkan,
perang,
dan pembantaian.
Sejarah yang adil,
akan berbicara,
menjadi saksiku.
Dan saksi mereka juga.
Oh!!!
Mereka menuduh dan menuduh.
Mereka menuntut dan menuntut.
Mereka mengklaim segala sesuatu,
dengan cara-cara mereka sendiri.
Dan yang lebih memuakkan,
di sini,
di negeri tempat para rakyat mudah dibungkam,
mereka menaikkan teror,
ke singgasana yang abadi.
Di sini, aku sedang merancang,
sejuta pemberontakan.
Aku yang sudah terbiasa diam,
seperti sejuta orang yang lain,
siap untuk tiba-tiba,
meluncurkan roket-roket,
ke tubuh mereka yang tegar.
Merekalah yang akan meledak berkeping-keping.
Sudah saatnya perang dinyalakan.
Haus darah,
ya….
Hihihi….
Sebaliknya teman-teman,
apakah mereka akan biarkan kita,
berpesta dengan suara sama keras,
dan berisiknya dibanding mereka?
Sudah sering mereka obrak-abrik,
acara-acara kita.
Mereka kata kita,
sebagai orang nista,
dan layak dipentungi,
barang-barang kita dihancurkan,
tubuh kita dipecuti,
bahkan leher kita siap dipancung.
Padahal kitra tak pernah mengganggu mereka.
Nampaknya, melihat kita bisa berbahagia pun,
mereka sudah merasa terganggu.
Bagaimanakah????
Apakah kalian setuju,
jika mereka kita hancurkan sekalian???
Biar saja mereka kaget,
baru tahu,
bahwa kita pun bisa melawan.
Waspadalah,
waspadalah,
waspadalah.
Pada para pembenci gay.
Homofobia itu punya masalah dengan otak mereka.
Patologi mental,
hasil dari kebencian.
dengan obsesif berubah menjadi patologi sosial.
Disana,
di buku-buku milik mereka,
Sodom dan Gomorrah yang menderita dan menangis,
mereka tertawakan dan syukuri.
Oh….
Apakah kita bisa mengharapkan mereka sembuh?
Apakah kita biarkan referensi ke arah fasisme itu menang?
Mereka suka memvertikalisaasikan segala sesuatu.
Oh…
Dukunglah para minoritas.
Dukunglah kaum minoritas.
Dukunglah kaum minoritas.
Karena ketika ada kebebasan,
maka kita adalah mereka-mereka juga.
Dan langit serta bumi,
akan turut bergembira,
menyambut hadirnya,
menyuburkan bumi,
kota abadi,
Sodom dan Gomorrah.
Vampir-vampir,
tak pernah takut,
pada kitab-kitab suci.
Vampir takut pada kebebasan,
dan sekularisme.
Tapi vampir-vampir,
memang pintar memilih sejarah.
Demikianlah,
hingga mereka menjadi abadi,
Immortal!!!
Ada berbagai konspirasi,
mempertahankan keberadaan vampir,
bahkan ada mimpi untuk menjadi vampir,
di kalangan para raja,
tuan tanah dan pabrik,
serta para agamawan.
Caranya tentu dengan mempertahankan ketakutan,
dari para rakyat,
rara peasant,
para buruh,
dan kaum miskin kota.
Juga para seniman dan penulis miskin, hehehe.
Wajah asli vampir itu tiba-tiba muncul….
Oh…
Oh…
Ternyata mereka-mereka juga….
Wajah para pemuka agama,
para raja,
negarawan,
anggota DPR,
bisnismen,
tuan tanah,
Hiiiii…..
Lihatlah…
Ada taring-taring besar,
di balik wajah mereka,
yang tampan,
dan klimis.
Tapi senyum mereka,
tetap saja suci.
Dasar.
Oh,
belajarlah untuk bugil.
Meditasi semesta, kertas-kertas HVS.
Anti iklan dan mall-mall.
Belajar untuk bukan pintar.
Bukan pintar…
Selama itu untuk kepentingan bangsa dan negara,
maka bukan cara yang baik-baik.
Itu milik buto ijo.
Shit.
Di kuil kebebasan,
tak ada dewa-dewa, bahkan tuhan.
Di sana pun para setan akan disambut seperti saudara biasa.
Secara alami,
semua mahluk,
Akan menjadi baik.
Saat kekuasaan lenyap,
dari muka bumi.
Dan para malaikat pun terbebaskan dari belenggu-belenggu sayap
mereka yang berat.
Akan kubangun sejuta kuil pembebas itu.
Akan aku kloningkan diriku yang ringkih ini,
seperti dahulu para nabi juga mengkloningkan diri mereka.
Itulah esensi dari kuil-kuil ini.
Canda tawa dan seks.
Disana ada sejuta patung,
dari sejuta mahluk hidup yang membangun,
dan teringat kepadanya.
Karena kedewaan dan keilahian,
adalah barang profan.
Tak ada yang lebih profan dibandingkan iman.
Dan tak ada yang lebih sakral,
dibandingkan kodok.
Karena kodok,
suka berkotek.
dewa-dewa,
adalah profan,
seperti patung-patung,
di pasar loak.
Melototlah terus,
ke arah laporan di bursa.
Karena kita tergantung padanya,
betul???
tTk ada habis-habisnya kita melototi perubahan itu.
Sebelum raja-raja, negara-negara, dan vampir-vampir lenyap,
kta likuidasi.
TAMAT