Anda di halaman 1dari 4

Etika Birokrasi Kita

Oleh : Tri Widodo W. Utomo

HUBUNGAN antara pemerintah dan masyarakat, akhir-akhir ini terlihat kurang harmonis.
Indikasi utama dari fenomena itu adalah sering terjadinya protes terhadap berbagai
kebijakan pemerintah maupun perilaku aparatnya. Aksi protes itu sendiri dilakukan
dengan cara yang sangat santun melalui saran-saran melalui berbagai media ; sampai
dengan tindak kekerasan (violance) berupa penjarahan, perusakan serta terorisme. Inti
dari semua aksi tersebut sesungguhnya bermuara pada satu hal, yakni terjadinya krisis
kepercayaan masyarakat terhadap aparatnya.

Bisa jadi, di mata masyarakat, aparat tidak lagi memperjuangkan kepentingan dan
mengusahakan kesejahteraan rakyat. Secara menyolok justru terjadi semacam lomba atau
pamer kekayaan di kalangan pejabat tinggi, yang jelas sangat menyinggung rasa keadilan
masyarakat. Akibatnya, gap antara pejabat dengan rakyat semakin menganga lebar, dan
pada suatu ketika tidak terjalin sama sekali titik singgung diantara keduannya. Dalam
kondisi demikian, antara pejabat dengan rakyat seolah-olah menjadi dua pihak yang
saling berhadapan secara konfrontatif.

Faktor penyebab disharmoni tersebut tentu bersifat kompleks dan multi dimensional.
Namun dibalik berbagai kemungkinan faktor penyebab tersebut, dapat ditunjuk kondisi
etika dan moralitas birokrasi yang relatif sedang mengalami dekadensi. Para pejabat kita
agaknya lebih senang mengedepankan kebenaran hukum dari pada kebenaran yang
bersemi pada hati nurani. Sayangnya, hukum adalah karya cipta manusia yang tidak lepas
dari subyektivitas penciptanya, sehingga substansi yang dikandung dapat dimodifikasi
sesuai kebutuhan dan kehendak penciptanya tadi. Oleh karena itu, gagasan utama yang
ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah perlunya dimunculkan pendekatan etika
dalam dinamika kehidupan berpemerintahan di Indonesia.

Antara Pendekatan Benar - Salah dan Baik - Buruk

Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki kewenangan bebas


untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka memberikan
pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan masyarakat
(bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan
hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut
kebijakan publik (public policy).

Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan.
Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang
dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu
kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang
memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah

1
sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh
masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral
dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer dimata
masyarakat adalah : pembangunan waduk, pengurangan / penghapusan subsidi BBM /
TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-lembaga
ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya.

Oleh karena itu, suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai
benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk.
Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.
Sebagai contoh dapat ditunjukkan kasus-kasus sebagai berikut.

Pertama, kasus perijinan HPH. Secara yuridis, penebangan hutan secara besar-besaran
dengan alasan untuk menghasilkan devisa dapat dibenarkan karena perusahaan yang
bersangkutan telah memiliki ijin yang legal. Namun secara etis tindakan tersebut sangat
tidak dibenarkan (dan karenanya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan baik), sebab
menimbulkan kerusakan alam yang sangat hebat serta menggusur kepentingan penduduk
asli. Kedua, kasus korupsi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis, setiap
pertanggungjawaban keuangan yang dapat dibuktikan secara formal tidak dapat dikatakan
telah terjadi tindak pidana korupsi, meskipun secara materiil tindak pidana tersebut telah
terjadi. Konkritnya, jika pembangunan suatu mega proyek secara riil menghabiskan biaya
10 trilyun, tetapi dalam kuitansi maupun nota-nota keuangan lainnya tercantum 15 trilyun,
maka sesungguhnya telah terjadi korupsi sebesar 5 trilyun, meskipun secara hukum
positif tidak terjadi. Tindakan memanipulasi angka ini jelas tidak etis dan tidak bermoral.
Itulah sebabnya kemudian muncul anekdot bahwa Indonesia merupakan negara dengan
tingkat korupsi terbesar di dunia, namun dengan jumlah koruptor terkecil di dunia.

Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan, maka perlu
dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan
etika / moral. Dengan kata lain, perumusan (formulation) dan penerapan
(implementation) kebijakan publik ini harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu
kebijakan pemerintah tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga
konsekuensi etis atau moral. Konsekuensi dari pendekatan baru ini adalah bahwa suatu
kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) keterikatannya
untuk menjamin terselenggaranya kepentingan / kesejahteraan rakyat banyak, serta 2)
keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah / tanah air dimana kebijakan
tersebut dirumuskan.

Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi aparatur
pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme
dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan
wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan
rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral,
etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).

2
Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima) norma,
yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta norma-norma
lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan
pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau
bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat, 1984 : 94).
Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh seorang
pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma profesi adalah peraturan-
peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka
berinteraksi dengan anggota interrn organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan
norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi
martabat dan kehormatan keluarga.

Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah, dengan
tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya. Manakala terdapat
keseimbangan antar norma-norma tersebut, diharapkan praktek pelayanan publik-pun
tidak akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Semua lapisan masyarakat
membutuhkan pelayanan birokrasi (public service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah
sikap keadilan (equity) dari para pejabat atau birokrat.

Etika Dalam UU Nomor 28 tahun 1999

Discretionary power yang dimiliki pemerintah memiliki kelemahan fundamental, yakni


kemungkinan terjadinya perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, untuk mempertinggi
perlindungan hukum bagi masyarakat diperlukan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai dasar etika
berpemerintahan.

Selama ini pemerintah menganggap bahwa pendekatan etika dalam law enforcement
tidak begitu penting, sebab telah terdapat hukum nasional yang terkodifikasi. Sayangnya,
aturan hukum selalu tertinggal beberapa langkah dibanding kemajuan cara hidup manusia
yang sarat potensi konflik. Itulah sebabnya, banyak pasal-pasal hukum yang kemudian
tidak dapat menyelesaiakan suatu peristiwa secara memuaskan. Dalam keadaan sepertti
inilah, pendekatan etika berfungsi sebagai sumber hukum baru yang sekaligus mengisi
kekosongan hukum.

Oleh karena itu, lahirnya UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan bebas KKN, dari perspektif etika merupakan kemajuan yang sangat
berarti dalam praktek berpemerintahan. Atas dasar aturan ini, legalitas dan kemanfaatan
tindakan pemerintah tidak hanya diukur dari tingkat penyimpangannya terhadap norma
hukum, tetapi juga terhadap norma-norma lain yang belum diwadahi secara formal dalam
bentuk peraturan perundangan tertentu. Dengan kata lain, apabila seorang anggota
masyarakat dirugikan oleh suatu keputusan atau tindakan pejabat tertentu, dasar gugatan

3
yang bisa digunakan tidak hanya berasal dari ketentuan hukum pusitif, namun juga
apakah keputusan atau tindakan pejabat tersebut bersesuaian dengan nilai-nilai etika atau
tidak.

Adapun asas-asas etika yang terkandung dalam UU Nomor 28 tahun 1999 ini adalah asas
kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsional, profesional, serta akuntabilitas. Tujuh asas etika tersebut memang belum
mencerminkan keseluruhan asas yang sering muncul dalam khazanah ilmu hukum.
Sebagaimana diketahui, di Negeri Belanda paling sedikit terdapat 13 asas etika, yakni
kepastian hukum, keseimbangan / proporsional, kesamaan dalam mengambil keputusan /
tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, bertindak cermat, motivasi, tidak
mencampuradukkan kewenangan, permainan yang layak, keadilan, menanggapi
pengharapan yang wajar, meniadakan akibat suatu keputusan yang batal, perlindungan
atas pandangan hidup pribadi, serta asas kebijaksanaan atau sapientia (Muchsan,1982;
Poerbopranoto, 1978; Marbun, 1987).

Implikasi terpenting dari penonjolan dimensi etika dalam penyelenggaran negara ini
adalah terbebasnya para pejabat negara dan pejabat pemerintahan dari praktek-praktek
kotor dan tidak terpuji, misalnya KKN. Birokrasi yang sehat dan bermoral, merupakan
prasyarat munculnya kebijakan publik yang berkualitas prima, dengan ciri-ciri : 1)
mampu mengatasi permasalahan aktual yang sedang dihadapi, 2) mampu memberikan
manfaat nyata secara positif dan konstruktif, 3) mampu memprediksi dampak-dampak
negatif yang mungkin timbul beserta alternatif pemecahannya, 4) mampu memerankan
diri sebagai fungsi mediasi dan moderasi dalam suatu kontroversi, 5) memiliki daya
akseptabilitas dan aplikasi yang tinggi, serta 6) memiliki konsistensi dengan kebijakan
terkait dan mampu menghindarkan kemungkinan terjadinya diskriminasi dalam
implementasi.

Akhirnya, adanya kebijakan publik yang prima diharapkan dapat membawa dampak yang
signifikan berupa : 1) terjalinnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara
harmonis, 2) stabilisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai bidang, serta
3) peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat secara progresif.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Daerah dan Dosen


STIA LAN, tinggal di Bandung

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 5 September 2000

Anda mungkin juga menyukai