Anda di halaman 1dari 3

Bersyukurlah...

bahwa kita masih


Saling mendengarkan dan berkata
Bersyukurlah bahwa kita masih memijakkan kaki
Di atas bumi menghirup nafas alam-Nya

Memandang ke atas langit...takjubkan hati


Merendahkan jiwa ini...dan terilhami
Seperti (teduh) sepasang mata malaikat
Yang turut mengisi isi bumi

Tak ubahnya desir angin yang menerpa (menerjang)


Kekosongan dan kesunyian hati
(Padi)

Lagu Padi menutup malam ini. Malam pertama kami dari 42 hari yang harus dilalui.
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan Jogja – Cilacap dan sore hari bermain
bola pantai dengan yang lainnya.

Perjalanan Jogja-Cilacap kali ini dibagi menjadi dua rombongan, rombongan yang
menggunakan bus, dan rombongan yang menggunakan sepeda motor.
Terpecahnya menjadi dua rombongan karena pertimbangan ekonomi, sangat
disayangkan apabila kami harus menyewa truk lagi hanya untuk 3 motor tambahan.
Saya termasuk pada rombongan motor bersama dua pengendara lainnya yaitu
Taufik dan Arlis.

Banyak yang menganggap bahwa berpergian jauh dengan menggunakan motor


adalah sesuatu yang melelahkan. Perjalanan jauh yang membutuhkan kesiapan
fisik dan mental agar selalu fokus dalam perjalanan. Namun saya katakan berbeda,
ini adalah bagaimana kita melihat setiap kesempatan yang menguntungkan dalam
setiap tantangan. Ini adalah bagaimana kita mampu berpikir positif ketika yang
lainnya berpikir negatif. Seperti mengatakan setengah gelas terisi penuh bukan
setengan gelas kosong.

Saya sendiri adalah orang yang suka berpergian jauh, bertualang untuk
menemukan alam-alam yang baru, yang sebagian besar saya lewati dengan motor
saya. Tahun pertama, saya dan teman lainnya pergi ke Sarangan, Jawa Timur, yang
idenya muncul dari sebuah perbincangan makan mie ayam setelah ujian. Yang
kemudian beruntun ke perjalanan lainnya. Berkali-kali ke Kaliurang menikmati
wisata gunung Merapi, ke pantai-pantai Jogja, ke perkebunan teh di Karanganyar
dan banyak tempat lainnya, yang sebagian foto-fotonya saya kumpulkan dalam
folder facebook saya.

Memang terkadang melelahkan. Namun seperti yang saya katakan di atas,


kelelahan itu tertupi oleh kenikmatan ketika menikmati alam sekitar kita. Ketika
lelah itu hilang dengan memandang penuh syukur betapa besarnya alam dan
nikmat yang kita rasakan. Ketika lelah itu hilang dengan kepuasan kita untuk hadir-
hadir di tengah-tengah alam yang masih perawan dari jamahan manusia lainnya.
Yang memberikan kesempatan untuk bertafakkur.
“Berbagi waktu dengan alam
Kau akan tahu siapa dirimu yg sebenarnya
Hakikat manusia”

(“Gie”. Erros)

Yap, dengan berbagi dengan alam, menikmati pegunungan, pantai, setiap


jengkalnya akan memberikan nuansa ketaklukan kita kepada alam, kepada
Pencipta nya. Kita melihat bertapa kecilnya kita di tengah alam, namun justru kita
yang diberikan peran sebagaipemimpin bagi sang Alam. Pemimpin yang memikul
tugas memanfaatkan dan memeliharanya. Namun sampai sekarang kita masih
sering saja ditaklukan oleh alam. Sebut saja gempa di Padang yang baru terjadi,
dimana hanya dalam hitungan menit, ada satu kampung yang terkubur seluruhnya
oleh longsoran gunung, yang sekejap menjadikannya sebuah kuburan masal yang
justru bagi para pemimpinnya.

Selain menunjukkan siapa kita sebenarnya, Alam telah memberikan kesan lain tiap
kita menikmatinya, sebuah cinta akan negeri sendiri.

“Bagaimana kita bisa mencintai Indonesia, namun kita tidak mengenal tiap jengkal
tanahnya”

(Gie)

Itulah yang menginspirasi kami yang kemudian bertualang ketika ada waktu
senggang. Karena salah satunya cara kita mencintai sesuatu adalah dengan
mengenal dan memahaminya.

Kami Cinta Indonesia

Setiap jengkal tanahnya

Setiap udaranya yang terhirup

Setiap tetes airnya yang jatuh

Kami Cinta akan alam Nya

Tempat kami dihadirkan

Tempat kami juga dikembalikan

Sekali Cinta nya terhujam didalam sini

Dalam dada kami


Maka pantang terebut

Oleh siapapun.

Anda mungkin juga menyukai