Anda di halaman 1dari 43

Warung Bonbin

(Studi tentang Kehidupan Sosial pada Sebuah Warung di UGM,


Bulaksumur, Yogyakarta)

Oleh :
Boedhi Margono
92/86847/SA/8990

Jurusan Antropologi
Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2001

1
Warung Bonbin
(Studi tentang Kehidupan Sosial pada Sebuah Warung di UGM, Bulaksumur, Yogyakarta)

Oleh :
Boedhi Margono
92/86847/SA/8990

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian


Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
guna memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar sarjana
dalam Ilmu Antropologi
2001

2
Kata Pengantar

Benar sekali pepatah yang menyatakan bahwa musuh ilmu pengetahuan bukanlah kebodohan, tetapi
kebohongan dan penipuan. Tetapi anehnya seringkali kejujuran sulit sekali menjelaskan nilai kebenarannya
sendiri sedangkan sebuah penipuan bisa memberikan jawaban yang sangat memuaskan dan meyakinkan.
Skripsi adalah sebuah kewajiban yang harus saya lalui saat ingin meraih gelar kesarjanaan. Skripsi
merupakan salah satu batu sandungan dalam proses kehidupan saya lebih dari sebab kemalasan-
kemalasan, tetapi juga karena kurangnya kedalaman bacaan dan bekal ilmiah, arogansi perfeksionisme
hipokrit dan harga diri semu, juga indikator nyata tentang kurangnya motivasi kejujuran terhadap diri
sendiri. Akhirnya saya menjadi terlambat hanya sekedar untuk mencoba melangkah. Mekipun skripsi, pula,
adalah bagian formal dari pendidikan formal, yang mampu membuat kita terus menerus menggelam diri
dalam formalitas.
Saya mengucapkan terimakasih pada Bapak Dr. PM Laksono yang kelihatannya tetap optimis saya
bisa melalui proses ilmiah skripsi selama saya mau berusaha semaksimal mungkin. Beliau dengan
keseimbangan tebing karangnya membimbing skripsi saya menjadi lebih jujur, rasional, dan bermakna,
memperkenalkan nafas lega ilmiah bagi saya. Kedua, saya mengucapkan terima kasih pada Bapak Dr. Irwan
Abdullah yang pernah nekad mau membimbing kediaman dan autisme saya dan dengan jelas sekali berkata
"Kamu ini sebenarnya tidak pas di Antropologi. Kamu cocoknya jadi seniman saja. Mungkin kamu lebih
berkembang jika misalnya masuk ISI". Kok rasa-rasanya semuanya benar. Kedua orang sangat terhormat
inilah yang memilinkan tali-tali titian baru untuk menyeberang dari sebuah kesimpangsiuran menjadi
motivasi untuk maju dan membangun, dan melewati skripsi untuk melangkahi jalan kehidupan saya yang
mungkin masih panjang dan berbeda sama sekali. Saya berandai-andai skripsi hanyalah jembatan kecil
yang rusak, dan saya tak boleh terlalu lama menunggu kebaikan hati orang lain membangunnya kembali
untuk saya bisa melintasi rawa dan gurun pasir kehidupan ini. Saya juga mengucapkan terimakasih pada
Mas Pujo yang dengan matanya yang mencemooh pernah berujar "Tekan bab piro, No? Ora clila-clili terus".
Terima kasih pada pembimbing akademik saya Bapak Drs. Mulyadi, MS yang sabaaar sekali.
Saya ucapkan terima kasih pada: Kekasihku yang tercinta Yooke AD yang memberikan motivasi
luarbiasa dalam menyelesaikan skripsi ini, Imam Baskara yang bersedia membantu siapa saja; "Kau begitu
menggugah!!", demikian pujiku, Goen si marxist humanis, Teguh yang sangat laki-laki dan sering bentrok
dengan saya, Didin si anu clurit pemendam cinta, Jamil Gunawan yang rasional sekaligus irrasional,
Helmiboy, Koko "Pahpoh", J.A. Malik, A. Munjid, Zul Amrozi, Junaedi SP, Agung, Harri, Rahmad, A Cun,
Acep Permana sastrawan yang istiqomah, Fifi yang memuji poci teh istimewa saya, Yoeke-nya Imam yang
suka Kobo Chan, Robby yang mengenalkan saya dunia komputer, Ayik yang mengenalkan pada aplikasi
Linux dan beberapa situs posmo gratisan, Dave yang mengenalkan saya pada beberapa shell gratisan, Ian
yang mengajariku ber-canoe, mbak Par-si Mul-mbak Ida dengan teh pahitnya, mas Arif si dosen gondrong
yang memberi pendapat awal tentang bonbin, Tranz-negosiasi-cuk, Aris Wibowo (no comment), Yudha (no
comment), Kholiq (no comment), Dedik (no comment), Kunur (no comment), Wawan yang berwawasan
kanan, orang-orang ngeyel yang saya tinggalkan di Vihara Karangdjati, beberapa orang di Vihara Miliran
beserta para bhikku dan samanera nan mulia dan sederhana, para staf Gamanet yang kocak: Wira-Elise,
Zannê dan Nina yang tak pernah sudi menjawab puisi-puisi busuk saya, dan terutama kepada para
begundal di Bonbin. Permintaan maaf saya haturkan pada almarhum ibu saya, bapak yang diam menanti
dalam studi saya yang lama, adik saya Amelia, dan adik baru saya Budi, juga kepada Eyang Wirasto.
Juga saya ucapkan perasaan terima kasih kepada almarhum teman-teman saya Engel celeng otak
udang, Joe si anarki diri, dan terutama Danu si guru sesat. Maafkan saya tak bisa datang pada acara
pemakaman kalian. Semoga anda semua berbahagia di alam selanjutnya.

Rakai Boedhi Margono

3
Abstrak

Sebuah warung yang berada di dalam lingkup fakultas-fakultas ilmu sosial di Universitas Gadjah
Mada dikenal oleh banyak orang sebagai Bonbin. Sebagai sebuah ruang Bonbin memiliki konteks. Di ruang
publik ini terdapat perebutan-perebutan keruangan, konflik-konflik kepentingan, dan juga pernik-pernik
sosial yang lain. Dalam fungsinya yang khas sebagai tempat para penjual dan pembeli hadir bersama,
bonbin memiliki identitas sebagai pasar. Di sisi lain ia adalah tempat pertemuan-pertemuan sosial yang
tidak mengacu langsung pada untung dan rugi. Di bonbin ternyata muncul komunitas besar yang
dinamakan masyarakat bonbin yang terpilah dalam banyak sub-sub masyarakat yang lain dengan berbagai
asal muasal, cara tutur, dan persoalan-persolanan yang khas. Namun juga masyarakat bonbin tak bisa
dipisahkan satu sama lain dalam identitasnya yang lebih besar sebagai masyarakat kampus. Adanya
masyarakat tersebutlah yang menyebabkan bonbin sebagai tempat berubah menjadi ruang yang memiliki
konteks tempat banyak peristiwa-peristiwa sosial yang kompleks terjadi.
Rutinitas-rutinitas seperti jual beli, percakapan, berdiam diri, semuanya itu berada dalam rangka
sebuah budaya massa. Budaya ini membayangkan kebutuhan interaksi, pemenuhan hasrat konsumsi, dan
juga ikatan-ikatan norma dan etika. Meskipun bonbin merupakan juga negasi dari norma-norma dari
masyarakat kampus yang berada di sekitarnya, dalam kenyataannya norma-norma itu berada dalam dirinya
sendiri. Konflik-konflik ini yang membuat ruang bonbin menjadi ruang politik ekonomi yang terus berputar
dan individu-individu di dalamnya berubah dan bergerak bersama-sama dalam berbagai kepentingan yang
berbeda.
Analisis-analisis yang digunakan dalam skripsi ini diupayakan sesederhana mungkin dengan mencakup
rotasi-rotasi dari siklus-siklus hidup yang dialami oleh sebuah masyarakat. Penelitian dalam skripsi ini
dilakukan dalam kerangka analisis etnografis yang deskriptif, namun dengan upaya struktural
membentuk bagan-bagan hubungan-hubungan politik sosial. Selain itu deskripsi dalam skripsi ini
menggunakan foto-foto melalui analisis etnofotografis. Peristiwa ini adalah sebuah pencurian “kediaman”,
Keberhasilan metodologis untuk mencuri “kediaman” tadi adalah juga keberhasilan sebuah penelitian
sosial dengan wataknya yang arkeologis.

4
Riset adalah seni, bukan ilmiah.
Dan seni dari riset
adalah kemampuan melihat detail dan nafsu.
(Zero Effect)

5
BAB I

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah


Ruang hidup mengacu pada dua aras bahan-bahan cerapan mental pola identifikasi makna, yaitu
place (tempat) dan space (ruang). Space (ruang) yang bermuatan konteks selalu dalam posisi tidak stabil,
yang menempatkan bentuk-bentuk prosesual disposisi1 massa. Bourdieau menggambarkan konsepnya
tentang habitus sebagai sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengintegrasikan
pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi,
apresiasi, dan tindakan-tindakan, yang memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga,
berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang berbentuk nyaris
serupa (Bourdieau, 1977:83).
Pendapat Bourdieau ini berlaku jika ruang hidup diasumsikan seperti pasar. Seperti halnya pasar,
ruang hidup sebagai institusi sosial merupakan konsep di mana orang melakukan pertukaran barang dan
jasa secara bebas melalui media uang, yang secara sederhana dianggap membawa muatan pembagian kerja
dan kepemilikan privat dari hasil produksi. Sebagai satu proses, pasar merupakan hubungan relasional
aktivitas dari orang yang terlibat dalam suatu transaksi/pertukaran. Pasar lebih seperti konsekuensi-
konsekuensi logis dari kepentingan-kepentingan individu yang kemudian saling beradu. (Outhwaitedan
Bottomore (ed.), 1994:360-361). Dengan kata lain, pasar juga merupakan suatu arena pertarungan dari
kepentingan-kepentingan yang berbeda maupun sama.

I.2. Permasalahan
Yang akan dibahas dalam konteks skripsi ini adalah sebuah bangunan permanen terbuka berbentuk
limasan segiempat yang terletak di antara fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora di lingkungan
Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur yang terfasilitasi oleh warung-warung dan penjual makanan. Dalam
kesehariannya ia disebut oleh banyak orang dengan istilah “Bonbin”. Bagi yang sering datang ke sana,
Bonbin adalah ruang publik yang terdiri dari banyak peristiwa yang memiliki hubungan-hubungan yang
dirangkum dalam kesadaran-kesadaran individual yang saling berhubungan namun tak selalu saling
disadari. Dalam hal ini bonbin bukan saja menjadi arena pelampiasan hasrat yang ada dalam kenangan
imajinasi seorang saja, tetapi juga bisa menjadi sebuah sumber kekuatan pertarungan-pertarungan sosial
integratif dari Bonbin yang keras namun melenakan.
Sebagai ruang terbatas yang diserbu sedemikian banyak orang, Bonbin dalam kapasitasnya yang
tersesaki, sukses menarik massa untuk masuk. Dengan mengikuti pendapat Bourdieau, tidak dipungkiri
bahwa dalam ruang-ruang Bonbin yang terbatas dan plural itu kekuasaan dan disparitas (kesenjangan)
bermain2. Ada akses-akses yang saling eksploitatif dalam skala produksi, konsumsi, dan komunikasi,
namun permainan terus menerus berlanjut.
Penentuan Bonbin sebagai suatu pilihan tempat hidup dan bersosialisasi, bergantung pada jaringan
konteks-konteks realitas yang ketat. Konflik-konflik di dalam Bonbin adalah sumber penghidupan Bonbin,
sebagai ajang bermain dari resistensi kesadaran dari kebutuhan sosial atas sesuatu kehidupan sosial yang
jaring menjaring.
Dalam kerangka yang demikian, pertanyaan sederhana yang hendak di jawab dalam tulisan ini
adalah :
1. Sepanjang semua rangkaian peristiwa yang melenakan di Bonbin, apa yang bisa kita refleksikan
kembali dari dekonstruksi ingatan-ingatan akan peristiwa di dalamnya?
2. Bagaimanakah konstelasi-konstelasi yang ada di Bonbin?

I.3. Tujuan Penelitian

Sesuatu yang terjadi berulang secara berkelanjutan (sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran) sering
kali terlewatkan oleh perhatian. Seperti suatu peristiwa yang telah menjadi rutinitas, pernik-pernik yang
menyertai peristiwa tersebut kemudian menjadi suatu hal yang lewat begitu saja. Padahal pernik-pernik
itulah yang telah menjadi ornamen-ornamen penyusun dari peristiwa yang telah menjadi rutinitas
tersebut. Jika Universitas Gadjah Mada diibaratkan sebagai suatu bangunan konstruk rutinitas besar,
maka Bonbin merupakan salah satu ornamen pembentuknya. Bonbin adalah salah satu pernik yang
menyertai sekaligus menjadi bentuk rutinitas lain di dalam rutinitas besar tersebut. Rutinitas Bonbin
yang lain tersebut merupakan antistruktur dari struktur besar di atasnya, merupakan bentuk antithesis
yang sumber pergerakannya tetaplah berdasarkan modalitas-modalitas sosial yang tersedia dari struktur
besar universitas. Selanjutnya, dalam konteks seperti inilah tujuan penelitian ini diletakkan. Secara
sederhana tujuan penelitian ini dapat diungkapkan sebagai suatu usaha atau refleksi untuk
menempatkan gambar peta/wajah/potret Bonbin dalam sebuah proses pengingatan baru.

1
Keserbaberubahan semua hal yang berkaitan terus menerus secara simultan dan saling mempengaruhi.
2
Sebagai layaknya pasar, tentu ada pertaruhan untung dan rugi.

6
I.4. Kerangka Pemikiran

I.4.1. Pendekatan
Saat kesadaran menemukan identifikasi akan kediriannya, saat subyek menemukan obyek, saat
semua indeks makna memiliki jaringan biner dengan indeks makna yang berbeda, kutub-kutub makna itu
memberikan kesadaran yang lebih jauh tentang rentang jarak kedekatan emosi dan kesadaran. Dalam hal
ini ruang-ruang makna terbentuk. Konteks keruangan sebagai sebuah media antar-struktur terpelihara
sebagai media konflik kepentingan. Antara ruang kesadaran yang sudah kuat dengan upaya untuk secara
lebih dalam menguasai dan memahami realitas memunculkan realitas ruang fenomena dengan realitas
ruang kesadaran.
Realitas Bonbin akan dipandang sebagai interrealitas/kontradiksi realitas, yang bergantung pada
citra-citra yang berjalan bersamanya. Citra selalu kembali labil, dan tidak pernah berdiri sendiri. Nilai dan
gaya hidup yang saling berbeda di dua tempat saat pernah keduanya bersinggungan di kehadiran Bonbin,
selalu berubah. Pada titik itu, Bonbin seperti sebuah kontra wacana terhadap kehidupan dari elemen lain
yang juga hadir di Bonbin.

I.4.2. Kerangka Teori


Studi kultural kontemporer itu membicarakan ide, konsep dan pemaknaan, atau citra. Ruang
(bentuk/keberadaan) adalah sebuah abstraksi dari sesuatu yang melampaui bentuk dimensional. Bonbin
sebagai fenomena dan Bonbin sebagai pengalaman adalah dua pola pandang keruangan yang berbeda.
Bonbin hanya akan dikenali sebagai kerumunan-kerumunan yang terpecah-belah, namun jika dilihat
sebagai sebuah gejala sosial maka akan nampak perseteruan antara apa yang disebut in group (inner circle)
dan out group (outer circle) dalam setiap konteks matriks pemetaan. Bonbin adalah sebuah ruang dimana
semua tuntutan hadir bersama. Problem dari “lingkungan yang bermakna”, dalam hal ini Bonbin, adalah
juga problem lingkungan yang terpecah-belah.
Jika kita memetakan pernik-pernik ini ke dalam sistem ordinat, maka kita akan melihat suatu ruang-
ruang kemungkinan dimana lingkungan-lingkungan yang sempurna/cerdas memiliki makna, dimana
proyek-proyek dapat dilaksanakan dan bagaimana pengaturan-pengaturan eksploratif diarahkan. Sekali
kita mampu memahami beberapa bentuk dari keruangan ini, kita dapat menambahkan dimensi-dimensi
kedalamnya (Novak, 1993:5).
Pada masyarakat modern dominasi kultural ditimbulkan lewat kondisi pengetatan menggunakan
ideologi abstrak dari liberalisme, kesamaan, pertumbuhan, ilmu dan sebagainya, yang merupakan
kekerasan simbolik yang seringkali telah lebih dahulu diketatkan, dan selanjutnya dicabut dari wilayah
asalnya. Hal ini dimanifestasikan di ruang, waktu, dan ideologi (Strinati, 1995:15- 16).
Modernitas adalah sebuah semangat untuk meloncat ke depan dari kekinian, yaitu semangat untuk
agresi yang terus menerus mengalami percepatan kompleksitas. Karena kebutuhan akan keamanan dan
kepastian, maka manusia modern mengerahkan tenaganya untuk menjelaskan mitos sumber asal muasal
hidup mereka sebagai problem antara produksi dan konsumsi, yaitu diantara kemandirian dan hegemoni.
Karena kebutuhan akan mitologi itu semakin dipercepat dan mengatasi kemampuan produksi-produksi
baru dari realitas, maka titik tuju dari semua masalah modern semakin mengerucut bukan lagi pada
produksi, tetapi pada konsumsi. Bahkan, produsen pun harus dilihat letaknya lagi sebagai konsumen dari
sebuah situasi sistemik dari struktur konsumsi global modern. Konsumen3 diikat secara sosial lewat
rangsangan-rangsangan, sedangkan yang bukan konsumen4 lewat represi. Para pecundang 5, sebagai bagian
dari pola-pola dan gaya-gaya hidup dan konsumsi, memainkan peran sangat menentukan dalam
pendefinisian identitas orang, pengalaman, dan kesadaran-kesadaran (Bauman, 1992:155).
Masyarakat budaya massa terdiri dari orang-orang yang teratomisasi6, dimana manusia-manusia
kehilangan kemenuhan makna atau hubungan koherensi moral pada satu sama lainnya. Manusia-
manusia di dalamnya secara jelas tidaklah dibangun dari atom-atom yang mendapatkan posisi-posisi di
dalam jaringan struktural tertutup secara murni dan sederhana, tetapi hubungan-hubungan
diantaranya dapat dikatakan murni hanya sebagai pertemuan demi pertemuan, berjarak, dan lebih
sporadis dibanding masyarakat yang tertutup dan secara baik terintegrasi.
Dalam budaya massa individu-individu semakin meninggalkan perkakas-perkakasnya sendiri, memiliki
makin sedikit komunitas-komunitas atau institusi-institusi dimana untuk mendapatkan identitas atau
nilai-nilai dari kehidupannya. Mereka semakin memiliki kekeringan ide tentang batasan-batasan moral
cara untuk berkehidupan, karena budaya massa, lewat proses perkembangannya, tidak mampu memberi
solusi-solusi yang proporsional dan efektif. Pusat dan proses atomisasi adalah runtuhnya mediasi
organisasi-organisasi sosial mengenai hasil-hasil dari industrialisasi dan urbanisasi. Berdasar teori ini
orang-orang dalam budaya massa diatomisasi baik secara sosial maupun moral (Strinati, 1995:6-7).
Kadang-kadang estetika dan instrumentasi sosial memproduksi kontradiksi, serta suasana-suasana
yang tidak sesuai, antara nilai masyarakat dan situasi-situasi yang secara bersama-sama
mengkarakterisasikan kebiasaan sosial sehingga menghasilkan kondisi yang menceraikan konsep
lingkungan publik dari ruang privat yang diharapkan dalam ruang hidup (Sontag, 1982:365).

3
Dalam konteks ini produsen (perajin, pedagang) termasuk di dalamnya
4
Yang bukan konsumen kelihatannya mengacu pada konteks : Orang-orang yang terkalahkan dalam sistem produksi dan konsumsi modern.
5
Kata “ pecundang” dipakai oleh Bauman sebagai sebuah gambaran sarkastik bahwa masyarakat modern tidak lagi memiliki kemandirian dan keaslian lagi
dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat modern selalu terombang-ambing dan semakin lama semakin tergantung pada struktur modern yang
kapitalistik.semua metode perlawanan terhadapnya pun akhirnya ters erap dal am seluruh sistem kapitalisme itu sendiri.
6
Atom=pilahan terkecil dari benda. Atomisasi adalah sebuah perumpamaan tentang ketercerabutan mental yang mengarahkan ketercerabutan struktural sosok
individu dari bagian integratif organisasi sosial yang bersifat saling bergantung secara etis.

7
I.5. Metodologi Penelitian
Waktu yang saya gunakan untuk observasi melalui beberapa tahap yang merupakan bentuk
pertumbuhan ketertarikan pada subyek penelitian ini. Hal itu bermula ketika saya masuk menjadi
mahasiswa di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1992. Dalam interaksi kehidupan kampus, sejak awal
Bonbin menjadi bagian dari kehidupan saya. Namun observasi yang paling intensif baik dalam bentuk
wawancara maupun pengamatan mulai sejak tahun 1996. Foto-foto dalam skripsi ini saya kumpulkan
lewat pemotretan langsung pada rentang bulan Mei tahun 1998 hingga bulan Mei tahun 2000, sementara
peta-peta berdasarkan pengukuran keruangan dan bentuk arsitektural horizontal saya rancang pada bulan
Desember tahun 2001.
Pada skripsi ini yang menjadi obyek penelitian adalah segala hal yang ada di Bonbin, baik itu penjual,
mahasiswa, warung-warung, wc, formasi bangku, bentuk arsitektur bangunan, kucing, becak, tempelan-
tempelan tulisan dan sebagainya. Semua detail tersebut diambil datanya dengan dipotret, digambar ulang
dan dicatat informasinya. Metode utama adalah observasi dengan berdiam berlama-lama di Bonbin,
mengamati tingkah laku, dan menguping pembicaraan.
Untuk menangkap sistem ide yang berkembang di Bonbin, saya berusaha mencatat semua opini yang
berkembang di sana baik yang berbentuk cetusan singkat, sikap-sikap (ekspresi), nuansa-nuansa dalam
percakapan, maupun opini-opini yang berkembang baik lisan maupun tertulis.
Teknologi yang saya sertakan adalah kamera SLR 50 mm merk Nikomat. Lensa 50 mm digunakan
untuk mendapatkan hasil fotografis bernuansa pandangan mata alamiah. Selain itu saya juga
memanfaatkan peta-peta, baik yang baru maupun lama, dari fihak Tata Usaha UGM. Selanjutnya saya
membuat peta-peta baru, dan membuat diagram-diagram hubungan individu dan kelompok di Bonbin
untuk analisis-analisis.

I.5.1. Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di sekitar 200 m ke tenggara dari jantung Universitas Gadjah Mada, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia7. Penelitian dilakukan di sebuah warung yang oleh
warga kampus Bulaksumur disebut “Bonbin”, yang terletak di sebelah timur Fakultas Sastra UGM,
sebelah Selatan Fakultas Ekonomi UGM, sebelah Barat Daya Fakultas Filsafat, sebelah barat Fakultas
Psikologi, dan dibatasi oleh parkir motor Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sastra di bagian Selatan.
Alasan pemilihan lokasi didasarkan atas dasar :
1. Bonbin merupakan ruang kebudayaan publik
2. Masih sedikit adanya penelitian tentang tempat itu sebagai obyek kajian ilmu sosial
3. Sifat alamiah regionalnya yang skematis sehingga realitas ruang dan perikehidupan di dalamnya mudah
diskemakan juga

I.5.2. Pemilihan Informan dan Teknik Pengumpulan Data


Kondisi penelitian tidak mungkin untuk membangun pembatasan informan seperti yang bisa saja
direncanakan karena penelitian adalah kondisi keterlibatan mutlak dari peneliti. Informasi selalu hadir tiba-
tiba, tak terulangkan, sehingga muncul detail peristiwa yang bertumpuk-tumpuk. Proyek yang masih
dimungkinkan hanyalah menemukan pola-pola yang bersifat konstelatif. Oleh sebab itu proses yang
dilakukan dalam skripsi ini tidak mengacu pada rangka-rangka tersendiri. Informan hanya berfungsi untuk
mendapatkan data tafsiriah, gambaran-gambaran perilaku, dan hubungan antar pribadi dan kelompok.
Pada titik akhirnya penelitilah yang harus memberikan pemaknaan pangkat kedua. Untuk mengeliminir
situasi yang tak menguntungkan itu, peneliti menggunakan peta-peta, diagram, dan foto-foto seolah-olah
sebagai cerminan teks asli, meskipun itu pun selalu terkontaminasi sistem ide peneliti, posisi peneliti dalam
situasi tertentu, dan ketertarikan-ketertarikan lain yang bersifat diskriminatif.

7
Gedung Pusat saya ambil sebagai titik 0 (aksis) dari keseluruhan mekanisme arah pemetaan di UGM

8
BAB II

Deskripsi Sekilas Bonbin

II.1. Sejarah Bonbin


Kajian dalam skripsi ini akan berbicara tentang sebuah warung yang terletak di antara fakultas-
fakultas ilmu sosial di Universitas Gadjah Mada, yang dibangun sebagai sebuah kepedulian dari Rektor
UGM Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH terhadap pedagang-pedagang keliling dan kaki lima di
lingkungan UGM8. Pada era kepemimpinannya pada tahun 1987, ia menawarkan sebuah konsep yang
disetujui oleh senat universitas untuk membangun 8 lokasi gedung permanen yang menampung pedagang-
pedagang lewat perjanjian-perjanjian.9 UGM memberikan tender pemborongan kepada PT Perwita Karya
dengan biaya total Rp. 5.012.000,00 dan selesai pada tahun itu juga. Pedagang-pedagang kakilima sejak itu
menempati 8 buah titik gedung yang tersebar di UGM, namun demikian kini hanya sebuah titik yang
terletak di tengah antara fakultas-fakultas Sastra, Ekonomi, Psikologi, dan Pasca Sarjana yang tetap hidup,
bahkan kemudian menjadi demikian ramai oleh pengunjung.

II.2. Letak Bonbin


Denah 2.1

Di sisi utara barat terdapat Fakultas Ekonomi. Di sisi utara timur berderet gedung Pasca Sarjana
dan selanjutnya bersambung dengan Fakultas Filsafat. Tepat di barat bonbin adalah gedung baru Fakultas
Sastra yang bertingkat tiga, yang di sisi utaranya memiliki lorong yang membuka hubungan pandang dari
Fakultas Sastra ke bonbin. Di sebelah timur bonbin adalah gedung Fakultas Psikologi. Secara unik bonbin
terkurung oleh jalan aspal melintang antara Fakultas Sastra dan Fakultas Ekonomi, gedung Pasca Sarjana,
dan Fakultas Filsafat, yang juga menghubungkan sisi jalan Graha Sabha Pramana dan jalan masuk dari
arah Lembah. Jalan itu amat ramai pada sesi-sesi waktu pagi hari antara jam 7 hingga jam 3 siang, yaitu
saat akumulasi waktu efektif kuliah, kerja, dan sekolah.

II.3. Istilah Bonbin


Istilah bonbin, sejarahnya hampir-hampir seperti sebuah legenda. Seorang lulusan Sastra angkatan
tua menyatakan bahwa istilah itu muncul karena jika dilihat dari jauh, maka orang-orang yang duduk
makan di ruangan itu seperti binatang-binatang yang terkurung dalam sangkar yang kotor, bersikap
urakan, dan semuanya kelihatan mesum. Dalam waktu yang tak begitu jauh, seorang dosen senior mencoba
menjelaskan bahwa kawat-kawat berduri, kemudian keadaan yang tanpa struktur dari fakultas,
menyebabkan ruang legendaris bernama Bonbin itu makin impresif. Bonbin itu seperti sebuah antitesis dari
struktur yang dianggap “benar” di fakultas. Ia bersifat subversif, dan merupakan bentuk tempat
pembuangan “sampah” yang dianggap menjijikkan namun sekaligus juga penting bagi fakultas-fakultas.

8
Dalam sebuah cerita, seorang teman saat datang ke rum ah Pak Kusnadi Hardjasumantri merasa sangat kagum terhadap lampu hias yang sangat indah di ruang
tamu beliau. Cetusan pertanyaan s eorang teman ters ebut menggugah cerita beliau bahwa lampu itu adalah merupakan hadiah dari para pedagang kecil yang
mengumpulkan uang secara bersam a-sam a untuk membeli sebuah hadi ah terima kasih at as perhatian beliau terhadap para pedagang tersebut berupa kemauan
keras bes erta pengeluaran uang yang sangat bes ar dari fihak UGM untuk membangun 8 lokal perdagangan bersama di UGM bagi para pedagang itu. Hadiah ini
ternyata berwujud sebuah lampu gantung kristal yang indah, yang membuat Bapak Kusnadi begitu bangga dan terharu. S ejak saat itu, lampu gantung itu
menyala cemerlang menerangi ruang tamunya.
9
Setiap pedagang mendapatkan serti fikat untuk berjualan di sana, hanya saja, ternyata arus kebutuhan untuk berdagang di UGM, sebagai lahan bisnis yang
menjanjikan, selalu mendapatkan kedatangan generasi-generasi baru pedagang yang kemudian mengembalikan keruwet an di sekitar jalan-jalan di kompleks
UGM. Perjuangan Bapak Kusnadi Hardjasumantri tak mampu mengatasi mobilitas “ kunang-kunang mengitari api” tersebut. UGM kembali ruwet, karena watak
keruangan UGM yang secara tradisional terlanjur dianggap sebagai bagian ruang terbuka (publik space) bagi warga masyarakat Yogyakarta.

9
Pembentukan Bonbin yang dilakukan oleh Rektor Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH secara
tidak sadar merupakan proses alamiah dekonstruksi budaya yang terfasilitasi secara sengaja, yang
mengarahkan rangkaian disposisi antistruktur sosial yang bersifat laten dalam keinginan pelepasan dan
identifikasi diri berhadapan dengan struktur hegemonik universitas secara damai. Proses mitologisasi baru
cukup berhasil dengan ditemukannya dalam proses rentang waktu sejarah Bonbin etika-etika, estetika-
estetika, perilaku-perilaku, yang pada kehidupan kampus wajar akan ditolak dan dianggap subversif.
Identifikasi diri baik dari kalangan penikmat Bonbin maupun dari kalangan pemegang struktur merupakan
sebuah perampasan sekaligus pengkayaan makna kampus itu sendiri.
Keberadaan Bonbin juga menjadi ajang tarik menarik bagi kelompok elit universitas. Sebagai bagian
dari universitas kelanggengannya ditentukan oleh Senat yang sarat dengan kepentingan politik. Rangkaian
konstruksi konstelatif antara Bonbin dengan jaringan kelembagaan yang lain di sekitarnya dalam rentang
sejarah menentukan banyak disposisi pergerakan kehidupan intelektual maupun kemasyarakatan UGM.
Bagaimanapun juga, nama Bonbin terlanjur dikenal akrab oleh semua pelanggan Bonbin. Dalam penelitian,
saya pernah menemukan beberapa grafiti tertulis “Bonbiners” di meja Mbak Ning.

II.3. Arsitektural Bonbin


Bentuk arsitektural bonbin serupa dengan yang berada di dekat Fakultas Kedokteral Gigi dan
Kedokteran Umum, yang telah diruntuhkan dan telah berganti dengan fasilitas gedung baru. Dari delapan
lokalisasi pedagang, saat ini tertinggal empat tempat saja yang masih utuh, dan bentuk paling kongruen
sempurna (bujursangkar) tinggal dimiliki oleh Bonbin saja.

Denah 2.2

Dari gambaran denah 2.2, ruang bonbin secara keseluruhan berbentuk persegi bujur sangkar dengan
ukuran 9.6x9.6 m, dengan ruang terbuka di tengahnya seluas 5x5 m. Bukan sebuah ruang yang sangat
luas namun cukup untuk memuat banyak orang di dalamnya. Gedung tersebut disangga oleh 12 tiang
beton dan 4 buah tiang pipa besi, ruang dapat dibayangkan secara horisontal sebagai 3 penampang utama
yaitu bagian dasar, bagian ruang hidup di tengahnya, dan bagian atap. Terdapat tiga sumber air bersih di
Bonbin, yaitu dari WC, serta dari dua kran air yang terletak mengapit warung Mbak Par. Pada waktu
sebelumnya, terdapat kran di dekat warung Bu Kadim, tetapi kemudian dicopot kemudian disemen.
Persoalan ini dipicu karena penggunaan air tersebut memang dibayar sendiri oleh para penjual kepada fihak
UGM yang diatur dalam sertifikasi penggunaan lahan Bonbin pada tahun 1987. Dalam kenyataannya, di
Bonbin hanya dua warung saja yang memiliki sertifikat itu, yaitu warung Mbak Par dan Mbak Ning.

Denah 2.3

10
II.4. Para Pelaku Bonbin
Victor Turner menyatakan via Fernandez (1986:178-179) bahwa komunitas adalah “kesalingtergantungan
sejati yang tak dapat dipecah” (1969:137); bahwa pengalaman yang tak terpilahkan dari pertemuan
umum, kesamarataan, kemiskinan, kesalingterbukaan satu dengan yang lain; berupa penghargaan
terhadap “ikatan kemanusiaan yang asali dan sesungguhnya” yang secara berkala terjadi sebagai sebuah
reaksi antistruktur terhadap hubungan-hubungan yang hirarkis, terbelah-belah dan individualistis dari
struktur kehidupan sehari-hari. Turner (1969:107) mengkontraskan kesederhanaan komunitas dengan
kerumitan sistem status di dalam struktur dunia sehari-hari. Komunitas adalah sebuah pengalaman
spontan dan secara elementer berhubungan dengan kejatidirian manusia.
Komunitas yang terbentuk di bonbin adalah sebuah komunitas bertingkat. Pilahan besar dengan
identifikasi sebagai masyarakat bonbin, merupakan bagian dari masyarakat kampus yang lebih besar,
sedangkan di dalam sistem habitat bonbin sendiri terdapat beberapa pilahan masyarakat beserta
subkultur-subkulturnya. Ikatan-ikatan antistruktur terhadap hubungan-hubungan hirarkis, gaya hidup,
dan konflik modal di bonbin akhirnya memilah bonbin dalam beberapa ikatan komunitas seperti
pandangan Turner. Pelaku bonbin dapat dibedakan menjadi dua pilahan besar, yaitu pedagang dan
pelanggan, ditambah kelompok/orang-orang “tambahan”. Ketiga kelompok tersebutlah yang bisa
dikategorikan sebagai pembentuk utuh masyarakat Bonbin.
Pilahan besar yang pertama, yaitu pedagang, terdiri dari Mbak Par bersama suami dan kerabat selaku
pembantu-pembantunya, kemudian Mbak Ning bersama kerabatnya juga, kemudian keluarga Bu Kadim
yang kini tertinggal anak-anaknya, kemudian Heru bersama ibunya, ditambah dua orang lelaki muda
penjual siomay yang jarang datang ke bonbin. Bersama mereka sering terbawa anak-anak kecil yang
turut bermain atau makan di dekat warung-warung kerabatnya.
Pelaku Bonbin lainnya yang merupakan pilahan kedua memiliki identitas yang kompleks.
Kompleksitas identitas pada pilahan kedua ini merupakan konsekuensi wajar dari keberadaan bonbin
sebagai ruang publik. Pilahan kedua ini secara sederhana dapat di-identifikasi-kan ke dalam beberapa
asosiasi. Dalam pilahan kedua ini dapat ditemui masyarakat Kapala (Kelompok Pecinta Alam Sastra),
masyarakat Antropologi, masyarakat Fakultas Ekonomi Tuwo, sekelompok kecil masyarakat Psikologi,
Filsafat, dan Fisipol, serta masyarakat campuran yang terdiri dari elemen-elemen individual tertentu dari
sumber-sumber elementer Fakultas-fakultas di atas seperti Komunitas Sabtu Sore, kumpulan gerakan-
gerakan Kiri, kelompok Katholik, dan kelompok pemabuk.
Selanjutnya masing-masing asosiasi dari himpunan-himpunan yang berada di dalamnya saling
beririsan satu sama lain. Hal ini dikarenakan individu-individu yang ada pada pilahan kedua ini memiliki
identitas ganda/bertumpuk. Contoh yang khas akan keadaan ini adalah Sony. Ia adalah bagian dari
kelompok Kapala, namun juga ia mahasiswa Antropologi, pemabuk, dan dikenal hampir oleh semua orang.
Bagian ketiga, yang merupakan kelompok/orang-orang “tambahan”, terdiri dari kelompok/orang-orang di
luar pedagang dan pelanggan. Mereka bisa berupa para pengikeluargaperempuan yang menawarkan
produk terutama rokok. Bonbin konon merupakan tempat favorit untuk penawaran tersebut, meskipun
konon juga perempuan-perempuan berbaju seksi tersebut cenderung mendapatkan gurauan seksis dari
pelanggan Bonbin. Sering hadir pula, orang-orang yang berasal dari kalangan luar UGM yang turut
berkumpul di Bonbin. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memiliki kontak personal dengan
mahasiswa pelanggan Bonbin. Diantaranya adalah anak-anak Girli, para seniman, bisnisman, dan bisa
jadi banyak pekerjaan yang lain, seperti PSK (Pekerja Seks Komersial) dan sebagainya. Kelompok yang
lainnya lagi, amatlah sering dianggap sebagai pengganggu, yaitu para pengemis yang datang secara
berkala terutama pada waktu siang. Mereka adalah satu-satunya kelompok yang paling sering ditolak
keberadaannya di Bonbin. Kelompok ini sangat protektif terhadap informasi dirinya, tak pernah mau
dipotret, tak mau ditanyai. Individu-individunya adalah orang-orang yang tetap, yang berkeliling di jalan-
jalan terutama di sekitar UGM.

11
BAB III

Relasi-Relasi Sosial di Bonbin

III. 1. Stabilitas dan Relasi Sosial Pedagang di Bonbin

Posisi-posisi yang terbentuk di bonbin bersifat historis aktual sehingga kebutuhan akan stabilitas dan
perubahan menjadi dua elan vital serupa dua sisi mata uang logam yang saling berkesinambungan. Dalam
rentang sejarah sejak tahun 1987, posisi-posisi ini mengalami dua kali perubahan besar, tetapi juga terus
mengalami perubahan-perubahan simultan yang terus-menerus. Dua perubahan besar itu menandai
perubahan konstelasi kestabilan bonbin. Perubahan ini dialami tahun 1997 saat gedung baru Fakultas
Sastra menggusur warung Pak Kadim yang sebelumnya berada di dalam pagar Fakultas Sastra.
Pada saat itu terdapat rumor besar, di kalangan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra, tentang apa
yang akan dilakukan oleh Pak Kadim. Kegelisahan itu terlihat nampak juga di kalangan pedagang di Bonbin
lama, yaitu Mbak Par dan Mbak Ning. Mbak Par secara tradisional berjualan makanan, sedangkan Mbak
Ning berjualan minuman. Pada saat itu teringat oleh para mahasiswa bahwa terdapat dua antrian
berjenjang panjang untuk mendapatkan pelayanan makanan dan minuman dari dua penjual tersebut.
Bonbin masih sebuah ruang publik yang lapang dan leluasa. Pilihan hidup, di warung Pak Kadim yang
didominasi oleh kelompok pecinta alam Sastra yaitu Kapala, juga kelompok musik SastroMuni, dan juga
(hal ini adalah kultur lama Sastra yang sulit dicari padanannya pada saat ini) para dosen muda yang
berdiskusi hebat bersama para mahasiswa, terutama berasal dari jurusan Antropologi dan Arkeologi. Di
fihak lain, Bonbin pada saat itu tak seramai sekarang. Pelanggan terutama adalah para mahasiswa Sastra,
sedangkan dari fakultas lain amatlah minimal.
Sejak Pak Kadim “nekad” untuk membuka warungnya di Bonbin, konstelasi yang stabil itu pun
menjadi buyar berantakan. Mbak Par mulai menjual minuman, dan kemudian seolah-olah mendominasi
Bonbin, sedangkan warung Mbak Ning kemudian menjadi sepi karena permintaan minuman diserap oleh
Mbak Par. Di sisi lain, warung Pak Kadim buka-tutup secara tak terkontrol. Sering sekali pada jam 11.00
WIB mereka sudah tutup, bahkan sering sekali warung mereka tidak buka selama berhari-hari. Sebuah
tendensi yang berefek sangat besar dan samasekali baru, fihak Pak Kadim memulai sebuah konstelasi
bisnis yang modern, yaitu klaim-klaim wilayah yang membawa seluruh potensi persaingan dagang yang
selanjutnya menjadi bagian integral dari warung Bonbin fase II (kontemporer). Hal itu bermula dari
pengusiran pelanggan dan penggembokan bangku-bangku yang secara demonstratif dirantaikan di atas
meja saat mereka hendak tutup. Hal itu tentu saja merepotkan dan membuat trauma pelanggan, dan
semakin meningkatkan arus ketidakakraban antara ketiga pedagang utama di bonbin tersebut. Kemudian
sebuah fenomena baru muncul, yaitu hadirnya generasi baru pedagang yang menempati sisi-sisi luar
Bonbin sebelah utara, bermula dari Heru, pedagang muda yang menjual ketoprak. Ia kemudian disusul oleh
sang ibu yang menjual bakso di sebelah baratnya menggantikan peran ayahnya.

12
Denah 3.1.

Dari upaya pemetaan, dapat diketahui sistem posisional yang terbentuk dari semua pedagang
tersebut. Jelas nampak bahwa posisi warung Mbak Par sangat menguntungkan, karena secara stasional, ia
membawahi jangkau panggung dalam bentuk yang sangat simetris (berhadapan langsung dengan pelanggan
dan berada dalam fokus pusat ruang terbuka tengah Bonbin) dari hampir 30% dari kemungkinan jelajah
keruangan Bonbin. Sementara itu, karakter-karakter jelajah dari para pedagang lain tidaklah
menguntungkan, karena bersifat tidak simetris (memiliki sisi-sisi kekuasaan ruang yang kosong dari
kemampuan menjangkau pelanggan), sedangkan satu bentuk simetri yang lain (daerah kekuasaan Heru
sekeluarga) menempati ruang pinggir dan mendapatkan rintangan jelajah dari batas pinggir arsitektural
Bonbin beserta bangku-bangku sebelah utara yang sudah mapan.

Denah 3.2

Dalam denah di atas, saya mencoba merekonstruksi batas-batas wilayah kekuasaan substantif dari
para pedagang. Saya sebut daerah kekuasaan substantif dalam arti bahwa batas-batas ruang yang ada
adalah lokal-lokal yang dibentuk sebagai daerah jelajah ruang hidup bisnis privat dimana kekuasaan

13
mereka “ seharusnya” adalah sebuah organisasi ekonomi publik yang mandiri, bersifat mutlak dan tak bisa
diganggu gugat oleh pedagang yang lain. Dalam denah kedua ini, saya mengamati bahwa lokal-lokal basis
perdagangan terlihat jelas. Nampak persoalan bagaimana Heru dan ibunya memiliki batas kemandirian
kerja dimana aktifitas akuntasi keuangan pada waktu kerja dibedakan samasekali, meskipun pada
kenyataannya mereka hadir sebagai sebuah ikatan kekeuargaan yang dekat. Anehnya, hubungan kultural
antara Mbak Ning dengan Heru nampak lebih besar. Keakraban yang terjalin diantara mereka lebih nampak
dibandingkan kehadiran antara ibu dan anak. Nampak disini bahwa batas kekuasaan lokal warung
terhadap ruang publik pelanggan, yaitu jangkauan pelayanan bersama terhadap pelanggan dan penggunaan
fasilitas bersama antar warung secara fleksibel dilakukan oleh fihak warung Mbak Ning kepada dua fihak
warung yang lain, yaitu Heru dan warung anak keturunan Bu Kadim.

Denah 3.3

Denah 3.3 menggambarkan jaringan standar dari pedagang dan pelanggan yang hidup dalam sebuah
lokal definitif tertentu. Saya sebut sebagai lokal definitif karena daerah-daerah yang ditunjukkan dalam
lingkup lingkaran-lingkaran di denah di atas merupakan hasil definisi yang dibentuk bersama oleh para
warga Bonbin.
Perbedaan antara wilayah substansif seperti dalam denah 3.2 dengan lokal definitif dalam denah 3.3
adalah jika wilayah substansif merujuk pada warung beserta ruang kerja dari para pedagang, maka lokal-
lokal definitif merujuk pada bagaimana para pelanggan (dan juga mungkin pedagang) dalam mendefinisikan
ruang-ruang yang berhubungan/paling dekat dengan para pedagang. Batas-batas lokal ini juga dibentuk
dari tradisi pengelompokan pembeli mayoritas dari makanan dan minuman dari para pedagang. Diantara
dua lokal yang paling luas yaitu lokal Mbak Par dan Mbak Ning, frekuensi manusia yang ada dalam rentang
waktu yang setara masih diungguli oleh lokal Mbak Par. Namun demikian, Mbak Ning memiliki fleksibilitas
yang tinggi dalam mengadakan koalisi dengan warung anak-anak Bu Kadim dan Heru dalam menautkan
garis demarkasi tradisional mereka.

14
Denah 3.4

Denah di atas menggambarkan tiga pilahan utama jalinan hubungan yang separuh stabil antara
pedagang dengan pedagang, serta pedagang dengan pembeli di Bonbin. Dibandingkan dengan ikatan
jangkauan kekuasaan dan daya jelajah perdagangan, denah di atas memperlihatkan bahwa korelasi antara
pedagang dan pembeli adalah semacam gambaran yang bersifat hegemoni dan koalitif. Nampak dalam
denah bahwa Heru, ibunya, dan Mbak Ning membentuk koalisi hubungan kultural dengan bersama-sama
mengelola hubungan jual beli dengan pelanggan Bonbin pada sektor-sektor bersama yang saling diiriskan.
Nampak pula bahwa pedagang siomay dihegemoni oleh Mbak Par, karena batas pandang lingkungannya
dikuasai oleh batas ruang kekuasaan dan daya jelajah warung Mbak Par. Irisan-irisan kebersamaan koalitif
itu bersifat sangat minimal, dan upaya penembusan terhadapnya selalu dilakukan oleh para pelanggan
biasanya karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian etis terhadap konflik perdagangan di Bonbin.
Denah 3.4 juga menggambarkan daya jelajah nyata dari para pedagang agar mampu membujuk para
pelanggan Bonbin yang memiliki kebiasaan tertentu duduk di tempat tertentu, juga daya tembus wilayah-
wilayah keruangan publik Bonbin. Dalam denah ini saya menemukan bahwa daya jelajah dari warung Mbak
Par sangat besar dan memiliki bentuk bulan sabit mengurung hampir 180 derajad ruang privat-publik
beratap di sebelah selatan, barat, dan timur ruang Bonbin. Juga patut diingat bahwa Mbak Par juga
menebarkan tenda plastik tebal yang menaungi hampir separuh ruang kosong-tengah Bonbin, sehingga
praktis separuh ruang Bonbin pilahan barat menjadi ruang aktifitas kekuasaan publiknya. Ruang jelajah
kekuasaan keruangan dari pedagang bakso adalah yang paling kecil, terutama dapat ditarik dari
kemampuannya mengakses penjualan minuman di Bonbin yang hanya mampu menjangkau sekotak kecil di
sebelah utara-tengah. Meski ia sebenarnya mampu mengakses “seluruh” Bonbin, tidak seperti halnya
dengan ketoprak dan siomay, ketiga warung tersebut tidak terlibat dalam persaingan berat tiga warung
besar yang lainnya.
Meskipun mampu mengakses luas, tetapi volume penjualan makanan mereka jauh sekali di bawah
ketiga pemeran utama perdagangan Bonbin. Persaingan utama memang dilakukan oleh tiga fihak, yaitu
Mbak Par, Mbak Ning, dan warung Bu Kadim. Denah di atas, akhirnya merujuk pada sesuatu yang lebih
khusus, yaitu penjualan minuman. Diantara para penjual di Bonbin, kini hanya Heru dan penjual siomay
yang tak turut menjual minuman. Akhirnya memang muncul sebuah kode etik perebutan ruang yang
ditentukan oleh sikap pelanggan untuk menempatkan diri saat membeli “terutama” minuman. Pelanggan
minuman akan cenderung berusaha duduk di dekat penjualnya selain karena sebuah rasa yang bernama
pekewuh, juga karena akan dipandangi dengan rasa tidak senang oleh seorang pedagang saat ia gagal
menempatkan diri duduk saat mengkonsumsi minuman di suatu wilayah publik Bonbin yang sudah
terkapling tersebut.
Untuk kasus Bu Kadim, rasa tidak nyaman itu lebih kentara dengan sikap para penjualnya yang
menutup diri dari komunikasi antar penjual, juga membatasi secara eksklusif ruang pelayanan dan waktu
jual mereka. Entah karena gabungan dari perasaan tidak enak penguasaan publik itu terjadi sebuah
suasana ketegangan antar pedagang, yang juga dirasakan oleh pelanggan.
Ketegangan semi terbuka itu terasa dalam rasan-rasan yang sering dilakukan antar pedagang saat
keluarga Bu Kadim tutup tidak berjualan. Di kalangan pelanggan pun acara rasan-rasan terhadap warung
Bu Kadim itu sering terjadi, terutama jika mereka merasa sangat tidak nyaman terhadap kelambanan
pelayanan, harga yang mahal, dan penggembokan semena-mena yang dilakukan pada bangku-bangku yang
diklaim merupakan kekuasaan mereka. Penggembokan itu jelas menyempitkan ruang publik Bonbin. Pada

15
akhirnya para pelanggan Bonbin cenderung enggan untuk membeli makanan dan minuman dari warung Bu
Kadim.

III.2. Politik Kehidupan Pelanggan Bonbin

Denah 3.5

Bonbin berada dalam tiga arus besar kedatangan, dimana ketiga arus besar utama tersebut
merupakan satu kesatuan arus dari hilir ke hulu. Jalan Humaniora yang bisa dilewati dari arah barat
(lalulintas dari Boulevard ke Lembah sebelah timur) dan timur (arus dari lembah timur lewat jalur selatan
ke arus jalan lembah selatan yang mengalir lewat bundaran humaniora).
Arah masuk lalulintas pelanggan tersebut bergerak sesuai dengan definisi individual di ruang publik
UGM, dari arah selatan mengalir arus dari Fakultas Sastra UGM melewati koridor gedung baru fakultas.
Dari arah barat mengalir warga berasal dari tempat parkir Fakultas Sastra UGM. Sedangkan dari sisi utara
mengalir pelanggan Bonbin dari Fakultas Filsafat, Fakultas Fisipol, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas
Psikologi. Di ruas jalan tersebut juga didapati badan pinggir jalan yang dipenuhi oleh parkir liar dari para
mahasiswa. Dari sumber tersebut, kalangan pelanggan dari semua sumber institusi tersebut datang,
terutama yang segan memparkir motor di tempat parkir fakultasnya masing-masing. Pelanggan yang biasa
menggunakan mobil juga datang dari arah ini, karena UGM saat ini tidak memfasilitasi secara jelas lahan
parkir mobil untuk mahasiswa.
Arus-arus tersebut akhirnya ketika masuk ke Bonbin memecah diri menjadi arus-arus individu,
dimana individu-individu dari sumber-sumber tertentu memilih ruang privat-publiknya sendiri di Bonbin.
Individu-individu tersebut memilih ruang-ruang penampung identitas baru mereka, yaitu identitas
individu/masyarakat Bonbin. Mereka ditampung dalam ikatan-ikatan subkultur yang khas dalam sikap,
perilaku, dan pola pembicaraan.

16
Denah 3.6

Pertama patut diketahui bahwa dalam proses selama bertahun-tahun, akhirnya muncul subkultur-
subkultur yang bersifat turun-temurun angkatan, yang mengelompok, sedikit banyak bersifat eksklusif, dan
menempati lokal-lokal tertentu di Bonbin. Seperti juga halnya dengan para pedagang, kelompok-kelompok
tersebut saling bersaing dalam perebutan ruang hidup, namun demikian kekerasan persaingan itu tentu
saja tak bisa dibandingkan dengan persaingan di antara para pedagang Bonbin.
Subkultur-subkultur itu dapat disebutkan di antaranya adalah kelompok Kapala, kelompok
Antropologi, kelompok Ekonomi, ditambah kerumunan-kerumunan kecil lain seperti pelanggan Psikologi,
pelanggan Filsafat, dan pelanggan Fisipol.
Identifikasi komunitas di Bonbin bersifat situasional dan lokusional, namun kedua syarat-syarat
komunitas tersebut berjalan demikian cepat dan tidak tetap. Ikatan komunitas dibentuk lewat koalisi-koalisi
individual. Di sisi lain ikatan-ikatan yang hadir dalam struktur-struktur tersebut tidak bersifat tetap dan
tertutup secara murni dan sederhana, tetapi hubungan-hubungan diantaranya dapat dikatakan juga
sebagai sebagai pertemuan demi pertemuan, berjarak, dan lebih sporadis dibanding masyarakat yang
tertutup dan secara baik terintegrasi. Hal ini mengisyaratkan pula kehidupan sosial Bonbin juga
merupakan bentuk habituasi bebas. Dalam rentang sesi-sesi pendek dan eksklusif yang bersifat struktural
(satu komunitas merupakan antithesis dari komunitas yang lain) maka Bonbin bisa disebut komunitas. Di
fihak lain, Bonbin sebagai rangkaian pertemuan sosial yang berubah-ubah secara disposisional merupakan
sebuah habitat. Dalam kehidupan Bonbin, saya mengamati bahwa sebenarnya kualitas ikatan-ikatan itu
bergantung pada momentum-momentum tertentu, akumulasi jumlah yang berkumpul , dan juga intensitas
pembicaraan yang berhasil dilakukan bersama.
Dalam denah diatas, lokal I ditempati oleh komunitas jurusan Antropologi, lokal II dikuasai oleh
komunitas Kapala, lokal III dikuasai oleh kerumunan-kerumunan kecil Fakultas Filsafat, Fisipol, dan
Psikologi, ditambah individu-individu dari Fakultas Sastra. Lokal IV terutama dikuasai oleh komunitas
Ekonomi Tuwo, yaitu komunitas mahasiswa ekonomi yang tak kunjung lulus. Dalam ikatan yang keempat
ini, mereka mendefinisikan keruangan Bonbin dari arah yang sangat berbeda dibandingkan dengan
paruhan yang mereka sebut Bonbin Barat. Mereka menyebutkan dirinya sebagai penguasa wilayah Bonbin
Timur. Lokal V sering diisi oleh mahasiswa asing maupun individu-individu pelanggan setia warung
keluarga Bu Kadim.

17
Denah 3.7

Konsentrasi massa yang besar ada dalam tiga lokal, yaitu lokal favorit I yang terutama terdiri dari
massa mahasiswa Antropologi, ditambah individu-individu tertentu yang saling akrab dari jurusan lainnya.
Konsentrasi massa kedua ada di lokal II yang terutama dikuasai oleh massa Kapala. Konsentrasi massa
ketiga di lokal III dikuasai oleh massa dari Fakultas Ekonomi. Konsentrasi-konsentrasi tersebut dalam ritus
Bonbin dapat mengerumun dan menetap di Bonbin, sehingga loka-lokal tersebut selalu penuh mulai dari
pagi hingga sore hari. Pada pagi hari saat massa-massa penguasa belum datang, atau di sore hari saat
jurusan-jurusan D3 hadir, sementara massa utama sudah pulang/berkurang jumlahnya. Mereka
menduduki tempat-tempat favorit tersebut. Tempat favorit tersebut terutama di lokal I dan II.
Kehendak tersebut dapat dijelaskan dari konstruksi regional Bonbin. Sisi-sisi konsentrasi tersebut
memang tempat yang nyaman. Lokal I adalah tempat yang lapang, lokal II di pojok dekat parkiran motor
Fakultas Sastra terasa terlindung, dan lokal III posisinya sangat privat dan eksklusif. Kondisi-kondisi
tersebut yang menyebabkan lokal-lokal tersebut menjadi favorit konsentrasi massa pelanggan Bonbin.

Denah 3.8

Di sisi lain terdapat pula titik-titik favorit bagi seorang individu untuk duduk nongkro ng. Saya catat

18
ada 6 titik tersebut. Titik tersebut 5 buah berada di bangku semen, dan satu titik di bangku kayu dekat
parkir motor Fakultas Sastra. Tiga buah titik di sebelah barat memungkinkan individu-individu untuk
bersandar di tiang sambil mengamati lalu lalang orang yang masuk jalan parkiran Fakultas Sastra, koridor
gedung baru Sastra, dan kompleks parkiran Fakultas Sastra. Dua titik di sebelah utara berada di sisi dalam
bangku semen Bonbin. Berbeda dengan titik-titik di sebelah barat, titik-titik ini tidak memungkinkan
individu-individu melihat ruang publik luar secara langsung karena terhalang oleh warung bakso dan
taman buatan di lahan kosong antara jalan utama humaniora. Namun demikian titik tersebut nyaman
untuk bersandar menyendiri atau juga sambil berbincang.
Mereka mau melihat ruang publik luar itu karena di ruang-ruang luar tersebut hampir setiap saat
muncul pemandangan-pemandangan langsung, misalnya perempuan-perempuan muda cantik yang sedang
berjalan, teman-teman kampus yang berjalan atau naik kendaraan menuju tempat parkir, orang-orang
asing yang berseliweran, atau juga dosen yang baru datang. Orang-orang di Bonbin melihat dengan berbagai
macam perasaan tertentu, tergantung pada kepentingan-kepentingan yang sangat pribadi. Ada orang yang
ingin memandangi kecantikan atau ketampanan orang, ada juga yang menunggu kedatangan teman,
ataupun kepentingan-kepentingan yang lain. Mereka menunggu pergantian-pergantian peristiwa yang
memiliki detail-detail dan keunikan-keunikan yang selalu berbeda setiap saat. Peristiwa visual tersebut
demikian menyolok dilakukan oleh warga Bonbin, ditunjang oleh posisi Bonbin yang strategis secara visual
karena posisinya sebagai aksis dalam lalulintas gerak yang ada di sekitarnya.
Sebuah titik diantara Mbak Ning dan Bu Kadim adalah titik yang unik, karena sebenarnya tidak
benar-benar nyaman. Hal ini disebabkan karena konstruksi keruangan dari tempat-tempat itu memberikan
situasi yang aneh. Posisinya yang terjepit di antara dua pedagang, langsung berhadapan dengan sinar
matahari dari atap terbuka di tengah, langsung berhadapan dengan ruang kosong di tengah Bonbin, dan
juga tidak terdapat meja tempat meletakkan minuman atau makanan. Ketidaknyamanan yang aneh
tersebut menimbulkan kesan bahwa orang-orang yang duduk di sana adalah orang yang individualistis,
berani menantang perasaan tersiksa, dan unik. Tercatat paling tidak 5 orang yang sering duduk di situ.
Saat saya mencoba duduk di situ, memang terasa sebuah perasaan sendiri di tempat ramai yang unik;
perasaan tak aman, perasaan murung yang hadir tiba-tiba, namun secara perlahan berubah menjadi
sebuah keasyikan yang penuh dan mendalam. Seakan-akan semua yang hadir di sekeliling berada di alam
yang berbeda. Saat saya menanyakan tentang perasaan mereka di tempat tersebut, dua orang yang biasa
duduk di tempat tersebut menyatakan bahwa fenomena psikologis yang saya alami juga mereka rasakan,
dan menjadi sumber keasyikan tersendiri bagi mereka.

Denah 3.9

Para pelanggan Bonbin, cenderung memiliki kemauan untuk melihat ke luar Bonbin yang besar.
Jawaban terhadap pertanyaan mengapa penikmat Bonbin memiliki akses penglihatan ke luar yang lebih
besar dapat difahami dari kondisi-kondisi yang membentuk konstelasi secara keseluruhan antara ruang
nilai Bonbin sebagai ruang privat sekaligus sebagai ruang publik, berhadapan dengan ruang luar yang lebih
besar.
Ruang yang lebih besar bersifat tidak mudah diduga, asing, dan merupakan sumber kehidupan dari
Bonbin. Ruang luar sebagai sumber kedatangan orang-orang yang ingin masuk ke Bonbin. Sebagai ruang
privat yang tertutup, Bonbin ternaungi dan menjadi bahan daya tarik namun juga bersifat gelap, sedang
ruang luar sering dimaknai sebagai bersifat luas, liar, dan panas.
Orang-orang yang berada di Bonbin cenderung memilih posisi duduk, yaitu posisi santai sehingga
kesempatan optikal untuk melihat santai ke berbagai penjuru lebih dimungkinkan daripada posisi-posisi

19
orang-orang di luar Bonbin yang cenderung berdiri atau berjalan/berkendaraan. Dapat dilihat dari denah di
atas bahwa posisi saling lihat utama berasal dari 3 penjuru utama ditambah dua penjuru pendamping,
yaitu dari arah jalan masuk ke parkiran Fakultas Sastra dan Jalan Humaniora. Di sebelah timur Bonbin
sebenarnya juga ada jalan masuk ke parkiran Fakultas Ekonomi, tetapi jalan itu terhalang dari luar oleh
WC Bonbin, dan dari dalam oleh warung Mbak Ning dan Bu Kadim. Di sisi lain, dalam kenyataannya posisi
leluasa yang dibentuk oleh konstruksi peletakan warung Mbak Par yang berada di sisi terbuka-dalam
Bonbin memungkinkan keleluasaan pandangan sebesar hampir 180 derajad mulai dari sisi panah angin
Selatan hingga Utara. Di sisi itulah mengalir arus lalulintas jalan primer, jalan masuk parkiran Fakultas
Sastra, dan parkiran Fakultas Sastra. Konstelasi tersebut bersifat sangat menguntungkan untuk Mbak Par
dalam menarik konsentrasi pelanggan mahasiswa-mahasiswa, terutama yang berasal dari Fakultas Sastra.

20
BAB IV

Ritus-ritus Bonbin

Bonbin adalah ruang publik yang memiliki siklus tertentu, saat individu-individu menempati ruang, yang
secara perilaku bertindak sebagai bagian sosial yang lebih luas. Pada sisi ini, waktu, ruang, individu
sebagai agen, maupun individu sebagai atom sosial, bermain dalam sebuah struktur bersama yang
disebut ritus. Oleh karena itu sebagai ruang yang memiliki konteks, nilai fungsional Bonbin bergantung
pada kelengkapan keempat aspek tersebut.

IV.1. Ritus Waktu dan Keruangan

Ritus Bonbin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :


1. ritus harian
1. siang –malam
2. hari
1. Senin – Kamis
2. Jum’at
3. Sabtu
4. Minggu/hari libur
3. pagi - sore
4. S1-D3
2. ritus semester/ ujian - luang
3. ritus tahunan
4. sesi-sesi khusus

Bonbin mendapatkan kehidupan yang sesungguhnya pada waktu pagi hingga sore hari (dalam arti hari
terang), sementara pada malam hari ia mati. Tetapi patut juga dicatat bahwa pada malam hari Bonbin
pun sering dipakai oleh kelompok-kelompok mahasiswa Sastra yang terutama dari kalangan komunitas
Kapala/Hijau. Di tempat ini mereka sering duduk bersama, berbincang dan bergurau, berdiskusi, atau
minum-minuman keras. Mereka biasa duduk di dekat warung Mbak Par, atau di po jok dekat parkiran.
Hal ini disebabkan pada malam hari mereka dapat secara lebih leluasa dan privat melaksanakan
kegiatan yang pada siang hari akan cenderung dianggap melawan norma-norma moralitas normal
masyarakat dari sebagian warga Bonbin pada waktu siang hari. Kegiatan itu terutama adalah minum-
minuman keras. Pada waktu-waktu tertentu, mahasiswa-mahasiswa ekstension, atau mahasiswa-
mahasiswa Fakultas Ekonomi sering berkumpul juga di situ, dan duduk di pojok sebelah timur laut.
Situasi kegelapan itu tidak menghalangi mereka untuk berkumpul. Namun demikian pada keseharian
malam, peristiwa-peristiwa tersebut jarang terjadi. Bonbin di malam hari lebih sering kosong dan gelap
mencekam, karena kelompok Kapala/Hijau juga memiliki ruang berkumpul yang lebih aman dan terang
di bagian belakang Fakultas Sastra.
Pada siang hari Bonbin memiliki fungsi-fungsi yang penuh, sebagai pasar sekaligus ruang publik-privat.
Para pedagang membuka warung-warung mereka, dan bangku- bangku yang sebelumnya dirantai (di
warung Bu Kadim dibuka dan ditata).Konstelasi-konstelasi regional lengkap keberadaannya, yaitu
Fakultas-fakultas yang melaksanakan ritus ajar-mengajar, jalan yang dilintasi lalu-lalang kendaraan,
tempat parkir yang terbuka. Sementara pada malam hari gerbang-gerbang UGM banyak yang ditutup
sehingga arus hanya bisa masuk dari tiga arah yaitu jalan lembah utara, jalan lembah barat lewat
bundaran baru, dan dari arah boulevard UGM. Jalan masuk itu kemudian berporos pada jalan
Humaniora.
Ritus harian kedua adalah ritus hari-hari. Pada hari Senin hingga Kamis, Bonbin di siang hari adalah
Bonbin yang ramai sedang-sedang saja. Pada waktu tersebut Bonbin dipenuhi oleh para pelanggan baik
yang menunggu waktu untuk kuliah atau hanya sekedar duduk-duduk dan berbincang bersama
teman/kelompok mereka. Pada hari Jum’at, suatu ritus yang unik juga, Bonbin mulai jam 11.00
dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa/alumnus Antropologi. Kebiasaan ini sebenarnya bermula sejak dua
tahun yang lalu saat mereka mendapatkan proyek-proyek penelitian kuantitatif yang memiliki nilai uang
yang besar. Dalam proyek-proyek tersebut komunitas Antropologi banyak dipekerjakan sebagai surveyor.
Saat itu (hingga kini) kontak-kontak pencarian surveyor itu dilakukan di Bonbin. Sangat kebetulan pula,
sering sekali jadwal-jadwal dan pencarian tenaga kerja tersebut sering diumumkan baik secara personal,
lembaga, atau umum direkatkan di dinding jurusan Antropologi di belakang pada hari Jum’at.
Selanjutnya muncul ritus kumpul-kumpul komunitas Antropologi pada hari itu. Mereka datang satu per
satu atau bergerombol mulai jam 11.00 siang. Pada jam 12.00, seperti biasanya dilaksanakan Sholat
Jum’at. Pada zaman sebelum Masjid Kampus UGM selesai, Mushola Al Adab di Fakultas Sastra sering
digunakan untuk ritual religius tersebut. Pada saat itu, komunitas Antropologi yang beragama Islam
banyak yang melaksanakan sholat Jum’at bersama sama. Ritus hari jum’at tersebut terus dilakukan
sampai saat ini. Pada hari itu, Bonbin yang justru sering kosong dari mahasiswa-mahasiswa jurusan lain
ruangnya didominasi oleh komunitas Antropologi. Pernah saya catat suatu saat bahwa diantara 31
pengunjung Bonbin (non pedagang), sebanyak 27 orang berasal dari komunitas Antropologi.

21
Pada hari Sabtu, kegiatan ajar-mengajar di fakultas-fakultas cenderung terbatas, sehingga pengunjung
Bonbin sangat sedikit. Hari Sabtu yang mendekati hari Minggu (hari libur) nampaknya juga membuat
individu-individu yang biasa datang pada hari-hari biasa segan untuk kongkow-kongkow di Bonbin.
Namun pada hari tersebut pula mahasiwa-mahasiswa D3 Fakultas Sastra mendapatkan kesempatan
untuk kuliah di pagi hari, sehingga Bonbin pada hari Sabtu banyak di datangi oleh para
mahasiswa/alumni D3 Sastra. Pada hari Minggu dan libur lainnya, Bonbin menjadi kosong.
Gambaran kedua tentang ritus Bonbin adalah pembagian-pembagian waktu di pagi hingga sore. Pada
pagi hari, sekitar jam 07.00 hingga jam 10.00, Bonbin masih sepi. Para pedagang memang telah
membuka warungnya masing-masing, tetapi pelanggan yang datang masih sedikit. Waktu-waktu
tersebut memang adalah jadwal padat perkuliahan di semua fakultas. Orang-orang yang datang pada
waktu itu kebanyakan adalah yang ingin sarapan pagi, atau orang-orang yang benar-benar ingin
menikmati waktu luangnya dengan duduk-duduk di Bonbin sendirian atau bersama orang yang terbatas.
Mulai pukul 11.00 siang, Bonbin tiba-tiba menjadi ramai. Orang-orang berdatangan baik dari fakultas-
fakultas maupun langsung dari rumahnya untuk nongkrong di Bonbin.
Waktu-waktu siang adalah masa yang sangat riuh. Bonbin dipenuhi oleh lalu-lalang orang, suara orang
yang bercakap-cakap, dan aktifitas jual beli. Sesi itu berlangsung kira-kira hingga pukul 14.00 saat
banyak pelanggan Bonbin satu-persatu atau kelompok-per kelompok mengundurkan diri pulang atau
melaksanakan jadwal kegiatannya yang lain. Mulai jam 14.00 itu, mulailah berdatangan mahasiswa-
mahasiswa D3 yang menambah kekosongan Bonbin yang mulai terasa. Pada kenyataannya, sebenarnya
tidak pernah terjadi kekosongan yang mutlak, karena komunitas-komunitas pada waktu siang tidak
benar-benar hilang. Individu-individu tertentu banyak yang tetap bertahan untuk duduk dan bercakap-
cakap di Bonbin.
Aktifitas sore hari itu akan benar-benar reda saat waktu mencapai pukul 16.00 saat para pedagang
mulai membersihkan lantai yang kotor oleh puntung rokok dan ceceran sampah yang lain. Jam 16.00
Bonbin menjadi lengang, bersamaan dengan mulai lengangnya kegiatan ajar mengajar di fakultas-
fakultas. Bonbin tinggal lengang hingga pagi harinya.
Sekali lagi, Bonbin mendapatkan sumber kehidupannya bergantung pada masa-masa perkuliahan
penuh. Ia bergantung pada situasi, dimana orang-orang hadir di ruang-ruang regional di sekeliling
Bonbin. Biarpun demikian, Bonbin juga membutuhkan sebuah situasi, saat orang-orang tidak dituntut
terlalu berlebih untuk berkonsentrasi pada ruang-ruang regional tersebut. Kehidupan pelanggan Bonbin
sebagai individu-individu atau kelompok-kelompok yang menikmati situasi privat/bersama di Bonbin
membutuhkan sebuah kultur yaitu kultur Leissure Class (kelas luang). Kelas luang bisa nyata saat
manusia-manusia di tempat itu bisa bertindak santai. Di kalangan mahasiswa ilmu-ilmu sosial, situasi
santai itu bisa dilakukan pada saat-saat luang tertentu seperti jam-jam kosong antar kuliah, atau hari-
hari kosong saat tak ada perkuliahan.
Berbeda dengan dunia SMA atau kerja, kenyataannya mahasiswa tidak dituntut untuk sehari penuh,
atau setiap hari, dikekang oleh jadwal-jadwal. Rata-rata setiap mahasiswa mengambil sekitar 20 jam
operasi perkuliahan saja setiap minggunya. Di lain fihak, ternyata juga mahasiswa-mahasiwa abadi
ataupun alumnus-alumnus yang masih menganggur dan bertahan hidup sehari-hari di Bonbin tak
terkekang pada jadwal-jadwal itu. Dosen, juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya juga
mendapatkan akses untuk berkumpul di Bonbin dan membentuk kultur independen yang sama sekali
lain dengan dunia sekelilingnya di sana. Akan tetapi, toh dunia sekeliling yang bersifat regional, tetap
menjadi tolok ukur apakah Bonbin hidup ataupun tidak. Pada musim-musim perkuliahan, Bonbin
cenderung menjadi ramai oleh kedatangan para pelanggan, namun pada masa-masa tertentu, seperti
masa ujian, jumlah pengunjung Bonbin berkurang. Yang tertinggal masih duduk dan mengobrol di
Bonbin kebanyakan adalah para alumnus ataupun mahasiswa-mahasiwa lama yang tak kuliah lagi
namun tak juga kunjung lulus.
Pada masa tertentu, seperti saat liburan semester, Bonbin menjadi mati sama sekali. Pertama-tama
memang pengunjung masih ada, hanya saja demikian sedikit. Namun saat para pedagang menganggap
masa itu adalah masa penjualan yang tidak menguntungkan, mereka cenderung menutup warung
mereka. Pada situasi itu, Bonbin sebagai ruang yang memiliki sebuah sistem sosial menjadi timpang dan
kacau. Situasi kekacauan dari ada menuju tidak ada, dari tidak ada menuju ada tersebut adalah juga
merupakan sebuah ritus yang unik. Pada situasi tertentu pergerakan-pergerakan antar elemen sosial
tersebut membentuk siklus liminalitas10. Disposisi-disposisi sosial saat satu elemen bergantung pada
pergerakan elemen-elemen yang lain secara bersamaan, menentukan denyut nadi kehidupan Bonbin.
Ada sebuah situasi lain, saat kelengkapan-kelengkapan disposisi sosial tersebut mendapatkan warna
yang berbeda, yaitu pada momentum-momentum tertentu yang khusus. Peristiwa itu antara lain
misalnya adalah ketika di Bonbin diadakan acara-acara khusus seperti pergelaran musik di Bonbin.
Pagelaran itu adalah acara yang diselenggarakan oleh kelompok Sastro Budoyo dengan cara mengangkut
perlatan-peralatan band ke Bonbin beserta seluruh peralatan-peralatan sound-systemnya.

10
Situasi kekosongan ini selalu berulang pada setiap musim liburan. Masa jeda panjang ini menyebabkan perilaku-perilaku dan konstelasi-konstelasi sosial
yang berubah sedikit drastis pada perbandingan ant ara dua mas a ramai yang berrenteng. Hal ini sering adalah bentuk kebaruan-kebaruan yang s edikit banyak
menimbulkan peras aan asing, tetapi dengan cepat diantisipasi dan dinikmati oleh para pel anggan dan pedagang di Bonbin. Kebaruan-kebaruan itu meski tidak
merubah si fat dan struktur Bonbin secara drastis tetapi banyak mencatat pergantian detail-det al hubungan dalam komunitas-komunitas yang ada di Bonbin.
Artinya dal am jeda tersebut terdapat pros es-pros es perubahan yang secara sosial kemudian dituangkan di dalam rutinitas Bonbin saat kembali menjadi ramai
kembali.

22
Pada situasi itu, konstelasi-kostelasi di ruangan Bonbin sebenarnya menjadi setengah kacau. Kelompok
itu menyita sebagian ruangan Bonbin yang terletak di tempat komunitas Kapala biasa berkumpul, yaitu
di area barat laut Bonbin. Sebagian orang merasa sangat menikmati pergelaran musik tersebut, karena
permainan musik dan nyanyian kelompok tersebut memang cukup bagus. Mereka mampu memainkan
mulai dari musik reggae, pop, blues, hingga Dangdut. Namun demikian, ruang yang tersita dan orang-
orang yang kemudian berkumpul di ruang Bonbin karena ingin mendengarkan musik, ditambah
pelanggan-pelanggan lainnya yang cuek membuat Bonbin terasa sangat padat dan hingar-bingar. Orang-
orang, baik pelanggan maupun penjual di satu sisi merasa terhibur dan senang, namun di sisi lain
merasa sedikit terganggu. Saat terberat adalah ketika pengeras suara ngadat dan tiba-tiba mendengung
suara keras ekali, atau saat permainan musik menjadi kacau karena penyanyinya bersuara serak-serak
sember dan pengiringnya kacau balau.
Situasi khusus yang lain terkenang terjadi tahun 1998. Saat tersebut Bonbin bagi para pelanggannya
menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang hendak berdemonstrasi atau lelah setelah
berdemonstrasi. Pada saat itu Bonbin menjadi tujuan reli koordinator lapangan demonstrasi. Mereka
menjemput massa mulai dari Fakultas Filsafat, kemudian bergerak ke Fakultas Psikologi, barulah
mereka melakukan orasi di depan Bonbin. Pada situasi bentrokan dengan aparat, Bonbin pun menjadi
tempat pelarian juga. Sejak zaman dahulu pun, Bonbin sering menjadi tempat orasi maupun
penyampaian selebaran-selebaran politik. Pada kenyataannya, Bonbin juga menjadi tempat berkumpul
yang cukup favorit bagi kelompok-kelompok politik mahasiswa baik untuk bersantai maupun jual-beli
ide-ide mereka.

IV.2. Interaksi dan Obrolan

Ada sebuah ritus yang luarbiasa di Bonbin, yaitu obrolan yang intensif dilakukan di Bonbin.
Pelanggan yang datang ke Bonbin, seringkali tidak memandang makan dan minum sebagai sesuatu yang
utama, tetapi menginginkan suasana pertemuan dengan banyak teman, melihat orang lalu-lalang, dan
mengobrol bahkan mulai dari pagi hingga sore hari.
Kehidupan sosial di Bonbin memang sangat beragam. Ada sebuah situasi yang khas dalam
pembicaraan di Bonbin, yaitu situasi sintagmatis, yaitu situasi berbagai wacana yang berbeda dalam
dialog bisa saling bersahutan. Contoh terhadapnya adalah
“Eh cewek”, kata Roby.
“Eh cowok”, kata perempuan itu.
“Kapan aku jadi cewek”, tanya seseorang yang merasa ikut andil dalam pembicaraan.
Demikianlah mahasiswa KKN yang pulang ke bonbin, secara bersamaan menambah :
“Kok mulih (Kok pulang)”, tanya Roby.
“Kangen sama aspal”, jawab perempuan yang kedua, duduk mendekat pada laki-laki itu.
“Ketemu cah lanang bagus ora ? (Bertemu dengan lelaki tampan tidak?)”, tanya Roby.
“Sing bagus atine siji (Yang indah hatinya satu)”, jawab perempuan itu
“Tak dongakke oleh yang (aku doakan mendapat pacar)”, kata Roby manis sambil menatap mata
cewek.
“Amin-amin”, kata si cewek 2 tertawa manis menyapu ruangan bonbin. Cewek yang lain ditinggal
dalam percakapan dan aku ganti tatap wajahnya, sambil sesekali menatap jalan yang penuh
seliweran wanita-wanita yang datang kemudian. Kemudian datang si Wahyu membawa rokok
sambil pergi memesan nasi. “Piye kabare? (Bagaimana kabarmu?)”
“Kabar sing piye ? (Kabar yang bagaimana?)”, balas Roby.
“Yo wis” (Ya sudah..), balas Wahyu.
“Lho kok yo wis. Skripsimu wis tekan bab pira? (Lho kok sudah. Bagaimana kabar skripsimu?)”,

“Aja takon kuwi. Pengin gelut, po? (Jangan tanyakan itu. Ingin berkelahikah kamu?)”.
“Nek wani!! (Kalau berani!!)”.
“Sttt, wong edan kabeh (Sttt, orang gila semuanya)”, kata Edi.
“Kowe sido melu proyek po ra? (kau jadi ikut proyek atau tidak?)”.
“Njuk kapan le nggarap skripsi? (Terus kapan aku mengerjakan skripsi)”.
“Sing penting oleh dhuwit sik. Njaluk es teh, mas... (Yang penting aku mendapatkan uang terlebih
dahulu…)”.

“Aku pingin niliki cah sing KKN sik (Aku ingin menunjungi teman yang KKN lebih dahulu)”.
“Alah mesti nggoleki si Irma, to? (Ah paling mencari si Irma, kan?)”.
“Jenenge we usaha (Namanya juga usaha)”.
“Njuk usahaku oleh yang ojo mbok ganggu lho, mas (Terus usahaku untuk mendapatkan pacar jangan
kamu ganggu ya mas)”, kata cewek yang satunya lagi.
“Sing seneng karo kowe ki sopo njukan ? (Yang suka sama engkau itu juga siapa?)”, sergah Roby.
“Uhhh”.
Tiba-tiba datang seorang teman dan masuk ke dalam linkaran pembicaraan. Ia bertanya, “ Lagi
ngomongin apa sih kalian?”.

23
Teman di sampingnya menjawab, “Woo, telat (Huu, terlambat)”.

Situasi yang kelihatannya kacau ketika ditranskripsikan, dalam realitas merupakan pola sehari-hari
di Bonbin dan bisa dinikmati bersama-sama. Orang-orang datang, bercakap, bukan dalam arus interaksi
yang tetap tetapi bergantian. Hal inilah yang saya sebut sebagai pola sintagmatis dalam obrolan di
Bonbin.
Sintagma perilaku keruangan pun dapat diamati dari kasus-kasus yang sering terjadi berupa:
Seorang penikmat bonbin bisa bergerak cepat sekali. Pada menit pertama ia bisa datang ke counter Mbak
Par atau Mbak Ning, atau counter-counter yang lain. Selanjutnya ia bisa berjalan ke bangku yang sela
menuju temannya. Menit-menit selanjutnya ia bisa bergeser tempat duduk karena ada orang yang pergi.
Kemudian datang teman yang lain. Sesaat kemudian ia lihat kenalannya duduk ke bangku sela di
beberapa blok bangku dari dirinya duduk. Ia menyusul sebentar sambil ber say hello. Selanjutnya ia
mengambil makanan lagi dari warung. dan memesan bakso dari pinggir bonbin.
Tentang kebiasaan untuk berlama-lama tinggal di Bonbin, ada beberapa persepsi yang saya catat.
Seorang teman berkata, “Emangnya aku nggak ada kerjaan kalau duduk di sini. Aku memang enjoy, coy,
kalau duduk ngobrol di sini. Kalau aku diskusi sama kau, apa kita tidak sedang belajar?” Sebagai alibi,
salah satu mahasiswa tua menjawab pertanyaan saya soal kehidupan mahasiswa-mahasiswa tua yang
tetap bercokol di Bonbin, “Apa yang akan terjadi jika bonbin ini nggak ada? Sastra akan mati, seperti
fakultas-fakultas yang lain.”
Pandangan yang mungkin tidak sama tetapi serupa dinyatakan oleh seorang teman dari Fakultas
Psikologi, “Bonbin membuatku kerasan”. Bahkan seorang teman dari Universitas Airlangga pernah
berkata beberapa tahun lalu setengah kagum sekaligus menyindir, “Layak pancet ra lulus-lulus.
Ngrasanke temenan bonbinmu (Layak saja kalian tidak lulus-lulus juga. Bonbinmu ini membuat kerasan
benar)”.
Seorang teman berkata, “Besok aku nggak mau ah, datang ke sini lagi. Mending di rumah sambil
mengerjakan skripsi.” Besok hari, ia terlihat lagi datang ke bonbin. Sambil tersenyum kecut ia berkata,
“Yah, untuk kali ini saja lagi, ahhh.” Besok harinya, ia datang lagi ke Bonbin. Orang-orang tertentu datang
ke bonbin dan mengalami semacam sindrom kecanduan pada bonbin.
Tentang keberadaan mahasiswa-mahasiwa tua itu, para mahasiswa angkatan muda sebenarnya
cenderung tidak peduli, meskipun stigma buruk terhadap mereka melekat erat dalam kesadaran yang
kebanyakan secara sopan tak terkatakan. Memang ada seseorang yang beropini pendek, “Ra nduwe isin.”
(Tidak punya malu”). Orang-orang tua itu sebagian besar sadar terhadap stigma-stigma anak-anak baru itu.
Seorang berkata, “Aku ini toh punya pekerjaan tetap. Jelas. Punya uang. Kalau aku ke sini mau ketemu
sama teman-teman istrirahat. Toh ora mendino (tidak setiap hari). Mereka itu apa, wong belum punya
kerjaan, to..”
Ada suasana yang selalu hadir, disebabkan karena ciri Bonbin yang panopnikon (ruang melihat
massa), yaitu tampakan-tampakan sensualitas yang tak terhindari di waktu-waktu ini. Bonbin memang
berciri khas maskulin dengan interaksinya yang visualistik, dan verbalisme pembicaraan. Sejak tahun
90-an akhir, Bonbin menjadi ruang yang banyak diakses oleh kaum perempuan. Hal ini menawarkan
ragam sensualitas yang juga kebanyakan hanya bersifat visualistik. Ruang-ruang komunal yang terbatasi
antar kelompok tetap menjadi etika Bonbin untuk tidak secara mudah terjadi penembusan-penembusan
tembok tembus pandang sosial di Bonbin. Implikasi visualitas itu menjadi kegelisahan yang bisa
tercetus. Seorang teman berkata, “Ra ngerti po themon-themon nek kene ngaceng. Sliwar-sliwer wae,
pamer susu karo bokong (Nggak tahu apa, cewek-cewek itu kalau kita ereksi (karena mereka). Mondar-
mandir saja pamer payudara dan pantat)”.
Di sisi lain ada krisis kebebasan di bonbin, krisis eksistensial, yang sering berupa pertanyaan
serupa: “Apa sebenarnya yang ditunggu di bonbin. Apakah sampai tua kita akan ngendon dan nongkrong
disini sambil diskusi berkepanjangan, sambil menunggu ada proyek yang cuma menempatkan kita jadi
buruh, dengan bangga mereka-reka ilmu sosial tetek bengek, prek. Kita sesungguhnya dalam suasana
menunda sebuah revolusi”, kata Deni sengit.
Dalam interaksi di Bonbin, memang ada ruang-ruang kekuasaan kelompok yang setengah disepakati.
Namun demikian, tidak ada larangan ataupun sanksi yang secara etis bisa digunakan untuk mengusir
seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di sebuah bangku yang dipenuhi kelompok yang karib.
Biasanya, orang itu akan merasa canggung sendiri karena pembicaraan menjadi tidak nyambung, sehingga
secara alamiah ia akan pindah ke bangku yang bebas dari kekuasaan kelompok tersebut. Pada situasi
tertentu, jika kelompok tersebut tidak terlalu banyak, seorang bisa bebas duduk makan dan minum tanpa
ada kejanggalan apapun. Secara etis, ruang Bonbin adalah ruang publik yang tetap sah untuk diakses siapa
saja. Namun demikian ada sebuah situasi dimana ada pengusiran. Kasusnya di warung bonbin ada
beberapa buah, namun yang paling fatal adalah kasus seorang teman wanita yang mengalami stress berat
itu dan sudah beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa Yogya.
Ia sesungguhnya menempatkan bonbin sebagai tempat yang tepat untuk mencari apa yang
dianggapnya sebagai teman-teman yang masih mau mendengarnya. Ketika ia saya wawancara ia menjawab
bahwa bonbin adalah tempat dimana ia benar-benar bisa santai dan bisa bertemu dengan orang-orang yang
mau mendengarkan derita hidupnya di kehidupan keluarganya yang mengekang. Bonbin merupakan suatu
jenis obat yang bisa ia raih, karena di tempat lain ia merasakan adanya perasaan tertekan yang berbeda
namun sama-sama mencetuskan kekambuhan penyakitnya. Namun suatu saat ia datang ke Bonbin dan
berteriak, “Ah”, dengan histeris ke arah orang- orang yang sedang makan dan mengobrol di

24
bonbin. Semua orang kaget, melihat ia, bahkan beberapa anak ekonomi di meja berseberangan berdiri
melongok ke arah kerumunan sebelah barat. Saat itu adalah masa paling histeris dalam hidupnya, karena
ia berhasil lulus menjadi sarjana. Ia bicara kepada beberapa anak gerombolan tua, dan berteriak dengan
renyah “Eh, kuncunnnnnggggg”. Terus dijawab dengan perasaan kesal oleh orang yang diajak omong
dengan suara yang amat keras, “Konthooool”.
Semua orang tertawa. Perempuan-perempuan yang duduk ditempat lain di bonbin kelihatan agak
jengah, tetapi juga ikut tertawa, melihat anak angkatan tua itu menjawab balik dengan stress. Si cewek
yang menderita gangguan jiwa tidak kelihatan peduli dengan suasana yang terbentuk itu. Ia tetap
mendekat pada laki-laki itu dan duduk berdempet padanya. Kelihatan sekali wajah memelas dari laki-
laki itu. Akhirnya ia bergegas menepiskan tangan perempuan itu dan pergi masuk ke kampus. Semua
orang segera berhamburan bubar. Tinggalah meja besar itu diisi oleh perempuan itu sendiri. Matanya
tampak berkaca-kaca.
Ada banyak isu lain yang beredar di Bonbin. Diantaranya adalah soal transaksi narkotika,
transaksi seks, informasi penyelundupan senjata, dan banyak hal lainnya yang berbau kriminal. Salah
seorang teman menunjukkan seorang yang juga merupakan teman jauh saya, dan mengatakan, “Dia
sekarang jadi bandar besar jualan shabu-shabu di Yogya”. Ketika saya cek silang dengan beberapa
teman yang lain, semua membenarkannya. Tetapi bagaimanapun juga, teman-teman sesama pelanggan
Bonbin seakan bersepakat bahwa hal itu merupakan rahasia bersama.
Ritus yang sejak Bonbin ada dan hingga sekarang masih dilakukan adalah acara minum-minuman
keras di Bonbin. Kegiatan ini terutama dilakukan oleh anggota kelompok Kapala yang sering duduk di
Bonbin. Pada siang hari pun, mereka sering membawa beberapa botol minuman yang dibungkus plastik
hitam hingga tak terlihat kentara sebagai minuman keras. Situasi tersebut sudah dianggap biasa di
Bonbin, dan tak ada seorang pun yang mempedulikan atau memprotesnya. Hal itu berbeda misalnya jika
ada yang menghisap ganja di Bonbin. Pernah ada seorang teman yang sangat berani menghisap ganja di
Bonbin, langsung dimarahi oleh banyak orang dan ganjanya langsung dibuang ke tanah. Salah seorang
diantara mereka berkomentar, “Jancuk. Ra ngerti po nek neng kene ojo nggelek ngono kuwi. Nek
ketangkep kene yo melu rekoso (Bangsat. Tidak tahukah dia kalau di sini janganlah menghisap ganja
seperti itu. Jika ia tertangkap kita pun turut repot)”.
Transaksi seks yang terjadi di Bonbin sebenarnya terjadi sudah sejak lama. Tetapi pada zaman
dahulu, yaitu awal-awal tahun 90-an, informasi-informasi tentang rekan-rekan perempuan yang bisa
“dipakai” beredar secara sembunyi-sembunyi. Memang ada beberapa informasi yang merupakan isu yang
tidak berdasar, tetapi kebanyakan informasi tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Sejak krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997 ada perubahan suasana yang begitu besar di
Bonbin. Selain Bonbin menjadi semakin ramai, interaksi antar lawan jenis di Bonbin pun berubah
dengan cukup drastis. Perempuan-perempuan banyak memakai pakaian yang makin ketat dan terbuka,
dan Bonbin pun menjadi ruang yang diakses dengan makin intens oleh perempuan. Jika di fakultas
perempuan merokok seakan masih ditabukan, maka Bonbin menyediakan situasi yang nyaman untuk
merokok dengan bebas untuk mereka.
Interaksi-interaksi yang bersifat seksual seperti pacaran di Bonbin pun bukan merupakan hal yang
tabu lagi. Seorang tidak lagi akan dianggap aneh jika berduaan datang ke Bonbin dan berciuman.
Bahkan ada canda-canda yang mungkin terlihat agak kelewatan. Ada sebuah peristiwa, sebuah
rombongan datang ke Bonbin, dan salah seorang perempuan berkata, “Eh kamu lihat pakaianku
semrawang nggak ?” seorang teman laki-laki menjawab, “Ora, santai wae (Tidak. Santai sajalah)”. “Lho
aku pingin kelihatan, kok”, jawab perempuan menimpali. “Terus ben opo ? (Terus biar apa ?)”, tanya
sang laki-laki. “Ben kowe kemecer (Biar kamu nafsu)“. Kemudian laki-laki itu menggerakkan tangan
seperti hendak menangkup payudara perempuanitu. Perempuan itu berlagak menghindar ke belakang
dan tertawa kepada teman laki-lakinya.
Interaksi-interaksi semacam dialog di atas bukan lagi hal yang aneh di Bonbin, sehingga transaksi-
transaksi seksual di Bonbin yang berupa informasi dari mulut ke mulut menjadi tidak laku lagi. Pada era
tahun 90-an akhir hingga saat ini, memang jarang sekali ada seorang pekerja seks komersial yang
menjajakan diri di Bonbin.
Pernah pada tahun 1998 ada seorang perempuan dengan dandanan yang cukup mengundang
perhatian datang ke Bonbin. Ia terlihat jelas sebagai orang yang asing, yang belum pernah datang ke
Bonbin sebelumnya. Pakaiannya yang tipis menampakkan payudaranya yang hanya setengah terturup
BH, terlihat dari sela lobang kancing pakaiannya. Pada waktu itu sedang ada diskusi masalah politik di
antara dua orang pelanggan Bonbin. Salah seorang melihat perempuan itu dan di sela pembicaraan ia
sering memandangi perempuan tersebut. Secara tiba-tiba, perempuan itu datang ke meja itu dan
berkata, “Boleh saya duduk di sini?”. Teman itu menjawab, “Oh. Boleh. Boleh”. Perempuan itu duduk
dan tersenyum pada laki-laki itu. Dengan sangat percaya diri ia langsung mengambil tempat duduk di
depan laki-laki itu dan bertanya, “Jam berapa mas?”. Sebuah pertanyaan yang sangat aneh. Melihat
gelagat itu, laki-laki itu sangat gelisah dan segera mengajak temannya untuk pergi dari situ. Nampak
perempuan itu sangat kecewa, dan segera berpindah ke meja yang lain ke arah seorang laki-laki yang
baru datang dan kemudian duduk sendirian di Bonbin.
Nampaknya, transaksi seks seperti contoh di atas tidak diterima di Bonbin. Kedatangan beberapa
perempuan seperti itu kebanyakan tidak ditangggapi oleh pelanggan Bonbin. Salah seorang teman
mengatakan, “Gila apa menerima transaksi kayak gitu di sini? Bagaimana komentar teman-teman yang

25
lain?” Hal itu menggambarkan bahwa Bonbin tetaplah dianggap merupakan bagian dari kampus, dan
norma-norma masyarakat kampus pun relatif masih dipertahankan di sana.

26
Bab V

Analisis Etnofotografis

Keberadaan

Tampak di dalam foto ini sebuah becak, kaki yang terlipat, seorang pedagang yang membelakangi
lensa, dan meja kursi yang samar-samar. Ruang Bonbin terlihat gelap gulita. Yang tampak
benderang hanyalah konstruksi atap Bonbin. Apakah yang sesungguhnya ada dalam kegelapan
tersebut?

Pedagang dan Pembeli

Bapak tua yang biasa mengangkut makanan Mbak Par melayani dirinya sendirim sementara
Gendut yang berada di sebelah kanannya menuangkan minuman ke dalam jerigen untuk
disimpan.

Heru merangkul seorang pelanggannya. Hubungan dia dengan pelanggan adalah yang paling akrab

27
diantara hubungan antar pedagang dan pembeli di Bonbin yang lainnya. Dalam foto ini Heru
memakai kaus putih dan nampak memiringkan kepala sambil menatap kamera.

Dominasi dan Inferioritas

Dalam foto ini, Mbak Par terlihat gendut, tubuhnya seakan mampu meraup seluruh makanan yang
ada di depannya. Di belakang-sampingnya para calon pembeli maupun orang yang hendak
membayar. Ruang di belakangnya kemudian seakan-akan menjadi ruang kerumun yang berfokus
kepadanya. Pada sisi lain, ibu Heru yang berjualan Bakso nampak kepanasan, meja jualannya pun
kelihatan sempit. Pelanggan yang menanti di sampingnya pun hanya satu orang saja. Di belakang
mereka, lahan kosong di luar Bonbin yang sama sekali tidak terlindung payung atap Bonbin terasa
gersang menggigit.

Mencuci piring kotor bukan pekerjaan pemilik warung. Kegiatan ini adalah pekerjaan bawahan
pemilik warung. Para pekerja ini direkrut oleh pemilik warung karena kesibukan mereka yang
luarbiasa dalam melayani pembeli. Karena posisinya yang hanya sebagai bawahan, ia lebih sering
berada di bak tempat pencucian piring yang kotor. Posisinya memang lebih inferior dibandingkan
pemilik warung.

28
Bersalaman

Dua orang bersalaman sambil disaksikan oleh dua orang di sampingnya. Bersalaman seperti ini
bisa dilakukan oleh dua orang teman yang sudah lama tak bertemu, atau dua orang yang belum
pernah kenal, kemudian diperkenalkan biasanya oleh salah seorang yang telah mengenal
keduanya terlebih dahulu.

Laki-laki dan Perempuan

Dalam foto ini sang perempuan adengan erat meletakkan tasnya di dada. Pada fo to ini banyak
orang duduk berdempet-dempet dan didominasi oleh laki-laki. Nampak jelas bahwa mereka adalah
teman-teman yang akrab. Namun demikian sebagai perempuan selalu hadir perasaan-preasaan
tidak nyaman saat dikelilingi lawan jenis, sehingga secara sadar atupun tidak muncul usaha
melindungi tubuh-tubuh bagian tertentu yang dianggap rawan. Dalam kebudayaan Indonesia,
bagian tubuh itu salah satunya adalah payudara.

Kesendirian dan Kebersamaan

29
Begitu tampak nikmatnya ia berkonsentrasi pada makanannya. Demikian juga seorang
perempuan yang melamun menatap ke luar Bonbin. Terasa sebuah kedamaian (?) di mata mereka.

Kebersamaan bersama para sahabat, sambil berbicara tentang masa depan, kegelisahan, humor,
bertengkar, atau hanya saling diam. Persahabatan adalah sebuah alat untuk mendapatkan
kegembiraan dan kedamaian juga. Meskipun demikian, sendirian maupun bersama belum
menjamin bahwa kegembiraan dan rasa damai muncul dalam diri manusia.

Kita dan Mereka

Antar orang dalam kerumunan Bonbin berkomunikasi, namun tidak semena-mena orang bisa
mengajak mengobrol dengan orang yang lainnya biarpun mereka saling duduk berdekatan di satu
meja dan bangku. Biasanya percakapan tetap berlangsung tanpa ada ketakutan orang/kelompok
yang lain menguping. Dalam kenyataannya kegiatan menguping seringkali tetap dilakukan.

30
Ketenangan dan Kegelisahan

Berbincang-bincang dengan teman akrab pun bisa dalam situasi yang menyenangkan ataupun
gelisah. Tangan yang menyangga dagu menggambarkan kejenuhan, kelelahan, kebosanan,
sementara kaki lawan bicaranya yang naik ke bangku sering digunakan untuk menggambarkan
kesantaian. Namun demikian, telapak kakinya tak menapak dengan santai dan tangannya
bersedekap. Dagu yang disangga dan tangan bersedekap menggambarkan usaha-usaha menjaga
jarak.

Senang dan Sedih

Tiga orang dalam foto nampak bermain pijat-pijatan sambil tertawa-tawa gembira. Foto yang
sebelahnya, tak ada seorangpun yang peduli pada kesedihannya, apalagi untuk memijiti
punggungnya.

31
Yang Asing dan Pribumi

Orang bule adalah manusia juga. Mereka bisa berteman dengan begitu akrab terhadap orang
pribumi, atau mengumpul bersama sesamanya saja. Memutuskan rasa asing terhadap orang yang
terlihat begitu berbeda memang lebih sulit daripada memutuskan perasaan asing pada jenis ras
sama. Di Bonbin, bagaimanapun juga, kehadiran orang kulit putih (atau kulit hitam) adalah
pemandangan yang menarik perhatian banyak pelanggan yang lain. Banyak orang Bo nbin yang
bertanya-tanya dalam hati, “Kok mereka mau, ya, duduk dan makan di tempat sejorok ini?”. Maka
jika seorang kulit putih mau diajak berbicara (atau mau mengajak bicara) kepada para pelanggan
Bonbin (yang rata-rata kumal), maka orang-orang Indonesia cenderung menjadi begitu bangga dan
merasa terhormat. Padahal siapa tahu mereka menjadi obyek penelitian bagi thesis doktoral bagi
orang kulit putih itu.

Pejuang dan Penikmat

32
Setelah berdemonstrasi di Bunderan Bulevard UGM, pemain pantomim ini begitu kegerahan.
Pakaian bergaris-garisnya yang nampak aneh dan eksentrik ia tanggalkan di Bonbin. Sementara
itu, teman-temannya yang sebelumnya berkobar-kobar melakukan orasi nampak demikian
kelelahan. Megaphone mereka onggokkan di meja, sementara mereka menikmati es teh untuk
menghilangkan gerah dan dahaga mereka.

Yang Acuh dan yang Menggoda

Perempuan yang tinggi semampai ini duduk dengan gaya gemulai. Kaki ia juntaikan keluar dari
bangku ke arah luar Bonbin, sehingga robekan jins yang besar di dengkulnya menimbulkan
nuansa seksi yang luarbiasa bagi orang-orang yang melihatnya.

Yang Serius dan yang Melamun

Belajar di Bonbin adalah satu kegiatan menyendiri di ruang yang ramai. Melamun adalah pelarian
rekreatif setelah mereka penat dalam kehidupan nyata. Mungkin salah satu yang membentuk
kepenatan itu adalah kegiatan belajar mengajar di kampus.

33
Yang Dosen dan yang Mahasiswa

Duduk berbincang kesana-kemari tentu bisa dilakukan juga di dalam lingkup fakultas antara
dosen dan mahasiswa, terutama jika sang dosen masih muda dan bersifat demokratis. Akan tetapi
kegiatan ngobrol di Bonbin lebih menyenangkan. Pembicaraan bisa berkisar pada teori-teori sosial
yang canggih, ngrasani dosen-dosen senior yang menyebalkan, hingga masalah seks. Dalam foto
ini sang dosenmenatap lurus kedepan sambil memegang gelas berisi minuman.

Yang Tua dan yang Muda

Kalangan yang paling dihindari untuk didekati oleh pelanggan Bonbin yang lain adalah
mahasiswa-mahasiswa S2, karena pertama, mereka rata-rata sudah berusia lanjut; yang kedua, isi
pembicaraan mereka dianggap sama sekali tidak menarik, dan lagak lagu mereka arogan. Gaya
bicara mereka seringkali dianggap muluk-muluk sementara ilmu mereka dianggap sudah
ketinggalan zaman. Kalangan ini pun dalam banyak hal menghindari kontak untuk berbincang-
bincang dengan pelanggan Bonbin yang lainnya.

34
Keluarga: Anak-anak dan Orang Tua

Anak kecil ini menikmati bermain sendirian sementara orangtua mereka sibuk bergulat mencari
nafkah di Bonbin. Anak ini tak memiliki teman bermain, sementara para orangtua sibuk bercakap-
cakap di antara mereka membahas keluarga, uang, dan bermacam-macam topik yang lainnya.

Manusia dan Bukan Manusia

Kucing duduk di lantai, manusia duduk di bangku. Jika kucing berani melompat naik ke meja,
mereka sering diusir dengan kasar, sementara seandainya ada diantara manusia nekad duduk di
lantai menemani sang kucing, mereka mungkin hanya akan dipandang aneh oleh pelanggan
Bonbin yang lain. Kucing makan dari sisa-sisa makanan manusia, sementara pelanggan Bonbin
acapkali menghabiskan makanan di piring mereka tanpa menyisakan apapun untuk sang kucing.

35
Siapa yang kentut?

Kentut adalah kegiatan yang alamiah dan manusiawi, namun bisa berubah menjadi insiden sosial
jika kentut itu berbau dan berbunyi. Jika kentut tersebut senyap namun berbau tak sedap, maka
hampir refleks orang-orang di sekeling tempat itu akan memencet hidungnya dan sibuk mencari
tahu siapakah yang kentut barusan. Dalam banyak peristiwa, pelaku kentut pun akan juga turut
memencet hidungnya dan sibuk bersandiwara seolah-olah ia juga merupakan korban dari hawa
tak sedap itu, sambil menunggu siapakah yang akan menjadi terdakwa. Nampak dalam foto ini
banyak pula yang tak memencet hidungnya, mungkin karena belum sadar terhadap bau itu, atau
mereka tak memperdulikannya. Bisa jadi pula salah satu dari merekalah yang telah kentut.

Sales Promotion Girl

Sales Promotion Girl (SPG) kerap datang ke Bonbin secara berombongan untuk mempromosikan
rokok kepada pelanggan Bonbin. Mereka terdiri dari perempuan-perempuan muda yang berdada
montok dan betubuh seksi. Mereka mengenakan pakaian yang ketat, bahkan kerap kali dijumpai
mereka mengenakan BH dan celana dalam yang seragam baik warna maupun bentuknya. Hal ini
begitu nampak bagi pelanggan karena biasanya pakaian yang mereka kenakan cukup tipis dan
ketat sehingga secara samar-samar warna dan bentuk pakaian dalam mereka terlihat. Hal ini
sepertinya disengaja oleh agen yang mepekerjakan mereka, terutama untuk mengundang perhatian
para lelaki yang mereka tawari produk mereka. Dalam banyak peristiwa hal ini cukuplah berhasil.
SPG sering menjadi sasaran pelecehan seksual mulai dari pelototan mata terhadap tubuh mereka,
hingga suitan serta pernyataan-pernyataan jorok dari para pelanggan Bonbin. Sampai taraf
tertentu seluruh penampilan mereka seolah-olah memang menjadi bagian dari barang yang
ditawarkan tersebut.

36
Musik

Pemain musik menyita sebagian ruang di Bonbin dan kemudian menjadi satu bagian komunitas
eksklusif pula di Bonbin. Berbeda dengan pelanggan Bonbin yang lain yang hanya mengandalkan
mulut mereka belaka, para pemain musik menggotong sound-system lengkap yang suaranya keras
membahana. Jika musik yang mereka mainkan merdu, maka beruntunglah para pelanggan
Bonbin, namun jika permainan mereka tidak sinkron atau terjadi gangguan pada sound-system
mereka, pergelaran itu berubah menjadi teror bagi para pengunjung Bonbin.

Jika seluruh pemain musik adalah laki-laki, penyanyi bisa seorang/beberapa laki-laki atau
perempuan. Seperti halnya pemain musik, mereka mengandalkan tak hanya kemerduan suara
saja, tetapi juga sinkronitas, ditambah gaya dan ekspresi tertentu yang menarik.

Ada dan Tiada

Bonbin terlihat penuh dan sibuk, terlihat aman, berkebudayaan, dan menjanjikan banyak
peristiwa bagi orang-orang yang menggantungkan kehidupannya (baik material maupun emosional)
terhadapnya.

37
Bonbin pada situasi ramai memang benar-benar ramai. Tetapi pada saat kosong, terasa demikian
lengang dan mencekam. Siapa tahu Bonbin pun berhantu.

38
Bab VI

Kesimpulan

"Di mana ruang bagi selanjutnya tak lagi suatu ukuran yang tepat keberadaan
manusia, kejapan-kejapan cahaya mempengaruhi persepsi-persepsi kita. Dengan
atau tanpa penghubung, gelombang suara, radio, microwave, dan gelombang
cahaya membangun struktur interaksi sosial kita. Ketika mikrokosmos dan
makrokosmos dibawa menyatu dalam suatu situasi. Saat arsitektur adalah
media, dan media menjadi arsitektur, kita tiba-tiba meyakini pada definisi ulang
dari arsitektur. Pada waktu bata-bata ditempatkan oleh pixel, dan gambar-
gambar membangun tembok-tembok…"
(Bertol, Daniela, 1996:halaman web)

Bonbin di hari puasa hari pertama, tanggal 27 November 2000 terasa begitu lengang. Tak ada seorang
penjual pun yang datang. Hari pertama puasa itu membuat para penjual meliburkan dagangannya.
Tetapi, nampak beberapa orang yang biasa duduk di Bonbin tetap datang, berkerumun di kursi-kursi
yang lengang itu. Biarpun mereka hanya beberapa orang, tetapi kehadiran mereka cukup mengagetkan
bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sekeliling Bonbin, menuju ke Sastra melewati jalan Fakultas
Ekonomi, dan bergerak di jalan sebelah timur Bonbin. Beberapa waktu sebelumnya kota Yogyakarta
dilanda teror yang dilakukan oleh kelompok yang membawa panji-panji keagamaan, menggasak banci-
banci, memukuli mahasiswa yang berdemonstrasi, memukuli dan merampas uang para penjual jamu.
Tetapi hari itu, di bulan puasa, beberapa orang mahasiswa Sastra berkumpul di sebuah warung yang
kosong. Penampilan mereka seperti mahluk asing di negerinya sendiri, seperti kerumunan kecil yang
tidak berarti. Tiga hari kemudian, para penjual mulai berdatangan. Mbak Par menjadi pelopor, menjual
soto, makanan yang tak biasa ia jual pada hari-hari biasa. Saat itu juga, mulai datang dan duduk di
Bonbin rekan-rekan pelanggan Bonbin yang beragama Islam dan berpuasa. Nampak menyatu di satu
meja individu-individu bersahabat, yang berpuasa tetap berpuasa, yang tidak berpuasa makan dan
minum tanpa dianggap melecehkan rekannya yang berpuasa. Hari-hari tersebut adalah hari yang
seramai dengan hari bukan bulan puasa. Kedamaian terjadi di pasar bersama Bonbin. Mereka
berbincang, berdiskusi, dan juga suatu saat melirik-lirik lawan jenisnya baik di dalam maupun luar
Bonbin. Orang-orang ternyata tetap rindu untuk berkumpul di Bonbin.
Pada saat ini makam Cina telah digusur untuk dibangun Masjid Kampus. Para pedagang rak-rak kayu
yang menebeng di pinggir jalan Kolombo, di lereng Lembah digusur. Ruang-ruang antar fakultas
dipagari. Ruang publik makin demikian sempit di UGM, seturut dengan otonomi kampus yang menuntut
kapitalisasi UGM secara profesional (komersial?). Di sisi lain, Bonbin, sebagai ruang enklaf semakin
sesak oleh manusia-manusia kampus yang rindu akan hubungan sosial yang egaliter. Ironisnya, Bonbin
adalah bagian juga (bahkan mungkin miniatur, ruang simulatif, atau cermin) dari sistem modernisme itu
sendiri (baca: ilmu pengetahuan, kehidupan borjuis, kapitalisme beserta juga seluruh perlawanannya).
Bonbin tetaplah sebuah pasar secara utuh, karena terdapat lokalitas, ritus denyut hidup, kehadiran
pedagang, dan juga kehadiran pembeli. Nilai itu semakin transparan oleh adanya legitimasi dari dua
fihak yang sebenarnya berseteru, yaitu fihak fakultas (atau juga fihak universitas), juga fihak intern
Bonbin sendiri (pedagang dan para pelanggan Bonbin). Hal ini berarti bahwa keberadaan Bonbin adalah
perlu, entah itu dilihat dari kacamata negatif (selaku tempat pembuangan sampah, lokalisasi anarkisme
dari ruang-ruang kekuasaan yang formal, baku, dan tertata di fakultas-fakultas) ataupun juga dari
kacamata positif (dari fihak pedagang dan pelanggan sebagai ruang mencari penghidupan, juga media
katarsis sosial dari keterkekangan kehidupan kampus).
Seorang dosen menyatakan bahwa Bonbin adalah sebuah ruang perlawanan dari kepengapan-
kepengapan sistem pendidikan/kekuasaan di fakultas-fakultas di sekelilingnya. Saat dunia pendidikan
formal menjadi belenggu untuk kebebasan berekspresi (serupa dengan dunia luar kampus), maka ruang
Bonbin dimana ada (diperjuangkan) sebuah orde sosial alternatif, membuat dirinya semakin lama semakin
menarik dan membuat kerasan orang-orang untuk tinggal. Hal ini mengingatkan lagi tentang nilai-nilai
liberalisme purba yang sudah demikian padat mencekam pada zaman modern lanjut.
Sebuah ciri yang paling penting dari hadirnya kemampuan budaya perlawanan dari sebuah kelas atau
komunitas bergantung pada sejauh mana mereka mampu menemukan dan selanjutnya menggunakan
ruang serta waktu senggang. Kelas borjuis seperti para intelektual kampus (atau orang-orang yang
menganggap dirinya demikian) berusaha mendamaikan paradoks-paradoks nilai tersebut dalam sebuah
dunia ekspresi ganda pada perebutan diam-diam terhadap ruang kekuasaan yang telah pengap. Setelah
ruang tersebut berhasil dibentuk bersama, maka budaya senggang mendapatkan penerimaan etik yang
baru dari sistem kekuasaan sosial yang lebih besar. Dalam analisis Veblen, kelas senggang ini ingin
mendemonstrasikan statusnya kepada publik melalui ekspresi penggunaan barang-barang konsumsi dalam
waktu luangnya. Cirinya adalah ketidakhadiran yang mencolok seluruh pekerjaan yang “berguna” (Veblen,
Thorstein, 1998;1899: halaman web).
Dalam dunia Bonbin, kesenggangan menghadirkan peristiwa baru, yaitu percepatan-percepatan
dunia. Ritual yang ada di Bonbin adalah ritualitas yang bersifat labil karena setiap elemen yang menghidupi
struktur di Bonbin juga berjaringan dengan struktur-struktur yang ada di luar. Adanya permainan terus-
menerus antara kebutuhan perluasan ruang kultural dari tiap individu dibentuk oleh upaya penutupan

39
kekosongan eksistensial antara ruang realistik dengan ruang pencarian makna dari manusia-manusia di
Bonbin.
Unsur-unsur obyektif dan subyektif menjadi sebuah rentang perebutan identifikasi yang semakin
lama semakin cepat. Kita dapat melihatnya saat bertemu dengan dua kepentingan yang hadir bersamaan,
yaitu antara kebutuhan akan “rencana azasi” mobilitas vertikal (pendidikan, persiapan karir, persaingan
prestasi akademik, sopan santun, dan orde struktural yang represif di kampus) yang dominan dan
dipaksakan oleh fihak fakultas-fakultas, bertemu dengan “kebutuhan azasi” mobilitas horizontal (nafsu
makan, nafsu seksual, cinta, hubungan sosial, keinginan menikmati suasana senggang) yang semuanya
membuat bimbang. Hubungan-hubungan kemanusiaan kemudian menjadi sebuah pola predikasi-predikasi
ikatan-ikatan atau fungsi mutlak kebudayaan dominan.
Pada saat seseorang masuk ke Bonbin maka ia akan mendapatkan peran baru sebagai elemen Bonbin,
dengan ciri: anonim, bagian komunal dari kerumunan, sementara di sisi lain ia juga menjadi agen dari
kelangsungan “dunia Bonbin”. Meski demikian kehidupan sosial yang dimungkinkan hadir, meskipun
saling berjalin namun bertumpuk dalam matriks-matriks frame-frame yang lepas saat diamati oleh
kesadaran individu. Struktur besar Bonbin memang ada, tetapi bagi kesadaran massa/individu sudah
menjadi sebuah kewajaran. Keberadaan struktur sudah dilupakan dalam permainan yang mendalam
dari semua individu di Bonbin.
Bagi banyak pelanggan, Bonbin menjadi segala-galanya, sementara dalam kenyataannya nilai fungsional
Bonbin sesungguhnya jelas, yaitu sebagai tempat makan dan minum. Berarti ada sebuah transformasi.
Karena emosi-emosi massa itu dirasakan oleh banyak orang, dan Bonbin telah menjadi sebuah mitos.
Ada berbagai muatan makna yang bertumpuk di situ. Ritualitas adalah sebuah ekspresi obsesif yang
dilaksanakan oleh banyak orang dalam mengelola ruang-ruang dan waktu-waktu real. Mitos paling besar
dari Bonbin adalah ketika banyak pelanggan Bonbin saat ditanyai tentang opini mereka tentang Bonbin
menjawab “Mbuh” (tidak tahu). Kata itu adalah pelarian paling nikmat dibandingkan dengan jawaban-
jawaban logis yang sebenarnya tak pernah terlengkapkan. Kata “Mbuh” (tidak tahu) mungkin justru
adalah transformasi cerdas dari kebekuan absurd logika-logika yang berusaha mematok penjelasan-
penjelasan tentang pengalaman manusia yang begitu kaya.
Ketika ketidakberdayaan-ketidakberdayaan secara bawah sadar terfahami, maka mulai terdapatlah
sebuah ruang konservasi fenomenologis. Ada suatu kompensasi yang hadir menggantikan kerugian-
kerugian yang dialami sebelumnya, dan kompensasi itu membias sebagai lawan dari kenyataan real yang
sudah kehilangan makna-makna manusiawi. Dalam ruang inilah nilai-nilai etik lama yang berupa akal
sehat modern ditertawakan bersama. Semua narasi inilah yang membentuk nama warung itu masuk akal.
Sebutan Bonbin (kebon binatang) menjadi begitu indah saat belenggu kemanusiaan lama menghilang dan
nilai budaya harus secara keras kepala dirubah menjadi nilai-nilai yang dianggap lebih sederhana dan
ekspresif.

40
Kepustakaan

Sumber Buku
Alterbend, Lynn dan Leslie I Lewis
1970 A Handbook for the Study of Poetry, The Mac Millan. London

Barthes, Roland
1981 Mythologies, Hill and Wang, New York
1983 The Fashion System, Hill and Wang, New York

Bauman, Zygmunt
1992 “Intimations of Postmodernity”, dalam Postmodernism and Postmodernity, Routledge, London
and New York
1993 Postmodern Ethics, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachusetts 02142, USA

Calhoun, Craig
1994 Social Theory and the Politics of Identity, Blackwell Publishers, Cambridge, Massachusetts

Derrida, Jacques
1981 Positions, The University Chicago Press

Fairclough, Norman
1995 Critical Discourse Analysis, The Critical Study of Language; Longman Group Limited

Falk, Pasi
1994 The Consuming Body, Sage Publication, London-Thousand Oaks-New Delhi

Fernandez, James W.
1986 “The Argument of Images and the Experience of Returning to the Whole”, dalam The
Anthropology of Experience, University of Illionis Press

Foucault, Michel
1980 Power/Knowledge, The Harvester Press, 16 Ship Street, Brighton, Sussex

Webster
1912 Great Webster Dictonary of Sanskrit-English Online, Webster, London-Boston-Amsterdam

Harvey, David
1989 Postmodern Space and Time: Time-Space Compression, dalam The Condition of Postmodernity:
An Inquiry into The Origins of Social Change, Oxford: Blackwell

Jencks, Charles
1977 The Language of Post-Modern Architecture, Rizzoli, New York

Jenkins, Richard
1992 Pierre Bordieau, Routledge, London and New York

Kaplan, David, dan Albert A. Manners


1999 Teori Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Kuhn, Thomas
2000 Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Penerbit Rosdakarya, Bandung

Lash, Scott dan John Urry


1994 Economy of Science and Space, SAGE Publication, London-Thousand Oaks-New Delhi

Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim (ed.)


1996 Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung

Lury, Celia
1998 Budaya Konsumer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Madison, Gary Brent


1997 The Politics of Postmodernity: Essays in Applied Hermeneutics, After Post-Modernism
Conference. 1997 dalam Philosophy Today, Winter 1991

Mangunwijaya, YB
1998 Globalisasi adalah Neokolonialisme Ekonomi dan Budaya Menyambut Tahun Budaya dan Seni
1998, Kompas Inline, http://www.kompas.com/,

41
Marcus, George E
1998 Ethnography Through Thick & Thin, Princeton University Press

Marcuse, Herbert
1964 One Dimensional Man, Negative Thinking: The Defeated Logic of Protest

OC (Organizing Committee),
1999 Buku Panduan Opspek 1999, LEM (Lembaga Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Sastra UGM,
Yogyakarta

Olson, Steig
1997 Constructing a Debate: Postmodern and Deconstructivist Architecture, ditulis untuk Philosophy
of Architecture, Philosophy 340, www.vassar.edu

Outhwaite, William dan Tom Bottomore (ed.)


1994 The Blackwell Dictionary of Twentieth-Century Social Thought, Blackwell Publishers, Oxford

Bordieau, Pierre
1984 Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, Roudledge and Kegan Paul, London
1977 Outline of a Theory of Practice, Cambridge University Press, Cambridge

Piliang, Yasraf Amir


1998 Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme, Penerbit Mizan, Bandung
2000 Bunuh Diri Hipermodernitas, dalam Basis No. 01-02, tahun ke-49, Januari-Februari

Riffaterre, Michel
1978 Semiotic of Poetry, Indiana University Press, Bloomington and London

Solomon, Jack
1988 The Signs of Our Time, Los Angeles: J.P. Tarcher

Sontag, Susan
1990 Against Interpretation, Anchor Books Doubleday, New York-London-Toronto-Sidney-Auckland
1982 A Susan Sontag Reader, Farrar, Straus and Giroux, New York

Spencer, Lloyd and Andrzej Krauze


2001 Quantum theory, postmodern cosmology, chaos theory, computer interfacing and ecology all
essentially subscribe to this view of "totality" in question, without being "hegelian".

Strinati, Dominic
1995 Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge, London and New York

Turner, Bryan S
1994 Orientalism Postmodernism and Globalism, Routledge, London and New York

Turner, Victor W. dan Edward M.Bruner


1986 The Anthropology of Experience, Urbanka and Chicago: Universitas of Illinois Press

Veblen, Thorstein
1998 The Theory of the Leisure Class, The Project Gutenberg Etext, 1998;1899, sailor.gutenberg.org

Williams, Raymond
1958 Moving from High Culture to Ordinary Culture, N. McKenzie (ed.),Originally published in,
Convictions

Sumber Internet

Bertol, Daniela
1996 Space Ink credo. . . dalam Deconstructive Architecture http://www.echonyc.com/~danb/arc-
imt.html

Combs, Mark P
1995 Representative Research:A Qualitatively Driven Approach , The Qualitative Report, Volume 2,
Number 3, December, 1995, (http://www.nova.edu/ssss/QR/QR2-3/combs.html)

Debord, Guy
1997 Society of the Spectacle, http://www.dadatypo.com/~dada/

42
Derrida, Jacques
1967 Of Grammatology, http://werple.net.au/~gaffcam/phil/

Griscom, A
1998 Media, Anarchy and Hierarchy, Tulisan lepas, tanpa tanggal, tanpa alamat dan penerbit,
diterima dalam bentuk teks email

Helmholz, Herman
1878 The Fact of Perception, http://home.mira.net/~gaffcam/phil/

Homer, Sean
1999 Frederic Jameson and the Limits of Postmodern Theory, Centre for Psychotherapeutic Studies,
http://www.shef.ac.uk/~psysc/concps/

Marx, Karl
1867 Capital vol. I: Chapter 2: Exchange, Marx/Engels Internet Archieves,
http://csf.colorado.edu/psn/marx, Transkripsi ulang untuk Internet oleh Bert Schultz 1998

Novak, Marcos
1993 Transmitting Architecture: The Transphysical City, Digital Delirium,
http://www.amazon.com/exec/obidos/ISBN=0312172370/pismA/,

Somers, Eric
1996 Architects and Technology, www.htdocs.org/ es-bio.html

Zerzan, John
2000 The Catastrophe of Postmodernism, http://elaine.teleport.com /~jaheriot/kr.htm, KR

43

Anda mungkin juga menyukai