Anda di halaman 1dari 16

CERPEN : Kisah Tentang X-3

Wah, pagi ini sepertinya cuaca di Jakarta kembali tidak bersahabat, awan hitam yang menyelimuti kota Jakarta
diiringi hujan rintik-rintik yang senantiasa menemani perjalanan anak-anak SMA 13 menuju ke sekolah sepertinya
sudah menjadi sahabat setia bagi mereka.

Meski begitu tetap saja bangku siswa di kelas X-3 selalu penuh tanpa satu pun yang kosong. Begitulah, anak-anak
X-3 selalu bersemangat untuk hadir ke sekolah, tak peduli apapun yang terjadi di perjalanan. Hujan deras mengguyur
bumi, jalan-jalan kota Jakarta yang selalu padat dengan kendaraan-kendaraan besar, semua itu mereka anggap hanya
sebagai cobaan dalam meraih cita-cita mereka dan mereka tidak menjadi kan hal itu sebagai suatu masalah besar.

Seperti biasa pagi ini diawali dengan canda dan tawa dari semuanya, namun masih ada satu dua anak yang masih
tampak ngantuk, wajar saja ngantuk hari ini kan ada ulangan kimia, mungkin mereka belajar sampai larut malam. Jadi,
jam tidur mereka pun berkurang. Persahabatan, kasih sayang dan rasa solidaritas antara satu dengan yang lainnya
begitu kuat terasa di kelas ini, suasana seperti itu selalu mengiringi mereka di dalam sebuah persaingan, tentu saja
bersaing untuk menjadi yang terbaik.

Bel masuk pun berdering, semuanya segera masuk dan duduk di bangkunya masing-masing. Lima menit berlalu,
anak-anak semakin tegang menunggu kehadiran guru kimia dan di dalam hati mereka berdo’a “Ya Tuhan semoga saja
guru kimia yang baik hati ini tidak masuk” itulah do’a mereka agar tidak jadi ulangan hari ini. Beberapa saat kemudian
pintu kelas X-3 terbuka “cklek” kontan suara itu memecah keheningan semua yang ada di dalam kelas, mereka kira
guru kimia yang datang, tapi ternyata yang datang bukan guru kimia melainkan guru piket “pelajaran siapa sekarang?”
Tanya sang guru yang berdiri tepat di depan lemari kelas. “Kimia buuuu..!!” Teriak anak-anak X-3 dengan penuh
semangat. “Ya, sekarang kalian buka saja buku paket nya dan kerjakan soal-soal latihan yang ada, guru kimia nya hari ini
berhalangan hadir.” Sepertinya do’a anak-anak X-3 dikabulkan sama yang di atas.

Betapa gembiranya mereka mendengar berita tersebut, suasana kelas yang tadinya sepi seketika berubah
menjadi sangat ramai, Rizki sang ketua kelas mulai memainkan gitar dan disambut dengan hentakan suara drum yang
terbuat dari meja oleh Septian atau yang biasa dipanggil Acep, lalu mulai lah terdengar lagu-lagu berbahasa Inggris yang
dipopulerkan oleh grup band MCR (My Chemical Romance) seperti I don’t love you, Helena, dan Welcome to My Black
Parade. Lagu-lagu tersebut sudah begitu akrab di telinga anak-anak X-3.

Di kelas X-3 ada bermacam-macam karakter dan semuanya sudah punya ciri khas masing-masing, sebut saja sang
ketua kelas Rizki dengan rambut model bob nya ia selalu membangga-banggakan kampung halamannya, Pacitan. Lalu
ada Raja yang terkenal sebagai tukang bohong dan ia dikenal sebagai orang yang mencintai tanpa dicintai, sampai
sekarang cintanya belum pernah terbalas oleh sang permaisuri Devin Davianti. Lalu ada lagi si Radita Dewa yang kata
anak-anak X-3, dia itu anak yang paling songong di kelas tidak tahu kenapa. Ada lagi si Pepo wah ini anak emang paling-
paling deh kata bu Soleha aja dia itu bukan makhluk dari bumi tapi dari planet Mars. Lalu si Acep anak ini memang
sudah tidak tahu malu, makanya sering di teriakin “orang gila!!” sama anak-anak yang lainnya. Terus ada juga nih yang
kerjaannya tiduuur melulu mereka adalah Christian, Amoy, dan Devita. Kira-kira itulah anak-anak yang di bawah batas
normal.

Di X-3 juga ada anak-anak yang pandai-pandai, contohnya Eko, anak yang mempunyai wawasan luaaaas banget,
lalu ada Hani Riza, anak ini kayaknya punya multi talented karena dia kalau disuruh apa aja pasti bisa, terus di X-3 juga
ada artis nya loh dia adalah Dewi Untari yang sudah sering muncul di TV sebagai penyanyi yang juga sudah menjadi
andalan PSVG SMA 13. Oia satu lagi nih, yang paling jenius di kelas X-3 Sulis seorang pakar Matematika yang punya
kebiasaan lucu yaitu kalau di ledekin sama anak-anak mukanya langsung berubah jadi merah kaya kepiting rebus. Kira-
kira begitulah karakter-karakter yang ada di X-3 walaupun masih banyak yang belum di sebutin.

Selain lagu-lagu yang sudah disebut tadi, ada satu lagu yang paling sering dinyanyikan sama anak-anak X-3 yaitu
lagu “SELAMAT ULANG TAHUN” walaupun tidak ada yang ulang tahun lagu ini hampir setiap saat dinyanyikan sama
anak-anak X-3, lucu banget yah…

Di kelas X-3 juga banyak kejadian-kejadian yang tidak akan pernah terlupakan dari yang lucu, romantis,
mengharukan sampai yang menakutkan. Salah satu kejadian yang paling lucu terjadi ketika pelajaran bahasa Indonesia,
yaitu saat sedang pengambilan nilai membuat dan membaca puisi dan ketika si Pepo maju dia membacakan sebuah
puisi yang paling aneh, dengan wajah yang aneh Pepo mulai membacakan puisi yang ia beri judul “DURIAN”.
DURIAN

“Dari semua yang ada di sini

Hanya kamu yang aku cari

Walau bentuk mu seram

Kulitmu tajam-tajam

Yang penting tidak haram

Enaknya dinikmati bersama semua yang ada di sini

Sekali-kali diet makan nasi

Oh,, nikmati bersama

Makan durian bersama teman-teman”

Itulah puisi aneh dari Pepo, mendengar puisi tersebut kontan saja anak-anak terasa geli dan tertawa terbahak-bahak.
Lalu setelah Pepo membacakan puisinya, kini giliran Raja yang membacakan puisi miliknya. Puisi dia buat khusus buat
Devin. Kebetulan saat itu Devin ulang tahun. Puisinya ini ia beri judul “DEPHINE”, tadinya ia tidak mau membacakan di
depan kelas karena malu, namun karena dipaksa oleh bu Icha yang cantik dan imut-imut akhirnya ia mau juga
membacakan puisinya. Inilah puisi dari Raja..

DEPHINE

Dirimu adalah bagian dari hidupku

Enak rasanya bila dekat dengan mu

Puisi ini kuciptakan hanya untukmu

Hanya dirimulah yang ada di hatiku

Indahnya langit biru tak seindah dirimu

Namun, sulit rasanya untuk mendapatkan dirimu

Embun pagilah yang selalu memberiku semangat

Suasana kelas berubah menjadi sangat ramai setelah ia selesai membacakannya, Devin pun hanya bisa tersenyum atas
kejadian tersebut dan secara kebetulan hari itu adalah hari ulang tahunnya Devin. Di kelas ini juga pernah ada kejadian
yang sangat menakutkan. Suatu pagi saat semuanya baru hadir, mereka langsung di hebohkan dengan foto di hand-
Phone nya Riza di sana terlihat Alisa dan Icha sedang bergaya namun ada sesuatu yang mengejutkan, rambut dengan
panjang mencapai pinggang nampak jelas terlihat di foto itu. “Gua kan foto cuma berdua sama si Icha..!!” jelas Alisa
dengan wajah yang nampak pucat, dan yang membuat foto tersebut menjadi sangat aneh adalah di bawah rambut
panjang itu terlihat rok berwarna abu-abu, padahal hari itu hari senin jadi semuanya memakai seragam warna putih,
tetapi kejadian tersebut di sikapi dengan tenang oleh anak-anak X-3 dan kejadian itu pun berlalu begitu saja.

Tetapi kejadian itu kembali teringat saat beberapa anak dari kelas X-3 melakukan wawancara dengan salah satu guru
terfavorit di kelas X-3. Dia adalah ibu Soleha.

“Bu, menurut ibu kelas X-3 itu seperti apa sih jika sedang dalam kegiatan belajar mengajar?” Tanya Adel

“Menurut saya kelas X-3 ini kelas yang paling lively, karena di X-3 itu complit banget dari yang pendiem, cerewet sampai
yang paling nggak bisa diem ada di kelas ini” jelas bu Soleha
“ada lagi bu yang membuat ibu terkesan dengan kelas ini?”

“ya, entah mengapa selama saya mengajar di kelas X, kelas X-3 dari tahun ketahun tipe anak-anak nya selalu sama
seperti ini, dan dulu di kelas X-3 ini ada satu murid yang menurut saya sangat menarik namun ia mengalami sakit dan
sampai akhirnya ia meninggal saat seusia kalian dan mungkin dia juga masih sering hadir ke kelas ini dan hal itu juga
mungkin saja mempengaruhi apa yang terjadi di kelas ini”

Begitulah obrolan singkat dengan bu Soleha ketika ditanyakan pendapatnya tentang kelas X-3. Mendengar cerita
dari bu Soleha tadi anak-anak X-3 kembali merasakan perasaan yang berbeda. Begitulah kisah yang pernah dialami oleh
anak-anak kelas X-3, walaupun baru beberapa bulan, tetapi begitu banyak cerita yang tidak bisa dilupakan oleh anak-
anak X-3.

CERPEN : Bel Sepeda Gadis Kecil Itu

Pagi mengintai dari balik tirai awan.Matahari yang menandakannya mulai muncul.Dia berusaha menerangi bumi tempat
manusia menggantungkan harapannya.Aku masih terlelap!!Kesibukan orang-orang yang mencari kemewahan hidup
mulai bermunculan lagi.Rutinitas dan jadwal harian yang telah dirancang sedemikian rupa kembali ditekuni.Aku masih
terlelap!!Beragam aktivitas dilakukan oleh makhluk ciptaan Tuhan dan sepertinya mereka berfikir untuk terus hidup
hingga 1000 tahun lebih.Mereka memulai pergantian hari dengan senyum yang cerah,dengan wajah yang berseri dan
harapan hari ini akan lebih baik dari kemarin.Aku mulai membuka mataku!!Perlahan aku hidup kembali setelah
melewati perjalanan panjang dalam mimpi.Kulitku mulai merasakan hangatnya matahari.Kemudian aku beranjak dari
ranjangku,berjalan perlahan dan berhenti di teras lantai dua di depan kamarku.Aku diam di situ!Merasakan kebosanan
yang masih berlomba menyerangku.Aku diam,hanya diam dan tetap diam.Hanya karena menempati rumah baru yang
sedikit jauh dari tempat tinggal asalku,aku merasa begitu asing dengan dunia.Padahal seharusnya kebanggaanku
memuncak karena inilah rumah yang kubeli dari hasil jerih payahku.Mungkinkah karena di sini tak ada Dinar,anak
tetanggaku yang berumur 6 tahun yang sering bermain denganku.Atau mungkin karena di sini tak ada Momo dan
Mimi,dua ekor burung merpati yang tiap pagi menemaniku minum teh dibelakang rumah.Aku masih diam di
situ.Mataku tak henti memandang sekeliling seolah mencari sebuah alasan yang nantinya akan membuatku betah
tinggal di sini.Di kota kecil yang sungguh tenang ini.Dulu aku selalu memimpikan ketenangan seperti ini.Tapi setelah
kudapatkan,kenapa aku merindukan masa-masa dulu.“ting…ting…ting…” terdengar bunyi bel sepeda yang
mengagetkanku.Aku melihat ke jalan mencari arah datangnya bunyi itu.Dari arah timur kulihat anak kecil kira-kira
berusia 6 tahun tersenyum melihatku.Dia yang membunyikan bel itu.Dan akupun tersenyum.Pagi ke dua,Sekali lagi aku
terbangun pada jam yang sama.Kemudian aku termenung di teras lantai dua.Ketika tiba-tiba anak kecil itu
membunyikan bel sepedanya dan tersenyum padaku seperti kemarin,aku masih berpikir sederhana ”siapa gadis kecil
yang manis itu?”Dan hanya itu memang.Karena aku sungguh tidak merasa mengenalnya.Pagi-pagi yang telah berlalu
masih membangunkan aku pada waktu yang sama.Dan tiap pagi,anak kecil dengan sepeda mungilnya masih
menyapaku.dia selalu membunyikan bel sepedanya lalu tersenyum.Senyum yang manis…“Bu,saya ingin
bertanya,apakah Ibu tahu siapa anak kecil yang tiap pagi naik sepeda melewati depan rumah saya?” tanyaku suatu
ketika pada pemilik warung depan rumahku.“siapa ya mbak?kok saya kurang tahu?”Dan aku mendapatkan jawaban
yang sama ketika kutanyakan hal ini pada ibuku dan beberapa tetanggaku.Kini,tanpa sadar aku mulai memikirkan gadis
kecil itu.Siapa dia? Bukankah aku tak mengenalnya? Mengapa dia selalu tersenyum padaku? Dan mengapa
pertemuanku dengannya hanya pagi hari?“mungkin itu hanya halusinasimu saja Cha…” kata temanku ketika aku
menceritakan hal ini.“sepertinya nggak mungkin.Masak tiap pagi aku berhayal?”“hantu kali…”“jangan ngawur!mana ada
hantu pagi-pagi gitu” dan temanku hanya angkat bahu.Rasa penasaran masih menyelimuti pikiranku.Aku bertekat,besok
pagi akan kutemui gadis kecil itu.Gadis yang selalu tersenyum manis menemani kebosananku.Dan sepertinya akupun
mulai melupakan bosan itu.Karena tiap kali mengingat senyumnya,hatiku akan seirama dengannya,akan tersenyum
juga.Pagi ini kontras dengan biasanya.Langit mendung tapi hatiku tersenyum.Kembali aku menunggu gadis kecil
itu.Menunggunya menyapaku.“ting…ting…ting…”Aku tersentak.Dia datang.Dan dia masih tersenyum lagi tanpa
mengatakan sesuatu.Aku ingin sekali memanggilnya.Tapi tak ada suara.Aku seperti tersihir oleh senyumnya yang amat
manis.Beberapa detik kemudian aku tersadar.Bergegas aku turun untuk mengejarnya.masih ada harapku untuk
bertemu dengannya.Di gerbang rumah kucari dia.Dan tak ada!Dia terlalu cepat pergi!mungkin belok di salah satu gang
itu.Aku kecewa!21.30 malam…Di kamar aku masih memikirkannya.Mengapa gadis itu hanya tersenyum tanpa pernah
mengatkan sesuatu.Dia hanya membunyikan bel sepedanya.“kring…kring…”suara telepon mengagetkanku.Bergegas aku
mengangkatnya ”halo…selamat malam”“ting…ting…ting…”Aku tersentak.“ha..halo…siapa ini?”“ting…ting…ting…”“ini
adik kecil ya?”“kakak…”Dan teleponnya terputus.Aku termangu.Benarkah tadi gadis itu?Pagi mengintai dari balik tirai
awan.Aku membuka mataku dan bergegas menunggu gadis kecil itu.“ting…ting…ting…”Dia tersenyum lagi.Senyum yang
sama.“adik…berhenti!!” panggilku.Lalu aku berlari mengejarnya.Aku sempat melihat dia melambaikan tangan.Dan aku
terus mengejarnya sampai depan rumah besar yang kelihatan sepi.“permisi…” teriakku sambil memencet bel yang
ada.Aku terus melakukannya berulang-ulang tapi tak ada jawaban.Hingga seseorang memanggilku.“hei!apa yang kau
lakukan di situ?”Aku tersentak,”oh…maaf!saya mencari gadis kecil pemilik rumah ini”“apa maksudmu?rumah itu kosong
sejak 3 bulan lalu”Aku terkejut,diam,bingung,kaget,atau apalah namanya itu.Kecewa sekali lagi,kemudian aku beranjak
pulang.21.03 malam…Aku masih terjaga.Entah mengapa aku makin betah di sini semenjak rasa penasaranku muncul.Di
jendela kulihat bintang begitu jelas.Aku menyukainya,aku menerima ketenanganku.Dan aku ingin tetap di sini.“ting…
ting…ting…”Reflek aku berlari keluar rumah ketika mendengar suara itu.Di depan pintu kulihat seorang gadis kecil
berdiri di samping sepedanya sambil tersenyum.“adik kecil…”“kakak,aku kedinginan…”“mana orang tuamu?”“mama
dan papa pergi…”Aku merasa iba melihat ketidakberdayaannya.Aku mengajaknya masuk.Kuberikan susu hangat
padanya.“adik kecil,siapa namamu?”“Amy…”Melihat matanya yang jernih,aku merasa begitu menyayanginya.Kemudian
aku menawarkannya untuk menginap di rumahku dan dia menganggukkan kepala.“kakak…Amy titip sepeda ya…”Aku
mengangguk.Malam makin larut.Pagi mengintai dari balik tirai awan.Matahari yang menandakannya mulai muncul.Dia
berusaha menerangi bumi,tempat manusia menggantungkan harapan-harapannya.Aku terbangun!Kucari Amy.Tapi tak
ada.Kutanyakan pada ibuku.“tak ada siapa-siapa di sini selain kita.Lagipula kalau tadi malam ada gadis kecil yang tidur di
kamarmu,pasti ibu mendengarnya” kata ibu.Aku kembali ke kamar dengan kecewa.“i…itu…”Aku terkaget ketika melihat
sepeda kecil di kamarku.Aku langsung berlari menghampirinya.Ada sepucuk surat di sana.“kak…Amy pergi dulu.Tolong
jaga sepedaku ya!Amy mau menyusul mama dan papa di surga.Terima kasih kak…”Sekali lagi aku diam.Benarkah yang
baru saja kualami hanya mimpi? Aku meragukan diriku dan pikiranku.Amy,gadis kecil itu memberiku sebuah senyuman
yang hangat.Membangkitkan jantungku untuk berdetak lebih bersemangat.Aku kini mulai menatap esok yang cerah!!!
SIDOARJO,11 JULI 2007

CERPEN : DE JAVU

Oleh : Fajar D Aryadi Malam itu kuterjaga dari tidurku di malam hari. Saat kubuka jendela kamarku ternyata hujan
turun dengan lebatnya. Tapi anehnya masih bisa kulihat bulan di langit malam meski hujan turun. Kejadian itu
mengingatkanku pada kejadian 6 bulan lalu. Saat itu jam weker kamarku berdering membangunkanku, akupun
terkejut dengan bising yang berasal dari jam weker itu. Saat kulihat, ternyata waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Meski
masih jam 5 keadaan di luar sudah tampak terang. Saat kubuka jendela kamarku ternyata keadaan di luar hujan, sinar
matahari di pagi itu seperti terhalang oleh awan mendung. Mau tak mau aku tetap bangun karena harus
mengantarkan adikku ke sekolah jam ½ 7 pagi. Sesaat aku membuka pintu kamarku tiba-tiba Crat… percikan air
mendarat di mukaku, ternyata adikku yang bernama Gina memercikan air dari ciduk yang dibawanya. “Happy
Birhtday…” katanya sambil terus memercikan air ke arah mukaku. “Apa-apaan sih kamu? Nggak lucu tau ngga?”
bentakku. Gina tetap saja memercikkan air sambil tertawa dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Karena
kesal ciduk yang dibawanya tadi kurebut dan langsung saja aku membalas memercikan air ke arah Gina. Gina lantas lari
untuk menghindariku “Mama… kak Taka nakal !”, ujarnya sambil berlari ke luar rumah. “Taka, nggak usah bercanda lagi,
udah masuk, di luar hujan, ntar masuk angin lho.” Ujar mamaku sambil menyiapkan sarapan pagi. Papa yang muncul
dari ruang dalam hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat kedua anaknya bercanda sambil hujan-hujanan.
“Gina, udah lah, buruan mandi sana, nanti telat sekolah lho” ujar mamaku. Sambil mengejekku Gina lantas berlari
menuju kamar mandi. Waktu menunjukkan pukul 06.30 dan aku harus mengantarkan Gina yang duduk di
bangku SMA pergi ke sekolah walaupun hujan masih turun meski hanya kecil-kecil. Setelah itu aku langsung menuju ke
kost Ergy, teman kuliahku. Aku sengaja tak langsung ke kampus karena aku masuk kuliah jam 10.00. Pukul 09.45
kita berangkat dari kost Ergy ke kampus untuk kuliah. Pada waktu itu kuliah sedikit membosankan karena dosen yang
mengajar gaya bicaranya membuat mahasiswa mengantuk, apalagi didukung dengan hawa dingin dari AC di ruangan,
lengkaplah rasa dingin dan ngantuk itu.Setelah selesai, aku dan Ergy ke kantin kampus untuk makan, saat itu hujan
sudah reda. Tak berapa lama di kantin saat kami sedang makan, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku. Akupun
kaget, dan saat kubuka mataku ternyata itu adalah Tari, cewek yang menjadi pacarku. Kami berhubungan sudah sekitar
3 bulan. “Selamat ulang tahun say.” Ujarnya sambil duduk di sebelahku. “Eh, hari ini kamu ulang tahun Ka? Wah, bisa
ditraktir nih aku.” Ucap Ergy. “Ya… kalo untuk Tariku tercinta ini nggak apa-apa, tapi kalo kamu… kapan-kapan aja ya
Gy.” Jawabku. Waktupun berlalu, entah mengapa hari itu yang merupakan hari ulang tahunku terasa begitu
lama. Saat jalan-jalan ke malpun aku merasa bosan karena sepertinya waktu berjalan sangat lambat. Dan entah
mengapa untuk pertama kalinya juga aku merasa jenuh jalan-jalan bersama Tari. Saat sore hari, aku dan Tari makan di
restoran cepat saji di mal. Saat itu Tari menyuruhku memejamkan mata. “Taka, kamu pejamin mata kamu ya?”
pintanya. “Emang ngapain?” Tanyaku heran. “Udah deh, pejamin mata kamu aja.” Pintanya lagi.Kupejamkan mataku,
kemudian saat Tari menyuruhku membuka mata, betapa terkejutnya aku, Tari memberiku sebuah kado kecil. “Apaan
nih?” tanyaku. “Hm… buka aja.” Jawabnya. Setelah kubuka kado itu ternyata isinya adalah sebuah jam tangan. “Happy
birthday ya say.” Katanya. Waktu menunjukkan jam 7 malam, setelah puas jalan-jalan dengan Tari, akupun
mengantarnya pulang dengan naik motor. Sewaktu di taman kota tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Karena tidak
membawa jas hujan kami berteduh dulu di sebuah gazebo. “Tar, kita berteduh dulu ya? Hujannya deras, aku nggak
bawa jas hujan.” Tari hanya mengangguk. Di situ aku melihat Tari sedikit kedinginan. Akhirnya aku menutupkan jaketku
ke badannya. Tari menoleh padaku. “Udah, kamu pakai aja, kamu kedinginan kan?” kataku. “Ng… makasih ya Ka”
jawabnya. Akupun mengangguk. Setengah jam kami berada di sana. Hujan masih saja turun dengan deras,
kemudian Tari menyetel musik dari HPnya, setelah itu Tari beranjak maju menuju hujan. Akupun menjadi terkejut, “Tar,
jangan hujan-hujan, ntar sakit lho.” “Nggak apa-apa, aku pengen nikmati tetesan air hujan ini. Lagian liat deh, meskipun
hujan, bulan masih kelihatan di sana. Aku nggak peduli ntar aku sakit atau sampai matipun.” Jawabnya sambil
merentangkan kedua tangannya di derasnya hujan. “Kamu ngomong apa sih?” ujarku sambil menghampirinya.
Tari menoleh padaku. Entah mengapa saat itu wajah Tari begitu cantik meskipun basah karena air hujan. “Udah yuk,
berteduh.” pintaku sambil menarik tangannya, tetapi Tari enggan mengikutiku. Saat aku berjalan kembali ke gazebo,
kemudian Tari memelukku dari belakang. “Taka, aku seneng banget kamu bisa perhatian sama aku. Selama kita pacaran,
kamu selalu bisa memenuhi segala yang kuinginkan. Terima kasih.” Ujarnya. Akupun terkejut tapi hanya terdiam,
kemudian berbalik dan kupegang kedua pundaknya “Tari, semua itu karena aku sayang sama kamu. Aku juga nggak
ingin kita sampai di sini aja, aku ingin selamanya terus ada sama kamu.” Ujarku. Kemudian Tari memelukku “Terima
kasih Ka, aku juga sayang kamu.” Katanya.Setelah itu hujan deraspun mulai reda, meski masih germis, dan aku
melanjutkan perjalananku mengantarkan Tari pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Tari, ibunya yang bernama
Tante Ina menyuruhku untuk berteduh dulu sambil minum teh hangat, “Taka, masuk dulu sini, minum-minum teh
hangat dulu, baju kamu kan basah, biar nanti kamu pakai bajunya Tino (adikny Tari). Di luar kan masih hujan, ntar kamu
sakit.” Ajak ibunya Tari. Tapi aku nggak ingin merepotkan mereka. Akhirnya aku langsung permisi. “Terima kasih tante,
nanggung udah jam segini, Taka langsung pulang saja.” Jawabku. “Oh, ya sudah, ati-ati ya? Salam buat mama papa
kamu.” Kata ibunya Tari. “Ati-ati ya Ka, makasih tadi udah nemenin aku. Sekali lagi, selamat ulang tahun ya.” Kata Tari.
Setelah itu aku hanya mengangguk kemudian langsung menggeber motorku pulang.Sesampainya di rumah, setelah
mandi dan makan malam bersama keluarga aku langsung tidur. Saat itu aku selalu teringat wajah Tari. Kuambil foto Tari
yang kupajang di meja belajarku, kupandangi terus wajahnya. Entah mengapa saat itu aku merasa merindukan Tari.
Kutelepon HP-nya, tetapi nggak aktif. “Mungkin baterainya baru di charge.” Batinku.Keesokan harinya saat aku ke
kampus aku mencari Tari ke ruang kuliahnya, tetapi dia tidak ada di sana. Kutanya temannya, kata mereka Tari nggak
masuk dari tadi pagi. Mungkin dia sakit karena semalam, batinku. Akhirnya sepulang dari kampus aku mampir kr rumah
Tari untuk menjenguknya.Sesampainya di sana kuketuk pintu rumahnya, tetapi tak ada jawaban, kucoba lagi mengetuk
pintu untuk kesekian kalinya, tetapi tetap saja tak ada jawaban. Akhirnya kucoba untuk menelepon HP-nya. Beberapa
waktu kemudian HPnya diangkat. “Halo? Kak Taka ya?” ternyata yang mengangkatnya adalah Tino.“Ini Tino ya, Tari ada
Tin?” tanyaku. “Kak Tari lagi sakit, sekarang lagi di rumah sakit.” Jawabnya. Mendengar itu aku kaget. “Sakit? Sakit apa?
Sekarang di rumah sakit mana Tin?” tanyaku. “Ni di Rumah Sakit Pusat kak.” Setelah itu langsung saja aku bergegas
mengggeber motorku menuju rumah sakit.Sesampainya di sana aku bergegas mencarinya. Kemudian aku bertemu Tino
di lorong rumah sakit. “Tari di mana?” Tanyaku. “Dia ada di dalam sama mama papa.” Jawabnya. Setelah aku masuk ke
kamar itu, aku bertemu orang tua Tari. “Om, tante, Tari sakit apa?” tanyaku. Kemudian tante Ina memelukku sambil
menangis. Aku terkejut melihat ekspresi mereka. “Om Budi?” tanyaku kepada ayah Tari mencari tau apa yang sedang
terjadi. Kemudian aku diajak Om Budi ke luar.Di luar Om Budi menceritakan keadaan Tari. “Taka, om tahu kamu sangat
mencintai Tari, tapi om harap kamu bisa menerima cerita om.” Ujarnya.“M…maksud om?” tanyaku heran. Ayah Tari
menghela nafas panjang, kemudian dia bercerita tentang keadaan Tari. “Kemarin, setelah pulang bersama kamu, Tari
sehat-sehat saja, bahkan dia bisa bercanda dengan kami sewaktu makan malam. Katanya dia ingin sekali bisa menikah
dengan kamu. Dia sangat mencintai kamu. Tetapi tadi pagi sebelum berangkat kuliah, tiba-tba dia pingsan di ruang
tamu. Setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata dia terkena kanker otak. Dan dokter… memvonis umurnya tak akan lama
lagi.”Mendengar itu aku sangat-sangat terkejut. Aku seakan tak percaya apa yang dikatakan ayah Tari. “Nggak mungkin,
kemarin Tari sehat-sehat saja kok.” Ujarku yang lantas beranjak dari situ menuju ke dalam kamar tari. Di situ aku
melihat Tari masih belum sadarkan diri. Aku tak bisa berkata apa-apa, dan tak terasa air mataku menetes ke
pipiku.Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, dan aku masih di rumah sakit di samping Tari yang masih belum
sadar. Di dekatku Tante Ina juga belum beranjak dari tempat itu. Melihat kedua orang tua Tari yang terlihat capek, aku
berniat untuk menyuruhnya istirahat. “Tante, kalau tante capek tante pulang saja, biar Taka yang menemani Tari.” “Iya
ma, biar Taka yang jagain Tari, besok pagi kita ke sini lagi.” Kata Om Budi. “Ya udah, tolong jagain Tari ya Taka? Om tante
istirahat dulu.” Lanjut ibunya Tari.Setelah semua pergi, kini tinggal aku yang berada di situ. Kuusap kening Tari,
wajahnya begitu cantik meski masih terlihat pucat. Lalu kugenggam tangannya. Dan tak terasa akupun ikut tertidur di
sampingnya sambil masih menggenggam tangannya.Keesokan harinya bunyi nada dering HP-ku membuatku terbangun,
ternyata dari mamaku. Katanya nanti kalau pulang ke rumah kuncinya dititipkan ke Pak Ahmad, tetangga sebelah.
Waktu aku menoleh, kulihat Tari tersenyum padaku. Saat itu aku merasa lega dan senang melihat Tari sudah sadar.
Kugenggam tangannya, kemudian mencium keningnya. “Kamu sudah sadar, Alhamdulillah Ya Allah.” Ujarku. Tari
tersenyum melihatku, lalu dia minta dibangunkan untuk duduk. Kubantu dia duduk. “Kamu jangan terlalu banyak gerak
dulu.” Kataku. “Nggak apa-apa kok, makasih kamu udah nemenin aku semalaman.” Jawabnya. “Kok kamu tau?” tanyaku
heran. “Aku sadar sekitar jam 3, dan aku melihat kamu tidur di sampingku.” Jawab Tari. Aku baru sadar kalau saat
bangun tadi aku sudah ditutupi selimut oleh dia. “Makasih ya Ka.” Ujarnya. “Sama-sama.” Sahutku sambil mengecup
keningnya.Tak lama kemudian orang tua Tari datang. Melihat anaknya sudah sadar Tante Ina buru-buru memeluk Tari
dengan erat sambil menangis. “Makasih ya Taka, kamu udah nemenin Tari semalaman.” Ujar Om Budi. “Nggak apa-apa
om.” Jawabku.“Maaf, om, tante, saya mau beli sarapan di kantin dulu.” “Eh, Taka, nggak usah, ni tante bawain sarapan
buat kamu.” Aku melihat Tari, dan ia mengangguk sambil tersenyum. “Ng… makasih tante.” Jawabku.Selama sebulan
Tari terbaring di rumah sakit itu. Dan setiap hari aku selalu menemaninya meskipun kadang kutinggal untuk pulang ke
rumah atau kuliah. Dan akhirnya apa yang semua khawatirkan terjadi juga. Penyakit Tari semakin parah, dan ia harus
segera dibawa ke ruang ICU.1 jam, 2 jam, 3 jam berlalu. Saat dokter yang memeriksa Tari keluar, ibu dan ayah Tari
langsung menghampiri dokter itu dan menanyakan keadaan Tari. “Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanya Tante Ina
sambil berharap. Dokter itu terdiam sejenak, kemudian ia berkata. “Bu, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi maaf…
anak ibu sudah tidak dapat tertolong lagi.”“Maksud dokter?”“…. Anak ibu sudah meninggal.”Mendengar jawaban yang
tak diinginkan itu Tante Ina langsung menangis di pelukan Om Budi. Om Budi melihatku, lalu menggelengkan kepala
sambil meneteskan air mata. Aku yang berada di kursi tunggu mengerti maksudnya dari sikap mereka meskipun belum
mendengar langsung. Tak lama kemudian jenazah Tari dibawa keluar dari ruang ICU. Saat itupun perasaan di hatiku
menjadi kacau. Aku hanya terdiam dan terpaku melihat tubuh Tari yang seluruhnya ditutupi selimut melintas di
hadapanku. Kemudian aku kembali duduk, badanku terasa lemas. Tapi entah mengapa aku belum bisa menangis. Tiba-
tiba terdengar suara dari arah jenazah Tari di luar “Taka, jangan menangis, aku akan selalu ada di sisimu. Terima kasih
ya.”Mendengar itu aku terkejut, kulihat kanan kiriku tidak ada orang. “Tari…..?” ujarku. Tapi setelah itu tak kudengar
lagi suara dari manapun. Dan saat kurogoh kantong jaketku, aku merasakan ada benda di dalamnya. Saat kukeluarkan
ternyata sebuah kalung. Akupun sadar kalau itu adalah kalung yang kuberikan kepada Tari 2 bulan lalu. Kugenggam
kalung itu dan akupun mulai bisa menerima kepergian Tari.Hari demi hari berlalu. Kini, 6 bulan setelah pemakaman Tari,
sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya. Apalagi bila membaca puisi terakhir yang dibuatnya untukku saat
dia sadar dari penyakitnya pada malam hari seminggu sebelum ia meninggal. Tetapi yang tak kumengerti, entah
mengapa sampai sekarang aku masih belum bisa meneteskan air mata bila teringat dia.Saat ini aku sudah menemukan
pengganti Tari. Namanya Ana, dia adalah adik kelasku setingkat sewaktu SMP, saat lulus SMP dia pindah ke luar kota,
dan saat ini ia kembali lagi pindah ke sini. Dia orangnya baik, perhatian, dan agamanya juga kuat. Bahkan dia sering
memperingatkan aku apakah aku sudah sholat 5 waktu atau belum. Dia juga mengerti tentang Tari, dan bisa memahami
perasaanku. Di saat aku sedihpun ia selalu bisa meyakinkan aku dan membangkitkanku dari kesedihan. Ia banyak
mengajarkan aku untuk bisa menerima semua yang ditakdirkan Allah.Suatu hari, saat ulang tahunku yang ke–24, aku
mengajaknya untuk makan malam di luar. Saat di restoran dia bertanya. “Eh, ng… jam tangan yang Tari kasih ke kamu
kok tumben nggak kamu pakai?”“Oh, ng…. itu ya, tadi aku lupa makai, habis tadi keburu jemput kamu. Emang kenapa?
Kamu marah?” “Nggak apa-apa kok, aku nggak marah. Ngomong-ngomong aku ada hadiah nih buat kamu.” Katanya
sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Ia mengeluarkan sebuah kado untukku. “Selamat ulang tahun, nih buat kamu,
buka ya?” pintanya. Kemudian kubuka kado itu, dan ternyata isinya adalah sebuah jam tangan.Ana melihatku, kemudian
berkata “Kenapa? Nggak suka ya jam tangan lagi? Maaf, habis aku bingung mau kasih kado apa, maunya sih ngasih
sesuatu yang bisa tiap hari kamu pakai tapi….” “Makasih ya Ana, aku janji jam ini pasti akan selalu aku pakai.” Sahutku.
Ana tersenyum, lalu berkata, “Ah jangan gitu dong, gimana sama jam dari Tari? Kamu pakai kalau ketemu aku aja, selain
itu kamu terserah mau pakai jam tangan yang mana.”“Ana, sebenarnya aku juga ada sesuatu buat kamu.” Lalu aku
mengeluarkan sebuah kotak dari jaketku. “Apaan nih? Kok pakai hadiah juga, kan ulang tahunku masih lama.” Katanya.
“Udah, buka aja.” Pintaku. Setelah dibuka, “Waaaah… kalung ya, bagus banget, tapi… jangan-jangan….”Aku hanya
tersenyum.“Nggak, aku nggak bisa menerima ini. Ini kan kalungnya Tari, aku nggak bisa menerima kalung ini.” Ujarnya.
Kugenggam tangannya dan aku berkata, “Ana, kalung itu buat kamu. Memang itu adalah peninggalan dari Tari, tapi di
surat terakhirnya dia berpesan padaku agar kalung ini diberikan kepada orang yang benar-benar kucintai dengan
yakin.”Setelah diam sejenak, akhirnya ia mau menerima kalung itu. Dan saat itu juga kupakaikan kalung itu di
lehernya.Menginjak malam hari aku mengantarnya pulang. Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Karena tidak membawa jas hujan kami berteduh dulu di sebuah gazebo. Dan karena saat itu cuaca cukup dingin dan Ana
tidak membawa jaket, dengan inisiatif jaketku kusampirkan ke punggungnya. “Eh, ng… makasih ya Ka.” Ujarnya. Tak
lama kemudian dia berjalan menuju derasnya hujan. Akupun terkejut, “Ana, jangan hujan-hujan, ntar sakit lho.” “Nggak
apa-apa, aku pengen nikmati tetesan air hujan ini. Lagian liat deh, meskipun hujan, bulan masih kelihatan di sana. aku
nggak peduli ntar aku sakit.” Jawabnya sambil merentangkan kedua tangannya di derasnya hujan.Entah mengapa, ini
seperti Dejavu. Setahun yang lalu, di tanggal yang sama, di waktu yang sama dan di tempat yang sama, aku mendengar
dan mengalami kejadian yang sama.Kemudian aku mencoba mengusik kenangan itu, lantas menghampiri Ana dan
langsung memeluknya. Ana terkejut melihat perbuatanku. “Ana…. kamu tahu, aku sayang banget sama kamu. Kamu
mau kan selamanya ada di sisiku?” Pintaku. Ana terdiam. Mungkin masih terkejut dengan sikapku. Kemudian iapun
berkata. “…Kalau kamu memang benar-benar sayang aku….. aku ingin kamu melamarku. Karena aku juga sayang sama
kamu.” Jawabnya. Hatikupun serasa lega. Akhirnya aku bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan Tari di
hatiku.Esoknya, karena aku teringat kejadian tahun lalu ketika Tari sakit lalu meninggal, aku langsung buru-buru
menelepon Ana, berharap tak terjadi apa-apa padanya. “Halo, Ana? Kamu nggak apa-apa kan?”“Hah, Taka, ngapain
pagi-pagi gini telepon.” Mendengar suaranya aku menjadi lega. “Hoi, gara-gara semalam, aku sakit nih.” Ujarnya.
Akupun terkejut dengan ucapannya. Kemudian aku lantas menutup teleponku dan langsung ganti baju dan pergi ke
rumah Ana. Sesampainya di sana aku bertemu ibunya Ana. “Assalamu’alaikum, Tante, Ana nggak apa-apa kan?”
Tanyaku. “Waalaikum salam, Eh, Taka. Ana ada tuh di kamar, duduk dulu, tante panggilin.” Akupun duduk di ruang tamu
dengan cemas, berharap tidak terjadi apa-apa dengan Ana. Sesaat kemudian Ana keluar dari kamarnya. “Eh, Taka, tadi
kok teleponnya langsung ditutup?” ujarnya sambil masih sedikit mengantuk. “Kamu sakit? Kamu nggak apa-apa kan?”
tanyaku cemas. Ana memandangku dengan heran dan berkata, “Aku nggak apa-apa kok, gara-gara semalam, aku sedikit
pilek, masuk angin kali. Tapi ni udah baikan” Ujarnya santai.Aku merasa lega. Ternyata apa yang kukhawatirkan tidak
terjadi dengan Ana. “Ya udah… syukurlah.” Ujarku lega.Beberapa hari kemudian, sepulang dari kuliah, Ana kuajak
berkunjung untuk ziarah ke makam Tari. Setelah mendoakan arwahnya aku berkata, “Tari…. kenalin, ini Ana, dia adalah
kekasihku yang baru. Sebenarnya jadiannya sudah agak lama sih. Aku harap kamu bisa merestui kami.”Kemudian Ana
berkata, “Tari, aku Ana, Taka banyak menceritakan banyak tentang kamu ke aku. Kata Taka saya adalah penggantimu.
Karena itu… aku minta ijin untuk bisa menjadi penggantimu dan masuk di dalam hati Taka, aku harap kamu nggak
keberatan dan bisa merestui kami dari surga.”Kemudian kami beranjak dari situ. Tak jauh dari makam Tari, aku
mendengar suara Tari dari belakang. “Taka, terima kasih ya…”. Aku menoleh ke belakang, tetapi tak kulihat siapapun di
sana. “Kenapa Ka?” tanya Ana. “Ah… ng… nggak, nggak apa-apa, kita pulang yuk…” jawabku sambil merangkul Ana pergi
dari tempat itu. Mei 15th 2007Fajar @2007

5 Cara Menulis Cerpen

Menulis cerpen itu mudah. Sama seperti kalau kita berbicara, bercerita, hanya bedanya menulis cerpen adalah
bercerita dengan tulisan. Jadi lupakan segala teori penulisan cerpen yang muluk-muluk dan mulailah bercerita…Oke
daripada mbulet gak karuan sekarang langsung ke langkah pertama :

1. Nyalakan komputermu, mulailah menulis kata pertama….terserah tidak harus bingung milih kata. Kalau susah
cobalah dengan kata… “Pada suatu hari.” .ntar gampang kalau mau di edit.

2. Mulailah dengan sudut pandang orang pertama. Jangan salah, sudut pandang ini sering dipakai oleh novelis besar
seperti John Grisham, atau almarhum Michael Crichton yang menelorkan karya Jurassic Park.

Contoh :

Pada suatu hari aku sedang mengetik di kamarku, lalu tiba-tiba Shanti memanggilku, “ Ron, Ronny.., kamu lagi ngapain?
“ Aku diam saja sambil membatin “ngapain sih cewek ini gangguin aja” .Aku kembali menulis cerpenku dst

1. Hapus semua kaidah penulisan cerpen yang kamu dapat dari bangku SD sampe kuliah, karena itu hanya
menghambat kreatifitasmu, bayangin aja gimana mau nulis kalo aturannya banyak banget, Harus bikin kerangka
karanganlah, harus ada idepokoklah, harus EYD lah harus baku kalimatnya, harus tanda bacanya bagus , harus
deskriptif. Padahal banyak lho penulis yang menulis gak jelas tapi malah terkenal karena dinggap cerpennya misterius
hehehe, padahal mungkin emang lupa ngasih ending..so jangan khawatir. Menulis cerpen dulu mikir belakangan ..

2. Trus gimana bikin cerpen yang bagus? Gak ada ide? halah ..ide itu otomatis selalu ada di kepalamu, gak perlu
melamun cari inspirasi, cukup tulis kehidupanmu sehari ini saja.. Coba lihat salah satu syairnya slank..”aku langsung
bangun dan bakar rokok..” nah gitu aja jadi lagu terkenal.. coba lihat contoh :

Waduh, aku terlambat kuliah nih. Padahal Jakarta selalu macet. Belum mandi nih, mandi dulu ah.. , Eh lagi asiknya
mandi tiba tiba handphoneku bunyi. Gimana nih, terpaksa deh aku keluar dari kamar mandi berlilit handuk masih basah
kuyup. Yak, berhasil mencapai handphone dan kuangkat “ halooowww..” ……dst

5. Dah gitu aja, kalo banyak2 malah gak nulis2, selamat berkarya cerpenmaniaaa…, kalo kesulitan kembalilah ke poin 1

CERPEN : dia bukan teroris...

Pertama kali masuk kampus UII…Tegang sih, tapi, ah mungkin itu cuma perasaanku saja. Setelah seminggu OSPEK,
akhirnya aku resmi menjadi warga kampus ini dan tercatat sebagai mahasiswa. Para mahasiswa disini kayaknya juga
alim-alim. Aku memperhatikan sambil meneguk segelas es kelapa muda di kantin samping kampus. Tak kusadari
ternyata sedari tadi ada yang memperhatikanku di bangku tengah deretan paling kanan. Kulihat seorang akhwat
tersebut menggeser kursi duduknya kebelakang dan langsung menghampiri aku. “Assalamu’alaikum!” sapa gadis
itu.“Wa’alaikumussalam!” jawabku masih bingung.Kulihat dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
“Afwan, kemarin terjatuh!” katanya sambil menyodorkan sebuah blocknote kepadaku. “Oh, ya! Terimakasih
banyak ya…” balasku sambil mengangsurkan tangan mengambil blocknote tersebut. Ini kan blocknote catatan OSPEK
kemarin, kok bisa sampai terjatuh sih? Dimana? Baru saja pertanyaan itu hendak kulontarkan padanya, segera ia
mengucapkan salam dan berlalu dengan tergesa-gesa. Alhamdulillah, batinku! Akhirnya ketemu juga. Pffiiuuhh…
capek juga pulang dari kampus. Kurebahkan tubuhku yang lungkrah ini keatas permadani empuk yang sudah sedari pagi
tadi kutinggalkan. Tapi pikiranku masih penuh. Aku masih harus mencari kost-kostan di dekat kampus. Soal jarak antara
rumahku dengan kampus jangan ditanya. 1 jam perjalanan setiap hari bukanlah perkara sepele. Maka itu aku harus
cepat-cepat dapat kost sebelum tugas kuliahku semakin menumpuk. Perlahan mataku terasa berat…..~~**~~ Acara
nyari kost yang sungguh melelahkan. Padahal di kost tu nggak semuanya enak. Apa-apa sendiri, dan memang harus
mandiri. Nggak beda donk sama kayak di pesantren. “Tapi kan mendingan di kost-an. Kalo di pesantren, dari mata
melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan ditaati. Setidaknya kalau disini kita sedikit lebih
bebas.” begitu tutur Nur Ichwan Ergin Ramadhani yang akrab kusapa Ergi. Dia adalah seniorku yang rela membagi
kamarnya untukku. Lumayan luas dengan 2 tempat tidur, bersih, MCK terjamin. Meski senior, tapi dia nggak ‘sok kaya
senior yang lain. Dia baik, tenang, bijaksana, dan yang pasti alim. Percaya nggak percaya ternyata dia adalah ketua
umum rohis di kampusku yang kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Waktu SMP kelas 1, aku sempat
mengikuti program Pesantren Kilat di Ponpes desaku. Aku kira disana itu enak, eee…nggak taunya malah bikin stress.
Gimana enggak, betul kata Ergi barusan! Dari mulai mata melek sampai melek lagi semuanya sudah diatur. Bayangkan,
bangun jam 03.00 dini hari. Lalu sholat malam, muhasabah yang bikin nangis (meski hanya sementara), tadarus sampai
subuh. Sholat subuh, dengerin kul en tum (bukan kuliah tujuh menit lagi, tapi kuliah enam puluh tujuh menit!!) begitu
seterusnya. Udah tidur kurang, makan nggak enak, kebanyakan kegiatan sih. Sampai sempet sakit segala. Itulah
sebabnya kenapa aku anti pati dengan yang namanya pesantren. Aku baru tahu, kalau Ergi tuh jebolan pesantren
juga. Pantesan aja kalau aku ngomongin pesantren dia langsung nyambung. Malah aku pernah dikisahin tentang
pesantren yang telah berperan penting dalam hidupnya. Sejak berumur 7 tahun, Ergi sudah ditinggal kedua
orangtuanya. Lalu dia hanya tinggal bersama kakeknya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Akhirnya Ergi
diserahkan sepenuhnya ke pesantren agar tetap dapat menuntut ilmu meskipun tidak memiliki biaya yang cukup. Di
pesantren Ergi memang mendapat banyak ilmu, ilmu agama khususnya. Namun dengan kondisi seperti itu, Ergi harus
bekerja ekstra untuk memenuhi tuntutan pesantren. Bangun jam 3 dini hari, membersihkan mushola, mengisi air
untuk wudhu dan mandi para santri, menyapu halaman, kelas-kelas, aula dan masih banyak lagi pekerjaan yang harus ia
kerjakan setiap harinya. Meski para santri juga dijadwalkan untuk membersihkan pesantren, tapi tetap saja bagian Ergi
paling banyak. ‘Kalau begini terus, kapan saya belajarnya Pak?’ protes Ergi kala itu. ‘Lho, kenapa? Kamu nggak terima
kalau harus membantu operasional pesantren ini? Le, kamu itu disini ibaratnya cuma numpang. Ya jelas beda dong
tugas kamu dengan mereka. Tapi kan kamu masih bisa belajar disaat waktu luang kamu, ya to?’ Waktu luang? Kapan?
Dari hari masih gelap sampai gelap lagi seolah-olah waktu luang tidak bersahabat dengannya. “Dasar mata duitan!
Kamu tahu Lang, saat itu ingin sekali sapu lidi yang ada ditanganku kulemparkan padanya. Pemimpin tidak adil…”
lanjutnya. “Kenapa tidak kau lakukan saja?” “Nggak mungkin lah, usahaku untuk protes itu saja kupikir
sudah tindakan yang cukup berani untuk seorang bocah sepertiku.” kenangnya.Sekilas kulihat raut wajah Ergi berubah.
Raut wajah yang menggambarkan perasaannya. Mungkin marah, sedih, atau menyesal. Menyesal karena telah
dilahirkan untuk menjalani hidup yang mungkin tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Dari sini aku bisa melihat
kelelahan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang lelah, pikiran yang lelah dan hati yang lelah. Tapi semua itu tidak
dirasakannya demi menggapai segala tekad dan harapan yang sudah meleleh dihatinya, mengalir dalam darah merah
semerah semangatnya untuk mendapatkan segala asa yang menggantung dibenaknya.~~**~~ Di kampus, tidak
sengaja aku melihat gadis yang menemukan blocknote ku kemarin. Dia terlihat manis dengan baju gamis dan jilbab
lebarnya yang berwarna biru muda. ‘Anggun sekali gadis itu’ batinku. Tanpa kusadari, hatiku ingin tahu juga mengenai
gadis tadi. Paling nggak namanya siapa… “Assalamu’alaikum!” terucap sebuah salam dari bibirnya saat kami
berpapasan di koridor kampus. Kulihat dibibirnya menyunggingkan senyum manis khas wanita muslimah.
“Wa’alaikumussalam…” jawabku membalas salamnya. Hanya itu yang bisa kulakukan… Andai aku tahu banyak
tentangnya, andai Allah …Ah, aku tidak mau berkhayal terlalu tinggi. Nanti kalau jatuh pasti sangat sakit rasanya. Saat
pelajaran usai, aku berniat untuk segera pulang dan mengerjakan tugas kampus yang siap untuk aku garap. Saat
menyusuri koridor, aku melihat Ergi dengan teman-temannya sedang berkumpul dibangku depan perpustakaan. Aku
baru berniat untuk menghampiri ketika ada 3 orang akhwat yang lebih dulu menghampiri mereka. Aku mengurungkan
niatku saat kulihat salah satu dari mereka adalah gadis berjilbab biru muda. Mereka kemudian tenggelam dalam diskusi.
Akan tetapi tidak lama gadis itu pergi dan langsung diikuti oleh kedua temannya. ‘Kenalkah mereka?’ batinku
bertanya.~~**~~ Sampai kost, kulihat Ergi sudah berada di kamar sedang membaca buku. “Darimana? Kok baru
nyampe?” tanyanya melihat aku yang capek dan berpeluh. “Iya nih, tadi nyari buku dulu muter-muter. Susah
banget!” “Dapet nggak?” “Alhamdulillah…nie!”Dia hanya melirik dan sepertinya pikirannya masih
disibukkan dengan buku yang ada di tangannya. Langsung kurebahkan tubuhku dan kulemparkan ransel yang sedari tadi
menggantung dipunggungku kesamping kasur. Aku menghela nafas panjang, mataku terasa berat sekali setelah
seharian beraktivitas. Tapi tugas kampus tetep nggak bisa nunggu. “Huuh…capek nih! Tugas masih banyak lagi…”
“Ya udah buruan kerjain, jangan tidur! Ntar kebablasan malah repot! Kerjakanlah tugas dengan baik mumpung masih
ada kesempatan. Jangan sampai kita menyesal esok hari!”Adduh..kalo Ergi udah ngomong gitu, kayaknya dalem banget.
Nasehat apa nakut-nakutin ni Mas?? Setelah semua selesai, aku berniat mandi untuk menyegarkan pikiran
kembali. Setelah itu barulah aku dan Ergi menunaikan sholat Maghrib berjamaah di mushola sebelah. Selesai dzikir,
tanpa terasa kami terlibat dalam diskusi kecil. “Lang, kamu pernah berfikir nggak bisa mendapatkan penghargaan
dunia akhirat?” tanya Ergi padaku membuka diskusi malam itu. “Apa? Penghargaan dunia akhirat? Maksudnya
apa sih?” tanyaku polos tidak mengerti. “Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu
beriman dan bertaqwa kepada Dzat yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini.” sambung Ergi. “Caranya?”
tanyaku masih belum mengerti sepenuhnya apa yang sebenarnya Ergi bicarakan. “Caranya dengan kita selalu
mengikuti syariah Islam. Melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Amar ma’ruf nahi munkar.
Menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Bukan hanya menjauhi, tapi kita juga harus membasmi habis
kejahatan dan kemaksiatan yang ada dimulai dari sekitar kita. Karena itulah sumber kemunkaran didunia ini.
Bagaimanapun caranya, meski kita harus mengorbankan nyawa sekalipun.” tuturnya panjang lebar. “Semacam
gerakan berani mati?” tanyaku. “Kenapa? Masih takut? Percayalah, Allah telah berfirman sesungguhnya Allah
telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”Aku hanya
bisa diam saat Ergi mengakhiri kalimat yang barusan ia ucapkan. “Er, kenapa kamu tanyakan ini kepadaku? Apa
kamu ingin mengatakan sesuatu?” aku berusaha mencari tahu apa sebenarnya maksud Ergi. Kulihat dia hanya
tersenyum tipis. Selalu itu yang dia lakukan bila kutanya sesuatu dan dia tidak hendak menjawabnya. Sayup-sayup
terdengar adzan Isya’ dikejauhan. Dan saat itulah diskusi kami berakhir. Kemudian Ergi berdiri dan mengumandangkan
adzan dengan hidmat dan penuh syahdu. Kami kembali sholat berjamaah dengan khusyu’. Terasa benar keheningan
malam itu.~~**~~ “Eh, Gilang, ntar abis kuliah lo mau kemana? Nggak langsung pulang kan?” pertanyaan keras
Firman sejenak membuyarkan pikiranku tentang diskusiku dengan Ergi tadi malam. “Emang kenapa? Mau nraktir
makan siang dulu?” godaku. “Yaah, boleh deh! Tapi bantuin gue nyari buku di perpus dulu ya, soalnya gue belum
punya, tuh buku kan buat referensi ngerjain tugas kemarin. Lo udah dapet belum?” cerocosnya sambil ngeluarin buku-
buku dari ranselnya sebagai bukti kalau dia bener-bener belum punya referensi satu buku-pun. “Gue juga baru
nyari kemarin di toko buku. Iya deh, ntar gue bantu nyari!”Setelah kuliah selesai, kami berdua bergegas ke
perpustakaan. Nyari disana, nggak beda sama nyari di toko buku. Tetep susah… Setelah hampir satu jam, akhirnya aku
temukan juga buku yang sama persis dengan yang kubeli kemarin. ‘Tau disini ada, kemarin nggak perlu muter-muter
dan nggak perlu ngeluarin duit banyak kan’ pikirku. “Nih, persis sama dengan buku yang gue beli kemarin.” kataku
sambil menyodorkannya ke Firman. Sejenak dia memperhatikan dengan seksama sebelum akhirnya berkata, “Ini dia
buku yang gue cari. Thank’s ya…Eh, kantin udah nunggu tuh!” katanya konyol padaku sambil memutar-mutar buku
diatas jari telunjuk. Ketika kami menyusuri koridor menuju kantin, kembali aku melihatnya. Seorang akhwat yang
selalu mengundang rasa ingin tahuku padanya. Aku hendak bertanya pada Firman siapa gadis itu saat dia
menyapa,“Assalamu’alaikum ukhti Salma!”“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh…” jawabnya lengkap, tak
lupa sambil tersenyum manis.“Eh, lo kenal dia? Sejak kapan? Kok nggak pernah cerita sih?” tanyaku dengan penuh rasa
kaget dan nggak percaya kalo ternyata temenku yang satu ini kenal dengan gadis yang selama ini ingin kuketahui siapa
dia.“Yaah, gimana sih?! Katanya satu kost sama Mas Ergi, kok nggak tahu menahu gitu?”“Maksud lo apa sih? Kok bawa-
bawa nama Ergi segala? Emang ada hubungannya?” tanyaku dengan penuh ketidakmengertian.“Waduuh, ni anak
kebangetan ya! Ya Allah, bukakanlah jalan fikiran temanku yang satu ini agar dia lebih mengetahui apa-apa yang ada
dihadapannya dan apa-apa yang pantas untuk diketahuinya Ya Allah….” kata Firman sambil mengangkat tangan seperti
layaknya orang yang sedang berdo’a.“Eh, serius dong!! Ada hubungan apa mereka berdua?” tanyaku semakin heboh
dan masih memendam rasa penasaran yang luar biasa.“Ya ampun, jadi temen kost satu kamar lo itu bener-bener nggak
cerita ya? Kayak gue dong, proaktif mencari fakta-fakta yang tersebar keseluruh kampus. Ni ya, Mbak Salma itu adalah
mahasiswi jurusan Teknologi Informatika FTI semester 3 di kampus kita. Naah, menurut narasumber yang dapat
dipercaya Mbak Salma ini sebentar lagi mau dikhitbah oleh seseorang yang menginginkannya sebagai istri dan
pendamping hidup. Karena kira-kira seminggu yang lalu Mas Ro’ib, senior yang satu kost denganku mendampingi
ikhwan yang ingin melamar Mbak Salma untuk ta’aruf.“ tuturnya panjang lebar. Sejenak aku terdiam sambil menebak-
nebak siapa orang yang ingin melamar Mbak Salma.“Mau tahu siapa ikhwan yang seminggu lalu melakukan ta’aruf
dengan Mbak Salma? Ya temen kost satu kamar lo itu! Ketua umum rohis di kampus kita. Kalau masih nggak percaya,
tanya aja ma dia langsung. Udah jelas belum?” sambungnya.Sesaat seperti ada yang memukul kepalaku dengan benda
keras. Dan meskipun seporsi mie bakso lengkap dengan daging ayam dan segelas es kelapa muda kesukaanku sudah
terhidang didepanku, rasanya aku tak sanggup untuk menyantapnya saat ini. Mendadak aku kehilangan selera makan.
Kulihat Firman sudah sibuk dengan hidangan didepannya. Aku undurkan kursi yang sedari tadi aku duduki, berdiri dan
pamit pada Firman kalau aku mendadak nggak enak badan. Jadi pengen langsung pulang dan tidur. Sempat kulihat raut
wajah bingung dari Firman ketika aku pamit.“Eh, kok pulang sih? Ni baksonya belum dimakan. Kalau gitu buat gue aja ya
Lang!” katanya menanggapi. Aku hanya bisa mengangguk perlahan sambil melangkah cepat keluar kantin.Dalam
perjalanan pulang pikiranku penuh sesak layaknya bis yang kunaiki dipenuhi oleh para penumpang. Memang benar aku
akhirnya mengetahui siapa gadis yang aku kagumi itu, namanya, jurusannya, semester berapa. Tapi bersamaan dengan
itu pula aku mengetahui berita yang membuatku cukup shock. Salma, gadis yang sangat kukagumi dan aku berharap
bisa lebih dekat dengannya ternyata sebentar lagi akan dikhitbah oleh teman kost satu kamarku sendiri. Dan anehnya
aku mengetahui ini bukan dari Ergi sendiri, tapi dari orang lain. Ya Allah…~~**~~ “Hei, Gilang bangun. Udah sore,
udah sholat Asar belum?” sayup-sayup kudengar suara Ergi membangunkanku. Sesaat kubuka mataku yang masih
ngantuk. “Hmm…jam berapa nih?” tanyaku setengah sadar. “Jam 5 lewat, buruan jangan sampe telat.
Wudhu di mushola sekalian.”Aku bangun dan duduk menyandar di tembok sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
“Kenapa? Nyawanya belum kumpul ya?” ledek Ergi.Ergi, dia bukan sekedar sahabat bagiku. Dia baik, bijaksana, pandai
menyelesaikan masalah, sering memberi nasihat tanpa maksud menggurui. Dan itulah yang kukagum padanya. Nggak
salah dia mendapatkan seorang wanita yang kukagumi pula. Dalam hati aku mendoakan semoga pernikahan mereka
kelak diberkahi Allah dan menjadi keluarga yang sakinah. Tapi, perasaanku tidak dapat dibohongi. Aku yakin ada rasa
yang aneh dan rasa sedikit kehilangan bila mengingat Salma akan segera menjadi bagian dari hidupnya. “Udah
hampir sepuluh menit kamu duduk melamun, kalau digunakan berjalan ke mushola aku rasa udah sampai dari tadi!”
tegurnya.Bergegas aku mengambil sarung dan pergi ke mushola. Setibanya di kost, kulihat Ergi sibuk menyeterika
baju yang menumpuk. Dia hanya melirik saja saat aku masuk kamar. “Banyak banget seterikaannya!”
“Pantes banyak, beberapa waktu kedepan kan bakalan sibuk jadi nggak sempet nyeterika kan?” pancingku. Dan
ternyata Ergi hanya diam menanggapi perkataanku barusan. “Iya, soalnya kan harus mempersiapkan segala
sesuatunya untuk acara khitbah dalam waktu dekat ini. Iya kan?” tanyaku lagi. Mendengar kalimatku ini, dia langsung
menoleh kearahku dengan pandangan yang bertanya-tanya. “Darimana kamu tahu?” akhirnya dia menanggapi
juga. “Darimana aku tahu? Kayaknya akan lebih aneh kalau aku bilang aku tahu dari orang lain dan bukan dari
orang yang bersangkutan langsung. Padahal kalau dipikir, dia itu satu atap denganku!!” sergahku dengan sedikit jengkel.
Sejenak dia menghentikan kegiatannya. “Gilang, maafkan aku kalau kamu lebih dulu tahu soal ini dari orang lain
dan bukan dari aku. Tapi aku sungguh tak bermaksud merahasiakan ini dari kamu. Tapi sekarang kan udah jelas, jadi
nggak ada masalah dong. Oiya, acara khitbah Insyaallah akan dilaksanakan 2 minggu kedepan. Kamu ikut ya.”Aku hanya
diam mendengarnya. Meskipun aku turut mendoakan supaya pernikahan mereka diberkahi, tapi aku masih merasa
cemburu. Mengingat wanita yang akan dijadikan istrinya itu adalah Salma. Wanita yang selama ini diam-diam aku
kagumi. “Eh, kamu sudah tahu belum…” “Sudah!” kataku memotong perkataannya yang aku yakin dia akan
menanyakan aku sudah tahu belum tentang calon istrinya itu. “Er, kamu memang pantas mendapatkan istri
seperti Salma. Dia baik, dia cantik, dia solehah. Aku hanya bisa kasih doa semoga pernikahan kalian diridhoi Allah.”
sambungku. Lalu aku berdiri dan pergi ke kamar. Sekilas aku melihat Ergi berubah raut wajahnya. Dia menatapku
dengan pandangan yang tidak aku mengerti sepenuhnya. Merasa bersalahkah ia padaku, tapi atas dasar apa? Toh dia
tidak tahu perasaanku pada Salma. Setelah selesai menyeterika, Ergi lalu menata bajunya dilemari. Aku berpura-
pura sibuk dengan tugasku. “Kamu kenal dengan Salma?” tanyanya membuka pembicaraan. “Nggak, cuma
tahu aja. Dulu dia pernah menemukan blocnote-ku yang ternyata terjatuh di kampus. Lalu dia menyerahkannya padaku.
Itu saja!” “Dia itu, wanita yang dikenalkan temanku padaku. Dia wanita yang gigih dan pantang menyerah. Disini
dia kuliah dengan tekad dan harapan yang besar. Aku salut padanya.”Memang cocok denganmu Er, kamu juga orang
yang gigih dan pantang menyerah. “Itukah yang membuat kamu berniat untuk menikahinya?” “Bukan
hanya itu, tapi itulah salah satunya.” Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Lalu ia melanjutkan
menata baju di lemari.~~**~~ Perlahan aku membuka mataku. Gelap! Ternyata diluar gerimis. Jam berapa ini?
Aku mengambil jam beker diatas meja. Dengan bantuan remang-remang cahaya dari atas jendela akhirnya aku tahu
juga saat itu pukul 3 tepat dinihari. Shubuh masih satu jam lagi. Aku berniat mengambil senter, karena kebetulan aku
pengen kebelakang. Aku bangunkan Ergi dimana ia tadi tidur disampingku. Mana dia? Kok nggak ada? Lalu aku
mengambil senter dan segera kuarahkan ke tempat dimana tadi Ergi tidur. Benar saja, kasurnya kosong. Pergi kemana
dia malam-malam gerimis begini? Setibanya dari toilet, Ergi belum pulang. Mata udah nggak bisa merem. Tak
terasa aku memikirkan sahabatku itu. Selama bersahabat dengannya, hampir tidak pernah aku dirugikan olehnya. Malah
sebaliknya, banyak pelajaran hidup yang kuperoleh dari Ergi. ‘Hidup itu sebuah proses. Masalah kita berhasil atau tidak,
ya tergantung bagaimana kita dalam mengikuti proses tersebut. Sesuai prosedur atau cuma ngawur. Secara kita sudah
disediakan buku pedoman dan prosedur bagaimana untuk menjalani hidup ini dengan benar supaya nggak kesasar!’
begitu katanya kala itu. Ergi juga menerapkan, kita berani karena benar, takut karena salah. Bukannya takut salah atau
takut mengakui kesalahan. Benar juga…. Jadi inget waktu kejadian di bis 3 hari lalu. Waktu itu kami pulang berdua
dengan naik bis. Karena sudah penuh sesak, kami terpaksa berdiri. Dalam keadaan seperti itu aku sempat berfikir, kalau
disini ada orang yang suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan pasti nggak akan ketahuan. Lihat saja, dengan
keadaan penuh dengan penumpang dan barang seperti ini mustahil seseorang akan memperhatikan kantong mereka.
Lebih mungkin mereka disibukkan dengan bagaimana mencari pegangan saat pak sopir mengerem dan menginjak gas
supaya tidak terjatuh bergulingan dalam bis dan tidak menerima tatapan aneh dari sesama penumpang. Barusaja
aku membuang jauh-jauh pikiran itu, tiba-tiba Ergi yang sedari tadi berdiri dibelakangku menarik lengan seseorang dan
langsung memukulnya tepat dibawah wajahnya. Aku yang melihat kejadian itu, kontan terkejut. “Eh, kamu apa-
apaan sih Er??” sergahku pada Ergi.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung merampas dompet yang ada ditangan orang itu
dan menyerahkannya padaku. Sejenak aku terdiam. Haa?! Itukan dompetku! Segera saja aku tahu apa yang barusaja
terjadi. Pikiranku tadi telah menjadi kenyataan rupanya, dengan mangsa…ya aku sendiri. Ya Allah, untung Ergi
mengetahui niat jahat orang itu. Kalau tidak, aku bisa tidak makan 3 hari. Terimakasih ya Er, aku udah ngira kamu suka
mukul orang tanpa sebab. Dia emang berani, karena benar. Sejak saat itu, aku menjadi lebih berhati-hati. Baik dengan
keadaan maupun dengan pikiranku sendiri. Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang. Sudah shubuh
rupanya. Aku bergegas mengambil sarung hendak pergi ke mushola. Didepan aku bertemu dengan ibu kost. Sepertinya
beliau mau pergi ke pasar. ‘Pagi buta begini??’ batinku. “Mau ke mesjid ya le?” tanyanya padaku. “Eh, iya
Bu.” jawabku. Rupanya ibu kost mau menjual hasil panen kangkung dibelakang rumah kemarin. Aku dan Ergi-pun
kemarin turut membantu memanen kangkung. Lumayanlah, didapur masih ada persediaan untuk 2 hari kedepan. Siap-
siap ngantuk aja… “Oya, Bu. Kok Ergi tadi di kamar nggak ada. Kira-kira pergi kemana ya?” tanyaku terus terang.
“Oo, paling ada keperluan mendadak lagi. Dia anaknya memang sibuk. Ibu sendiri sampai heran. Bukan satu dua kali dia
pergi malem pulang pagi, tapi udah sering. Kalau ditanya, pasti ada urusan penting ndak bisa ditunda. Tadi sih sama
temannya. Maklumlah, dia itukan mahasiswa pinter jadi mungkin dibutuhkan dimana-mana gitu ya…!” jelasnya.
“Oh, kalau begitu terimakasih ya Bu. Mari…” ucapku mengakhiri pembicaraan.~~**~~ Setibanya di kampus, aku
bertemu Ergi.“Er, eh, tadi malem kamu kemana? Pergi nggak bilang-bilang!” tanyaku.Dia hanya tersenyum mendengar
pertanyaanku. “Tadi malam aku ada urusan, mendadak. Jadi nggak sempet bangunin kamu. Lagian kenapa sih?
Takut tidur sendiri?” ejeknya. “Malah ngeledek. Oya, kata ibu kamu sama temen ya? Siapa?” “Mereka
seangkatanku!” Lalu dia mendahului aku. Aku hanya bisa memandangnya dengan bingung. Tiba-tiba dia berhenti
dan menoleh padaku. “Ntar pulang jam berapa?” “Jam 1, emang ada apa?” “Bisa aku ajak ke rumah
temen sebentar?” “Kemana?” “Bisa nggak? Kalau bisa tunggu di depan perpus ya!” lanjutnya sambil
berlalu.Setelah sekitar limabelas menit menunggu, akhirnya kulihat Ergi dengan beberapa temannya keluar dari kelas.
Aku kira aku mau diajak pergi kerumah mereka. Tapi setelah Ergi dan temannya itu berpisah, aku baru tahu kalau bukan
rumah mereka yang akan kami tuju. Ergi lalu mengajakku keluar kampus dan segera menuju ke rumah temannya.
Kami menyusuri gang sempit dan becek karena terguyur hujan tadi malam. Langkah Ergi cepat dan panjang, aku sampai
ketimpangan mengikutinya. Gang ini terlalu sempit untuk dua orang yang berjejer, maka aku terpaksa berjalan
dibelakang Ergi dengan tergesa-gesa agar jangan sampai tertinggal. Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya
langkahnya terhenti didepan sebuah rumah kecil berbata merah yang sengaja tidak dipoles dengan semen dan cat
layaknya rumah-rumah sebagaimana mestinya. Setelah mengetuk pintu beberapa kali dan mengucapkan salam,
akhirnya pintu itu terbuka. Ergi langsung masuk dan duduk setelah dipersilahkan. Kemudian mereka memperkenalkan
diri padaku. Yang satu lelaki paruh baya, agak jangkung, dan penampilannya perlente. Aku tidak terlalu dengar saat ia
menyebutkan namanya. Tapi aku rasa dia bilang ‘Jhon’. Ya, mungkin itu namanya. Laki-laki yang satunya, juga
memperkenalkan diri. Dia lebih muda, tapi tidak jangkung. Penampilannya terkesan apa adanya.Dan jelas dia
menyebutkan namanya ‘Fauzan’. Setelah memperkenalkan diri lalu si Jhon tadi menjamu kami dengan segelas teh pahit
dan beberapa potong pisang rebus. Selanjutnya mereka terlibat dalam diskusi yang tak kumengerti. Sudah hampir 1
jam lebih mereka berdiskusi. Akhirnya saat-saat yang kutunggupun tiba. Setelah selesai dengan urusannya, Ergi pamit
pulang. Kamipun kembali menyusuri gang sempit dan becek.~~**~~ Sepanjang jalan sampai di kost aku tidak
berkata apa-apa. Begitu juga dengan Ergi. Mungkin kami kelelahan setelah berjalan cukup jauh. Sebenarnya aku ingin
sekali menanyakan apa yang dibicarakan dengan temannya tadi. Saat ada kesempatan, aku langsung bertanya, “Er, tadi
apa yang kalian diskusikan? Kayaknya penting banget. Aku nggak ngerti deh!” “Bukan apa-apa.” Jawabnya singkat.
Apa maksudnya? Kok sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan….~~**~~ “Tolong, jangan pecahkan barang-
barang saya… saya janji lusa akan saya bayar. Beri saya tempo…tolong…” ‘Prraaanngg!!!’ kemudian terdengar
benda pecah berantakan.Aku dan Ergi seketika terbangun dan keluar guna memastikan apa yang sedang terjadi. Ya
Allah, ternyata itu suara induk semangku yang….sepertinya ditagih utang sama orang-orang yang berdiri dihadapannya.
“Halah!! Heh, kalau nggak bisa bayar nggak usah ngutang sekalian! Kemarin minta tempo, setelah dikasih malah minta
tempo lagi. Sekarang bayar utangmu yang dua juta sekaligus dengan bunga yang 40% perbulan itu. Gampang kan!?!
Jangan sampai kesabaran kami habis ya!!!” Masyaallah, hutang dua juta dengan bunga 40% perbulan?? Hampir
setengahnya! Ini namanya sudah lintah darat. Bagaimana bisa ibu kost terlilit hutang dengan para rentenir itu. Apa
kiranya dengan hasil menyewakan kamar pada para mahasiswa masih kurang untuk mencukupi hidup yang hanya dua
orang. Tapi kan kami tidak pernah nunggak sampai berlama-lama. Kami berdua hanya bisa melihat kejadian itu
didepan pagar rumah ibu kost dengan mengintip lewat jendela rumah. Saat aku menoleh, Ergi sudah tidak ada
disampingku. Waduh, kemana dia? Terlihat tangan salah seorang dari rentenir itu mengambil vas dan akan dibanting
didepan ibu kost. Dengan tiba-tiba Ergi datang dan menampik tangannya hingga vas terlempar jauh kesamping. Kontan
saja aku terkejut melihat kejadian itu. Semakin tidak percaya, saat Ergi tiba-tiba merogoh kantong jaketnya dan
kemudian mengeluarkan segepok uang seratus ribuan. “Bisa nggak kalian lebih sopan dalam memperlakukan
orang lain?? Ini kan yang kalian mau?” katanya sambil melemparkan uang tadi diatas meja. Haa!? Dari mana dia
punya uang sebanyak itu? Selama ini kan keadaan keuangannya nggak jauh beda dengan keuanganku. Selalu pas dan
jarang kelebihan duit. Aku nggak habis pikir! “Semuanya tiga juta! 2.800.000 untuk melunasi hutang beserta
bunganya, dan sisanya, anggap saja sebagai denda keterlambatan!” kata Ergi dengan tenang namun tetap siaga.
Kemudian orang yang berjaket kulit hitam mengambil uang itu dan langsung menghitungnya. Lalu mereka tersenyum
puas atas apa yang mereka dapat. “Hmm, anak muda! Ternyata kau…” “Bukankah kalian sudah dapatkan
apa yang kalian mau?. Sekarang saya minta kalian pergi dari sini dan jangan banyak omong. Atau mulut kalian akan aku
sumpal dengan pecahan beling ini…!” kata Ergi memotong perkataan orang itu dengan tidak kalah ketus. Lalu mereka
pergi karena memang yang mereka inginkan sudah didapatkan. Mungkin sebenarnya hati mereka jengkel juga karena
telah diancam oleh seorang anak muda seperti Ergi. ‘Kadang, mengancam itu perlu untuk melindungi diri dari
kesewenang-wenangan.’ begitu kata Ergi beberapa waktu lalu. Aku masih berada diluar saat insiden itu terjadi.
Lalu aku masuk rumah dan membantu menenangkan ibu kost dan membereskan barang-barang yang berantakan
dilantai. Sejenak aku melihat kesedihan dan ketakutan pada sorot mata pasangan suami istri itu. Aku jadi ingat bapak
ibu dirumah. Aku hanya bisa berpandangan dengan Ergi. Sepertinya dia tahu, akan banyak pertanyaan yang aku
lontarkan kepadanya setelah kejadian ini. Pertanyaan pertama sudah terjawab mengenai ibu kost yang terlilit hutang
dengan para lintah darat itu. Ternyata adiknya yang ada di Solo mau dioperasi. Dan uang itu untuk membantu biaya
operasi, mengingat ibu kost adalah anak tertua yang selayaknya membantu beberapa adiknya yang membutuhkan
uluran tangan. Lalu beberapa pertanyaan berikutnya yang masih menggantung dalam pikiranku? Cukup aku simpan
saja, kalaupun aku tanyakan pada Ergi aku sudah bisa menebak apa jawabannya. Kalau bukan, ‘Nggak penting!’ ya
‘Nanti kamu juga tahu. Sekarang belum saatnya.’ Kenal betul aku watak sahabatku yang satu itu…~~**~~ Hari ini
di kampus ada pengajian akbar yang digelar di aula. Baguslah, jadi hari ini kan tidak harus menghadapi pelajaran dan
dosen yang membosankan. Sepuluh menit lagi acara akan dimulai. Sudah banyak mahasiswa dan para dosen yang
berkumpul dan duduk dikursi masing-masing untuk mengikuti pengajian akbar guna menyambut datangnya bulan
Ramadhan tahun ini. Ya, kita semua memang butuh spirit rohani untuk dapat menjalani Syahru Al Mubarokah ini. Aku,
Firman dan teman- temanku yang lain sudah mendapatkan tempat yang nyaman dan siap mengikuti acara. Di
barisan akhwat, tiga baris dari depan aku melihat Salma. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat dia. Meski sebentar
lagi akan menjadi istri sahabatku sendiri, jujur perhatian dan kekagumanku padanya tidak berkurang sedikitpun.
Kemudian aku ingat Ergi. Dimana dia? Dengan menjabat sebagai ketua umum rohis, seharusnya dia kan ada diacara-
acara seperti ini. Sejenak aku memperhatikan Salma kembali. Dia dari tadi hanya menunduk saja. Lalu Firman
menyenggol lenganku. Aku sedikit terkejut. “Heh, ngapain lo? Ngliatin siapa? Serius amat!” tanyanya curiga.Aku
hanya bisa mengalihkan pandangan cepat-cepat dan tidak menanggapi pertanyaan usil dari Firman. Sesaat
pembicara sudah naik panggung diiringi dengan musik yang wuuh… menentramkan jiwa. Kami semua menyimak
ceramah dari H. Ahmad Bashori dengan seksama. “Sebentar lagi umat islam diseluruh belahan dunia akan
menjalani satu bulan penuh berkah. Bulan penuh diskon. Diskon pahala besar-besaran, dengan bonus tidak main-main.
Kita umat islam yang taat beribadah dan senantiasa bertaqwa kepada Allah akan mendapatkan diskon pahala dan bonus
yang luar biasa. Apa bonusnya? Yaitu malam Lailatul Qadr. Malam seribu bulan….” begitulah penggalan ceramah dari
pak haji yang menyedot perhatian semua jamaah pengajian. Tak sadar mataku beradu pandang dengan seseorang
yang membuat hatiku teduh bila melihatnya. Dengan segera ia berpaling dan menundukkan kepalanya kembali. Ya
Allah, sesaat aku melihat matanya yang indah berubah sembab kala itu. Bukan hanya sembab, tapi juga sepertinya
menyimpan beban masalah yang membuatnya sedih. Tapi apa? Andai aku bisa membantunya… “Eh, lo ngliatin
Salma ya? Heh?! Waduuh, kacau nih! Calon istri sahabat sendiri mau lo embat juga!” sergah Firman yang ternyata sedari
tadi memperhatikanku. Mendengar itu, kontan saja aku terkejut setengah mati. Aku harus segera mencari jawaban yang
tepat supaya si Firman ini nggak mikir yang nggak-nggak. “Astaghfirullah, jangan sembarangan dong. Aku kan
masih tahu batasan-batasan.” jawabku masih berusaha untuk tenang.~~**~~ Kupercepat langkahku supaya
segera sampai ke kost. Meskipun cuma duduk mendengarkan ceramah ternyata melelahkan juga. Sampai kamar, aku
harus segera menyelesaikan semua tugasku. Kulihat Ergi sudah berada disana sedang sibuk membaca buku yang
kemarin aku lihat. ‘Be Mujahid, It’s Me!!, begitulah judul buku yang sedari tadi sibuk dibacanya. Segera
kukeluarkan buku-buku tugasku dan langsung kukerjakan. Setengah perjalanan, pulpenku macet. Aku geleng-geleng
kepala saking jengkelnya. Baru seminggu yang lalu aku membelinya, udah abis aja. Aku celingukan mencari pulpen
cadangan. Nampaknya Ergi mengamati gerak-gerikku. Lalu kulihat ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah
kotak kecil panjang. Tiba-tiba dia menyodorkannya padaku. Aku belum menerimanya karena masih belum mengerti apa
sebenarnya maksudnya. “Ini ada hadiah kecil untukkmu.” katanyaAku menerimanya dengan penuh rasa
penasaran. Apa maksudnya? “Emang aku ulang tahun ya?” tanyaku heran. Segera aku membuka kotak itu.
Ternyata didalamnya sebuah pena, indah. Dengan warna keperakan dengan cincin-cincin kecil berwarna merah maroon
melingkar ditengahnya. “Kemarin aku lewat depan toko lalu aku lihat pena itu. Kupikir nggak ada salahnya kan aku
memberikannya padamu? Terserah kamu mau menganggap itu sebagai apa. Hadiah, tanda persahabatan atau kenang-
kenangan.” lanjutnya. Aku masih memperhatikan benda panjang itu. Pas banget, kebetulan tintaku habis.
“Ya ampun, makasih banyak ya Er. Ini kuanggap sebagai tanda persahabatan kita. Pas banget sih, tuh pulpenku abis.”
kataku. “Kenapa nggak dianggap kenang-kenangan?” tanyanya. “Yaah, mungkin sekarang belum saatnya.
Kelak kalau kita berpisah setelah menyelesaikan studi dan kembali ke rumah masing-masing, naah, mungkin itulah
benda ini berubah status. Sebagai tanda persahabatan sekaligus kenang-kenangan.” “Ya, siapa tahu kita sebentar
lagi akan berpisah. Nggak mesti nunggu besok-besok kan?”Aku hanya terdiam mendengar perkataannya barusan.
Seperti masih ada yang disembunyikan.~~**~~ Seperti biasa, sepulang dari kampus langsung kurebahkan badanku di
kasur. Lelah sekali rasanya. Sudah tiga hari ini aku tidur sendiri. Ergi sedang pergi ke Semarang. Katanya keluarganya ada
hajatan. Sepi juga nggak ada dia. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan kepadanya. Mengenai Salma, yang akhir-
akhir ini kulihat dia tidak seindah dulu. Sering kelihatan kalau di hatinya terpendam suatu masalah yang cukup berat.
Meskipun dia selalu saja menyembunyikannya pada setiap orang yang ditemuinya. Pasti Ergi tahu masalah ini, batinku.
Dia kan, calon suaminya.Petang ini, selesai mengerjakan tugas kuliah aku pergi ke mushola untuk sholat Maghrib.
Segera aku mengambil sarung dan bergegas menuju masjid. Ditengah jalan, aku melihat serombongan bapak-bapak
yang akan pergi ke masjid juga. Heran, perasaan kemarin-kemarin nggak seramai ini. Apa karena mau bulan puasa? Tapi
ternyata di mushola dekat kosan ku itu sedang diadakan pengajian.“Assalamu’alaikum Mas Gilang..” sapa salah seorang
dari mereka.“Wa’alaikumussalam Pak..” jawabku“Mau ke mesjid juga ya? Lho, mas Erginya mana? Biasanya kan
bersama-sama pergi ke mesjid?” Tanya yang lain.“Iya, Pak. Ergi sudah tiga hari pergi ke Semarang. Katanya keluarga
disana ada yang hajatan.” Jawabku.“Oo…mari Mas Gilang, kami duluan ya..!”“Eh, iya Pak. Silahkan..”Kulihat di teras
masjid banyak anak muda yang sedang ngobrol. Remaja putri maupun yang laki-laki, jadi satu. Astaghfirullah…
batinku.“Assalamu’alaikum,” ucapku.“Wa’alaikumussalam, Mas..” jawab mereka serentak.“Kenapa masih diluar?”“Eh,
iya Mas. Ini, lagi cari angin..”“Kalau gitu, saya duluan masuk ya..Mari…”“Iya, mari..” jawab mereka lagi-lagi dengan
serentak.Aku melangkah memasuki masjid yang baru tiga shaf depan terisi. Kuucap bismilah dan serangkaian do’a
masuk rumah Allah ini. Segera aku mengambil shaf paling depan dan melakukan sholat tahiyyatul masjid. Setelah
iqamat berkumandang, semua jama’ah masuk masjid dan melaksanakan sholat Maghrib. Setelah itu, aku hendak
pulang. Tapi ternyata acara langsung disambung dengan pengajian. Tapi rupanya ini sengaja, diharapkan semua jama’ah
bisa sholat Maghrib dan Isya’ di masjid secara berjama’ah.Sehabis Maghrib ternyata tidak langsung diisi ceramah.
Melainkan diisi dengan tilawah dan diskusi. Namun setelah sholat Isya’ pengajian kembali dilanjutkan.Kulihat sudah
beberapa yang keluar, mungkin mau pulang atau kebelakang untuk cuci muka. Beberapa lagi dibelakangku kudengar
asyik ngobrol sendiri. Disudut lain, kulihat ada yang malah sudah tertidur lelap. Tapi tidak sedikit juga mereka yang
masih serius menyimak ceramah yang diberikan oleh Pak Ustadz. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sebenarnya
bosan juga, ngantuk lagi. Pengen kebelakang, tapi aku berada di shaf depan. Aku tidak mau kalau harus melangkahi
jama’ah lain.Ternyata tidak lama kemudian, pengajian selesai. Setelah bersalaman dengan beberapa orang, aku
langsung bergegas pulang menuju kost. Lelah, penat, ngantuk jadi satu. Di teras masjid masih kulihat beberapa pemuda
tengah asyik ngobrol.“Mau pulang ya Mas Gilang?” Tanya salah seorang remaja putri padaku.“Iya, kok nggak didalem?”
tanyaku.“Ini, Mas…lagi cari angin..”Cari angin? Nggak takut masuk angin apa kok dari tadi alasannya cari angin. Orang
dari tadi aku masuk sampai pengajian selesai mereka juga masih diluar. Dasar ABG…“Mari, saya duluan ya.
Assalamu’alaikum,” ucapku.“Wa’alaikumussalam..” jawab mereka tidak lupa dengan serentak.“Cakep ya..?”Kudengar
salah seorang remaja putri berujar setelah aku sudah beberapa langkah meninggalkan mereka. Siapa yang cakep?
Saya?!#@%~~**~~ Aku menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba ada rasa rindu kepada kedua orang bapak ibuku dirumah.
Sedang apa ya mereka? Aku baru sadar, sudah sebulan lebih aku tidak pulang. Ahh…kesibukanku di kampus yang
membuatku tidak bisa pulang bu… Maafkan aku… tanpa sadar air mataku menetes. Aku benar-benar rindu… Aku janji
pak, bu, sebelum Ramadhan aku akan pulang. Perlahan mataku terpejam.Kudengar samar-samar suara letupan pistol
dan ramai orang-orang berteriak. Ah, kukira ini hanya mimpi karena aku terlalu lelah. Tapi seketika kudengar suara ibu
kost. Segera aku membuka mata dan mendengarkan lebih seksama. Benar, itu suara ibu kost yang sedang…aku segera
keluar bermaksud melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kubuka pintu, dan aku melongok keluar. Kulihat diluar banyak
sekali orang. Dan..polisi. Polisi?! Apa yang terjadi? Kulihat disana ibu kost sedang berbicara dengan beberapa orang.
Sepertinya ngotot sekali dan berusaha meyakinkan sesuatu pada mereka. Disana juga ada beberapa mobil patroli
berjajar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang memegang pistol melihatku. Tiba-tiba.. ‘Tarr..!! Prangg…!!’ satu
peluru meluncur dan tepat mengenai kaca jendela. Pecah berantakan… Aku hanya bisa terpaku sejenak, tak tahu apa
yang terjadi bila sebutir peluru itu bersarang di kepalaku. Ya Allah, terimakasih telah Engkau hindarkan dari peluru
itu.Aku hendak keluar, tapi kulihat orang itu mengejarku. Aku jadi berbalik arah dan mengambil langkah seribu. Aku
keluar rumah melewati jendela kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku terus berlari dalam gelap melewati ladang
yang penuh dengan pohon pisang. Banyak juga tanaman lain yang tumbuh disitu. Tidak terkecuali tumbuhan berduri.
Kurasakan kakiku perih dan nyeri. Tapi aku terus berlari. Kulihat dibelakangku beberapa orang mengejar sambil sesekali
melepaskan tembakan yang diarahkan kepadaku. Untunglah tidak satupun yang tepat sasaran. Mungkin karena medan
yang kami lewati dan gelapnya malam yang menghalangi pandangan dan konsentrasi mereka.“Berhenti!! Kami polisi!!
Jangan sampai kesabaran kami habis, berhentilah dan menyerahkan diri!!”Aku masih terus berlari, beberapa kali aku
terjatuh terjerembab ke tanah yang keras. Kurasakan nyeri di kakiku semakin bertambah. Aku berhenti dan berlindung
dibalik pohon nangka. Bersandar sambil sesekali menoleh ke belakang, kalau-kalau mereka melihatku dan akan
menembakku.“Saudara Nur Ichwan, keluarlah. Ikutlah dengan kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.
Segera, sebelum kami melakukan tindakan yang lebih tegas!” seru seorang polisi yang membawa pistol.Nur Ichwan?
Siapa dia? Namaku Gilang, bukan Nur Ichwan. Ergi!! Mungkin dia yang dimaksud. Namanya kan Nur Ichwan Ergin
Ramadhani. Ya, aku semakin yakin kalau Ergi-lah yang dimaksud. Tapi apa masalahnya sampai dia dikejar-kejar polisi
begini? Kupegangi kakiku yang nyeri, kurasakan disana basah. Ternyata kakiku telah bersimbah darah. “Ya Allah..!!”
gumamku. Aku ingin menjelaskan kepada mereka kalau aku ini bukanlah Ergi yang mereka cari. Tapi bagaimana
mungkin dalam keadaan polisi sering melepaskan tembakan begini. Salah-salah nanti di kepalaku benar-benar
bersarang peluru. Mau teriak, juga nggak mungkin. Jarak yang tidak dekat ditambah suara-suara pistol, teriakan, dan
sirine membuat suaraku mustahil didengar.Ergi!! Dialah sumber dari semua masalah ini. Sampai aku hampir
mempertaruhkan nyawaku hanya karena dikira dia. Apa yang sebenarnya terjadi? Begitu banyak rahasia yang kau
simpan dariku, apa kau tidak menganggapku sebagai seorang sahabat? Meninggalkan kos serta meninggalkan masalah
besar. Larikah kau Ergi?! Ingin sekali aku memukulmu saat ini. Sumpah serapah keluar dari mulutku.Masih dalam
keadaan panik dan bingung, tiba-tiba pundakku ada yang menyentuh. Kontan saja aku kaget dan segera berbalik. Ergi!!
Kulihat dia sudah dibelakangku. Segera saja kutarik kerah bajunya dan kudorong tubuhnya hingga ia tersungkur ke
tanah. Namun seseorang melerai kami. Ternyata dia Fauzan, teman Ergi yang aku pernah datang kerumahnya beberapa
waktu yang lalu.“Sudah, sudah!! Jangan ribut disini. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk berkelahi!!”
serunya.Kupandang Ergi dengan mata nanar. Aku sungguh sangat ingin memukulnya dan meminta penjelasan darinya
mengenai masalah ini. Dia hanya menatapku dengan sayu. Nafasnya cepat, sepertinya dia juga habis berlari.“Ayo kita
pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka menemukan kita!” katanya kemudian.Aku hanya terdiam, tapi Ergi menarik
lenganku untuk ikut dengan mereka. Aku berada paling belakang. Namun ketika Ergi melihatku berlari tertatih, dia
menghentikan langkah dan kemudian berada dibelakangku. Dalam perjalanan, kami hanya terdiam. Tidak jarang
diantara kami terjatuh. Dan pada saat itu rasa persaudaraan kami tetap kental. Meski dalam hati dongkol dan kesal,
kami tetap saling menolong. Aku tidak tahu kemana langkah-langkah ini menuju. Didepan aku melihat ada sebuah
rumah, ah..tidak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Lalu Fauzan mengetuk pintu dan mengucap salam. Pintu
terbuka. Lalu kami masuk satu persatu. Aku hanya berdiri terpaku. Gelap. Tiba-tiba ada sebuah nyala lilin. Kuamati
sekitar tempatku berdiri. Ada dua buah kursi rotan yang sudah usang, dan sebuah bangku. Yang diatasnya ada tiga buah
ransel besar. Kulihat disana sudah ada Jhon yang tengah sibuk mempersiapkan ranselnya.“Duduklah, “ kata Fauzan
kepadaku.Tidak lama kemudian aku sudah berada diatas kursi rotan usang di sudut ruangan. Ergi berdiri
dihadapanku.“Bukankah tadi kau ingin memukulku?” tanyanya kemudian.“Tenagaku sudah habis untuk berlari kejar-
kejaran dengan polisi dari kosan sampai sini. Tanpa aku tahu apa salahku sampai mereka berusaha menembak dan
menangkapku. Aku ingin menghemat tenagaku untuk bisa pulang.!” Hatiku bergejolak.Kulihat mereka hanya tertunduk.
Sebelum kemudian Ergi menjawab,“Lang, maafkan aku. Maafkan kami yang secara tidak langsung telah melibatkanmu
dalam masalah ini. Aku harap kamu mengerti.”“Aku tidak mengerti ya akhi…” jawabku agak ketus.“Ya, kau memang
tidak mengerti. Tapi kau akan mengerti saat waktunya tiba!”“Apalagi?! Apalagi Er yang kalian rahasiakan padaku?!
Kalian hampir membunuhku! Tanpa aku tahu penyebabnya. Kau! Kau sudah lama bersahabat denganku. Satu kampus,
satu kos. Satu misi. Kau sudah kuanggap lebih dari sekedar sahabat Er. Tidakkah kau anggap aku? Ha??!” aku kalap.
Kudorong Ergi hingga ia terduduk di kursi depanku. Kembali kuhempaskan tubuhku ke kursi.“Sahabat? Aku juga
menganggapmu lebih dari itu…” perkataannya terputus. Kulihat matanya meneteskan sesuatu. Air matakah itu? Selama
aku mengenalnya, tak pernah ku melihat dia menangis. Dia selalu tegar, dan sabar. Tapi sekarang? Sepertinya dia sedikit
rapuh.“Tapi sekali lagi maafkan aku, atas semua ini. Atas sikap-sikapku yang sering membuatmu jengkel, marah. Aku
minta maaf.”Sejenak kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.“Sekarang pulanglah!!”Apa? Pulang? Aku
kira kau akan menjelaskan sesuatu kepadaku Er…“Kita berpisah disini. Pulanglah sebelum fajar semakin tinggi. Lewati
jalan yang tadi kita lalui untuk menuju kemari. Isnya Allah kau akan selamat. Pulanglah ke kosan, dan anggap tidak
terjadi apa-apa.”Aku hanya menatap mereka bertiga dengan wajah bingung dan tidak percaya. Apa yang kalian lakukan?
Tidak ada penjelasan sedikitpun yang aku terima. Sekarang mereka malah akan pergi.“Hati-hati yang Sobat!! Insya Allah
kita akan bertemu lagi kelak, meski di ruang dan waktu yang berbeda.” tambahnya sambil menepuk pundakku.“Kalian
mau pergi kemana?” tanyaku akhirnya.“Kami akan pergi jauh. Do’akan kami selalu dalam jalan-Nya. Senang berkenalan
denganmu Akh..!” kata Fauzan.Kulihat mereka sibuk berkemas-kemas dan segera meninggalkan gubuk itu. Kulihat
mereka mantap dengan langkah yang diambilnya. Walau ada guratan-guratan kepanikan yang terlukis diwajahnya.
Terucap salam yang lembut dari mereka sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah. Dalam kegelapan, dalam
kepanikan, dan dalam seribu tanya serta harapan. Aku kembali menyusuri jalan yang tadi kami tempuh. Fajar di timur
semakin menyingsing. Kurasakan kakiku semakin nyeri….~~**~~ Semua baik-baik saja. Setelah kejadian malam itu,
setelah kuobati kakiku, setelah kujelaskan semuanya kepada ibu kost, orang-orang, walaupun dengan penjelasan yang
aku sendiri tidak tahu pasti kebenarannya. Karena memang aku tidak punya penjelasan yang sebenarnya. Tentang
mengapa sampai aku dikejar polisi karena dikira Ergi, tentang apa yang diperbuat Ergi sampai menyulut kemarahan
polisi, tentang kemana Ergi pergi sekarang, dan tentang yang lain yang aku masih belum mengerti. Ya, kuanggap
semuanya baik-baik saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti yang telah dikatakan Ergi malam itu. Di gubuk tua, dan
disitulah aku terakhir bertemu dengan mereka. Para sahabatku.Seperti janjiku, sebelum Ramadhan aku akan pulang.
Namun lagi-lagi karena kesibukan, aku baru bisa pulang di hari ke tiga bulan puasa. Di rumah kulihat orang tuaku sudah
didepan pintu menyambutku. Kuucap salam dan segera kucium tangan keduanya. Ibuku memelukku erat.
Kangeenn…“Ayo, masuk. Lepas sepatumu. Kalau mau mandi, baknya sudah ibu isi tadi.” Panas terik begini, badan
lengket, bau solar, bensin, penuh debu…Huh..segera aku mengambil handuk dan mandi.“Bagaimana kuliahmu?” Tanya
bapak.“Alhamdulillah lancar Pak. Do’akan saja supaya cepat selesai.” Jawabku.“Kalau soal doa sih, nggak usah disuruh
kami selalu mendo’akanmu Gilang..” tukas ibuku.Ahh, benar juga. Do’a dan kasih sayang orang tua selalu mengalir
dengan sendirinya tanpa kita minta. Terus-menerus, bagai mata air yang mengalir dan tidak mengharap air yang telah
dialirkannya kembali.Nikmat sekali buka puasa malam itu. Bersama bapak ibuku tercinta. Setelah berbuka, kami
bergegas ke masjid untuk sholat tarawih.~~**~~ Sore ini aku hanya di kamar. Di luar hawa agak panas. Aku asyik
mendengarkan lagu-lagu nasyid. Kaset itu dulu aku beli bersama Ergi. Ah, dimanakah kau sekarang Er? Kenapa tak kasih
kabar? Rasa rindu menyelinap di hatiku.“Lang, nih. Tadi ibu ambil pulpen di tasmu. Ternyata malah nggak mempan. Ada
pulpen lain nggak? Buat nyatet pesanan kue besok.” Kata ibu sambil menyerahkan pulpen padaku. Itu kan pulpen
pemberian Ergi.“Aduh, Bu. Nggak ada lagi. Ini pulpen satu-satunya pemberian temen Gilang.”“Ya udah, ibu beli sendiri
aja di warung. Anak kuliahan kok nggak punya pulpen…” sambung ibu sambil ngeloyor pergi. Kupandangi lagi pena itu.
Aku putar, ingin tahu apakah benar tintanya habis. Apa ini? Ada selembar kertas yang terbalut di tinta pena. Langsung
saja ku ambil dan kuamati dengan seksama. Ternyata sebuah surat…dari Ergi...
Assalamu’alaikum...Apa kabarmu sahabatku? Tapi jangan kau coba menanyakan bagaimana kabarku. Karena mungkin
saat kau membaca tulisan ini, aku sudah tidak ada denganmu lagi. Dan akupun tidak tahu pasti, apakah aku masih
berada dalam permainan dunia ini. Lang, maafkan aku jika selama ini aku banyak rahasia padamu. Karna aku tidak ingin
melibatkanmu dalam masalahku. Tapi sebenarnya ini bukanlah masalah. Ini adalah jalan yang aku dan teman-temanku
tempuh untuk menggapai syahid. Aku masih serius membaca kata demi kata yang ditulis Ergi. Kubenahi posisi dudukku,
dan mulai kubaca lagi, kata...demi kata...Masih ingatkah kau tentang diskusi kecil kita petang itu, sahabatku? Tentang
penghargaan dunia akhirat, dengan amar ma’ruf nahi munkar. Dari dulu, aku sangat membenci kemaksiatan.
Orangtuaku meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi dibunuh dengan sadis oleh sekelompok orang yang menginginkan
tanah dan rumahku. Memang, itu belum sepenuhnya menjadi hak kami. Karena memang kami belum bisa melunasinya.
Sejak saat itu, aku hanyalah seorang yang bermimpi dan beranganpun tidak pantas. Hingga akhirnya aku dikirim kakek
ke sebuah pesantren. Yang disana pun menurutku tidak lebih baik. Tapi aku bersyukur, berawal dari kegigihanku
menggapai angan, akhirnya aku bisa melanjutkan studi berbekal beasiswa. Sampai suatu ketika aku menemukan
komunitasku. Satu misi dan satu visi. Gilang, masih ingatkah tentang tragedi pengeboman sebuah penginapan mewah di
Bandung setahun lalu? Pernahkah terfikir olehmu siapa yang melakukannya? Mereka dicap teroris oleh sebagian orang,
kebanyakan orang, bahkan semua orang. Mereka dikecam dan diburu bagai binatang. Memang, mungkin mereka
binatang. Tapi orang-orang itulah yang menjadikan kami sebagai binatang, yang haus darah. Darah para pelaku
kemaksiatan, kejahatan, yang selalu memprioritaskan kenikmatan dunia, tanpa mempedulikan orang kecil dan lemah.
Itulah yang menurunkan murka Allah. Dunia ini menjadi hitam, penuh hawa panas kemaksiatan, agama Allah
diporakporandakan. Satu catatan sahabatku, kami adalah Mujahid Pendamba Syahid. Gilang, kuserahkan kepadamu
sepenuhnya. Apakah setelah kau membaca surat ini, kau masih menganggapku sebagai sahabat...atau mungkin musuh.
Mungkin juga kau mengharapkan kami tertangkap polisi dan dihukum mati. Dipenggal, dan kepala kami dijadikan
santapan anjing sekalipun, itu terserah padamu. Tapi yang perlu kau ingat, aku tetap menganggapmu sebagai sahabat
yang selalu ada dikala aku butuh.Gilang, jangan pernah takut pada apapun selama masih dalam jalan kebenaran.
Teruslah berjuang di jalan Allah untuk menggapai kenikmatan. Jangan lupa menjalankan amalan-amalan yang haq.
Karena itulah yang akan membantumu kelak disana, menemanimu disana...Cukup sekian sahabatku, selamat tinggal.
Do’akan aku semoga aku mendapat yang aku inginkan. Wassalamu’alaikum...
Gubuk tua, 12 Desember 1998Bagai tersambar petir tepat di kepalaku. Kepalaku pening, tubuhku lemas seketika. Tanpa
sadar, kertas itu basah oleh air mata. Terdengar lagu Far East ‘Menanti di Barzakh’ mengalun lembut...Ya Allah, apa yang
terjadi padamu Er? Aku segera mengambil ranselku. Kuisi dengan beberapa buku dan kaos. Kupakai sepatu, lalu aku
bergegas keluar. Dirumah sepi, aku hanya meninggalkan sepucuk surat diatas meja makan.Kulihat senja di ufuk barat,
merah saga. Perjalanan inipun kurasa sangat lama. Setelah sampai, aku langsung menghambur menuju kamar kost.
Kubuka pintu itu... Kosong. Tidak ada siapa-siapa disitu. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, yang kulihat Ergi sedang
mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca buku. Ku layangkan pandanganku keseluruh sudut kamar. Tidak ada
yang berubah. Ah, kupikir Ergi akan pulang dan melipat sajadah itu. Sajadah dipojok kamar yang Ergi selalu duduk
diatasnya setiap malam untuk berdzikir. Tapi ternyata sajadah itu masih rapi menghadap kiblat.Kuhampiri, lalu kulipat
rapi. Seketika tercium bau parfum yang sudah tidak asing lagi. ‘Ergi!’ batinku. Namun secercah harapan itu hilang
setelah kulihat cairan yang tercecer didekat meja kecil kami. Tergeletak sebuah buku disamping jam beker. Kuambil,
kuamati.... ‘Be Mujahid, It’s Me!’Aku benar-benar merasa kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupku. Dia lebih
dari sekedar sahabat, dia selalu menjadi teladan bagiku. Rasa kehilangan semakin besar ketika keesokan harinya aku
membaca sebuah surat kabar lokal. Terpampang jelas dihalaman depan “Teroris Pengeboman Penginapan Mewah,
Menunggu Eksekusi Mati!”Aku hanya bisa menatapnya nanar, menerawang jauh entah kemana.‘Tapi kan mendingan di
kost-an. Kalo di pesantren, dari mata melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan
ditaati…’‘Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Dzat
yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini....’‘Hati-hati yang Sobat!! Insya Allah kita akan bertemu lagi kelak, meski
di ruang dan waktu yang berbeda.....’Tiba-tiba kata-kata Ergi kembali terngiang di telingaku. Aku masih sahabatmu Er.
Selamanya. Aku tidak akan pernah lupa mendo’akanmu. Karna hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Selamat jalan
Sobat...~~**~~ Hari ini aku sibuk sekali. Sibuk menyelesaikan skripsi. Ya, sebentar lagi aku akan menamatkan S1 ku di
fakultas ini. Alhamdulillah, syukur kupanjatkan pada-Mu ya Rabb. Engkau telah memberikan kenikmatan dalam hidupku.
Engkau telah berikan padaku seorang bidadari surga. Yang setia menemaniku dikala suka dan duka. Tugas skripsi yang
melelahkan pun tidak begitu terasa.Kulihat dia menghampiriku, dan dengan lembut menutup laptop yang sedari tadi
berada dihadapanku, menghentikan kegiatanku.“Makan dulu yuk, Mas. Sudah malam, besok lagi ngerjain tulisannya...”
katanya padaku tidak lupa sebuah senyuman manis menghiasi bibirnya.Lalu, kami berdua makan malam. Bertiga,
dengan calon mujahid mujahidah yang sebentar lagi akan menatap dunia...Er, aku akan selalu menjaga Salma dengan
sebaik-baiknya. Aku juga akan berusaha menjadi imam bagi mereka...

Anda mungkin juga menyukai