Anda di halaman 1dari 24

BEBERAPA KONSEP FUNDAMENTAL KARL MARX

Sumber: The Economic and Philosophic Manuscript dan The German Ideology1

Tentang Pendekatan Historis-Material


Untuk menguraikan gagasan-gagasan fundamental Marx, tidak bisa
dihindari orang harus mulai terlebih dulu dengan pendekatan yang dipakai
Marx untuk mengartikulasikan gagasan-gagasannya. Berbeda dari cara
pikir umum yang dipakai pada zamannya, suatu cara pikir yang dikritik
Marx berbau religius-teologis, yang mulai dari alam abstrak-idealis, Marx
mengambil jalan kontra dengan mulai dari bawah, dari denyut nyata
kehidupan material manusia. Dalam The Economic and Philosophic
Manuscripts, ia mendefinisikan metodologinya sebagai “a wholly empirical
analysis” (67). Artinya, Marx mengacu dari pengalaman empiris manusia.
Dalam The German Ideology ia lebih jauh jelaskan bahwa pendekatannya
sebagai pendekatan yang berkutat dengan “the real individuals, their
activity and the material conditions under which they live, both those
which they find already existing and those produced by their activity”
(149).

Marx menunjukkan ketidaksetujuannya yang kuat kepada cara berpikir


teologis-religius yang menguasai cara berpikir filsuf ekonomi, politik dan
lain-lain pada zamannya karena cara berpikir semacam ini, menurut Marx
tidak akan membawa revolusi atau perubahan apa-apa dalam kehidupan
riil manusia. Cara berpikir teologis-religius yang dipersoalkan Marx adalah
cara berpikir yang dimulai dari dogma-dogma yang sudah ajeg, yang
dipercaya sebagai diturunkan dari atas, “descends from heaven to earth”
(154), dan berusaha menginterpretasi apa yang terjadi di atas bumi dari
sudut pandang itu. Marx menyoal pendekatan ini karena di dalam
pemahamannya pendekatan ini sama sekali tidak memiliki sejarah dan
karena itu tidak memiliki perkembangan, “They have no history, no
development....” (155). Karena tidak punya sejarah dan tidak bergulat
dengan “men in the flesh....real, active men” (154) maka pendekatan ini
tidak punya kekuatan apapun untuk mengubah kehidupan manusia
menjadi lebih sejahtera dan berkeadilan. Marx menolak keras pendapat
1
Sumber yang dipakai adalah Robert C. Tucker, ed. The Marx-Engels Reader 2nd ed. (New York:
W.W. Norton & Company, 1978).

1
yang mengatakan bahwa perubahan pemikiran dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain akan melahirkan perubahan yang
betul-betul nyata (material) dalam kehidupan manusia. Dalam Tesis XI
dari Theses on Feuerbach, ia meringkas penolakan ini dengan pernyataan:
“The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the
point, however, is to change it” (145).

Manusia yang Hidup sebagai Titik Pangkal Refleksi Atas Sejarah.


Dengan metodologi atau pendekatan yang seperti di atas maka Marx
mulai dengan manusia dan kehidupan historis-materialnya sebagai
dasarnya berpikir. Ia bahkan tidak mau mulai dengan ide-ide tentang
manusia. Ia hanya ingin mulai dengan manusia yang hidup dan bergumul
untuk bertahan hidup setiap hari. Dalam bahasa Marx, titik tolak
berpikirnya adalah “The first premise of all human history is, of course,
the existence of living human individuals. Thus, the first fact to be
established is the physical organization of these individuals and their
consequent relations to the rest of nature” (149). Dua elemen penting
dalam titik tolak ini adalah kodrat alamiah fisik manusia secara aktual dan
kondisi alam dalam mana manusia hidup. Pemahaman yang tepat tentang
sejarah manusia, menurut Marx, harus berangkat dari semua basis
alamiah ini dan bagaimana itu dimodifikasi oleh perbuatan manusia (150).
Jadi, dengan kata lain, Marx hendak menjelaskan bahwa sejarah manusia
tidak bisa lagi ditulis dari perubahan ide-ide manusia tetapi harus
berpangkal tolak dari relasi manusia dengan lingkungan material di mana
ia hidup dan bagaimana ia melakukan sesuatu dengan alam material itu.

Dengan ini sebenarnya Marx harus dihormati sebagai orang yang coba
mengembalikan sejarah manusia sebagai benar-benar sejarah ‘manusia’
bukan sejarah ide-ide bikinan manusia. Sejarah adalah sejarah jatuh-
bangun manusia untuk hidup dalam lingkungan material di mana ia hadir.

Definisi Manusia dan Peradaban Manusia


Apa yang membuat manusia adalah manusia dan bukan hewan atau
tetumbuhan? Marx berpendapat bahwa manusia berbeda dari binatang
atau makhluk lainnya karena manusia memproduksi sendiri alat-alat untuk

2
membuatnya bisa bertahan hidup di atas bumi ini. Dengan memproduksi
alat-alatnya untuk hidup, manusia bukan saja hendak bertahan hidup
tetapi lebih dari itu manusia sedang menampilkan suatu bentuk tertentu
dari kehidupan mereka masing-masing, “a definite mode of life on their
part” (150). Jadi, di satu pihak ia berbeda dari binatang di saat yang sama
oleh proses produksi ini, ia juga saling membedakan dirinya dari
sesamanya. Siapa dia, atau apa dia dapat dibedakan dari tindakanya
memproduksi dan mereproduksi alat-alat untuk bertahan hidup.

Di pihak lain, Marx juga menekankan koneksi erat di antara manusia


dengan lingkungan material di mana ia hidup. Produksi dan reproduksi
alat-alat untuk bertahan hidup amat tergantung pada “the nature of the
actual means of subsistence they find in existence and have to
reproduce” (150). Mereka tidak bisa memproduksi dan mereproduksi alat-
alat tersebut terpisah dari lingkungan alam material yang tersedia bagi
mereka. Sejatinya, produk yang mereka buat “depends on the material
conditions” dalam mana mereka hidup (150).

Dengan ini maka bagi Marx manusia dibedakan dari binatang bukan
karena manusia itu punya agama, punya kesadaran atau yang lainnya
melainkan karena manusia memproduksi sendiri alat-alatnya untuk
bertahan hidup. Dan dalam proses produksi itu manusia terikat erat
dengan tanah di atas mana ia berpijak.

Dengan dasar ini maka bagi Marx sejarah peradaban manusia pada
dasarnya adalah sejarah untuk memproduksi dan mereproduksi alat-alat
untuk bertahan hidup. Di mulai dari tingkat yang paling sederhana, yakni
keluarga, sampai ke tingkat yang sangat maju, yaitu negara, sejarah
peradaban manusia adalah sejarah untuk untuk bertahan hidup dengan
cara memproduksi dan mereproduksi alat-alat untuk bertahan hidup
dalam derajat yang cocok dengan kebutuhannya. Apa yang dikenal
sebagai masyarakat tribal, feodal bahkan modern pada prinsipnya adalah
bentuk-bentuk produksi dan reproduksi alat-alat untuk bertahan hidup.

Tentang Pembagian Kerja dan Kepemilikan Pribadi

3
Dengan dasar pemahaman sejarah manusia yang bisa dikatakan
ekonomis itu, Marx memahami soal pembagian kerja di antara manusia
tidak lebih sebagai usaha-usaha untuk memproduksi apa yang
dibutuhkannya untuk hidup. Pembagian kerja diawali oleh pemisahan kota
dari desa, dan kemudian berkembang dengan pemisahan sektor industri
dari sektor perdagangan. Selanjutnya, di dalam kedua cabang terakhir ini
berkembang lagi pembagian kerja lanjutan di antara individu-individu
yang saling bekerja sama dalam macam-macam jenis pekerjaan tertentu
(150).

Marx memahami keseluruhan tahapan pembagian kerja ini sebagai


bentuk-bentuk yang berbeda dari kepemilikan pribadi. Hubungan yang
terjadi di antara individu yang satu dengan individu lain dalam suatu
bentuk pembagian kerja ditentukan oleh materi, instrumen dan produk
yang mereka hasilkan dari kerja mereka. Di sini diasumsikan bahwa yang
satu memiliki sesuatu yang dibutuhkan oleh yang lain demi memproduksi
sesuatu yang dibutuhkan.

Namun macam kepemilikan ini tidak persis sama dalam setiap tahapan
pembagian kerja. Marx mendaftar 3 macam bentuk kepemilikan yang
telah berkembang selama ini. Kepemilikan pertama adalah kepemilikan
suku (tribal ownership). Di sini, kepemilikan dalam artian pribadi belum
ada. Kepemilikan bersifat komunal – milik suku. Pembagian kerja yang
terjadi adalah perluasan saja dari pembagian kerja alami yang sudah ada
di dalam keluarga. Produksi masih dalam bentuk yang amat sederhana
berupa mengambil dan mengolah apa yang disediakan alam. Tahap yang
lebih maju adalah mengolah “a great mass of uncultivated stretches land”
(151).

Kepemilikan bentuk kedua adalah kepemilikan masyarakat dan Negara


kuno. Negara kuno adalah gabungan dari beberapa suku yang menjadi
sebuah pemerintahan, yang terjadi baik lewat perjanjian atu penaklukkan,
dan ditambah dengan perbudakan. Walau sudah mulai berkembang
kepemilikan pribadi baik atas benda-benda yang bisa dipindahkan
maupun atas benda-benda yang tak bisa dipindahkan, kepemilikan
komunal tetap yang utama. Kepemilikan pribadi masih dipandang sebagai

4
:an abnormal form” yang harus tunduk kepada “communal ownership”
(151). Pembagian kerja juga sudah mulai berkembang. Sudah mulai ada
antagonisme di antara kota dan desa, yang dikemudian hari juga melebar
kepada antagonisme di antara negara-negara yang mendukung
kepentingan desa dan negara-negara yang mendukung kepentingan kota.
Di dalam kota juga sudah mulai ada antagonisme di antara industri dan
perdagangan maritim.

Kepemilikan jenis ketiga adalah kepemilikan feodal (Feudal or Estate


Property). Di sini kepemilikan kembali didasarkan kepada sebuah
komunitas namun kelas yang memproduksi bukan budak-budak (slaves)
melainkan “the enserfed small peasantry” (153). Marx percaya bahwa
bentuk organisasi feodal bekerja untuk melawan “a subjected producing
class” (153). Tetapi bentuk asosiasi dan relasi di antara serfs dan
majikannya berbeda karena kondisi-kondisi produksi di mana mereka
berada. Di kota, sistem feodal mengambil bentuk “corporative property,
the feudal organisation of trades” (153). Di sini kepemilikan terutama
berada di dalam “the labour of each individual person” (153). Artinya,
kepemilikan atas sesuatu banyak ditentukan oleh apa yang bisa orang
buat dengan tangannya. Tetapi, kompetisi yang terjadi di antara para
serfs yang melarikan diri dan keharusan untuk melawan para bangsawan
menyebabkan di kota-kota muncul gilda-gilda dagang, yang oleh Marx
dipahami melahirkan suatu sistem yang meniru sistem feodal di
pedesaan, “... which brought into being in the towns a hierarchy similar to
that in the country” (153).

Dalam sistem feodal ini bentuk kepemilikan yang paling menonjol di desa
adalah kepemilikan para tuan tanah atas tanah dengan para serfs yang
terikat untuk bekerja mengolahnya; sementara di kota-kota bentuknya
adalah pekerjaan yang dimiliki oleh individu dengan kapital kecil yang
menentukan kerja para pencari kerja. Organisasi keduanya sama-sama
ditentukan oleh kondisi-kondisi produksi yang terbatas—pengelolaan
tanah skala kecil dengan cara primitif dan tipe industri kerajinan.
Pembagian kerja kecil saja pada masa kejayaan feodalisme, bahkan “no
division of importance took place” (153).

5
Di titik ini Marx kembali berkomentar bahwa sejarah peradaban manusia
pada hakikatnya adalah sejarah memproduksi dan mereproduksi alat-alat
yang menunjang kehidupannya. Produksi dan reproduksi terjadi dalam
suatu bentuk pembagian kerja yang terkait erat dengan pola kepemilikan
atas benda-benda atau barang-barang yang dibutuhkannya untuk hidup.
Pembagian kerja tidak lain adalah bentuk kepemilikan; karena itu
perubahan pembagian kerja juga melahirkan perubahan relasi manusia
satu sama lain dalam kerangka hubungan mereka masing-masing dengan
material, instrumen dan hasil kerja mereka.

Marx jelas menampilkan sentimen negatif terhadap pembagian kerja.


Dalam bagian yang lain dalam The German Ideology, pembagian kerja
tidak menyenangkan hati Marx sebab dari kepemilikan pribadi, pembagian
kerja melahirkan kontradiksi di antara kepentingan individu atau tiap
keluarga dengan kepentingan komunal dari semua individu. Hal ini terjadi
ketika pembagian kerja menyebabkan manusia terkurung dalam suatu
aktivitas kerja yang memaksa dirinya dan darinya ia tidak bisa lari keluar.
Pembagian kerja menyebabkan orang harus ada dalam “bagian” kerja
yang diperuntukkan baginya dan dengan itu berhentilah kreativitasnya
dan berhentilah kerja sebagai medium manusia mengapropriasi dunianya
dan sekaligus mengeksternalisasikan kekayaan dirinya sebagai manusia.

Tentang Kerja dan Upah Pekerjaan Manusia


Setia dan konsisten dengan prinsip historis-materialnya, Marx
menegaskan bahwa kerja adalah bagian integral dari menjadi manusia.
Manusia tidak bisa tidak bekerja. Manusia harus bekerja. Bekerjanya
manusia membuat manusia menjadi dirinya. Karena dengan bekerja
manusia berhubungan dengan alam lingkungannya lewat indera-
inderanya dan membuat sesuatu dari material yang tersedia di alam. Di
dalam bekerja manusia mengekspresikan siapa dirinya dan
mengeksternalisasikan dirinya. Dari apa yang dia kerjakan, manusia
mengekspresikan siapa dirinya yang sejati sebagai suatu spesies yang
berbeda dari hewan atau tetumbuhan. Di dalam bekerja manusia bukan
saja berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan pula
mengekspresikan hidup spesiesnya.

6
Ia tidak seperti hewan yang berproduksi semata digerakkan oleh
kebutuhan. Manusia tetap berproduksi bahkan ketika ia tidak didorong
oleh kebutuhannya. Binatang berproduksi karena takluk kepada
kebutuhan fisik saat itu sementara manusia tidak. Bila binatang
memproduksi hal-hal yang sesuai dengan ukuran dan kebutuhan
spesiesnya, manusia tahu persis bagaimana memproduksi hal-hal yang
sesuai dengan semua spesies dan tahu bagaimana menerapkan di mana-
mana ukuran yang sama dari suatu objek (76).

Dengan bekerja manusia menciptakan suatu dunia objektif yang berbeda


dari dirinya. Manusia dan produk kerjanya bisa dibedakan tetapi produk
kerja itu tampil di hadapan dirinya sebagai objektifikasi hidup spesies
manusia sebab di dalamnya nyata karakteristik manusia sebagai makhluk
yang bekerja mengapropriasi alam lingkungannya. Di dalam alam yang
sudah diapropriasinya inilah manusia merenungkan dirinya sendiri dan
menemukan siapa dirinya sebagai makhluk yang khas, unik, berbedari
makhluk-makhluk lainnya.

Dari sini terang bahwa bagi Marx antara manusia dan pekerjaannya tidak
bisa dipisahkan. Apa yang dibuat tangan manusia atau yang diproduksi
oleh manusia lewat pekerjaannya seharusnya menjadi bagian yang sama
tidak terpisahkan dari dirinya. Pemisahan manusia dari produk kerjanya
dan menggantinya dengan suatu upah seperti yang dilakukan kapitalisme,
bagi Marx adalah penyangkalan fundamental dari hakikat manusia dan
kerjanya. Pemisahan manusia dari produk kerjanya dan untuk
mendapatkannya lagi ia harus membelinya, seperti yang berlaku dalam
sistem kapitalisme, bagi Marx adalah suatu bentuk pemerkosaan hakikat
spesies manusia. Upah—kalau istilah ini mau dipakai juga—yang
sebenarnya dari produk kerja manusia adalah produk itu sendiri, bukan
uang atau pengganti lainnya. Upah yang diterima dalam bentuk uang atau
dalam bentuk yang lain dari produk kerja itu sendiri, di mata Marx, adalah
upah yang mengasingkan orang. Sebab dengan itu “labour does not
appear as an end in itself but as servant of the wage” (79). Upah yang
demikian itu adalah konsekuensi langsung dari “estranged labour” (80).

7
Kerja yang mengasingkan ini pada hakikatnya adalah sesuatu yang tidak
lagi dipandang sebagai melekat dalam spesies manusia melainkan
sesuatu yang bersifat properti pribadi dan yang “concerned with
something external to man” (80). Kalau seharusnya lewat kerjanya
manusia membuat alam menjadi cocok, tepat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (appropriates nature, 81), kini aktivitas ini telah menjadi
pengasingan karena ia dilakukan untuk orang lain, dan produknya tunduk
kepada kekuasaan lain, diberikan untuk orang lain (81).

Tentang Kesadaran dan Kesadaran Palsu


Mitra dialog Marx dalam membangun teorinya, yakni kelompok Hegelian
(baik Young Hegelians maupun Old Hegelians), berpendapat bahwa
kesadaran manusia (consciousness) akan dirinya merupakan hasil olah
pikir atau kontemplasi manusia. Manusia berpikir maka manusia
menyadari bahwa ia ada. Dalam tradisi semacam ini, berpikir menjadi
bagian yang penting dari hidup manusia. Dalam bahasa Descartes, filsuf
Pencerahan Eropa, berpikir adalah manusia itu sendiri – Cogito ergo sum,
“Aku berpikir maka aku ada!” Marx memahami pendekatan ini sebagai
pendekatan yang tidak memadai dan tidak tepat. Sebab pendekatan
semacam ini menarik manusia ke dalam alam abstrak dan mereduksinya
menjadi kesadaran yang tidak material, tidak berwujud, tidak berbentuk.

Marx membalik tesis itu dengan berpendapat bahwa kesadaran manusia


adalah produk sosial (158). Kesadaran bukan turun dari atas, dari suatu
alam abstrak, tetapi muncul sebagai hasil interaksi manusia dengan “the
immediate sensuous environment” dalam mana ia berada , dengan “other
persons” dan dengan “things outside the individuals” (158). Dengan cara
ini Marx menolak dualisme materi dan roh yang diwarisi oleh filsafat Eropa
dari filsafat Yunani kuno. Marx tidak mau ikut-ikutan memisahkan spirit
dan matter, tapi menegaskan bahwa “From the start the ‘spirit’is afflicted
with the curse of being ‘burdened’with matter” (158). Karenanya, baik roh
maupun materi harus diperlakukan sebagai sebuah kesatuan di dalam
memahami dinamika hidup manusia. Hegelians dipahami Marx masih
condong kepada satu pihak – yakni roh – dan tidak memperlakukan
keduanya – materi dan roh -- sebagai satu kesatuan yang bulat!

8
Kesadaran manusia berkembang dimulai dari tahap yang paling
sederhana sekali, yang disebut Marx sebagai “a purely animal
consciousness of nature” (158). Kesadaran ini muncul ketika hubungan
manusia dan alam berada pada tahap yang sama sekali terasingkan. Alam
tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang sama sekali “alien, all-
powerful and unassailable force” (158) dan hubungan manusia dengan
alam tidak lebih dari hubungan binatang-binatang liar dengan alam. Di
titik inilah, menurut Marx, agama manusia bermula, yakni sebagai respons
kekaguman manusia kepada keasingan, kekuatan dan kedahsyatan
kekuatan-kekuatan alam yang sama sekali tidak dikenalnya itu.

Tahap berikutnya dari perkembang kesadaran manusia adalah ketika


manusia menyadari keharusan berasosiasi dengan orang lain. Kesadaran
di tahap ini dinamai Marx dengan istilah “herd consciousness” atau
“sheep-like or tribal consciousness” (158). Di sini kesadaran manusia
menempati posisi insting pada binatang. Instingnya adalah insting yang
disadarinya, bukan sama sekali tak diketahui-tak disadarinya.

Lewat proses produksi alat-alat untuk hidup yang semakin meningkat,


kebutuhan yang semakin berkembang, dan populasi manusia yang
semakin bertambah, kesadaran manusia terus berkembang dan meluas.
Pembagian kerja yang dilakukan dalam proses produksi ini pada akhirnya
membawa kesadaran kepada tingkat yang semakin tinggi.

Tingkat terakhir perkembangan kesadaran manusia terjadi ketika kerja


material dan mental dipisahkan. Di sinilah kesadaran mencapai suatu
tahap perkembangan di mana ia dibebaskan dari dunia dan kemudian
bergerak sendiri membentuk teori “murni,” teologi, filsafat, etika, dan lain-
lain. Kesadaran malah berdiri dalam kontradiksi terhadap dunia historis-
material dari mana ia dilahirkan (159).

Dari sudut pandang inilah maka gagasan Marx tentang kesadaran palsu
harus dipahami. Kesadaran disebut palsu karena kesadaran terlepaskan
dari akar historis-material dari mana ia muncul dan berkembang.
Kesadaran menjadi palsu karena ia bukan timbul dari bawah, dari denyut
rill kehidupan manusia dengan dirinya, sesamanya dan alam

9
lingkungannya tetapi dipaksakan dari atas, dari luar dirinya sendiri, oleh
kekuatan sosial yang berada di luar dirinya. Manusia tidak lagi memahami
dirinya dari dalam situasi historis-materialnya. Manusia kini memahami
dirinya dari dalam suatu situasi ideal yang sama sekali tidak kena
mengena, malah kontradiktif, dengan situasi historis-materialnya setiap
hari.

Tentang Keterasingan atau Alienasi


Dalam The Economic and Philosophic Manuscripts, khususnya dalam
traktat Estranged Labor, Marx banyak menguraikan pikirannya tentang
keterasingan. Keterasingan ini dipicu oleh sistem ekonomi yang
menjadikan kepemilikan pribadi sebagai asasnya. Telah jelas di atas
bahwa bagi Marx kepemilikan pribadi bersama dengan pembagian kerja
yang ekslusif adalah sesuatu yang disikapinya secara negatif. Ia negatif
bagi Marx karena dalam sistem ini masyarakat dibelah dua menjadi
pemilik dan tak bermilik. Dalam susunan masyarakat semacam ini pekerja
atau individu mengalami setidaknya 4 macam keterasingan.

Macam pertama adalah keterasingan pekerja dari produk pekerjaannya.


Produk kerjanya menjadi sesuatu yang terpisahkan dari dirinya, suatu
objek yang asing dan bahkan bermusuhan dengan dirinya. Pekerja
mengerahkan segenap hidupnya dan segenap tenaganya diinvestasikan
untuk menghasilkan produk tersebut. Namun buah kerjanya itu bukan lagi
miliknya tetapi milik orang lain – pemilik modal tentunya. Dengan cara ini
produk kerjanya bukan lagi menjadi medium ia mengenal dirinya
melainkan menjadi objek yang asing dari dirinya. Segala sesuatu yang ia
hasilkan dengan tangannya memberi kontribusi kepada dunia di luar
dirinya, dunia yang kini bukan lagi miliknya. Yang menyakitkan, semakin
banyak ia memproduksinya semakin jauh lagi ia terasingkan dari produk
yang dibuatnya dengan tangannya sendiri itu.

Macam kedua adalah keterasingan pekerja dari aktivitas produksi. Kerja


yang ia lakukan bukan lagi miliknya tetapi telah menjadi sebuah alat
untuk bertahan hidup, yang dipaksakan kepadanya oleh orang lain untuk
ia kerjakan. Letak keterasingannya di sini yaitu bahwa kerja bukan lagi
menjadi sebuah aktivitas spontan yang keluar dari dalam sebagai suatu

10
tindakan kreativitas alami tetapi kerja telah menjadi sesuatu yang berada
di luar dirinya. Dengan bekerja ia bukannya sedang memenuhi hidup
spesiesnya tetapi kerja telah menjadi sebuah aktivitas yang meniadakan
dirinya. Ia baru merasa dirinya manusia lagi justru ketika tidak bekerja.
“The worker therefore only feels himself outside his work, and in his work
feels outside himself” (74). Dan hanya dalam aktivitas-aktivitas yang
bersifat kebinatangan seperti makan, minum, seks saja ia merasa bebas.
Ia terpisahkan dari dirinya lewat kerja dan telah berubah menjadi binatang
dalam suatu sistem yang rusak.

Macam ketiga adalah keterasingan pekerja dari identitas


kemanusiaannya. Untuk identitas kemanusiaannya Marx memakai istilah
“species being” (75). Seperti jelas dalam The German Ideology, Marx
tegas bahwa manusia mendefinisikan dirinya sebagai berbeda dari
binatang dan berbeda dari satu sama lain lewat kerja (150). Dengan ini
hakikat identitas kemanusiaan digantung Marx pada aktivitas kerja. Di
dalam kerja manusia bertindak atas materi anorganik,
mentransformasinya untuk menciptakan apa saja yang menyusun
identitas dirinya sebagai manusia. Namun dalam sistem kepemilikan
pribadi dan pembagian kerja, pekerja diasingkan dari sumber hakiki
identitas dan tujuan spesiesnya ini. Kerja tidak lagi menjadi aktivitas yang
membuat orang mengenali dirinya dan dikenali sebagai mana adanya
dirinya. Kerja hanya menjadi sebuah alat untuk memuaskan kebutuhan
eksistensi fisik belaka. Di sini kerja bukan lagi menjadi medium manusia
“proves himself a conscious species being” dan “proves himself to be a
species being” (76) tetapi telah menjadi alat untuk mempertahankan
kelangsungan fisiknya belaka. Kerja sebagai yang memberi identitas dari
hidup spesiesnya telah turun derajatnya menjadi sekedar alat saja.

Di titik ini juga Marx bicara tentang keterasingan manusia dari alam.
Sebagai spesies yang hidup karena ditopang oleh “inorganic nature” dan
secara fisik “lives only on these products of nature, whether they appear
in the form of food, heating, clothes, a dwelling, or whatever it may be,”
manusia tidak bisa lain selain “must remain in continuous intercourse
[with nature] if he is not to die” (75). Tetapi bukan saja hidup fisik, hidup
spiritualnya juga terkait erat dengan alam. Hubungan yang harus terus

11
menerus dipertahankan ini dirusak oleh sistem kerja yang dilandasi oleh
pembagian kerja dan kepemilikan pribadi karena kini alam menjadi
semata-mata objek untuk dimanipulasi dan tidak lagi menjadi mitra
dengan mana manusia menemukan pemenuhan hidup spesiesnya. Alam
tidak lagi menjadi tempat manusia menemukan “his work and his reality”
(76).

Macam keempat adalah keterasingan manusia dari sesama manusia.


Karena produk kerjanya bukan lagi menjadi milik pekerja tetapi milik
orang lain, yaitu pemilik kapital, maka para pekerja memandang orang ini,
sang kapitalis ini, sebagai orang asing dan musuh. Hubungannya dengan
orang lain juga dipengaruhi dalam oleh ukuran-ukuran dan posisi-posisi
dirinya sebagai pekerja, orang yang tidak bermilik. Model hubungan yang
dialaminya dengan para pemilik kapital menjadi model yang
mempengaruhi hubungannya dengan sesamanya secara luas.

Tentang Kelas dan Pembebasan dari Kelas


Marx memahami kelas berawal pada pembagian kerja, kepemilikan
pribadi dan pemisahan kota dari desa. Kota dan desa mewakili suatu
masyarakat dengan sistem pembagian kerja dan kepemilikannya sendiri-
sendiri. Meski demikian, Marx pikiran Marx tetap sama bahwa keduanya
dibangun di atas suatu sistem yang melihat kerja sebagai private
property, sebagai milik pribadi (176).

Pada desa, masyarakat terbagi dalam 2 kelas, yakni para tuan tanah
(landlord) dan serfs. Pemilik utama kapital atau alat-alat produksi, yang
sebagian besar adalah tanah, adalah para tuan tanah. Mereka memiliki
tanah tersebut karena hak turun-temurun. Para serfs adalah orang-orang
yang mengabdi kepada para tuan tanah untuk mengerjakan tana mereka
dan diberikan hak untuk mendapat bagian dari hasil tanah yang dikelola
itu. Hubungan yang tercipta di antara mereka bersifat paternal, di mana
tuan tanah bertindak selalu pater, bapak, yang melindungi dan
memelihara para serfs. Di pihak para serfs, mereka bertindak selaku orang
yang mengabdi kepada kepentingan para tuan tanah itu. Para tuan tanah
berada di atas sementara para serfs berada di bawah. Meski memahami
situasi pedesaan ini sebagai sama sekali tidak ideal namun dibanding

12
dengan mereka yang berada di kota-kota, dalam situasi industrial, Marx
masih melihat bahwa situasi para pekerja dalam ekonomi pedesaan ini
masih jauh lebih baik.

Pada masyarakat kota, Marx melihat terjadinya kelas harus dipahami dari
asal muasal terbentuknya kota. Kota terbentuk dari para serfs yang telah
merdeka dan masuk ke kota dengan sejumlah kapital yang ia bawa
bersamanya serta, yang terpenting, dengan keahlian kerja tertentu.
Selanjutnya, karena sebab-sebab sosial historis berupa kompetisi di antara
serfs yang kini menjadi warga kota itu, perang yang terus menerus di
antara kota dan desa, keharusan kota memiliki angkatan perang, ikatan
yang terbentuk di antara sesama pemilik keahlian kerja tertentu, ikatan
yang terbentuk untuk melawan para pedagang, kepentingan menjaga
rahasia keahlian kerja mereka dan mengorganisir diri berdasarkan
kesamaan asal-usul, memaksa para pekerja dari kerajinan tertentu untuk
bersatu dalam gilda-gilda.

Gilda-gilda ini kemudian menjadi institusi sosial yang demikian kuat yang
menentukan ke mana dan di mana pekerja harus masuk dan bekerja
supaya hidup. Para pekerja tidak bisa berbuat apa-apa melawannya. Di
pihak lain, para pemimpin gilda menjadi pihak yang amat berkuasa, yang
memaksa para pekerja untuk mengikuti kemauannya dan mengorganisir
mereka demi kepentingan mereka. Hubungan antara para pekerja dan
pemimpin gilda bersifat patriarkhal. Para pemimpin gilda memiliki
pengaruh besar pada keseluruhan hidup para pekerja lewat kuatnya
ikatan di antara mereka dengan tuan mereka sehingga menempatkan
mereka pada posisi yang berhadap-hadapan terhadap pekerja dari tuan
yang lain.

Para pekerja yang keahliannya tidak masuk dalam tipe kerajinan gilda
hanya bisa pasrah menjadi pekerja harian serabutan dan tidak pernah
berhasil mengorganisir diri ke dalam suatu gilda. Meski begitu tenaga
mereka tetap dibutuhkan. Kebutuhan ini melahirkan kelompok rakyat
jelata (rabble) yang tidak terorganisir, tidak punya power dan tidak saling
mengenal satu sama lain di dalam kota (177). Karena kota lahir sebagai
“asosiasi-asosiasi” yang muncul dari kebutuhan, dari kebutuhan untuk

13
menyediakan proteksi atas milik pribadi, dari kebutuhan akan multiplikasi
alat-alat produksi dan dari perlindungan khusus atas anggota-anggota
tertentu dari masyarakat maka rakyat jelata yang tidak masuk dalam
asosiasi-asosiasi tertentu dalam kota ini harus diawasi --- karena
dipandang berbahaya.

Jadi di kota-kota awal ini telah muncul setidaknya 3 kelompok masyarakat


yang terpisah satu sama lain dan berbeda derajatnya: pemilik/pemimpin
gilda, para pekerja (journeymen, apprentices) dan rakyat jelata.

Setelah pembagian kerja di kota mengalami perkembangan dengan


terpisahkannya kerja produksi dari perdagangan, muncullah kelas baru
dalam masyarakat yang disebut kelas pedagang (merchant).

Lewat perdagangan, kota-kota mengalami transformasi. Tiap kota kini


lantas berfungsi layaknya gilda, yang fokus pada suatu produksi tertentu.
Perkembangan ini, ditambah oleh perjuangan yang sama melawan para
bangsawan pemilik tanah, membawa kota-kota kepada formasi baru yang
tidak lagi tersusun atas kelas-kelas lama dari gilda-gilda. Kelas baru
muncul dalam masyarakat, yakni kelas burghers.2 Kelas ini dibentuk dari
kesamaan nasib sebagai orang yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan
feodalisme dan visi untuk melawan feodalisme (179). Mereka ini dikenal
dengan nama kaum borjuis (the bourgeoisie).

Kelas borjuis perlahan-lahan berkembang dan terpecah-pecah ke dalam


pembagian kerja yang bermacam-macam. Namun pada akhirnya kelas
borjuis menyerap ke dalam dirinya kelas-kelas yang bermilik dan di saat
yang sama membentuk mayoritas rakyat tak bermilik dari periode
sebelumnya dan sebagian kecil dari kelas-kelas bermilik ke dalam kelas
baru yang disebut kelas proletar. Oleh mereka semua properti dari kelas
bermilik diubah menjadi “industrial or commercial capital” (179).

2
Ini adalah penghuni burgh. Burgh pada masa itu dipahami sebagai kota berbenteng. Para penghuninya
adalah orang yang bersepakat untuk berperilaku baik satu sama lain dan apabila ditemukan adanya
pelanggaran dari kesepakatan itu mereka diharuskan untuk memberi sanksi kepada pelanggar tersebut.
Lihat Noah Webster’s 1828 Dictionary of American English, untuk lema borough dalam e-
Sword®Version 9.5.1. Copyright©2000-2009 Rick Meyers.

14
Individu-individu dalam masyarakat membentuk suatu kelas ketika
mereka melancarkan perjuangan yang sama melawan kelas lain. Kelas ini
perlahan-lahan mencapai bentuknya yang independen. Individu-individu
masuk ke dalam suatu kelas tertentu karena ditentukan oleh kondisi-
kondisi eksistensinya. Sekali mereka berada di suatu kelas posisinya
dalam kehidupan dan perkembangan pribadinya ditentukan oleh kelas itu
dan ditundukkan oleh kelas itu.

Karenanya, kelas timbul, menurut Marx, dari pengalaman berada dalam


kondisi-kondisi, kontradiksi-kontradiksi dan kepentingan-kepentingan yang
sama. Ia menyebut ketiga hal itu sebagai “class conditions” (179).
Kesadaran bahwa diri adalah bagian dari suatu kelas muncul karena
ditempatkan dan diperlakukan demikian menurut suatu kelas oleh
masyarakat.

Di tingkat global, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan antar


negara, Marx melihat bahwa pola pembentukan gilda berulang kembali.
Pengambilan oper peran gilda oleh kota-kota kemudian berlanjut ke
tingkat antara bangsa dan negara. Seperti dulu pada masa gilda di mana
suatu gilda mengikat dirinya dalam suatu jenis ketrampilan atau kerajinan
begitu juga kota yang satu dengan kota yang lain setelah gilda berakhir
dan begitu pula antar negara yang satu dengan negara yang lain.

Bagaimana caranya masyarakat terlepas dari situasi masyarakat yang


terpisah-pisah oleh kelas ini? Marx berpendapat bahwa hal itu hanya
mungkin terjadi ketika kaum proletar berada dalam suatu situasi di mana
kekuatan-kekuatan produktif telah benar-benar terceraikan dari mereka
dan menjadi dunia tersendiri yang terpisah dari individu-individu. Kerja
bukan lagi menjadi sebuah aktivitas hidup; materi telah menjadi tujuan
dan kerja hanya sekedar alat saja untuk mencapai tujuan itu (193). Di sini
kekuatan produktif telah menjadi seperti layaknya individu-individu. Di
hadapan individu kekuatan-kekuatan produktif ini, kaum proletar akan
menyadari dirinya sebagai orang-orang yang telah dirampas dan dirampok
hidupnya. Dalam kesadaran inilah maka sesama kaum proletar yang
tadinya terpecah-belah dan bermusuhan ini akan masuk ke dalam
“relation with one another as individuals” (193).

15
Di pihak lain, karena kekuatan produksi yang mengalienasi manusia itu
telah mencapai karakter universal maka upaya untuk membalikkannya
kepada ordenya yang benar harus universal pula. Di sini kaum proletar
perlu bersatu sebab hal itu akan membuat usahanya menjadi efektif
(192).

Dari caranya membicarakannya, Marx tampaknya percaya bahwa saat di


mana ia menulis adalah saat yang tepat untuk melakukan perubahan atau
revolusi itu.

“Thus things have now come to such a pass, that the individuals must
appropriate the existing totality of productive forces, not only to achieve
self-activity, but, also, merely to safeguard their very existnce” (191).

Tentang Kapital dan Kapitalisme3


Kapital, menurut Marx, pertama-tama adalah timbunan kerja (stored-up
labour). Marx sampai pada definisi ini berangkat dari pembacaannya atas
pikiran Adam Smith. Dengan pengertian ini kapital memiliki kemampuan
untuk memerintahkan kerja dan produk-produk kerja. Dengan kapital
seorang kapitalis memiliki kuasa untuk memerintahkan orang
mengerjakan sesuatu dan menguasai hasil pekerjaan orang tersebut.
Dengan pengertian ini maka di dasar kapital adalam kuasa (power) atas
sesuatu atau seseorang.

“Capital is, therefore, the power to command labour, and its products”
(12).

Tetapi bukan saja memberi kuasa kepada pemiliknya, kapital pada


gilirannya, menurut Marx, malah menjadi demikian berkuasa sehingga
kaum kapitalis sendiripun diperintah atasnya.

3
Untuk The Economic and Philosophic Manuscripts dalam bagian ini saya harus mengacu kepada teks
dalam www.marxists.org karena Tucker tidak memuat penuh The First Manuscript. Bagian yang tidak
dimuat adalah Wage of Labour, Profit of Capital dan Rent of Land. Tucker hanya memuat Estranged
Labour saja.

16
Berikutnya kapital adalah apa yang memberikan pemiliknya keuntungan
atau pemasukan. Kapital bukan sekedar barang, benda atau surat-surat
berharga. Semua itu berpotensi menjadi kapital tetapi belum benar-benar
menjadi kapital. Ia baru berubah menjadi kapital bila ia memberikan suatu
keuntungan.

“Bonds, or stock, is any accumulation of the products of the soil or of


manufacture. Stock is only called capital when it yields its owner a
revenue or profit” (12).

Dimensi kapital inilah yang dibicarakan Marx sewaktu mengatakan bahwa


kapital pada gilirannya berkuasa atas kapitalis. Demi mengejar
keuntungan atau pemasukkan dari kapital yang diinvestasikannya para
pemilik modal “dipaksa” oleh logika keuntungan untuk tunduk kepada
aturan permainan kapital.

Marx membedakan 2 macam kapital. Pertama adalah fixed capital dan


kedua adalah circulating capital. Fixed capital adalah kapital yang dipakai
untuk memperbesar lahan, membeli mesin-mesin dan alat-alat yang
berguna serta barang-barang lain yang sejenis dengan itu (18).
Sedangkan circulating capital adalah kapital yang dipakai dalam
pembuatan dan pembelian barang yang akan dijual lagi demi memperoleh
keuntungan (18).

Bagaimana seseorang dapat memiliki kapital? Kapital diperoleh melalui


hukum positif, yang dibuat oleh lembaga-lembaga legislatif (11). Hukum
positif memberi jaminan dan perlindungan kepada seseorang untuk
memiliki dan memperbesar kapitalnya.

Kapitalisme adalah suatu sistem yang berbasis kepada pemanfaatan


kapital seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Marx lebih sering memakai
istilah political economy untuk menyebut sistem ini dalam tulisannya. Dan
sistem ini jelas berakar dalam pemikiran Adam Smith. Dalam sistem
semacam ini, sudah terang buat Marx bahwa upah yang diterima kaum
buruh hanya penderitaan saja. Ketika produktivitas negara sedang turun,

17
upah yang diterima buruh adalah “the increasing misery.” Dalam negara
yang sedang maju ekonominya, upaha buruh adalah “complicated
misery.” Sementara dalam negara yang mandeg pertumbuhan
ekonominya, upah tertinggi yang diterima kaum pekerja adalah “terminal
misery.” (3). Sementara bagi kaum kapitalis, dalam segala situasi ia hanya
berhadapan dengan pilihan: keuntungan berkurang atau keuntungan
bertambah atau bangkrut sama sekali. Yang hilang darinya hanyalah
kapitalnya. Tetapi bagi pekerja fisik, mental dan bahkan nyawanya sendiri
bisa turut hilang.

Demi mengejar keuntungan dan dengan kuasa yang dimilikinya,


kapitalisme memberi kekuasaan kepada kapitalis untuk mengatur upah
pekerjanya sesuai dengan besar keuntungan yang mau diperolehnya.
Sistem kapitalisme bikinan Adam Smith memberi hukum bahwa upah
normal untuk pekerja adalah “the lowest which is compatible with
common humanity” (1). Itu adalah jumlah yang cukup bagi seorang
pekerja untuk cukup kuat selama bekerja dan punya sedikit ekstra untuk
membiayai hidup keluarganya serta cukup untuk mencegah terhentinya
perlombaan tenaga kerja. Dengan ini kapitalisme memberi kekuasaan
kepada kapitalis untuk menguasai dan memperbudak para pekerjanya.

Lebih jauh lagi, kapitalisme, dalam pandangan Marx adalah suatu sistem
yang benar-benar mengalienasi manusia dari dirinya sendiri karena di
dalamnya pekerja tereduksi menjadi sekedar komoditas (1). Ia tidak
berbeda daripada barang yang dijajakan kepada para pembeli. Ia telah
benar-benar berhenti menjadi manusia. Dengan doktrin “the right to use
and abuse, freedom of exchange and unrestricted competition,” di
hadapan kapitalisme manusia “are nothing, the product everything” (21).

Dalam manuskrip kedua, Marx melanjutkan analisisnya tentang sikap acuh


tak acuh kapitalisme terhadap manusia. Karena sudah berubah menjadi
komoditas maka manusia bisa ditinggalkan kelaparan, tanpa upah, tanpa
kerja dan mati. Nilai dirinya tereduksi menjadi “how much interests it
brings in and how much it saves each year” (2). Dalam keseluruhan proses
kapitalisme, manusia ditinggalkan dalam situasi menang-kalah yang

18
saling bermusuhan (5), di mana sang pemenang sudah tentu adalah kaum
kapitalis (4).

Sama seperti dulu pada zaman gilda di mana gilda-gilda itu menjadi
bengkel menghasilkan sesuatu, kini dalam era kapitalisme modern, gilda
telah menjadi bangsa. Bangsa kini menjadi “workshops for production,
and man is a machine for consuming and producing” (21).

Karena itu tidak heran kalau kapitalisme begitu nista di mata Marx.

Tentang Negara
Dalam bentuk yang dikenal dan dialaminya, negara dipahami Marx
sebagai perkembangan lebih lanjut dari komunitas setempat dalam mana
individu-individu dan keluarga-keluarga hidup. Sejak pembagian kerja dan
kepemilikan pribadi muncul dalam komunitas hidup manusia, orang sudah
diperhadapkan dengan kontradiksi di antara kepentingan individu-
individu, keluarga-keluarga dengan apa yang dikenal sebagai kepentingan
umum (the general interest). Segenap kontradiksi ini berakar di dalam
pembagian kerja yang berlaku di dalam komunitas. Isu kepentingan umum
diangkat sebagai upaya untuk membuat individu-individu yang berada
dalam divisi kerja yang berbeda untuk saling bergantung sama lain.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kepentingan umum kemudian
menjadi sesuatu yang terpisahkan dari akar historis-materialnya dan
menjadi prinsip abstrak yang membakukan dan membekukan aktivitas
sosial manusia. Kepentingan umum telah menjadi suatu prinsip yang
menjadikan pembagian kerja sebagai “an objective power above us,
growing out of our control, thwarting our expectations, bringing to naught
our calculations” (160).

Pada negara, komunitas yang besar sekali, pertarungan dan kontradiksi di


antara kepentingan-kepentingan terus berlanjut, namun kini dalam skala
yang lebih luas. Namun kini situasinya menjadi lebih asing lagi karena
Negara ditempatkan sebagai suatu bentuk kehidupan bersama yang tidak
lagi bersentuhan dengan kepentingan riil individu dan komunitas. Di pihak
lain, seperti dulu pada komunitas, Negara tetap berdiri di atas ikatan-
ikatan keluarga dan konglomerasi suku yang riil namun dalam skala yang

19
luas sekali serta atas kelas-kelas yang timbul dari pembagian kerja yang
memisahkan manusia dan membuat yang satu mendominasi yang lain.

Dengan ini maka bagi Marx pergulatan di antara demokrasi, aristokrasi


dan monarkhi pada dasarnya adalah pergulatan di antara kelas-kelas
dalam masyarakat untuk menjadi yang berkuasa atas yang lain. Dalam
rangka mencapai kekuasaan, kelas-kelas itu berusaha sedemikian rupa
supaya kepentingan kelasnya menjadi representasi kepentingan umum.
Meski ini disebut kepentingan umum, lagi-lagi seperti kasus dalam
komunitas, Marx memahaminya sebagai ilusi karena pada dasarnya
individu-individu hanya mengejar kepentingannya sendiri saja.
Kepentingan umum yang dipaksakan kepada individu pada dasarnya
adalah kepentingan yang asing bagi individu tersebut. Perbedaan dan
kontradiksi di antara kepentingan pribadi dan komunal atau umum inilah
yang di mata Marx menuntut perlunya Negara, sebagai kekuatan sosial
yang memastikan individu-individu dan kepentingannya tidak bertabrakan
dengan kepentingan umum atau komunal (161). Negara dengan demikian
adalah lembaga sosial yang mengalienasi manusia dari dirinya,
memisahkan manusia dari kepentingan dan keinginannya sendiri.

Di bagian yang lain, Marx berpendapat bahwa dalam sistem kapitalisme


yang berbasis pada pembagian kerja dan kepemilikan pribadi, Negara
telah tersandera oleh para pemilik properti. Dengan hukum-hukumnya
Negara menjamin dan melindungi kepemilikan pribadi namun dengan cara
itu ia pun jatuh sepenuhnya ke dalam kelas pemilik kapital “through the
national debt, and its existence has become wholly dependent on the
commercial credit which the owners of property, the bourgeois, extend to
it, as reflected in the rise and fall of State funds on the stock exchange”
(187). Dengan ini negara telah menjadi bentuk organisasi sosial dalam
mana individu-individu dari kelas yang berkuasa menegaskan
kepentingan-kepentingan mereka.

Di sinilah, menurut Marx, muncul ilusi bahwa hukum dibangun di atas


kemauan (will) orang. Padahal yang sebenarnya terjadi hukum yang
dibuat telah diceraikan dari basis historis-materialnya, yakni kemauan
bebas tiap-tiap orang. Hukum yang dibuat di lembaga-lembaga legislasi

20
lebih mencerminkan kepentingan kelas yang berkuasa daripada
kepentingan semua orang. Hal yang sama berlaku pada keadilan.
Dipisahkan dari basis riilnya, keadilan direduksi menjadi “the actual laws”
(187) – hukum-hukum aktual dianggap sebagai keadilan itu sendiri.
Dengan menegaskan bahwa relasi kepemilikan yang ada saat ini sebagai
kemauan umum (the general will), hukum lebih mencerminkan
kepentingan kelas yang berkuasa akan keamanan atas properti pribadi
mereka daripada kemauan yang sesungguhnya dari orang banyak.

Tentang Komunisme
Komunisme adalah alternatif Marx untuk segala bentuk alienasi yang
dialami manusia di dalam sistem sosial kapitalisme. Dalam traktat Private
Property and Communism pada manuskrip ketiga, Marx menjelaskan
bahwa komunisme adalah upaya untuk mengembalikan manusia kepada
hakikat dirinya sebagai makhluk sosial, memulihkan manusia dengan
dirinya dan sesamanya dan juga dengan alam (5).4 Di dalam komunisme
penghapusan kepemilikan pribadi terjadi secara positif. Kepemilikan
pribadi tidak lagi menjadi rintangan bagi “the appropriation of human life”
(5). Keterasingan manusia yang disebabkan oleh modus produksi yang
diatur oleh agama, keluarga, negara, hukum, moralitas, dan lain
sebagainya, dalam komunisme tidak akan ada lagi. Manusia benar-benar
dipulihkan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial.

Di sini proses produksi tidak bukan untuk menghasilkan kapital atau


kepemilikan pribadi melainkan menghasilkan manusia, menghasilkan
dirinya dan sesamanya. Aktivitas individual manusia sekaligus menjadi
“his existence for other men, their existence and their existence for him”
(5). Aktivitas konsumsi dan produksi, dalam isi dan modus eksistensinya,
adalah “social acitivity and social consumption” (6), bukan lagi kegiatan
pribadi dan konsumsi pribadi. Di sini, masyarakat akan menjadi “the
perfected unity in essence of man with nature, the true resurrection of
nature, the realized naturalism of man and the realized humanism of
nature” (6). Dengan kata lain, dalam komunisme ini manusia benar-benar
menjadi manusia yang sesungguhnya, yang tidak lagi terasingkan dari

4
Teks ini bersumber dari teks di dalam www.marxists.org.

21
alam, dari pekerjaannya dan dari dirinya sendiri serta sesamanya.
Manusia demikian terlekatkan dengan sesamanya dan alam
lingkungannya sehingga bahkan di dalam pekerjaan di mana seseorang
hampir jarang sekali bersama orang lain, orang yang beraktivitas di situ
tetap aktif secara sosial sebab ia tidak lagi diatur oleh suatu keinginan
untuk mengumpulkan kekayaan pribadi atau mengejar kepemilikan
pribadi melainkan bekerja untuk orang lain. Ini dimungkinkan, menurut
Marx, karena dalam komunismenya orang memiliki kesadaran universal
akan dirinya “as social being” (6).5 Kesadaran ini menjadi mungkin karena
orang dibuat hidup di dalam “the real community” (6).6

Dalam pemahaman ini maka bagi Marx kepemilikan pribadi adalah suatu
kebodohan dan kesia-siaan. Sebab kepemilikan pribadi menjadikan
manusia sasaran untuk dirinya sendiri dan sekaligus menjadi objek yang
asing dan tidak manusiawi untuk manusia (7). Kepemilikan pribadi
membuat manusia tolol dan berat sebelah sebab ia membuat manusia
menyadari bahwa sesuatu objek adalah miliknya ketika ia memilikinya,
ketika ia ada untuk dirinya sebagai kapital, dan ketika ia memakainya. Ia
membodohi manusia dengan menggantikan indera fisik dan intelektual
manusia hanya dengan indera kepemilikan (7). Ia menjadi ada dan
menyadari keberadaan dirinya karena memiliki sesuatu bukan karena
terikat dalam suatu relasi sosial dengan orang lain, alam dan dirinya
sendiri.

Karena itu pembebasan manusia dari kepemilikan pribadi akan membuat


manusia terbebas dari kebodohan dan kesia-siaan ini. Pembebasan ini
akan membuat manusia kembali menjadi manusia “subjectively as well as
objectively” (7). Penglihatan manusia akan menjadi penglihatan yang
benar-benar manusiawi karena objek yang dilihatnya kini adalah objek
sosial, manusiawi, yang dibuat oleh manusia untuk manusia. Ia akan
berhubungan dengan sesuatu sebagaimana adanya itu, bukan lagi alat
untuk memuaskan keinginannya. Kebutuhan dan kerja “lost their egoistic
5
Dalam kesadaran ini maka menurut Marx menjadi tidak bisa lagi dilakukan tindakan mengabstraksi
masyarakat sebagai sebuah entitas yang terpisah dan berhadap-hadapan dengan individu. Seorang
individu adalah makhluk sosial. Ia adalah integral dari the species-life universal disebut manusia.
Kesadaran diri sebagai spesies manusia dengan manusia lain inilah yang membuatnya berpikir dan
bertindak bukan lagi untuk dirinya saja tetapi juga untuk orang lain dan bersama orang lain.
6
Kesadaran universal macam ini, menurut Marx, belum ada pada masa kini karena kesadaran universal
saat ini merupakan ”an abstraction from real life and as such in hostile opposition to it” (6).

22
nature” dan alam sendiri “has lost its mere utility in the sense that its use
has become human use” (7). Manusia dan alam benar-benar hidup dalam
keserasian yang sejati.

Lebih jauh Marx menjelaskan manusia sebagai makhluk sosial ini dalam
kategori objektif dan subjektif. Ia meringkasnya demikian: manusia tidak
akan berhenti menjadi manusia, tidak kehilangan dirinya sendiri bila objek
seorang manusia adalah objek atau sasaran seluruh umat manusia. Di sini
objek itu menjadi objek sosial dan dirinya sendiri menjadi makhluk sosial
untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, seorang manusia benar-benar
manusia bila ia memahami dirinya sebagai bagian dari orang lain dan
makhluk lain juga. Di dalam objek yang dilihatnya atau yang dengannya ia
berhubungan, manusia mendapati bahwa objek itu sebenarnya adalah
“objectification of himself, objects that confirm his individuality” (7). Objek
itu adalah dirinya juga. Kesadaran semacam ini hanya dicapai manusia,
bila indera-indera sensualnya dibukakan kepada seluruh kekayaan
alamiah manusia dan alam. Dengan keterbukaan kepada kekayaan ini
kekayaan subjektif manusia menjadi tercipta atau disuburkan. Dalam
keterbukaan ini manusia benar-benar dibuat menyadari bahwa ia adalah
bagian yang integral dari alam semesta ini dan karena itu pula bagian
integral dari sesamanya.7

7
Karena hal ini Marx sangat mendukung studi-studi ilmu kealaman. Karena ilmu ini membuat manusia
berhubungan kembali dengan alam dan mengembangkan kesadaran sensual serta kebutuhan sensualnya
(9). Dengam kembalinya manusia berhubungan dengan alam maka terbuka jalan lapang bagi
pemulihan kemanusiaan manusia yang telah direduksi selama ini oleh kepemilikan pribadi.

23
24

Anda mungkin juga menyukai