Anda di halaman 1dari 3

Republik Tawuran Bernama Indonesia

Monday, 11 October 2010 09:32

Sistem demokrasi liberal sejak 1998 ini tak juga berhasil memberikan kemakmuran pada rakyat. Tawuran
terjadi di mana-mana.

Agaknya Indonesia sekarang tergolong failed state, negara gagal. Apa pula itu? Think-tank (tangki pemikir)
dari Amerika Serikat, Fund for Peace, setiap tahun sejak 2005 menyusun dan mempublikasikan daftar
negara gagal (Failed States Index).

Failed States, menurut lembaga itu, memiliki 12 kriteria menyangkut masalah politik, ekonomi, dan sosial.
Tapi yang terpenting: pemerintah pusat begitu lemah sehingga tak memiliki kontrol yang efektif atas
teritorialnya, pelayanan publik terbengkalai, tindak kriminal dan korupsi menyebar luas, terjadi pengungsian
atau perpindahan penduduk tanpa dikehendaki, dan perekonomian merosot tajam.

Dengan kriteria seperti itu, Fund for Peace memasukkan Indonesia dalam skala warning (peringatan) atau
persisnya di peringkat 61. Artinya, masih ada 60 negara lebih jelek dari Indonesia, walau yang lebih bagus
jauh lebih banyak.

Tampaknya posisi Indonesia tertolong karena perekonomiannya sekarang tak sedang merosot tajam,
seperti dimaksudkan dalam kriteria. Peringkat pertama sebagai negara gagal adalah Somalia, disusul Chad,
Sudan, Zimbabwe, Congo, Afghanistan, dan Iraq.

Penulis terkenal, profesor bahasa dan filsafat dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Noam
Chomsky, pada 2006 menulis buku berjudul Failed States, mengungkap kesewenang-wenangan
negara super-power Amerika Serikat, terutama ketika menyerbu Afghanistan dan Iraq.

Berbagai alasan dipakai negara adi-daya itu untuk campur tangan ke negara lain. Belakangan, setelah
serangan teroris 11 September 2001, yang dianggap mengancam keamanan Amerika Serikat adalah
negara gagal (failed states). Dalam konsep ini termasuk negara seperti Iraq yang diduga mengancam
Amerika Serikat dengan senjata pemusnah massal (kelak terbukti tak pernah ada) dan terorisme
internasional (yang sesungguhnya tumbuh sebagai akibat pendudukan pasukan Amerika atas negeri itu).

Dalam interpretasi yang lebih ketat, failed states diidentifikasikan dengan kegagalan memberikan keamanan
bagi penduduknya, kegagalan menjamin hak-hak di dalam dan luar negeri atau memelihara berfungsinya
institusi demokrasi (Noam Chomsky dalam Failed States, The Abuse Of Power And The Assault On
Democracy. Hamish Hamilton, Great Britain, 2006).

Tampaknya semua yang dimaksudkan sudah terjadi di negeri ini. Presiden SBY hanya bisa berpidato atau
berwacana bahwa negara tak boleh kalah oleh kekerasan. Tapi perkelahian dua kelompok pemuda di Jalan
Ampera Jakarta Selatan, 29 September lalu, menunjukkan pemerintah gagal memberikan keamanan
kepada penduduk. Bahwa terbukti dengan konkret preman amat berkuasa di negara ini. Ada yang
mengatakan Indonesia sekarang dalam kondisi darurat preman.

Soalnya, hari itu dua kelompok pemuda terlibat tembak-menembak di jalan raya dengan menggunakan
sejumlah pistol, tawuran dengan pedang, tombak, parang, kapak dan pentungan, tak ketinggalan hujan
batu. Peristiwa itu terjadi di siang bolong, disaksikan polisi dan wartawan dengan kameranya, dan disiarkan
televisi ke seluruh negeri. Tubuh-tubuh yang tergeletak di tengah jalan terluka parah dengan darah
berceceran jadi sasaran empuk kamera.
Polisi ? Ratusan polisi ada di tempat itu. Tapi mereka tak mampu mencegah orang berkejaran dengan
pedang dan golok terhunus, bahkan menembak-nembakkan pistol. Adegan-adegan yang terjadi di siang
bolong itu sungguh belum pernah terjadi di dunia mana pun. Agaknya itu hanya bisa ditemukan dalam
imajinasi para penulis skenario Hollywood untuk film wildwest yang dibintangi John Wayne atau
semacamnya.

Perang geng dan kartel narkoba di Meksiko atau Colombia memang mengerikan dengan korban amat
besar. Tapi perang dan tembak-menembak itu tak terjadi di siang bolong secara terbuka disaksikan kamera
wartawan televisi dan polisi, sebagaimana terjadi di Jalan Ampera.

Kabarnya polisi tak mampu mencegah perkelahian karena jumlah personal dan persenjataannya tak
memadai. Dari sini muncul tuduhan bahwa intelijen polisi kebobolan dalam meramalkan apa yang akan
terjadi di Jalan Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Maka sementara menunggu bantuan polisi, korban pun berjatuhan, bergelimpangan dan berdarah-darah,
bergeletakan di jalan raya. Tercatat pada hari itu tiga orang meninggal dunia, 12 orang terluka, 3 di
antaranya polisi.

“Pertempuran’’ di Jalan Ampera itu merupakan ekor perseteruan dua kelompok pemuda di klub malam
Blowfish, Plaza City Senayan, Jakarta, 3 April lalu, yang konon disebabkan perebutan lahan pengamanan.
Akibatnya, seorang pemuda meninggal dunia dan beberapa lainnya terluka. Peristiwa ini menyebabkan 4
pemuda diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tawuran besar tadi meletus pada sidang pengadilan
kedua, ketika dua kelompok yang bertikai saling mengerahkan anggotanya ke pengadilan. Mestinya apa
yang terjadi sudah bisa diantisipasi polisi.

Sistem yang Koruptif

Tapi sesungguhnya ‘’pertempuran’’ Jalan Ampera hanya salah satu yang paling seru. Di mana-mana
selama ini peristiwa sejenis banyak terjadi. Hampir bersamaan, misalnya, di Tarakan, Kalimantan Timur,
ada ‘’perang’’ antar-kelompok masyarakat yang berbeda.

Tawuran dimulai 27 September lalu oleh peristiwa sepele dan baru berakhir dua hari kemudian melalui
perdamaian dua kelompok, dihadiri Gubernur Kaltim dan para pejabat daerah lainnya. Peristiwa ini
menyebabkan 5 nyawa melayang, sejumlah lainnya luka-luka, beberapa rumah dibakar, dan sekitar 30.000
warga mengungsi.

Pada 4 Oktober lalu, gerombolan massa menyerbu dan melemparkan batu ke kantor polisi sektor (Polsek)
Bandar Udara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Polisi mencoba menghalau demonstran dengan
melepas tembakan. Itu mengakibatkan salah seorang penyerbu tewas dan lima temannya ditangkap polisi.

Sebelumnya, 31 Agustus lalu, di Buol, Sulawesi Tengah, 4 penduduk meninggal dunia, puluhan luka-luka
setelah terjadi bentrokan dengan polisi setempat. Massa menyerbu kantor polisi karena marah atas
tewasnya seorang tukang ojek di rumah tahanan.

Di Tanjung Priok, April lalu, meletus kerusuhan Koja ketika Satpol PP akan menggusur makam Mbah Priok
di areal seluas 5,4 hektar milik PT Pelindo. Penduduk setempat mempertahankan makam itu yang mereka
anggap keramat. Maka terjadilah tawuran antara ratusan Satpol PP dengan rakyat. Akibatnya 3 anggota
Satpol PP terbunuh, ratusan luka-luka, termasuk 20-an anggota Polri. Puluhan mobil dibakar dan beberapa
kantor dijarah.
Banyak lagi peristiwa mirip terjadi di pelbagai pelosok Tanah Air, terutama kerusuhan sebagai akibat
ketidak-puasan atas hasil pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Bahkan perkelahian massal sering
terjadi dalam konser musik atau pertandingan sepak bola.

Mengapa semua ini terjadi ? Ada banyak jawaban. Salah satu di antaranya karena hukum tak berjalan.
Memang di mana-mana ada kantor polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Tapi orang tahu bahwa kebanyakan
polisi, jaksa, dan hakim, bisa dibayar. Artinya, keadilan sulit ditegakkan. Akhirnya, orang cendrung main
hakim sendiri, sementara aparat hukum dan pemerintahan kehilangan wibawa. Pada saat itulah kantor polisi
pun sering menjadi sasaran pelampiasan kemarahan masyarakat.

Gagalnya penegakan hukum mengancam sistem demokrasi liberal yang diterapkan di negeri ini sejak
Reformasi 1998. Karena memang di mana pun sistem demokrasi hanya bisa berjalan bila hukum
ditegakkan.

Jangan heran kalau Pilkada yang berlangsung di daerah selalu diikuti aksi pembagian uang kepada para
pemilih. Penelitian yang dilakukan Political Research Institute for Democracy (Pride) Jakarta di Mojokerto
Mei lalu, menunjukkan politik uang memang terjadi dalam Pilkada. Malah dalam penelitian lebih 60%
responden menyatakan memilih calon atau kandidat yang memberikan uang kontan kepada
pemilih. Program muluk-muluk tak diperlukan.

Bila penelitian itu sahih, maka sistem demokrasi yang dibangga-banggakan Presiden SBY selama ini tak
ada artinya. Dan lebih parah lagi, sistem pemilihan yang mahal dan korup ini menyebabkan korupsi
bertambah subur di Indonesia.

Betapa tidak ? Untuk maju dalam pencalonan Bupati sekarang dibutuhkan dana untuk partai politik dan
kampanye mencapai Rp 10 milyar. Untuk gubernur jumlah tadi jadi berlipat-lipat, bisa mencapai ratusan
milyar rupiah. Semua itu tentu jumlah yang terlalu besar yang tak mungkin bisa dibayar dari gaji yang
diterima para calon bila kelak terpilih.

Pertanyaannya sekarang: bila terpilih bagaimana caranya bupati, gubernur, bahkan seorang presiden,
mengembalikan dana kampanye yang telah dikeluarkan? Apalagi semua ini terjadi ketika hukum tak tegak
dengan benar. Inilah persoalan terbesar bangsa pada saat ini: sistem politik yang kita gunakan
sesungguhnya koruptif. Itu sebabnya perilaku korupsi tambah meluas saja.

Profesor Samuel P. Huntington, ahli ilmu politik dari Harvard University yang amat terkenal dengan teori
benturan antar-peradaban (clash of civilization) itu, sejak tahun 1989 telah mengeluarkan pendapat bahwa
demokratisasi berhubungan dengan kemakmuran. Di negeri dengan pendapatan rakyatnya rendah, sistem
demokrasi selalu terancam untuk kembali menjadi otoritarian. Kelemahan sistem itu terutama karena
sulitnya pengambilan keputusan dilakukan (Samuel P.Huntington, The Third Wave: Democratization in the
Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991).

Mengikuti thesis ini, berarti sistem demokrasi di Indonesia sebagai negara berpenghasilan rendah dengan
begitu banyak penduduknya hidup dalam kemiskinan, selalu terancam untuk kembali ke sistem otoritarian.
Berbagai kerusuhan yang terus terjadi di sekeliling kita sekarang mengakibatkan semakin banyak rakyat
yang kehilangan kepercayaan bahwa sistem demokrasi bisa menjadikan kita lebih makmur. Kenyataannya
Indonesia malah menjadi failed state.

Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy
Studies) Jakarta.

Sumber : http://hidayatullah.com/kolom/sudut-pandang/13614-republik-tawuran-bernama-
indonesia

Anda mungkin juga menyukai