Anda di halaman 1dari 26

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memproduksi inokulum bakteri metanogenik titer tinggi
melalui interkoneksi dengan inokulum fibrolitik asetogenik yang telah diperoleh dari penelitian
sebelumnya (PHB 2007-2008).
Tahun pertama, dilakukan isolasi metanogenik dari lumpur (sludge) proses produksi
gas bio, sekum kuda dan kolon domba. Ketiga tempat tersebut merupakan sumber bakteri
metanogenik dan digunakan sebagai perlakuan untuk memperoleh rekomendasi sumber bakteri
metanogenik terbaik di lingkungan. Bakteri metanogenik diisolasi menggunakan media selektif
padat metode Paynter and Hungate dalam Ogimoto and Imai (1981). Isolat metanogenik yang
diperoleh dikultur dan dikembangkan dalam media diperkaya dan dilakukan optimasi media.
Kemampuan masing masing isolat diuji dengan mengukur produksi gas metan. Sumber bakteri
dan formula media isolat metanogenik berkemampuan paling besar dipatenkan (PATEN I) dan
digunakan sebagai obyek penelitian pada Tahun II.
Tahun kedua, inokulum metanogenik berkemampuan tinggi dari hasil uji tahun I
diformulasi bersama inokulum fibrolitik-asetogenik yang telah diperoleh dari penelitian hibah
bersaing tahun 2008 guna mengetahui efektifitas sintrofinya. Cara penambahan dan kadar
inokulum digunakan sebagai perlakuan guna memperoleh efektifitas pemakaian dalam proses
fermentasi feses sapi perah. Starter terbaik diuji ketahanannya terhadap substrat dan pengemas.
Tiga jenis karbohidrat yaitu molases, tapioka dan jerami padi digunakan sebagai sumber karbon
sedangkan polyethylene dan alumunium digunakan sebagai tempat pengemas inokulum.
Parameter penelitian yang diukur adalah produksi gas metan dan kepadatan mikroba selama
penyimpanan. Metode penambahan dan kadar inokulum guna mendapatkan starter unggul
dipatenkan (PATEN II). Isolat terbaik penyusun inokulum selanjunya diidentifikasi sampai
tingkat genus.
BAB I. PENDAHULUAN
Krisis energi secara berulang pasti akan selalu terjadi. Populasi penduduk dunia, sistem
transportasi dan produksi alat-alat bermotor terus meningkat sementara sumber energi minyak
tidak dapat diperbarui. Harga minyak mentah di pasar internasional saat ini (Tahun 2009)
memang sedang turun, namun karena penggunaannya yang terus meningkat tak terkendali bukan
tidak mungkin dalam waktu dekat harganya akan meningkat lagi dengan cepat. Krisis energi
haruslah secara konsisten diantisipasi karena akan mempengaruhi eksistensi manusia. Berbagai
negara dan sebagian besar penduduk bumi umumnya merasa cemas jika krisis bahan bakar
tersebut kini telah merembet pada peningkatan harga bahan pangan dan mulai menciptakan multi
krisis dimana-mana.
Sebagai respon terjadinya krisis energi dunia di era tahun 1980-an, 20 reaktor pengolah
limbah anaerobik penghasil gas metan dibangun di Netherland dan 10 unit diantaranya dibangun
oleh pabrik pengolah makanan. Beberapa sektor lain di tahun 1985-an kemudian mengikuti jejak
dengan membangun reaktor gas metan seperti pabrik kertas dan pabrik minuman. Gas metan
yang dihasilkan digunakan oleh berbagai pabrik tersebut untuk substitusi BBM menggerakkan
generator sehingga mensuplai sebagian kebutuhan energi mereka. Pada tahun 1985-an para ahli
dari industri, lembaga penelitian dan pemerintah di Netherland merumuskan bahwa sistem
anaerobik merupakan teknologi yang menguntungkan dan mudah diaplikasikan untuk mengolah
limbah organik. Sejak saat itu reaktor energi anaerobik terus dibangun hingga tahun 1990-an
dengan jumlah mencapai ribuan unit diseluruh dunia.
Masalah energi terbarukan (renewable energi) di Jerman juga menjadi topik krusial di
Era 1990-an ketika krisis energi melanda Jerman. Pemerintah Jerman dengan sungguh-sungguh
menerapkan dua aturan penting untuk produksi energi terbarukan, yaitu aturan teknis dan
ekonomis pembuatan digester. Dengan diterapkannya dua aturan tersebut maka pembangunan
reaktor gas metan di Jerman berkembang sangat pesat. Dalam 15 tahun berikutnya, sampai tahun
2002, para insinyur Jerman telah pembangunan lebih dari 2000 unit reaktor gas metan dan saat
ini reaktor gas metan telah menjadi kebutuhan masyarakat dunia, khususnya untuk mengolah
bahan organik menjadi gas metan dan pupuk organik.
Demam pembuatan reaktor biogas sempat pula terjadi di Indonesia di Era 1980-an.
Empat wilayah sentra pengembangan sapi perah di Jawa seperti di Malang Jawa Timur, Boyolali
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lembang Jawa Barat saat itu banyak dibangun
reaktor biogas. Namun terkendala dengan aspek rendahnya pengetahuan dasar peternak
mengenai teknik fermentasi, kurangnya perhatian pemerintah dan kemudahan memperoleh bahan
bakar minyak yang saat itu harganya relatif murah, menyebabkan infrastruktur reaktor biogas
terbengkelai setelah sempat beroperasi beberapa tahun.
Menurut Ahring (2003), dalam hal produksi gas metan, penelitian mengenai kemampuan
mikroba (bioaugmentasi) merupakan bagian dari langkah penting yang harus dilakukan guna
meningkatkan efisiensi produksi. Namun kenyataannya penelitian mengenai kemampuan
mikroba dalam efisiensi produksi gas metan tidak banyak dilakukan. Optimasi proses
perombakan limbah secara anaerob seharusnya terus dikembangkan karena disamping
meningkatkan usaha pengurangan jumlah limbah di seluruh dunia yang terus meningkat, juga
sebagai upaya menghasilkan energi alternatif terbarukan di era krisis energi dunia seperti
dirasakan pada saat ini..
Gas metan hasil perombakan anaerob memiliki nilai ekonomi tinggi dan harus
dipertimbangkan di masa mendatang. Jika produksi bahan bakar bio lainnya seperti bioetanol
hanya menggunakan sebagian biomassa dan fraksi biomassa lainnya tertinggal sebagai limbah,
maka produksi gas metan justru memanfaatkan sisa fraksi biomassa tersebut menjadi energi baru
tanpa limbah. Dengan cara fermentasi produksi gas metan maka nilai efisiensi produksi energi
bioetanol dapat ditingkatkan 30% lebih tinggi (Ahring, 2003). Optimasi perombakan anaerob
memiliki dua fungsi utama yaitu meningkatkan produksi gas metan sekaligus meningkatkan
kualitas bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik berkualitas tinggi.
Faktor penting dalam peningkatan produksi gas metan seperti peningkatan proses
perombakan serat kasar limbah, optimasi media fermentasi, peningkatan kemampuan mikroba
terus diteliti hingga saat ini (Wahyudi, 2005). Produksi gas metan yang dibentuk sebagai produk
akhir perombakan bahan organik tanpa oksigen menjadi nilai utama dalam proses perombakan
anaerob. Energi terbarukan dapat digunakan sebagai pembangkit listrik dan bahan bakar
pengganti minyak.
Beberapa kelompok mikroorganisme dengan peran berbeda dalam keseluruhan proses
bekerja dalam perombakan anaerob, secara alami terjadi di dalam ekosistem anaerob seperti
dalam sedimen tanah, lahan terendam air, tumpukan manure atau dalam rumen ternak ruminansia
(Stam et. al., 2003). Sekum dan kolon herbivora memiliki komposisi mikroba mirip dengan
rumen, (DeGregorio et al., 1984; Ullrey et al., 1997), sehingga dapat digunakan sebagai sumber
bakteri metanogenik. Tiga kelompok mikroba yang berperan dalam perombakan anaerob adalah:
(1) Mikroba yang bertanggung jawab dalam perombakan awal terhadap polimer dan monomer
yang terdapat pada materi limbah dan menghasilkan terutama asetat dan hidrogen, dan juga
sejumlah asam lemak volatil (Volatile Fatty Acid) seperti propionat dan butirat serta alkohol, (2)
Bakteri obligat asetogenik penghasil hidrogen yang mengkonversi propionat dan butirat menjadi
asetat dan hidrogen dan (3) Kelompok bakteri metanogenik penghasil metan dari asetat atau
hidrogen. Bakteri perombak serat kasar penghasil asetat dan hidrogen merupakan kelompok
mikroba penting dalam proses pengolahan limbah secara anaerob menjadi gas metan karena
menyediakan prekursor metan dengan cara bersintrofi dengan bakteri metanogenik. Sebaliknya
jika metanogenik tidak ada maka produk akhir asam asetat dan hidrogen akan bersifat toksik bagi
asetogenik itu sendiri karena terjadi mekanisme feed back inhibition dalam proses fermentasi
bahan organik.
Hubungan sinergisme aseto-metanogenik perlu diteliti lebih lanjut guna memperoleh
efisiensi produksi gas metan sebagai bioenergi. Teknik isolasi, optimasi media, interkoneksi
mikroba, kadar inokulum, cara inokulasi, serta pengembangan teknologi pemeliharaan kultur
perlu dianalisis lebih mendalam.
Penelitian ini dilakukan guna meningkatkan efektivitas proses pengolahan limbah
organik secara anaerob dengan hasil akhir gas metan melalui analisis sintrofi aseto-metanogenik.
Target penelitian ini adalah menghasilkan inokulum fermentasi produksi gas metan
berkemampuan tinggi untuk mengatasi permasalahan krisis energi di masa mendatang.

Tujuan khusus penelitian adalah:


1. Mendapatkan isolat bakteri metanogenik unggul.
2. Memperoleh formula kombinasi aseto-metanogenik, metode penambahan optimal dan kadar
inokulum sebagai starter dalam produksi gas metan.

Keutamaan penelitian
Limbah organik berserat di lingkungan pertanian dan peternakan dapat diatasi dengan
mengolahnya kembali menjadi bioenergi dan produk bermanfaat lainnya seperti pakan, pupuk
dan probiotik dengan cara fermentasi. Kendala umum proses pengolahan limbah organik berserat
adalah bahwa fermentasi berlangsung begitu saja secara alami dilakukan oleh mikroba yang
telah ada di dalam limbah tersebut. Inokulum bakteri metanogenik guna membantu
meningkatkan efisiensi produksi metan selama ini tidak tersedia karena belum ada peneliti di
Indonesia melakukan isolasi bakteri metanogenik. Padahal penelitian mengenai kemampuan
mikrobia (bioaugmentasi) dalam sistem fermentasi produksi bioenergi dari limbah organik
berserat secara anaerobik merupakan bagian dari langkah penting menuju efisiensi proses
(Ahring, 2003).
Optimasi proses perombakan limbah secara anaerob perlu terus dilakukan karena
disamping berguna meningkatkan usaha pengurangan jumlah limbah organik di seluruh dunia
yang terus meningkat, menyediakan bahan baku industri, juga sebagai upaya produksi energi
alternatif terbarukan (renewable energy). Pakan, pupuk, dan gas metan hasil perombakan
anaerob memiliki nilai ekonomi tinggi di masa mendatang. Jika proses produksi energi bio lain
seperti bioethanol hanya menggunakan sebagian biomasa dan fraksi biomasa lainnya tertinggal
sebagai limbah, maka produksi gas metan justru memanfaatkan sisa fraksi biomasa tersebut
menjadi energi baru tanpa limbah. Dengan cara fermentasi produksi gas metan maka nilai
efisiensi sistem produksi energi bioethanol dapat ditingkatkan 30% lebih tinggi (Ahring, 2003).
Optimasi perombakan anaerob memiliki dua fungsi utama yaitu meningkatkan produksi gas
metan sekaligus meningkatkan kualitas bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan
dan pupuk organik. Beberapa usaha penting dalam peningkatan produksi gas metan seperti
peningkatan proses perombakan serat kasar, optimasi media fermentasi dan peningkatan
kemampuan mikroba terus diteliti hingga saat ini (Ahring, 2003; Wahyudi, 2005).
Kendala utama pemakaian starter fibrolitik asetogenik adalah bertumpuknya produk hasil
hidrolisis cepat selulosa menjadi hidrogen dan VFA yang bersifat asam. Produk hidrogen
berlebihan akan bersifat toksik bagi mikroba asetogenik itu sendiri sehingga menghentikan
proses fermentasi (feed back inhibition). Penumpukan hidrogen hanya dapat dikurangi jika ada
bakteri metanogenik di dalam reaktor. Namun sayang bakteri metanogenik secara alami tumbuh
pada tahap akhir proses sempurna fermentasi anaerob, sehingga proses produksi gas metan butuh
waktu relatif lama.
Penelitian ini dirancang guna mengatasi masalah penumpukan hidrogen yang bersifat
asam dan toksik dengan cara menambahkan starter bakteri metanogenik di awal proses
fermentasi agar tidak terjadi toksisitas hidrogen, dan bahkan terjadi produksi gas metan lebih
cepat. Penggunaan starter metanogenik akan menjamin kontinyuitas fermentasi anaerobik secara
sempurna karena terjadi proses sintrofisme produksi dan penggunaan hidrogen.
Hubungan sinergisme aseto-metanogenik perlu diteliti lebih lanjut guna memperoleh
efisiensi produksi gas metan sebagai bioenergi. Teknik isolasi, optimasi media, interkoneksi
mikroba, kadar inokulum, cara inokulasi, serta pengembangan teknologi pemeliharaan kultur
metanogenik perlu dianalisis lebih mendalam. Berdasarkan studi pustaka dan pelacakan jurnal
ilmiah khususnya di Indonesia penelitian mengenai bioaugmentasi bakteri metanogenik boleh
dibilang langka karena tidak banyak peneliti sanggup bekerja dengan bakteri obligat anaerob
tersebut. Namun mengingat peran penting bakteri metanogenik di masa mendatang sebagai
penghasil energi alternatif pengganti minyak maka produksi starter metanogenik rasanya tidak
dapat ditunda lagi.
BAB II. STUDI PUSTAKA

2.1. Fermentasi Anaerobik Produksi Gas Metan


Peningkatan bioproses menggunakan mikroba dengan peningkatan kemampuan degradasi
(bioaugmentation) telah diketahui selama bertahun-tahun. Tetapi hanya sedikit penelitian
mengenai bioaugmentasi dan hasilnya belum konsisten. Untuk mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai potensi mikroba spesifik guna meningkatkan proses perlu diikuti nasib mikroba
yang ditambahkan dalam reaktor dari waktu ke waktu. Hanya mikroba dengan kemampuan
membelah diri tinggilah yang berperan penting dalam proses. Teknik molekuler telah tersedia
untuk mempelajari populasi pada sistem reaktor dan penggunaan tehnik penggunaan bakteri
selulolitik spesifik yang hidup pada kotoran ternak pada reaktor. Tehnik yang sama dapat
digunakan guna menguji penambahan mikroba spesifik sebagai starter. Terjadi peningkatan 20%
produk gas metan dengan penambahan starter mikroba xylanolytic termofilik selama 2 hari
sebelum materi limbah difermentasi (Ahring, 2003). Penambahan cairan rumen sebagai
inokulum juga terbukti mampu meningkatkan produksi gas bio dan kadar gas metan (Lopes et.
al., 2004).
Isolasi dan karakterisasi bakteri metanogenik pengguna asetat dari kotoran sapi termofilik
menunjukkan perbedaan penting antara isolat spesies Methanosarcina yang berbeda karena
perbedaan temperatur optimal dan tingkat pertumbuhan. Jika penggunaan metanogenik tersebut
dalam reaktor yang telah dimuati bahan organik ditambah lipid pada kotoran ternak maka reaktor
yang diberi inokulum menunjukkan hasil lebih superior dibandingkan tanpa inokulum, karena
reaktor tanpa inokulum metanogenik dihambat secara hebat oleh akumulasi VFA. Tidak
terjadinya akumulasi VFA pada reaktor dengan inokulum dibandingkan tanpa inokulum
metanogenik disebabkan karena aktivitas metanogenik pada asetat lebih tinggi dibandingkan
hidrogen dan format, yang selalu hampir sama pada ke dua reaktor. Fakta bahwa inokulum
mempengaruhi waktu retensi ditunjukkan dengan peningkatan pertumbuhan metanogenik dan
produksi gas metan pada reaktor. Penemuan ini memiliki implikasi praktis dan memperlihatkan
performan lebih baik jika limbah yang mengandung lipid ditambahkan pada reaktor gas bio
perombak kotoran ternak. Jika reaktor diberi inokulum metanogenik pengguna asetat maka
tingkat perombakan dan produksi metan lebih tinggi dibandingkan proses alami pada sistem
(Ahring, 2003).
2.2. Pengembangan Inokulum Fermentasi
Tujuan utama pengembangan inokulum fermentasi adalah menyediakan starter aktif
yang dapat menyebabkan fase lag berjalan sesingkat mungkin. Fase lag yang panjang harus
dihindari karena selain memerlukan waktu juga karena nutrisi dalam media harus diprioritaskan
untuk pertumbuhan.
Fase lag dipengaruhi oleh kadar inokulum fermentasi dan kondisi fisiologisnya. Jumlah
inokulum fermentasi yang biasa digunakan adalah 3-10% volume kultur. Inokulum fermentasi
bakteri harus segera memasuki fase pertumbuhan logaritmik pada saat sel aktif secara metabolik.
Umur inokulum fermentasi penting pada pertumbuhan bakteri berspora, jika inokulum
diinduksikan pada akhir fase logaritma dan penggunaan inokulum mikroba berspora tinggi akan
menyebabkan fase lag berlangsung lama (Stanbury and Whitaker, 1984, Whitaker et al., 1997).
Pada proses produksi enzim bakteri, fase lag fermentasi dapat dibatasi dengan
penggunaan media inokulum yang memiliki komposisi sama dengan media fermentasi dan
penggunaan kultur inokulum yang tumbuh secara aktif. Penggunaan inokulum dalam kondisi
fisiologis aktif dibutuhkan dalam produksi metabolit primer. Sebagai contoh bakteri asam asetat
yang digunakan pada proses pembuatan cuka, bersifat aerobik dan sangat sensitif terhadap
kekurangan oksigen. Untuk menghindari kerusakan, 40% sel pada akhir fermentasi digunakan
sebagai inokulum pada fermentasi berikutnya. Keuntungan dari penggunaan inokulum aktif ini
lebih tinggi dibandingkan kerugian akibat kemungkinan terjadinya kontaminasi dan penurunan
kemampuan bakteri. Keuntungan penggunaan inokulum fermentasi seperti itu juga diperoleh
pada proses fermentasi produksi gas bio secara anaerob (Basuki, 1991; Soejono et. al., 1990;
Lopes et. al., 2004).
Untuk mempercepat proses fermentasi anaerob diperlukan inokulum yang mengandung
bakteri penghasil gas metan. Berdasarkan jenisnya dikenal beberapa macam inokulum:
a. Inokulum alami; berasal dari alam, misalnya lumpur aktif slude, cairan rumen,
timbunan kotoran, timbunan sampah dan lain-lain.
b. Inokulum semi buatan; dari digester pembentuk gas bio dalam stadium aktif.
c. Inokulum buatan; bakteri penghasil metan atau prekursornya dibiakkan di dalam
laboratorium dengan media buatan.
Proses pembentukan gas metan akan dipercepat dengan penambahan inokulum
metanogenik ke dalam limbah organik. Dengan penambahan inokulum metanogenik sekitar 51%
karbon ditransformasi menjadi asetat sebelum dimetabolisme menjadi metan dan
karbondioksida, namun jumlah tersebut hanya berkisar antara 10 - 30% jika reaktor tanpa
ditambah inokulum (Gambar 1 dan 2).

Bahan Organik Kompleks


51% 19%
30%
Asetat 19% 11% Hidrogen/
Intermediates Karbondioksida

70%
30%
Metan

Gambar 1. Aliran Karbon pada kondisi anaerob dengan penambahan inokulum


metanogenik (Ahring, 2003)

Proses perombakan anaerob yang seimbang membutuhkan produk yang dihasilkan oleh
dua kelompok bakteri pertama yang bertanggung jawab pada proses hidrolisis dan fermentasi
substrat menjadi hidrogen dan asetat, secara simultan digunakan oleh kelompok bakteri ketiga
untuk menghasilkan metan dan karbondioksida.

Bahan Organik Kompleks


10%-30% 20%-30%
50%-70%
Asetat Hidrogen/ Karbondioksida
Intermediat
Gambar 2. Aliran karbon pada kondisi anaerob tanpa inokulum metanogenik (Ahring,
2003)

Kelompok bakteri pertama dapat bertahan tanpa kehadiran bakteri metanogenik tetapi
dalam kondisi tersebut dapat menyebabkan penghambatan proses karena terjadi akumulasi asam
propionat dan butirat (senyawa intermediat). Aktivitas kelompok bakteri kedua akan bergantung
pada aktivitas metanogenik untuk memindahkan hidrogen agar metabolisme secara
termodinamika dapat berlangsung sebagaimana reaksi endergonik dibawah kondisi standar dan
hanya terjadi bila hidrogen dapat dipertahankan pada konsentrasi tertentu (Gambar 3).

Asetat

H2

Pengguna VFA Metanogenik pengguna H2

Gambar 3. Transfer hidrogen antar spesies

Hubungan antara bakteri perombak asam propionat-butirat (VFA) dan metanogenik


pengguna hidrogen didefinisikan sebagai sintropik karena ketergantungan alami hubungan dan
proses ini disebut transfer hidrogen antar spesies. (Gambar 3).
Semakin rendah konsentrasi hidrogen semakin baik bagi termodinamika prombakan
VFA. Perbedaan antara perombak VFA dan pengguna hidrogen akan mempengaruhi konsentrasi
hidrogen pada fase cair yang pada akhirnya akan mempengaruhi termodinamika proses secara
keseluruhan. Dua kelompok mikroba harus membagi energi yang terdapat dalam jumlah kecil
dan kepastian energi tersedia bagi ke dua kelompok hanya dapat dicapai dalam kosentrasi
hidrogen dalam kisaran sempit.

2.3. Sintropik Konversi Asetat


Hubungan sintropik selalu dapat dijumpai karena kepentingan konversi asetat pada saat
metanogen pengguna asetat dihambat oleh konsentrasi amonia atau sulfit yang tinggi. Pada
kondisi tersebut, metanogenik pengguna asetat akan dihambat dan kelompok mikroba lain akan
mengambil alih untuk mendapatkan energi dari oksidasi asetat menjadi hidrogen dan karbon
dioksida seperti ilustrasikan pada Gambar 4.
Guna mempertahankan termodinamika proses lebih lanjut dapat ditingkatkan dengan
peningkatan temperatur dan cara transformasi asetat jika temperatur lebih tinggi dari 60 0C,
mendekati batas temperatur tertinggi dari metanogenik termofilik pengguna asetat. Populasi
Methanosarcina akan menghilang segera dari reaktor gas bio jika temperatur ditingkatkan dari
550C menjadi 650C. Konsentrasi asetat pertama akan naik dan kemudian stabil pada level sedikit
diatas konsentrasi pada suhu 600C.
Polimer Kompleks
(Polisakarida, Protein, Lemak)

Mono dan Oligomer


(gula, asam amino, asam
lemak rantai panjang)

1
1 1

Asam Lemak
Terbang
2 2
(C > 2)

Hidrogen
1 Asetat
(H 2 +CO 2
)

3 Metan dan
Karbondioksida

Gambar 4. Modifikasi perombakan anaerob dengan konversi sintropik asetat (Ahring,


2003)

Peningkatan secara nyata populasi mikrobia metanogenik pengguna hidrogen


memberikan indikasi bahwa mikroba kelompok ini menjadi dominan pada konversi secara
keseluruhan. Sintropik oksidasi asetat dan metanogenesis dari asetat secara aktif terjadi secara
simultan pada sebuah sistem reaktor. Sebagai indikasi beberapa penelitian isotop menunjukkan
kurang dari 95% metan yang dihasilkan dari asetat dibentuk dari grup metil. Penelitian isotop
pada biomasa dari reaktor termofilik menunjukkan bahwa konsentrasi asetat mempengaruhi
kompetisi diantara dua proses. Jika konsentrasi asetat rendah, konversi sintropik asetat
merupakan proses utama untuk transformasi asetat. Jika konsentrasi asetat melebihi batas
ambang kebutuhan populasi mikroba spesifik metanogenik pengguna hidrogen pada bioreaktor,
maka kelompok ini menjadi kelompok utama pada sistem. Hal ini menjelaskan mengapa jumlah
metanogenik pengguna hidrogen tinggi pada granula termofilik yang secara khusus diberi asetat
dalam waktu panjang. Jumlah metanogenik pengguna asetat tertinggi ada pada bagian di dekat
permukaan granula sementara populasi metanogenik pengguna hidrogen meningkat di bagian
tengah granula.
Mikroba yang pertama kali membentuk oksidasi asetat adalah bakteri termofilik yang
termasuk dalam kelompok bakteri homo-asetogenik yang mampu membentuk kembali asetat dari
hidrogen dan karbondioksida. Kelompok bakteri ini menggunakan substrat yang sangat terbatas
yang semua berhubungan dengan homo-asetogenik alami. Mikroba lain telah diidentifikasi
mampu melakukan reaksi ini. Beberapa mikroba tersebut digunakan pada berbagai substrat yang
berbeda dan selanjutnya menjadi anggota populasi bakteri fermentatif pada bioreaktor termofilik.
Hal ini memberikan indikasi paling tidak pada bioreaktor termofilik, oksidasi sintropik asetat
dapat dilakukan oleh bakteri fermentatif yang berbeda pada reaktor jika substrat lain tidak
tersedia.

2.4. Pembentukan Gas Metan


Pembentukan gas metan berlangsung melalui suatu proses fermentasi anerobik atau
tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu reaksi oksidasi-
reduksi didalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan akseptor
elektronnya digunakan senyawa organik. Fermentasi anaerobik hanya dapat dilakukan oleh
mikroba yang dapat menggunakan molekul lain selain oksigen sebagai akseptor elektronnya
(Wilkie, 2000). Fermentasi anaerobik menghasilkan gas bio yang terdiri dari metana sebanyak 50
– 70 persen, karbon dioksida 25 – 45 persen, sedikit hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida
(Soejono et al., 1990). Keseluruhan reaksi pembentukan gas bio dinyatakan dalam reaksi berikut:

Bahan Organik⃗
Mikroorganisme CH 4 +CO 2 +H 2 S+ H 2 + N 2
anaerobik
Proses fermentasi anaerobik dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah reduksi
organik komplek menjadi senyawa sederhana oleh bakteri hidrolitik. Bakteri hidrolitik ini
bekerja pada suhu antara 30 – 40oC untuk kelompok mesophilik dan 50-60oC untuk kelompok
thermofilik. Tahap pertama proses ini berlangsung dengan pH optimum antara 6 sampai 7.
Pada tahap kedua, organisma pembentuk asam merubah senyawa sederhana dari
tahap pertama di atas menjadi asam organik mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat,
asam propionat dan lain-lain. Dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun,
namun pada waktu yang bersamaan terbentuk pula buffer alkali (larutan penyangga alkali) yang
dapat menetralisir pH. Untuk mencegah penurunan pH yang drastis maka perlu ditambahkan
kapur sebagai buffer sebelum tahap pertama berlangsung.
Tahap ketiga adalah konversi asam organik menjadi metan, CO2, dan gas lain dalam
jumlah sedikit oleh bakteri metan. Bakteri metan yang aktif pada tahap ini antara lain:
Methanobacterium omelianskii, M. sobngenii, M. suboxydans, M. propionicum, M. formicium,
M. ruminantium, M. bakeril, M. vannielii, M. mazei
Pada mulanya bahan organik yang terlarut, masih cukup mengandung oksigen,
sehingga proses mikrobiologis yang terjadi adalah proses aerobik dengan pembentukan CO2.
Segera setelah oksigen terkonsumsi habis, barulah proses anaerobik dimulai. Pada tahap ini yang
sangat aktif adalah bakteri-bakteri pembentuk asam-asam organik dari senyawa karbohidrat,
protein dan lemak. Bakteri tersebut tumbuh dan berkembang biak cepat. Asam organik yang
penting untuk proses pembentukan gas bio adalah asam organik yang mudah menguap (volatile),
terutama asam asetat, yang pada tahap metanogenik diubah menjadi gas methan oleh bakteri
pembentuk gas metan.

Bahan organik + H2O


a)Tahap Pelarutan

Bahan organik komplek yang terlarut

(b) Tahap asidifikasi

Sel bakteri Asam organik yang volatil


Gas CO2 dan H2
Hasil-hasil lainnya

(c) Tahap metanogenik


Sel bakteri Gas CH4, CO2 + H2 Hasil-hasil lainnya
Gambar 5. Tiga tahap proses pembentukan gas metan (Basuki, 1990).
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian


Materi utama penelitian ini adalah sampel segar berasal dari lumpur (sludge) proses
pengolahan limbah organik penghasil gas bio, sekum kuda dan kolon domba.

3.2. Metode Penelitian


Penelitian dilaksanakan dalam 2 Tahun, yaitu :
Tahun I : Isolasi dan uji kemampuan metanogenik :
Tahap 1. Isolasi.
Dilakukan pada media selektif padat (modifikasi metode Paynter and Hungate
dalam Ogimoto dan Imai, 1982)
Tahap 2. Uji kemampuan isolat metanogenik:
Isolat metanogenik yang diperoleh selanjutnya dikultur dan dikembangkan dalam
media diperkaya. Berdasarkan lokasi ketiga sumber isolat yaitu sludge, sekum
kuda dan kolon domba selanjutnya diukur kadar gas methan. Ulangan dilakukan 5
kali untuk mendapatkan tingkat kepercayaan yang cukup, dan isolat metanogenik
berkemampuan tertinggi berdasarkan asalnya digunakan sebagai obyek penelitian
tahun II.

Tahun II : Formulasi, Uji Produksi, Daya Hidup dan Identifikasi


Obyek penelitian tahun kedua adalah isolat metanogenik berkemampuan tinggi
dari hasil uji tahun I. Isolat metanogenik itu diformulasi bersama inokulum
fibrolitik asetogenik yang telah diperoleh dari penelitian hibah bersaing tahun
2008 guna mengetahui efektifitas sintrofinya. Isolat fibrolitik dipelihara dalam
media pertumbuhan secara subkultur. Cara penambahan dan kadar inokulum
metanogenik digunakan sebagai perlakuan guna mengetahui efektivitas
pemakaiannya dalam proses fermentasi limbah organik berserat (Ahring, 2003).
Formula terbaik diuji ketahanannya terhadap senyawa asing, bahan pengemas dan
pembawa. Dua jenis bahan yaitu polyethylene dan alumunium digunakan sebagai
tempat pengemas inokulum, sedangkan tiga jenis bahan pembawa dipakai dalam
penelitian ini adalah molases, tapioka dan jerami padi. Parameter penelitian yang
diukur adalah produksi gas metan dan kepadatan mikroba. Isolat penyusun
inokulum terbaik selanjutnya diidentifikasi secara morfologis dan biokhemis
sampai tingkat genus metode Priest and Austin, (1995).

3.3. Road Map Pelaksanaan penelitian Tahun I dan II.

Penelitian ini merupakan proses lanjut dari penelitian PHB sebelumnya (2007-2008)
yang tidak dapat dipisahkan karena menyangkut kesempurnaan sistem fermentasi bahan organik
berserat secara anaerob. Dalam PHB sebelumnya telah diperoleh inokulum fibrolitik unggul
perombak serat kasar. Inokulum fibrolitik unggul tersebut tidak akan bekerja efektif jika tidak
digabungkan dengan inokulum metanogenik unggul. Oleh karena itu alur penelitian ini
merupakan lanjutan yang tak terpisahkan dari alur penelitian sebelumnya.

INPUT PROSES OUTPUT


PHB 07-08

Isolasi dan uji kemampuan fibrolitik Inokulum fibrolitik unggul


Kolon domba

PATEN I
Sludge dan sal. Isolasi, Uji Morfologi dan Sumber Isolat bakteri
Tahun I

pencernaan herbivora metanogenik


Kemampuan Metanogenik :
berkemampuan tinggi
1. Seleksi dengan media
2. Uji produksi gas metan

PATEN II
Inokulum Pengujian Sintrofi
Metode penambahan
Tahun II

fibrolitik unggul 1. Uji metode inokulasi


dan kadar inokulum
2. Uji daya tahan cekaman aseto-metanogenik
3. Identifikasi sampai tingkat genus terbaik

Starter Fermentasi Produksi Gas


Metan (interkoneksi)
3.4. Alur Penelitian Tahun I . Isolasi dan Uji Kemampuan Metanogenik

Isolat metanogenik terbaik berdasarkan sumbernya (PATEN I)

Uji kemampuan isolat metanogenik

Anaerob
Media diperkaya
Inkubasi 390 C 7 hr
(optimasi media)

Koloni Bakteri Metanogenik

Media selektif padat Anaerob


Inkubasi 390 C 7 hr

Lumpur (Sludge), sekum kuda dan kolon domba


3.5. Alur Penelitian Tahun II. Formulasi, Uji Produksi, Daya Hidup dan Identifikasi.

Metode terbaik cara


penambahan dan kadar
inokulum aseto-metanogenik
(PATEN II)

Uji daya hidup Uji daya hidup


dalam kemasan dalam
pahan pembawa

Fermentasi Feses Sapi Perah Anaerob


Inkubasi
390 C 7 hr

Teknik introduksi aseto-metanogenik (Uji Sintrofi)

Stock Culture
Isolat Metanogenik terbaik
3.7. Analisis Laboratorium
a. Preparasi media selektif metanogenik metode Paynter and Hungate, (1968) dalam
Ogimoto and Imai, (1981) sbb: 80% H2 dan 20% CO2; 0,05 g K2HPO4; 0,05 g KH2PO4;
0,10 g NaCl ; 0,05 g (NH4)2SO4; 0,05 g MgSO4; 0,01 g CaCl2; 0,1 ml Resazurin 0,1%
lar; 0,5 g NaHCO3 ; 0,03 g Cystein-HCl.H2O; 30ml Cairan Rumen ; 0,03 g Na2S
; 70 ml Aquadest. pH ditentukan 6,8 dan media dibagikan ke dalam tabung Hungate
sambil dialiri campuran gas hidrogen-karbondiokasida, ditutup karet rapat-rapat dan
disterilisasi dengan otoklaf selama 20 menit. Inokulasikan cairan rumen segar dari
pengenceran 10-3 sampai 10-1 dan tambahkan 0,1% Cystein sebagai agen pereduksi
sambil tetap diisi campuran gas Hidrogen-Karbondioksida. Tutup kembali dengan karet
dan inkubasikan pada temperatur 39oC selama 7 sampai 14 hari.
b. Preparasi media metanogenik dipekaya metode Paynter and Hungate, (1968) dalam
Ogimoto and Imai, (1981) yang telah dimodifikasi, sbb: 80% H2 dan 20% CO2; 0,05 g
K2HPO4; 0,05 g KH2PO4; 0,10 g NaCl ; 0,05 g (NH4)2SO4; 0,05 g ekstrak yeast; 0,05 g
MgSO4; 0,01 g CaCl2; 0,1 ml Resazurin 0,1% lar; 0,5 g NaHCO3 ; 0,03 g Cystein-
HCl.H2O; 60ml Cairan Rumen ; 0,03 g Na2S; 40 ml Aquadest.
c. Produktivitas VFA diukur dengan khromatografi. Konsentrasi VFA total dan parsial
ditentukan dengan cara sebagai berikut : (1) 2 ml sampel cairan hasil fermentasi dipipet,
(2) ditambahkan sekitar 30 mg asam 5-sulfosalisilat, (3) digojok sampai homogen
dengan stirrer, (4) disentrifuge 3000rpm selama 10 menit, dan (5) ambil supernatan dan
injeksikan pada alat kromatografi.
d. Gas Test secara in vitro dan Gas Kromatografi. Campuran cairan limbah (ditambah
starter) dan buffer dimasukkan ke dalam syringe dan diinkubasi pada suhu 39 oC semalam
menggunakan pipet semiotomatis sebanyak 30ml. Bila ada gelembung udara diusahakan
agar naik kepermukaan dengan cara digoyang. Gas CO 2 dialirkan beberapa saat (15
menit). Klip penutup dibaca dan syringe diinkubasi pada 39 oC. Dibuat pula blanko untuk
koreksi dengan cara sama hanya tanpa penambahan starter. Catat kenaikan volume gas
setelah diinkubasi selama 1, 2, 4, 6, 8, 12, 24, 36, 48 dan 72 jam. Pada saat tertentu bila
volume gas dalam syringe sudah maksimum gas dikeluarkan dengan cara membuka klip
dan volume dikembalikan pada posisi semula. Komposisi gas diuji menggunakan GC
(Gas Chromatography).
DAFTAR PUSTAKA

Abram, J.W and D.B. Nedwell, 1978, Hydrogen as a substrat for methanogenesis and sulphate
reduction in anaerobic saltmarsh sediment, Arch Microbiol. Apr., 27; 117 (1) : 93-7

Abram, J.W and D.B. Nedwell, 1978, Inhibition of methanogenesis by sulphate reducing bacteria
competing for transferred hydrogen., Arch Microbiol. Apr., 27; 117 (1) : 89-92

Ahring, B. K., 2003, Perspectives for Anaerobic Digestion, Advances in Biochemical


Engineering/Biotechnology, Vol. 81, Series editor : T.Scheper, Springer-Verlag
Berlin Heidelberg.

Akin, D.E. and R. Benner, 1988, Degradation of Polysaccharides and Lignin by Ruminal
Bacteria and Fungi. Applied and Environmental Microbiology, P. 1117 – 3655.

Anonimous, 1991, Biological Feed Aditive, Kursus Singkat Penanganan Limbah Industri, PAU-
Bioteknologi UGM, Yogyakarta.

Brock, T.D. and Michael T. Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixt Edition. Prentice
Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. 07632

Chen, J. and Paul J. Weimer, 2001. Competition Among Three Predominant Ruminal
Cellulolytic Bacteria in The Absence or Presence of Non-Cellulolytic Bacteria.
Journal of Environmental Microbiology 147: 21-30.

Chen, Y., R.E. Muck, P.J. Weimer, Z.G., Weinberg, and M.Gamburg, 2004, Lactid Acid
Bacteria Used in Inoculants for Silage as Probiotics for Ruminants. Applied
Biochemistry and Biotechnology, 2004, Vol. 18, No. 1/3, p 1-10
http://www.cababstractsplus.org/google/abstract.asp?AcNo=20053136919

Cheng K.J., C.W. Forsberg, H. Minato, JW. Costerton. 1991. Physiological Aspects of Digestion
and Metabolism in Ruminants: Proceeding of the Seventh International Symposium
on Ruminant Physiology.

Colberg P.J., 2001, Microbial degradation of Lignin-derivat Compound Under Anaerobic


Conditions, Stanford University Publ. USA.

Dehority, 1998. Microbial Interaction in The Rumen. Rev. Fac. Agron. (LUZ) 1998, 15: 69-86.

DeGregorio, R.M., R.E. Tucker, G.E. Mitchell, and W.W. Gill. 1984. Acetate and propionate
production in the cecum and proximal colon of lamb. J. Anim Sci. : 58(1): 203-7

Flagel and Meetivision, 1998, Livestock and Feeding. Fourth Editions, Durham and Doney,
Oregon, USA

Gordon J. I. and E. A. Groisman, 2006, The Friendly Bacteria


WithinUs.www.hhmi.org/bulletin/winter2005/bacteria/bacteria2.html
Howard R. L., Abotsi E., Jansen van Rensburg E.L and Howard S., 2003. Lignocellulose
Biotechnology : issues of bioconversion and enzyme production. African Journal of
Biotechnology, vol. 2, No. 12, pp. 602 – 619.

Hungate, R. 1966, The Rumen and Its Microbes, Academics Press, New York.

Johansson, E., C. Krantz-Rulcker, B. X. Zhang and G. Oberg, 2000. Chlorination dan


biodegradation of lignin, Soil Biology dan Biochemistry 32 (2000) p: 1029-1032.

Jutono, 1980. Pedoman praktikum mikrobiologi untuk perguruan tinggi. Departemen


Mikrobiologi Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Krause D.O., McSweeney C.S. and Robert Foster, 2001. Molecular ecological methods to study
fibrolytic ruminal bacteria: Phylogeny, competition and persistence (SIRO tropical
agriculture).

Krause, D. O., 2001. Repeated ruminal dosing of Ruminococcus spp. does not result in
persistence, but changes in other microbial populations occur that can be measured
with quantitative 165 – rRNA – based probes.

Labat, M. and J. L., Garcia, 1986, Study on the Development of Methanogenic Microflora
During Anaerobic Digestion of Sugar Beet Pulp, Appl. Microbiol Biotechnology, 25,
163-168.

Lopes, W. S., V. D. Leite and S. Prasad, 2004, Influence of inoculum on performance of


anaerobic reactors for treating municipal solid waste, Bioresource Technology, 94,
261-266. www.sciencedirect.com

Lynd L.R., Paul J. Weimer, Willem H. Van Zyl, and Isak S. Pretorius. 2002. Microbial Cellulase
Utilization. Microbiology and Molecular Biology Review. Vol. 66 no. 3.

Madigan, M.T., J.M. Martinko, and J. Parker, 1997, Biology of Microorganisms, 8th ed., Prentice
Hall International, Inc.

Maglione G., J.E. Wells and J.B. Russel. 1997. Kinetic of Cellulose Digestion by Firbobacter
Succinogenes. 585. Dairy Forage Research Center Research Summaries.

Martani, E., N. Haedar dan S. Margino, 2003, Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Pendegradasi
Lignin dari Beberapa Substrat Alami, Gama Sains V (2) : 32 – 35.

McAllister. 2000. Learning More About Rumen Bugs: Genetic and Environmental Factor
Affecting Rumen Bugs. Souther Alberb Beef Review. Vol. 2, Issue 1.

Mester T., E. D. Jong and J. A. Field, 1995. Manganese Regulation of veratryl Alcohol in white
Rot Fungi and Its Indirect effect on Lignin Peroxidase, Applied and Environmental
Microbiology, May 1995, p : 1881-1887
Mester, T., Pena, M., and Field, J.A. 1996. Nutrient regulation of extracellular peroxidases in the
white rot fungus Bjerkandera sp. Strain BOS55. Appl. Microbiol. Biotechnol. 44:
778-784.

Mester T., H. J. Swarts, S. Romero, S. Jan A, M. Bont and J. A. Field, 1997, Stimulation of Aryl
Metabolite Production in the Basidiomycete Bjerkandera sp. Strain BOS55 with
Biosynthetic Precursors and Lignin Degradation Products, Applied and
Environmental Microbiology, May 1997, p : 1987-1993

Miron, J., D. Ben-Ghedalia and M. Morisson, 2001. Invited Review: Adhesion Mechanism of
Rumen Cellulolytic Bacteria. Journal of Doing Science, Vol. 84, Issue 6.

Odier, E., G. Janin and B. Monties, 1981, Poplar Lignin Decomposition by Gram-Negative
Aerobic Bacteria, Applied and Environmental Microbiology, p. 337-341.

Ogimoto, K. and S. Imai, 1981, Atlas of Rumen Microbiology, Japan Scientific Societies Press,
Tokyo.

Owen, FN, and A.L. Goetsch, 1988. Ruminal Fermentation. In Church C.D; The Ruminant
Animal. Digestive Physiology and Nutrition. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New
Jersey.

Peres, J., J. Munoz-Dorado, T de la Rubia dan J. Martinez, 2002. Biodegradation and Biological
Treatment of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: an overview. Int. Microbiol. 5 :
53-56.

Raibaud, P., Ducluzeau, R., Dubos, F. 1980. Implantation of Bacteria from the Digestive Tract of
Man and Various Animals into Gnobiotic Mice. Amer. J. Clin. Nutr. 33

Rowland, I.R., Mallet, A.K. and Wise. 1985. The Effect of Diet on the Mammalian Gut Flora
and Its Metabolic Activities. CRC Crit. Rev. Toxicol. 16.

Ruttimann, C., R. Vicuna, M.D. Mozuch and T.K., Kirk, 1991, Limited Bacteria Mineralization
of Fungal Degradation Intermediate from Synthhetic Lignin. Applied and
Environmental Microbiology, P. 3652 – 3655.

Shi Y. Ddt Christine L and Paul Weimer, 1996. Competition Among Three Predominant
Cellulolytic Bacteria For Cellobiose Under Substrate – Unlimited and Substrate
Limited Condition.

Shi, Y. and P.J. Weimer, 1995. Predicted Outcome of Competition Among Ruminal Cellulolytic
Bacteria for Soluble Product of Cellulose Digestion. U.S Dairy Forage Research
Center Research Summaries.

Smith, P. H. and R. E. Hungate, 1958, Isolation and Characterization of Methanobacterium


Ruminantium N. SP, Department of Bacteriology, University of California, Davis,
California.
Soejono, M. 1998. Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaat Lain .Bioconversion Project
Workshop. Grati, Pasuruan.

Soejono, M., 1990, Simbiosis Ruminansia, Kursus Singkat Ekologi Mikrobia, PAU
Bioteknologi-UGM, Yogyakarta.

Soejono, M., 2006, Perkembangan dan Arah Pengembangan Teknologi Pakan di Indonesia.
Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas 2006, Menyongsong
Rencana Kecukupan Daging Tahun 2010, Fakultas Peternakan UGM.

Soliva, C.R., I. K. Hindrichsen, L. Meile, M. Kreuzer and A. Machmuller, 2003, Effect of


Mixtures of Lauric and Myristic Acid on Rumen Methanogens and Methanogenesis
in vitro, Applied Microbiology, 37, 35-39.

Stams, A.J.M., S.J.W.H. Oude Elferink and P. Wastermann, 2003, Metabolic Interactions
Between Methanogenic Consortia and Anaerobic Respiring Bacteria, Advances in
Biochemical Engineering/Biotechnology, Vol. 81, Series editor : T.Scheper,
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Stone, 1991. Formation of Lignin in Wheat Plants. J. Chain. 29., p. 734 – 745.

Taga, M.E. and B.L. Bassler, 2003, Chemical communication among bacteria. Proc. Nat. Acad.
USA. 100 Suppl. 2:14549-14554.

Ullrey, D. E., S. D. Crissey, and H. F. Hints. 1997. Elephants : Nutrition and Dietary
Husbandry, Michigan State University. www.nagoline.net/Technical
%20Papers/NAGFS00497Elephants-JONIFEB24,2002MODIFIED2.pdf

Van Soest, 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant: O&B Book Inc. Oregon. USA.

Varga, G. A. and Erie S. Kolver. 1997. Microbial and Animal Limitation to Fiber Digestion and
Utilization. The Journal of Nutrition Vol 127 No. 5.

Varrel, V.H. and Burk A. Dehority. 1989. Ruminal Cellulolytic Bacteria and Protozoa From
Bison, Cattle – Bisson Hybrids, and Cattle Feed Three Alfalfa – Coin Diets. Applied
and Environmental Microbiology. Vol. 55 No. 1

Vogels, G. D., W. F. Hoppe and C. K. Stumm, 1980, Association of Methanogenic Bacteria with
Rumen Ciliates, Applied and Environmental Microbiology, 40, 608-612.

Wahyudi, A., M. Ismadi dan R. S. Sudibyo, 1996, Peningkatan toleransi Saccharopolyspora


erythrea CCRC 11513 terhadap minyak sawit sebagai praprekursor eritromisin
dengan cara induksi. Berkala Ilmiah Pasca Sarjana, Program Pasca Sarjana UGM

Wahyudi, A., 1997, Fenomena Resistansi Bakteri pada Peternakan Ayam Potong di Indonesia.
Poultry Indonesia, edisi September 1997 No. 211.
Wahyudi, A., dan Z. Bachrudin, 2004, Isolasi Mikrobia Selulolitik Cairan Rumen beberapa
Ternak Ruminansia (kerbau, sapi, kambing dan domba) Sebagai Probiotik Pakan
Sapi. Jurnal Ilmiah Terakreditasi Fakultas Peternakan-Perikanan UMM, edisi Juli
2004.

Wahyudi, A., dan Z. Bachrudin, 2005, Aktivitas Enzim Selulase Ekstraseluler Bakteri Rumen
Kerbau, Sapi, Kambing dan Domba pada Beberapa Kultur Fermentasi : Upaya
mendapatkan Starter Probiotik bagi ternak ruminansia. Proseding Seminar Nasional
”Pengembangan Usaha Peternakan berdaya Saing di Lahan Kering” . Edisi
Pertama, Fakultas Peternakan UGM.

Wahyudi, A., 2005, Ketersediaan N, P, K pada Manure Sapi Perah dengan Introduksi Bakteri
Selulolitik. Proseding Seminar Nasional ”Prospek Pengembangan Peternakan tanpa
Limbah” Program Studi Peternakan UNS.

Wahyudi, A., 2007, Evaluasi Penggunaan Urea Molases Mineral Probiotik Blok (UMMPB)
pada Sapi Perah Laktasi Terhadap Produksi dan Kualitas Susu, Proseding Seminar
Nasional Rekonstruksi Bidang Peternakan dalam Swasembada Pangan, Fakultas
Peternakan UMM

Wahyudi, A., 2007, Evaluasi Daya Hidup Bakteri Selulolitik dalam Urea Molases Mineral
Probiotik Blok (UMMPB) 2007, Proseding Seminar Nasional AINI VI, Kearifan
Lokal dalam Penyediaan serta Pengembangan Pakan dan Ternak di Era Globalisasi,
Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM

Wahyudi, A. dan L. Hendraningsih, 2007, Probiotik : Konsep dan Penerapan pada Ternak
Ruminansia, UMM Press, Malang.

Wang, X., S. Haruta, P.Wang, M.Ishii, Y.Igarashi and Z.Chui, 2006, Diversity of Stable
Enrichment Culture which is Useful for Silage Inoculat and Its Succession in Alfalfa
Silage, FEMS Microbiol Ecol. 2006 Jul;57(1):106-15

Weilberg, Z. G., Y. Chen and M. Gamburg, 2004, The Passage of Lactic Acid Bacteria from
Silage into Rumen Fluid, In Vitro Studies. J. Dairy Sci. 87:3386-3397.
http://jds.fass.org/cgi/content/full/87/10/3386

Weilberg, Z., R. Muck, P. Weimer, Y. Chen and M. Gamburg, 2004, Lactic Acid Bacteria Used
in Inoculants for Silage as Probiotics for Ruminants. Applied Biochemistry and
Biotechnology., 118: 1-10 http://www.ars.usda.gov/research/publications/publications.htm?
seq_no_115=164275

Weimer P.J. et.al. 1996. Ruminal Cellulolytic Bacteria: Physiology, Ecology and Beyond. U.S..
Informational Conference with Dairy and Forage Industries. U.S. Dairy Forage
Research Center.

Weimer P.J. G.C. Waghorn, DR. Merten S., 1999. Effect of Diet on Population of Three Species
of Ruminal Cellulolytic Bacteria in Lactating Dairy Cows. Journal of Dairy Science.
Vol. 82
Wells J. E and JB. Russel. 1996. The Lysis of Fibrobacter Succinogenes. V. S. Dairy Forage
Research Center. Research Summaries.

Wilkie, A. C., 2000, Anaerob Digestion: Holistic bioprocessing of animal manures, in


Proceeding of the Animal Residuals Management Coference., p. 1 – 12. Water
Environment Federation, Virginia.

Anda mungkin juga menyukai