Negara Indonesia adalah negara yang besar, terdiri dari bermacam-macam suku, Agama, Ras dan antar golongan (SARA). Dengan jumlah penduduk yang besar, serta dijunjung oleh kekayaan alam yang melimpah adalah salah satu modal dasar pembangungan bangsa kedepan. Dalam melakukan pembangunan, tentunya ada strategi yang digunakan. Baik itu pembangungan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Itu semua bertujuan agar semua elemen masyarakat, tanpa memandang latar belakang dapat merasakan manfaat pembangunan. Bangsa indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang plural (majemuk), mereka berintegrasi atas dasar persamaan nasib dan demi tujuan yang sama pula. dari sekian banyaknya keragaman suku atau warna budaya, tentunya ada manfaat yang dapat kita ambil. Memang benar bahwa bangsa yang majemuk (plural) mempunyai kecenderungan terjadinya disintegrasi bangsa. Maka dari itu sedini mungkin kita menampakkan nilai-nilai Pancasila pada generasi bangsa, agar kedepannya dari kemajemukan ini tercapai integrasi yang kuat dan kokoh untuk menghadapi persaingan dengan bangsa lain. Salah satu bentuk pluralisme pada bangsa Indonesia adalah adanya bermacam-macam aliran ataupun kelompok. Seperti halnya kelompok Sikep (Samin) mereka adalah sekelompok orang yang sepaham dalam beragama, bermasyarakat dan lain sebagainya. Kultur Sikep didalam bermasyarakat ada yang tidak sama dengan kebanyakan masyarakat umum, tetapi ada pula perilaku atau tindakan yang sama dengan kebanyakan orang. Kelompok Sikep memang mempunyai beberapa ajaran tersendiri yang sampai saat ini masih digunakan oleh mereka. Seperti halnya dalam beragama. Didalam kartu Identitas mereka tidak tertera agama ataupun aliran kepercayaan, tetapi dalam kartu identitasnya hanya dikosongi pada bagian agama. Mereka tidak mau menulis agama mereka baik itu sikep atau samin. Mereka beranggapan bahwa agama itu tidak untuk ditulis, tetapi untuk diamalkan (tingkah laku sehari-hari) haruslah mencerminkan seorang yang beragama. Mereka beranggapan bahwa apalah arti agama jika dalam tingkah lakunya membuat kerusakan, angkara murka, menyakiti dan lain sebagainya. Di dalam pernikahan, orang samin tidak menggunakan pernikahan secara resmi menurut Hukum Negara. Para penganut paham sikep (Samin) dalam pernikahan cukup dengan ijab antara orangtua mempelai. Tetapi adapula yang menyatakan bahwa pernikahan bagi orang samin dianggap sah apabila calon pengantin wanita sudah hamil terlebih dahulu. Jadi tidak perlu pernikahan secara sah di Kantor Urusan Agama (KUA), tapi sama-sama ikhlas dan ridho terhadap mempelai berdua. Intinya pernikahan mereka didasari oleh rasa kasih sayang dan keikhlasan dari diri mempelai dan keluarga. Maka dianggap sah oleh golongan sikep, tata cara seperti ini. Begitu pula dengan upacara kematian, mereka menggunakan tatacara yang mereka miliki sendiri. Bagi jenazah tidak usah dikafani atau dimandikan, tetapi langsung dikuburkan begitu saja. Adat atau tatacara seperti ini sudah dimiliki oleh sekelompok sikep sejak dulu, dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika golongan sikep melakukan upacara atau ritual yang resmi menurutnya, mereka menggunakan baju khas mereka, warna hitam adalah warna khas bagi golongan sikep. Soal model baju untuk kaum wanita , bawah kain dan atasannya mirip kebaya Jawa. Warna hitam mendominasi busana khas wanita. Sedangkan untuk bajunya kaum laki-laki biasanya celana panjang, panjangnya dibawah lutut dan diatas mata kaki (biasanya disebut celana kagok). Bajunya mirip kinerja dan biasanya kepalanya memakai semacam balankon atau iket. Warna hitampun mendominasi pakaian tersebut. Hal yang lebih mengherankan adalah masalah pendidikan. Bagi orang sikep, Pendidikan formal (sekolah) tidaklah penting. Anak-anak yang samin tidak disekolahkan layaknya orang kebanyakan, tetapi mereka didik sendiri oleh tuanya masing-masing, walaupun keadaan ekonomi keluarganya cukup, merekapun tetap tidak disekolahkan. Mereka berpedoman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan generasi yang baik, santun dan tahu aturan. Walaupun itu tidak dapatkan di sekolahan tetapi mereka diajari oleh orang tuanya sendiri-sendiri. Tradisi seperti ini memang turun temurun dari dulu hingga sekarang. Ditinjau dari segi perekonomian yang dikembangkan oleh penganut Sikep (Samin) normatifnya adalah bertani. Jadi pada dasarnya sikap setiap orang samin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus haruslah dengan bertani. Adapun beberapa orang samin beranggapan bahwa dengan bertanimencerminkan kejujuran. Jika memang ingin menggeluti usaha lain, boleh asal jujur tidak bohong (kalau dalam istilah mereka tidak Tipon omongan atau jujur). Dalam hubungan bermasyarakat orang saminpun terkadang menggunakan kulturnya sendiri, tanpa memandang siapa yang diajak berinteraksi. Adanya sistem kekeluargaan yang kental antara penganut sikep yang dipimpin oleh seorang sesepuh (istilah lainnya kepala suku). Pemimpin kelompok samin ini adalah orang yang dituakan oleh masyarakat samin. Bila saja ada permasalahan yang sifatnya umum para penganut samin berusaha memecahkannya bersama-sama dan meminta pertimbangan sesepuh samin. Jika sesepuh samin sudah ridho atau menganjurkan maka para kerabat samin senantiasa menjalankan perintah tersebut dengan tanggung jawab. Pada dasarnya mereka (Samin) menyadari arti sebuah toleransi dalam bermasyarakat. Mereka tahu bahwa hubungan interaksi dengan keluarga tidaklah sama dengan masyarakat, sebab masyarakat beraneka ragam kepercayaannya. Begitu pula hubungan antara kelompok samin dengan pemerintah, tentunya tidak sama ketika mereka berinteraksi dengan sesama samin. Sebab pemerintah adalah lembaga resmi yang mempunyai peraturan dalam menjalankan tugasnya. Orang-orang sikep (Samin) pada dasarnya mempunyai semboyan atau ajaran hidup menurut cara pandang mereka sendiri. Religi (harus sesuai aturan)adalah salah satu ajaran yang dimiliki. Bahwa orang hidup haruslah taat pada aturan, tidak bertindak sesuai dengan keinginannanya sendiri. Normatif aturan yang dimiliki oleh kelompoknya haruslah benar-benar dijalankan, bukan sekedar untuk dibicarakan. Dalam setiap sikap (tindak-tanduk) haruslah mencerminkan orang yang mempunyai aturan. Lomo atau dermawan adalah salah satu upaya untuk memperetar tali silaturrahmi antar sesama. Ajaran seperti ini dimiliki dan dikembangkan oleh setiap orang samin. Jika seseorang bersifat lomo atau dermawan tentunya rasa dalam diri manusia akan sama. Mereka sekan-akan merasakan penderitaan orang lain. Sifat lomo ini cerminan dari kehidupan yang sederhana, yang melihat sesamanya, para kelompok samin terkesan sedrhana, baik dalam berbusana, ekonomi ataupun pendidikan. Salah satu ajaran samin yang ditekanan adalah jujur, baik dalam perbuatan, ucapan ataupun dalam hati atau pikiran. Mereka berasumsi bahwa dengan kejujuran semua persoalan akan lancar. Jujur adalah perhiasan yang akan diterapkan maka dampaknya adalah munculnya keadilan. Keadilan adalah buah dari buah dari kejujuran dan antara kejujuran dan keadilan pada dasarnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jikalau diamati dari itu semua pada dasarnya prinsip hidup orang sikep dengan orang lain sama. Itu semua dilakukan untuk mencari kedamaian dari masing- masing dan untuk lingkungan sekitarnya. Memang pada dasarnya manusia ada untuk berbuat baik dan indah.
Lokasi Komunitas Sikep (Samin)
Pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk (plural), jadi mereka bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang tidak sefaham. Sifat toleransi terhadap sesama pastinya dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Hal tersebut harus dimiliki untuk keserasian dalam berbangsa. Penulis sengaja mengambil lokasi di Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Meskipun penulis mengkhhususkan di wilayah tersebut, tidak menutup kemungkinan orang samin hidup menyebar di berbagai wilayah, hal tesebut disebabkan adanya mobilitas penduduk.
Timbulnya ajaran Sikep (Samin) di Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Kabupaten
Pati. Pada dasarnya timbulnya ajaran Sikep adalah sejak Jaman penjajahan. Ajaran Sikep tersebut tumbuh sebagai bentuk perlawanan kultural yang dilakukan rakyat. Salah satu bentuk perlawanan tersebut adalah tidak mau membayar pajak, memboikot lahan-lahan jati, dilarangnya anak-anak mereka untuk tidak sekolah, berbusana yang tidak seperti penjajah dan lain sebagainya. Mungkin cara-cara tersebut yang bisa dilakukan oleh rakyat Samin, mereka tidak memperdulikan aturan yang ditetapkan penjajah. Sebisa mungkin mereka melawan, walaupun hanya dengan cara berpakaian. Seiring berjalannya waktu, bentuk perlawanan Sikep memberikan warna tersendiri bagi masyarakat luas. Paham Sikep inipun diterima oleh sebagian masyarakat yang lain, sehingga paham Sikep tersebut menyebar di beberapa daerah, termasuk di Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Pertumbuhanpun terjadi di wilayah Sukolilo, pusat komunitasnya di desa Baturejo tetapi ajarannya secara sporodis tumbuh di beberapa daerah sekitar Baturejo (Wilayah Sukolilo). Pertumbuhan itu bisa terjadi adanya hubungan persaudaraan atau pertemanan dengan warga sekitar. Bisa juga adanya gerak mobilitas keluar atau masuk dari golongan Samin ke daerah lain, seperti hubungan perkawinan, hubungan kerja dan lain sebagainya. Sampai sekarang ajaran Sikeppun terus berkembang, baik untuk mereka yang mempunyai keturunan Samin atau adanya kontak Sosial. Ajaran tersebut tidaklah dimasuki oleh masyarakat, sebab masyarakat menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik. Jadi setiap orang, golongan, suku, Agama boleh hidup dan berkembang di bumi Pertiwi, asalnya setiap individu sadar akan aturan yang mendasari berdirinya bangsa. Jikalau salah satu diantara kita ada yang melanggar kodifikasi undang- undang yang telah disahkan oleh badan yang berwenang, maka konsekuensinya akan diterima sesuai dengan pelanggarannya.
Sebab Samin Tumbuh di Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati
Seperti apa yang telah dikemukakan penulis di depan, bahwa ajaran Sikep timbul sebagai perlawanan kultural sekelompok rakyat. Seiring berjalannya waktu ada sebagian orang yang sudah merasa menyatu dengan paham tersebut, sehingga dalam kehidupan sehari-hari menggunakanan tradisi Sikep. Memang pada dasarnya setiap pandangan seseorang berbeda, ada yang memandang ajaran Sikep itu baik dan ada pula yang tidak cocok dengan ajaran tersebut. Terlepas dari cocok atau tidak sebuah ajaran, tentunya ajaran tersebut mempunyai ruang untuk mengembangkan diri. Bagi orang-orang Samin berpola hidup dengan kultur ajarannya adalah sebuah kewajiban, dan harus benar-benar dipegang teguh. Baik dalam kultur pendidikan, pakaian, perekonomian dan keyakinan. Kultur Sikep bagi penganutnya sangatlah kuat dalam cerminan kehidupan sehari-hari. Tentunya paham seperti ini tetap bertahan karena adanya hubungan emosional yang kuat antara penganut pahan Sikep. Mereka merasa bahwa kelompok Samin adalah satu keluarga, jadi mereka tidak boleh dipisah-pisahkan dalam hal kultur, Idealisme Samin bagi penganutnya sudah menyatu dalam dirinya. Dalam melakukan interaksi sosial kelompok sikep tetap menjaga pola kulturnya. Sehingga ajaran atau cara hidup samin dapat diketahuio oleh orang banyak. Sejalan dengan hal tersebut bahwa setiap manusia mempunyai pedoman yang berbeda, sehingga ada masyarakat lain yang menerima dan menjalankan kultur sikep tersebut. Dengan adanya kontak sosial tersebut ajaran samin bisa tetap eksis dan mendapat apresiasi dari beberapa orang. Bagi mereka yang apresiasi, tentunya secara tidak langsung menerima ajaran atau budaya sikep.
Siapakah Samin (Sikep) itu Sebenarnya
Salah satu tokoh Sikep adalah SuraSantika, ia mengangkat dirinya sebagai seorang pemimpin Prabu) golongan Sikep. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi rakyat kecil waktu itu, membuat ia tergerak untuk mempersatukan masyarakat. Dalam upayanya untuk mempersatukan masyarakat, tentunya mendapat hambatan dari penjajah yang merasa terancam dengan gerakan tersebut. Berbagai cara dilakukan oleh penjajah untuk memusnahkan gerakan tersebut. Merasa terancam para penganut Sinpun berusaha mempertahankan diri dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mobilitas (pindah ke daerah Lain yang dirasa aman). Salah satunya mereka pindah ke daerah Pti Selatan (Desa Baturejo, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati) untuk tinggal dan menetap disana. Pada masa itu Samin di terima oleh sebagian masyarakat, dengan bukti adanya kelompok Sikep Sampai saat ini. Seiring berjalannya waktu ajaran Sikep mulai berkemnbang di daerah Baturejo. Memang banyak penganut paham Sikep yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Dengan adanya hubungan darah atau kekeluargaan maka akan memperbanyak jumlah anggota Samin tersebut. Belum lagi orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah, tetapi ia simpati dan menggunakan kultur samin dalam kehidupannya. Sikep adalah nama golongan mereka, tetapi kebanyakan masyarakat awam menyebutnya Samin. Penyebutan Saminpun bukan tanpa alasan, mereka menyebut Samin sebab dalam tingkah lakunya terkesan nyamin atau kolot, dan kadang tingkah lakunya atau ucapannya tidak lazim digunakan kebanyakan masyarakat. Sebagai contoh jika kita bertanya nama pada orang samin maka ia akan menjawab Laki-laki (jika pria) dan wanita (jika perempuan). Bagi mereka nama adalah jenis kelamin, tetapi jika ditanya siapa aranmu (sebutanmu), baru mereka menjawab namanya. Kultur semacam itu yang dijadikan masyarakat menamaannya Samin. Pada dasarnya budaya atau tingkah laku seperti itu adalah paham dalam hidupnya. Jadi mereka mengejawantahkan ajaran-ajaran dalam kelompoknya meskipun kadang bertentangan dengan kebanyakan masyarakat. Sabagai bangsa yang plural tentunya kita harus menyadari akan keragaman budaya bangsa, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya.
Langkah Yang Diambil Jika Melihat Keadaan Seperti Itu
Dalam urusan agama tidak dibenarkan memaksakan keyakinan pada salah satu pihak. Bagi setiap orang mempunyai kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Sebab keyakinan adalah hak asasi bagi setiap orang. Tetapi dalam menjalankan keyakinan tersebut tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas dan tidak mencampuri salah satu agama tentunya ada toleransi untuk itu. Sikap toleransi haruslah ditanamkan pada setiap elemen bangsa agar tidak terjadi perpecahan dalam masyarakat. Sebab bangsa yang pluralistik mempunyai kecenderungan untuk terjadinya disintegrasi bangsa. Hormat-menghormati haruslah diupayakan bagi setiap orang agar terciptanya keserasian hidup. Perbedaan yang ada dalam masyarakat adalah kekayaan bangsa. Pluralistik dalam masyarakat mempunyai kecenderungan terjadinya ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG dalam teori Tanas) dari sektor in (dalam). Sangat tepat jika saling menghormati (toleransi) antar masyarakat dikembangkan. Aturan yang dibuat oleh negara haruslah ditaati oleh semua elemen masyarakat, agar dalam menjalani hidup tidak terjadi gesekan antar masyarakat. Aturan yang dibuat negara pada dasarnya sudah mengakomodir semua elemen, tidak diskriminatif terhadap salah satu pihak. Tetapi perilaku yang menyimpang dari masyarakat terkadang menimbulkan gangguan (ketidakserasian) antar warga. Jadi kesadaran dari semua individu sangatlah dibutuhkan untuk menjaga ketertiban bermasyarakat. Walaupun orang lain tidak sepaham dengan kita, tetapi setidaknya kita harus saling menghormati. Pada dasarnya pluralistik yang ada pada bangsa Indonesia haruslah diintegrasikan menjdi satu kesatuan yang kuat dan kokoh. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai keragaman SARA (suku, Agama, ras dan antar golongan). Jika persatuan bangsa Indonesia di dasari oleh salah satu keyakinan maka dirasa kuranglah tepat. Jadi perlu kesadaran, toleransi, tenggangrasa dari semua warga, baik dari kalangan mayoritas kepada golongan minorotas. Dengan keadaan tersebut tentunya kerukunan warga dapat tercapai.
PENUTUP
Oleh karenanya upaya untuk menjaga keharmonisan serta kerukunan
didalam masyarakat harus kita tanamkan pada setiap individu. Sehingga kedepannya setiap orang mempunyai rasa tanggung jawab atas segala kondisi di sekelilingnya untuk menjaganya dari ancaman perpecahan. Upaya pengenalan terhadap kemajemukan bangsa haruslah ditanamkan sejak dini. Baik itu di dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau dalam lingkungan pergaulan. Upaya semacam ini tentunya mendukung sekali terbentuknya jiwa yang besar, yang mengakui sebuah perbedaan dalam kehidupan. Disamping upaya tersebut, tentunya upaya secara formalpun harus ditingkatkan. Baik itu didalam dunia pendidikanatau pesan pemerintah yang disampaikan melalui media massa. Setiap kultur bangsa pada dasarnya adalah kekayaan budaya bangsa. Melihat kondisi seperti ini sudah sepatutnya kita menjaga setiap elemen bangsa dari provokasi oknum yang dapat menyebabkan perpecahan. Sudah seharusnya kita kembali kepada semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika (walaupun berbeda tetapi tetap satu) demi keutuhan dan kemajuan bangsa.