Anda di halaman 1dari 2

sumber : http://rahmatpunya.blogspot.

com/

Khalid bin Walid sang Panglima Idaman

Hidup ini ibarat menyusuri jalan setapak yang penuh liku. Kadang menurun kadang menanjak
tak jarang pula melewati jalan berkelok penuh liku dan onak duri yang siap menghadang.
Semua harus kita jalani dan kita lewati dalam keadaan suka maupun duka.
Ketika kita melewati jalan menanjak dan sudah berada di puncak bukit perjalanan, lega
rasanya telah berhasil menaklukkan halangan dan rintangan meski harus dengan susah payah
untuk menggapainya. Dan ketika sedang berada di puncak bukit perjalanan tersebut seakan
pucuk pohon yang tinggi sekalipun kini berada di bawah telapak kaki kita. Semua sepertinya
serba kecil dan sepertinya tidak artinya di bandingkan kita.

Itulah puncak popularitas, puncak kepopuleran. Dan apa jadinya jika tiba tiba di tengah puncak
popularitas itu kita harus melepaskannya? Sepenggal kisah yang mungkin patut kita contoh.
Tersebutlah, seorang panglima perang yang sangat di segani dan sekaligus di kagumi baik oleh lawan maupun
kawan, dialah seorang jendera, dialah sang panglima perang yang sangat terkenal di kalangan kaum muslimin,
dialah Khalid bin walid
. Sang panglima perang yang sangat tangguh dan brilian di kalangan kaum muslimin
waktu itu. Peperangan demi peperangan yang di pimpinnya berhasil dia raih dengan gilang gemilang. Maka tak
heran sang panglima perang tersebut menjadi buah bibir dan sangat terkenal ke seantero negeri, kemanapun
dia pergi selalu banyak yang mengiringinya dan selalu di elu-elukan di setiap tempat yang dia singgahi.
Begitulah dia.

Hingga suatu hari ketika sedang memimpin perang, datanglah seorang utusan Khalifah
dari Umar ibnu
Khattabyang membawa surat untuk sang panglima perang. Surat yang di bawa oleh sang utusan Khalifah itu
ternyata berisi tentang pemecatan dirinya sebagai panglima perang. Bisa di bayangkan ditengah kecamuk
perang yang sedang berlangsung, ternyata sang panglima perang
Khalid bin Walidharus mundur sebagai
komandan perang dan meletakkan jabatannya saat itu juga dan menyerahkannya kepada anak buahnya.
Sebagai seorang manusia biasa, maka Kholid bin Walid pun bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi?
Kesalahan apa yang sudah diperbuatnya sehingga khalifah memecat dirinya.

Maka dengan segala rasa penasaran yang berkecamuk di dasar


i, keesokan
hat harinya Khalid bin Walid
datang menghadap kholifah.

“ya amirul mu’minin, saya telah menerima surat pemecatan dari mu, benarkah engkau memecat diriku?” maka
Kholifah umar pun menjawab “benar! .... Wahai Kholid.”

“kalau engkau memecat diriku, baiklah karena itu adalah hakmu sebagai kholifah, tapi kalau boleh tahu,
apakah kesalahan yang telah aku perbuat sehingga engkau memecatku?” maka umarpun menjawab “ engkau
tidak punya salah apapun wahai Kholid.”

“tidak punya salah, tapi kenapa engkau memecatku?” “begini Kholid,


wahai engkau tidak punya salah apapun
tapi aku harus memecatmu!. Dengarlah wahai Kholid, sekarang ini tak ada yang bisa menandingi kehebatanmu
di medan perang ya .... kholid engkau panglima yang baik, engkau adalah panglima terhebat yang kaum
muslimin punyai, setiap peperangan yang engkau pimpin, selalu berhasil engkau menangkan dan semua prajurit
sudah pasti taat dan tunduk patuh pada dirimu. Bahkan masyarakatpun selalu mengelu elukanmu dimanapun
engkau berada, semua selalu memujimu. Kutahu engkau sangat terkenal ke seluruh penjuru negeri, kudengar
setiap hari orang orang selalu memujimu, tapi ingatlah wahai Kholid, satu hal, terlalu banyak orang yang
memujimu dan mengidolakanmu tidak mustahil nanti kau akan ada rasa sombong dalam dirimu, engkau
mungkin tahu bahwa kesombongan sekecil apapun nantinya akan menjerumuskanmu kedalam api neraka.

Bukankah Allah sangat tidak menyukai orang orang yang sombong meski sebesar debu sekalipun rasa
sombong itu ada dalam hatimu. Maka untuk menyelamatkan dirimu dan untuk menjaga agar engkau tidak
terjerumus ke dalam api neraka, akhirnya dengan terpaksa saya harus memecat engkau wahai Kholid.”

Mendengar jawaban sang Kholifah, Kholid bin Walid pun bangkit dan kemudian memeluk sang Kholifah seraya
berkata “Terima kasih wahai umar, engkau telah menyelamatkan diriku, engkau adalah saudaraku.”

Indah sahabatku, sungguh indah, mungkin sangat susah kalau tidak mau di bilang mustahil atau tidak akan
ada di zaman sekarang ini dua orang contoh
panutan seorang pemimpin dan seorang anak buah yang saling
mengasihi dan mengingatkan akan peran dan tanggung jawab masing masing.

Seorang jenderal, seorang panglima perang terbaik di zamannya yang sedang berada di puncak karir harus
mundur di tengah jalan atasermintaan
p atasannya yaitu sang Kholifah Umar bin khattab dan sang
jenderalpun taat dan patuh menyerahkan jabatannya. Lalu apakah ia kemudian marah dan kemudian mangkir
dari perang setelah tidak menjabat lagi sebagai panglima? Ternyata tidak, iapun kembali ikut berperang
sebagaiprajuritbiasa tanpa ada rasa malu atau sakit hati karena sesungguhnya ia berperang bukan karena
Umar sang Khalifah atau karena jabatan yang ia emban atau karena sesuatu yang ia inginkan, bukan, bukan
karena itu semua, ia berperang semata-mata hanya karena Allah, ia berperang karena semata mata
mengharap ridho Allah SWT.

Begitu juga Umar sangKhalifah. Ia memecat sang panglimanya bukan karena ia kalah popular di bandingkan
Kholid, juga bukan karena ia takut tersaingi oleh Kholid yang merupakan bawahannya itu. Bukan, sekali lagi
bukan. Ia memecat Kholid semata mata karena ia melihat ada ketidakberesan dan ada potensi yang akan
membahayakan keimanan dan ketaqwaan bawahannya itu, yang kalau di biarkan akan mencelakakan
bawahannya itu serta lingkungan di sekitarnya.
Itulah potret pemimpin yang tegas dan awas akan potensi
yang membahayakan anak buah dan lingkungan di sekelilingnya.

Demikianlah sahabat. Sepenggal kisah yang punya makna yang sangat dalam dan penuh hikmah dari seorang
Kholifah dan Panglima perang yang menjadi bawahannya. Di zaman sekarang ini, mungkin sangat susah atau
bahkan sudah tidak ada lagi seorang pemimpin atau pejabat yang mempunyai sikap dan perilaku seperti kisah
di atas.Semoga sajakita bisa meneladani dan mengambil hikmah dari sepenggal kisah di atas, amin.

Anda mungkin juga menyukai