Sumber: The Economic and Philosophic Manuscript dan The German Ideology1
1
yang mengatakan bahwa perubahan pemikiran dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain akan melahirkan perubahan yang
betul-betul nyata (material) dalam kehidupan manusia. Dalam Tesis XI
dari Theses on Feuerbach, ia meringkas penolakan ini dengan pernyataan:
“The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the
point, however, is to change it” (145).
Dengan ini sebenarnya Marx harus dihormati sebagai orang yang coba
mengembalikan sejarah manusia sebagai benar-benar sejarah ‘manusia’
bukan sejarah ide-ide bikinan manusia. Sejarah adalah sejarah jatuh-
bangun manusia untuk hidup dalam lingkungan material di mana ia hadir.
2
membuatnya bisa bertahan hidup di atas bumi ini. Dengan memproduksi
alat-alatnya untuk hidup, manusia bukan saja hendak bertahan hidup
tetapi lebih dari itu manusia sedang menampilkan suatu bentuk tertentu
dari kehidupan mereka masing-masing, “a definite mode of life on their
part” (150). Jadi, di satu pihak ia berbeda dari binatang di saat yang sama
oleh proses produksi ini, ia juga saling membedakan dirinya dari
sesamanya. Siapa dia, atau apa dia dapat dibedakan dari tindakanya
memproduksi dan mereproduksi alat-alat untuk bertahan hidup.
Dengan ini maka bagi Marx manusia dibedakan dari binatang bukan
karena manusia itu punya agama, punya kesadaran atau yang lainnya
melainkan karena manusia memproduksi sendiri alat-alatnya untuk
bertahan hidup. Dan dalam proses produksi itu manusia terikat erat
dengan tanah di atas mana ia berpijak.
Dengan dasar ini maka bagi Marx sejarah peradaban manusia pada
dasarnya adalah sejarah untuk memproduksi dan mereproduksi alat-alat
untuk bertahan hidup. Di mulai dari tingkat yang paling sederhana, yakni
keluarga, sampai ke tingkat yang sangat maju, yaitu negara, sejarah
peradaban manusia adalah sejarah untuk untuk bertahan hidup dengan
cara memproduksi dan mereproduksi alat-alat untuk bertahan hidup
dalam derajat yang cocok dengan kebutuhannya. Apa yang dikenal
sebagai masyarakat tribal, feodal bahkan modern pada prinsipnya adalah
bentuk-bentuk produksi dan reproduksi alat-alat untuk bertahan hidup.
3
Dengan dasar pemahaman sejarah manusia yang bisa dikatakan
ekonomis itu, Marx memahami soal pembagian kerja di antara manusia
tidak lebih sebagai usaha-usaha untuk memproduksi apa yang
dibutuhkannya untuk hidup. Pembagian kerja diawali oleh pemisahan kota
dari desa, dan kemudian berkembang dengan pemisahan sektor industri
dari sektor perdagangan. Selanjutnya, di dalam kedua cabang terakhir ini
berkembang lagi pembagian kerja lanjutan di antara individu-individu
yang saling bekerja sama dalam macam-macam jenis pekerjaan tertentu
(150).
Namun macam kepemilikan ini tidak persis sama dalam setiap tahapan
pembagian kerja. Marx mendaftar 3 macam bentuk kepemilikan yang
telah berkembang selama ini. Kepemilikan pertama adalah kepemilikan
suku (tribal ownership). Di sini, kepemilikan dalam artian pribadi belum
ada. Kepemilikan bersifat komunal – milik suku. Pembagian kerja yang
terjadi adalah perluasan saja dari pembagian kerja alami yang sudah ada
di dalam keluarga. Produksi masih dalam bentuk yang amat sederhana
berupa mengambil dan mengolah apa yang disediakan alam. Tahap yang
lebih maju adalah mengolah “a great mass of uncultivated stretches land”
(151).
4
:an abnormal form” yang harus tunduk kepada “communal ownership”
(151). Pembagian kerja juga sudah mulai berkembang. Sudah mulai ada
antagonisme di antara kota dan desa, yang dikemudian hari juga melebar
kepada antagonisme di antara negara-negara yang mendukung
kepentingan desa dan negara-negara yang mendukung kepentingan kota.
Di dalam kota juga sudah mulai ada antagonisme di antara industri dan
perdagangan maritim.
Dalam sistem feodal ini bentuk kepemilikan yang paling menonjol di desa
adalah kepemilikan para tuan tanah atas tanah dengan para serfs yang
terikat untuk bekerja mengolahnya; sementara di kota-kota bentuknya
adalah pekerjaan yang dimiliki oleh individu dengan kapital kecil yang
menentukan kerja para pencari kerja. Organisasi keduanya sama-sama
ditentukan oleh kondisi-kondisi produksi yang terbatas—pengelolaan
tanah skala kecil dengan cara primitif dan tipe industri kerajinan.
Pembagian kerja kecil saja pada masa kejayaan feodalisme, bahkan “no
division of importance took place” (153).
5
Di titik ini Marx kembali berkomentar bahwa sejarah peradaban manusia
pada hakikatnya adalah sejarah memproduksi dan mereproduksi alat-alat
yang menunjang kehidupannya. Produksi dan reproduksi terjadi dalam
suatu bentuk pembagian kerja yang terkait erat dengan pola kepemilikan
atas benda-benda atau barang-barang yang dibutuhkannya untuk hidup.
Pembagian kerja tidak lain adalah bentuk kepemilikan; karena itu
perubahan pembagian kerja juga melahirkan perubahan relasi manusia
satu sama lain dalam kerangka hubungan mereka masing-masing dengan
material, instrumen dan hasil kerja mereka.
6
Ia tidak seperti hewan yang berproduksi semata digerakkan oleh
kebutuhan. Manusia tetap berproduksi bahkan ketika ia tidak didorong
oleh kebutuhannya. Binatang berproduksi karena takluk kepada
kebutuhan fisik saat itu sementara manusia tidak. Bila binatang
memproduksi hal-hal yang sesuai dengan ukuran dan kebutuhan
spesiesnya, manusia tahu persis bagaimana memproduksi hal-hal yang
sesuai dengan semua spesies dan tahu bagaimana menerapkan di mana-
mana ukuran yang sama dari suatu objek (76).
Dari sini terang bahwa bagi Marx antara manusia dan pekerjaannya tidak
bisa dipisahkan. Apa yang dibuat tangan manusia atau yang diproduksi
oleh manusia lewat pekerjaannya seharusnya menjadi bagian yang sama
tidak terpisahkan dari dirinya. Pemisahan manusia dari produk kerjanya
dan menggantinya dengan suatu upah seperti yang dilakukan kapitalisme,
bagi Marx adalah penyangkalan fundamental dari hakikat manusia dan
kerjanya. Pemisahan manusia dari produk kerjanya dan untuk
mendapatkannya lagi ia harus membelinya, seperti yang berlaku dalam
sistem kapitalisme, bagi Marx adalah suatu bentuk pemerkosaan hakikat
spesies manusia. Upah—kalau istilah ini mau dipakai juga—yang
sebenarnya dari produk kerja manusia adalah produk itu sendiri, bukan
uang atau pengganti lainnya. Upah yang diterima dalam bentuk uang atau
dalam bentuk yang lain dari produk kerja itu sendiri, di mata Marx, adalah
upah yang mengasingkan orang. Sebab dengan itu “labour does not
appear as an end in itself but as servant of the wage” (79). Upah yang
demikian itu adalah konsekuensi langsung dari “estranged labour” (80).
7
Kerja yang mengasingkan ini pada hakikatnya adalah sesuatu yang tidak
lagi dipandang sebagai melekat dalam spesies manusia melainkan
sesuatu yang bersifat properti pribadi dan yang “concerned with
something external to man” (80). Kalau seharusnya lewat kerjanya
manusia membuat alam menjadi cocok, tepat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (appropriates nature, 81), kini aktivitas ini telah menjadi
pengasingan karena ia dilakukan untuk orang lain, dan produknya tunduk
kepada kekuasaan lain, diberikan untuk orang lain (81).
8
Kesadaran manusia berkembang dimulai dari tahap yang paling
sederhana sekali, yang disebut Marx sebagai “a purely animal
consciousness of nature” (158). Kesadaran ini muncul ketika hubungan
manusia dan alam berada pada tahap yang sama sekali terasingkan. Alam
tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang sama sekali “alien, all-
powerful and unassailable force” (158) dan hubungan manusia dengan
alam tidak lebih dari hubungan binatang-binatang liar dengan alam. Di
titik inilah, menurut Marx, agama manusia bermula, yakni sebagai respons
kekaguman manusia kepada keasingan, kekuatan dan kedahsyatan
kekuatan-kekuatan alam yang sama sekali tidak dikenalnya itu.
Dari sudut pandang inilah maka gagasan Marx tentang kesadaran palsu
harus dipahami. Kesadaran disebut palsu karena kesadaran terlepaskan
dari akar historis-material dari mana ia muncul dan berkembang.
Kesadaran menjadi palsu karena ia bukan timbul dari bawah, dari denyut
rill kehidupan manusia dengan dirinya, sesamanya dan alam
9
lingkungannya tetapi dipaksakan dari atas, dari luar dirinya sendiri, oleh
kekuatan sosial yang berada di luar dirinya. Manusia tidak lagi memahami
dirinya dari dalam situasi historis-materialnya. Manusia kini memahami
dirinya dari dalam suatu situasi ideal yang sama sekali tidak kena
mengena, malah kontradiktif, dengan situasi historis-materialnya setiap
hari.
10
tindakan kreativitas alami tetapi kerja telah menjadi sesuatu yang berada
di luar dirinya. Dengan bekerja ia bukannya sedang memenuhi hidup
spesiesnya tetapi kerja telah menjadi sebuah aktivitas yang meniadakan
dirinya. Ia baru merasa dirinya manusia lagi justru ketika tidak bekerja.
“The worker therefore only feels himself outside his work, and in his work
feels outside himself” (74). Dan hanya dalam aktivitas-aktivitas yang
bersifat kebinatangan seperti makan, minum, seks saja ia merasa bebas.
Ia terpisahkan dari dirinya lewat kerja dan telah berubah menjadi binatang
dalam suatu sistem yang rusak.
Di titik ini juga Marx bicara tentang keterasingan manusia dari alam.
Sebagai spesies yang hidup karena ditopang oleh “inorganic nature” dan
secara fisik “lives only on these products of nature, whether they appear
in the form of food, heating, clothes, a dwelling, or whatever it may be,”
manusia tidak bisa lain selain “must remain in continuous intercourse
[with nature] if he is not to die” (75). Tetapi bukan saja hidup fisik, hidup
spiritualnya juga terkait erat dengan alam. Hubungan yang harus terus
11
menerus dipertahankan ini dirusak oleh sistem kerja yang dilandasi oleh
pembagian kerja dan kepemilikan pribadi karena kini alam menjadi
semata-mata objek untuk dimanipulasi dan tidak lagi menjadi mitra
dengan mana manusia menemukan pemenuhan hidup spesiesnya. Alam
tidak lagi menjadi tempat manusia menemukan “his work and his reality”
(76).
Pada desa, masyarakat terbagi dalam 2 kelas, yakni para tuan tanah
(landlord) dan serfs. Pemilik utama kapital atau alat-alat produksi, yang
sebagian besar adalah tanah, adalah para tuan tanah. Mereka memiliki
tanah tersebut karena hak turun-temurun. Para serfs adalah orang-orang
yang mengabdi kepada para tuan tanah untuk mengerjakan tana mereka
dan diberikan hak untuk mendapat bagian dari hasil tanah yang dikelola
itu. Hubungan yang tercipta di antara mereka bersifat paternal, di mana
tuan tanah bertindak selalu pater, bapak, yang melindungi dan
memelihara para serfs. Di pihak para serfs, mereka bertindak selaku orang
yang mengabdi kepada kepentingan para tuan tanah itu. Para tuan tanah
berada di atas sementara para serfs berada di bawah. Meski memahami
situasi pedesaan ini sebagai sama sekali tidak ideal namun dibanding
12
dengan mereka yang berada di kota-kota, dalam situasi industrial, Marx
masih melihat bahwa situasi para pekerja dalam ekonomi pedesaan ini
masih jauh lebih baik.
Pada masyarakat kota, Marx melihat terjadinya kelas harus dipahami dari
asal muasal terbentuknya kota. Kota terbentuk dari para serfs yang telah
merdeka dan masuk ke kota dengan sejumlah kapital yang ia bawa
bersamanya serta, yang terpenting, dengan keahlian kerja tertentu.
Selanjutnya, karena sebab-sebab sosial historis berupa kompetisi di antara
serfs yang kini menjadi warga kota itu, perang yang terus menerus di
antara kota dan desa, keharusan kota memiliki angkatan perang, ikatan
yang terbentuk di antara sesama pemilik keahlian kerja tertentu, ikatan
yang terbentuk untuk melawan para pedagang, kepentingan menjaga
rahasia keahlian kerja mereka dan mengorganisir diri berdasarkan
kesamaan asal-usul, memaksa para pekerja dari kerajinan tertentu untuk
bersatu dalam gilda-gilda.
Gilda-gilda ini kemudian menjadi institusi sosial yang demikian kuat yang
menentukan ke mana dan di mana pekerja harus masuk dan bekerja
supaya hidup. Para pekerja tidak bisa berbuat apa-apa melawannya. Di
pihak lain, para pemimpin gilda menjadi pihak yang amat berkuasa, yang
memaksa para pekerja untuk mengikuti kemauannya dan mengorganisir
mereka demi kepentingan mereka. Hubungan antara para pekerja dan
pemimpin gilda bersifat patriarkhal. Para pemimpin gilda memiliki
pengaruh besar pada keseluruhan hidup para pekerja lewat kuatnya
ikatan di antara mereka dengan tuan mereka sehingga menempatkan
mereka pada posisi yang berhadap-hadapan terhadap pekerja dari tuan
yang lain.
Para pekerja yang keahliannya tidak masuk dalam tipe kerajinan gilda
hanya bisa pasrah menjadi pekerja harian serabutan dan tidak pernah
berhasil mengorganisir diri ke dalam suatu gilda. Meski begitu tenaga
mereka tetap dibutuhkan. Kebutuhan ini melahirkan kelompok rakyat
jelata (rabble) yang tidak terorganisir, tidak punya power dan tidak saling
mengenal satu sama lain di dalam kota (177). Karena kota lahir sebagai
“asosiasi-asosiasi” yang muncul dari kebutuhan, dari kebutuhan untuk
13
menyediakan proteksi atas milik pribadi, dari kebutuhan akan multiplikasi
alat-alat produksi dan dari perlindungan khusus atas anggota-anggota
tertentu dari masyarakat maka rakyat jelata yang tidak masuk dalam
asosiasi-asosiasi tertentu dalam kota ini harus diawasi --- karena
dipandang berbahaya.
2
Ini adalah penghuni burgh. Burgh pada masa itu dipahami sebagai kota berbenteng. Para penghuninya
adalah orang yang bersepakat untuk berperilaku baik satu sama lain dan apabila ditemukan adanya
pelanggaran dari kesepakatan itu mereka diharuskan untuk memberi sanksi kepada pelanggar tersebut.
Lihat Noah Webster’s 1828 Dictionary of American English, untuk lema borough dalam e-
Sword®Version 9.5.1. Copyright©2000-2009 Rick Meyers.
14
Individu-individu dalam masyarakat membentuk suatu kelas ketika
mereka melancarkan perjuangan yang sama melawan kelas lain. Kelas ini
perlahan-lahan mencapai bentuknya yang independen. Individu-individu
masuk ke dalam suatu kelas tertentu karena ditentukan oleh kondisi-
kondisi eksistensinya. Sekali mereka berada di suatu kelas posisinya
dalam kehidupan dan perkembangan pribadinya ditentukan oleh kelas itu
dan ditundukkan oleh kelas itu.
15
Di pihak lain, karena kekuatan produksi yang mengalienasi manusia itu
telah mencapai karakter universal maka upaya untuk membalikkannya
kepada ordenya yang benar harus universal pula. Di sini kaum proletar
perlu bersatu sebab hal itu akan membuat usahanya menjadi efektif
(192).
“Thus things have now come to such a pass, that the individuals must
appropriate the existing totality of productive forces, not only to achieve
self-activity, but, also, merely to safeguard their very existnce” (191).
“Capital is, therefore, the power to command labour, and its products”
(12).
3
Untuk The Economic and Philosophic Manuscripts dalam bagian ini saya harus mengacu kepada teks
dalam www.marxists.org karena Tucker tidak memuat penuh The First Manuscript. Bagian yang tidak
dimuat adalah Wage of Labour, Profit of Capital dan Rent of Land. Tucker hanya memuat Estranged
Labour saja.
16
Berikutnya kapital adalah apa yang memberikan pemiliknya keuntungan
atau pemasukan. Kapital bukan sekedar barang, benda atau surat-surat
berharga. Semua itu berpotensi menjadi kapital tetapi belum benar-benar
menjadi kapital. Ia baru berubah menjadi kapital bila ia memberikan suatu
keuntungan.
17
upah yang diterima buruh adalah “the increasing misery.” Dalam negara
yang sedang maju ekonominya, upaha buruh adalah “complicated
misery.” Sementara dalam negara yang mandeg pertumbuhan
ekonominya, upah tertinggi yang diterima kaum pekerja adalah “terminal
misery.” (3). Sementara bagi kaum kapitalis, dalam segala situasi ia hanya
berhadapan dengan pilihan: keuntungan berkurang atau keuntungan
bertambah atau bangkrut sama sekali. Yang hilang darinya hanyalah
kapitalnya. Tetapi bagi pekerja fisik, mental dan bahkan nyawanya sendiri
bisa turut hilang.
Lebih jauh lagi, kapitalisme, dalam pandangan Marx adalah suatu sistem
yang benar-benar mengalienasi manusia dari dirinya sendiri karena di
dalamnya pekerja tereduksi menjadi sekedar komoditas (1). Ia tidak
berbeda daripada barang yang dijajakan kepada para pembeli. Ia telah
benar-benar berhenti menjadi manusia. Dengan doktrin “the right to use
and abuse, freedom of exchange and unrestricted competition,” di
hadapan kapitalisme manusia “are nothing, the product everything” (21).
18
saling bermusuhan (5), di mana sang pemenang sudah tentu adalah kaum
kapitalis (4).
Sama seperti dulu pada zaman gilda di mana gilda-gilda itu menjadi
bengkel menghasilkan sesuatu, kini dalam era kapitalisme modern, gilda
telah menjadi bangsa. Bangsa kini menjadi “workshops for production,
and man is a machine for consuming and producing” (21).
Karena itu tidak heran kalau kapitalisme begitu nista di mata Marx.
Tentang Negara
Dalam bentuk yang dikenal dan dialaminya, negara dipahami Marx
sebagai perkembangan lebih lanjut dari komunitas setempat dalam mana
individu-individu dan keluarga-keluarga hidup. Sejak pembagian kerja dan
kepemilikan pribadi muncul dalam komunitas hidup manusia, orang sudah
diperhadapkan dengan kontradiksi di antara kepentingan individu-
individu, keluarga-keluarga dengan apa yang dikenal sebagai kepentingan
umum (the general interest). Segenap kontradiksi ini berakar di dalam
pembagian kerja yang berlaku di dalam komunitas. Isu kepentingan umum
diangkat sebagai upaya untuk membuat individu-individu yang berada
dalam divisi kerja yang berbeda untuk saling bergantung sama lain.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kepentingan umum kemudian
menjadi sesuatu yang terpisahkan dari akar historis-materialnya dan
menjadi prinsip abstrak yang membakukan dan membekukan aktivitas
sosial manusia. Kepentingan umum telah menjadi suatu prinsip yang
menjadikan pembagian kerja sebagai “an objective power above us,
growing out of our control, thwarting our expectations, bringing to naught
our calculations” (160).
19
luas sekali serta atas kelas-kelas yang timbul dari pembagian kerja yang
memisahkan manusia dan membuat yang satu mendominasi yang lain.
20
lebih mencerminkan kepentingan kelas yang berkuasa daripada
kepentingan semua orang. Hal yang sama berlaku pada keadilan.
Dipisahkan dari basis riilnya, keadilan direduksi menjadi “the actual laws”
(187) – hukum-hukum aktual dianggap sebagai keadilan itu sendiri.
Dengan menegaskan bahwa relasi kepemilikan yang ada saat ini sebagai
kemauan umum (the general will), hukum lebih mencerminkan
kepentingan kelas yang berkuasa akan keamanan atas properti pribadi
mereka daripada kemauan yang sesungguhnya dari orang banyak.
Tentang Komunisme
Komunisme adalah alternatif Marx untuk segala bentuk alienasi yang
dialami manusia di dalam sistem sosial kapitalisme. Dalam traktat Private
Property and Communism pada manuskrip ketiga, Marx menjelaskan
bahwa komunisme adalah upaya untuk mengembalikan manusia kepada
hakikat dirinya sebagai makhluk sosial, memulihkan manusia dengan
dirinya dan sesamanya dan juga dengan alam (5).4 Di dalam komunisme
penghapusan kepemilikan pribadi terjadi secara positif. Kepemilikan
pribadi tidak lagi menjadi rintangan bagi “the appropriation of human life”
(5). Keterasingan manusia yang disebabkan oleh modus produksi yang
diatur oleh agama, keluarga, negara, hukum, moralitas, dan lain
sebagainya, dalam komunisme tidak akan ada lagi. Manusia benar-benar
dipulihkan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial.
4
Teks ini bersumber dari teks di dalam www.marxists.org.
21
alam, dari pekerjaannya dan dari dirinya sendiri serta sesamanya.
Manusia demikian terlekatkan dengan sesamanya dan alam
lingkungannya sehingga bahkan di dalam pekerjaan di mana seseorang
hampir jarang sekali bersama orang lain, orang yang beraktivitas di situ
tetap aktif secara sosial sebab ia tidak lagi diatur oleh suatu keinginan
untuk mengumpulkan kekayaan pribadi atau mengejar kepemilikan
pribadi melainkan bekerja untuk orang lain. Ini dimungkinkan, menurut
Marx, karena dalam komunismenya orang memiliki kesadaran universal
akan dirinya “as social being” (6).5 Kesadaran ini menjadi mungkin karena
orang dibuat hidup di dalam “the real community” (6).6
Dalam pemahaman ini maka bagi Marx kepemilikan pribadi adalah suatu
kebodohan dan kesia-siaan. Sebab kepemilikan pribadi menjadikan
manusia sasaran untuk dirinya sendiri dan sekaligus menjadi objek yang
asing dan tidak manusiawi untuk manusia (7). Kepemilikan pribadi
membuat manusia tolol dan berat sebelah sebab ia membuat manusia
menyadari bahwa sesuatu objek adalah miliknya ketika ia memilikinya,
ketika ia ada untuk dirinya sebagai kapital, dan ketika ia memakainya. Ia
membodohi manusia dengan menggantikan indera fisik dan intelektual
manusia hanya dengan indera kepemilikan (7). Ia menjadi ada dan
menyadari keberadaan dirinya karena memiliki sesuatu bukan karena
terikat dalam suatu relasi sosial dengan orang lain, alam dan dirinya
sendiri.
22
nature” dan alam sendiri “has lost its mere utility in the sense that its use
has become human use” (7). Manusia dan alam benar-benar hidup dalam
keserasian yang sejati.
Lebih jauh Marx menjelaskan manusia sebagai makhluk sosial ini dalam
kategori objektif dan subjektif. Ia meringkasnya demikian: manusia tidak
akan berhenti menjadi manusia, tidak kehilangan dirinya sendiri bila objek
seorang manusia adalah objek atau sasaran seluruh umat manusia. Di sini
objek itu menjadi objek sosial dan dirinya sendiri menjadi makhluk sosial
untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, seorang manusia benar-benar
manusia bila ia memahami dirinya sebagai bagian dari orang lain dan
makhluk lain juga. Di dalam objek yang dilihatnya atau yang dengannya ia
berhubungan, manusia mendapati bahwa objek itu sebenarnya adalah
“objectification of himself, objects that confirm his individuality” (7). Objek
itu adalah dirinya juga. Kesadaran semacam ini hanya dicapai manusia,
bila indera-indera sensualnya dibukakan kepada seluruh kekayaan
alamiah manusia dan alam. Dengan keterbukaan kepada kekayaan ini
kekayaan subjektif manusia menjadi tercipta atau disuburkan. Dalam
keterbukaan ini manusia benar-benar dibuat menyadari bahwa ia adalah
bagian yang integral dari alam semesta ini dan karena itu pula bagian
integral dari sesamanya.7
7
Karena hal ini Marx sangat mendukung studi-studi ilmu kealaman. Karena ilmu ini membuat manusia
berhubungan kembali dengan alam dan mengembangkan kesadaran sensual serta kebutuhan sensualnya
(9). Dengam kembalinya manusia berhubungan dengan alam maka terbuka jalan lapang bagi
pemulihan kemanusiaan manusia yang telah direduksi selama ini oleh kepemilikan pribadi.
23
24