Anda di halaman 1dari 32

BAB II

ISI

A. Tinjauan Pustaka
1. Sejarah
Penyakit Tetanus dikenal orang-orang kuno, yang berhubungan
antara luka-luka dan kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur
Nicolaier mengisolasi strychnine-seperti toksin tetanus dari alam bebas,
bakteri anaerobik tanah. Etiologi penyakit ini dijelaskan lebih lanjut
pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang
menunjukkan transmissibility tetanus untuk pertama kalinya. Mereka
memproduksi tetanus dari kelinci dengan menyuntikkan ke saraf skiatik
mereka, dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal pada
tahun yang sama. Pada tahun 1889, C.tetani ini terisolasi dari korban
manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudian menunjukkan
bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntikkan ke
binatang, dan toksin bisa dinetralkan oleh antibodi spesifik. Pada tahun
1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa antitoksin tetanus
disebabkan kekebalan pasif pada manusia, dan dapat digunakan untuk
profilaksis dan pengobatan. Toksoid tetanus vaksin ini dikembangkan
oleh P. Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk
mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama
Perang Dunia II (6).

2. Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan
spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani (2).

4
5

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Pada tahun
1890, ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung
bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan
pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk
kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum )
(2).

3. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium
tetani. Bakteri ini bersifat anaerob murni serta mudah dikenal karena
pembentukan spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel
menyerupai tongkat pemukul genderang atau raket squash. Spora
bakteri ini dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, anjing da n
kucing juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi
dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan
bahkan beberapa tahun bila tidak kena sinar matahari. Spira ini terdapat
di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 0C,
danbahkan pada otoklaf 1200C selama 15-20 menit. Jika ia menginfeksi
luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain,
ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin
yang bernama tetanospasmin. Pada negara belum berkembang, tetanus
sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat
sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum (3,7) .

.
6

Gambar 2.1 Bakteri Clostridium tetani

4. Patogenesis
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,
bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara (7):
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara
menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin
oleh cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous
System (ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,
periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine
dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia
mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan
neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak (7).
7

Gambar 2.2 Penyakit Tetanus

5. Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau
lebih lama 3 atau beberapa minggu ). Ada tiga bentuk tetanus yang
dikenal secara klinis, yakni (2) :
a. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang
persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis,
dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal.
Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap (2).
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik
tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin (2).
b. Cephalic Tetanus
8

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.


Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media
kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan
kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung (2).
c. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena
gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama
yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-
otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot
muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 400C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan
darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya
meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis (2).
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus
Kharekteristik dari tetanus (2,7):
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama
5 -7 hari.
b. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
c. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
d. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.
e. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme Otot masetter.
f. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity)
9

g. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis


tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat .
h. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
i. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
j. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna
vertebralis (pada anak) (2,7).

6. Diagnosis
Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada
seseorang yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis bisa
dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka (8).
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien
sewaktu istirahat, berupa :
1.Gejala klinik : kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus
(sardonic smile).
2.Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria (7).

7. Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasm,
kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa
pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi
lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal
failure (7).
10

8. Penatalaksanaan
Penderita tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia
harus selalu dalam pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk
lakukanlah hal-hal tersebut di bawah ini. Selanjutnya bila anak yang
menderita tetanus selesai dirawat, berikan tetanus toksoid 3 kali dengan
jarak waktu 1 bulan (8).
Pertahankan jalan napas dan jaga keseimbangan cairan. Segera
berikan human tetanus immunoglobulin 5000 IU I.M untuk
menawarkan racun yang belum bersenyawa dengan otot. Bila yang ada
hanya ATS suntikkan I.M atau I.V 20.000 – 40.000 IU/hari selama 3
hari atau 20.000 IU/hari untuk anak-anak selama 2 hari. Berikan
penisilin prokain 2 juta IU I.M pada orang dewasa atau 50.000
IU/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. Berikan
diazepam untuk mengendalikan kejang dengan titrasi dosis:5 – 10 mg
I.V untuk anak dan 40 – 120 mg/hari untuk dewasa (8).
Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan
membersihkannya dengan H202 3%. Port d’entre lain seperti OMSK
atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu. Untuk menetralisir
racun diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik tetrasiklin dan
penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih lanjut.
Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita,
mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot. Penderita biasanya
dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang (8).

9. Pencegahan
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap
serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak
pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita
setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak
sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin (karena
11

tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,


walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak
dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan
kekebalan) (2).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal
ini diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin
organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic
quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada
serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan
dijumpai atau adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang
karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada
beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk
pertama kali (2).
Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang
semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi
tidak lengkap atau tidak terlaksana dengan baik (2).
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus
toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya
tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif
(DPT atau DT ) (2).
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus
serta masih tingginya angka kematian (30-60%), tindakan pencegahan
merupakan usaha yang sangat penting dalam upaya menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan
pasif (3).
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus
dengan tujuan merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat
imunisasi aktif ini sudah sangat banyak dibuktikan. Imunisasi pasif
12

diperoleh dengan memberikanserum yang sudah mengandung


antitoksin heterolog (ATS) atau antitosin homolog (immunoglobulin
antitetanus). Berdasarkan riwayatimunitas dan jenis luka, baru
ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada keraguan
untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena
ditakutkan terjadinya netralisasi toksoid oleh ATS. Ini dapat dicegah
dengan memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikkan yang
berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri (3).

B. Langkah Perencanaan dan Evaluasi Program Penidikan Kesehatan


Masyarakat
1. Mengenal dan Menetapkan Masalah
a. Data umum :
1) Geografi
Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai luas wilayah
sekitar 38.822,62 km2. Terletak diantara 1140 sampai 1160 Bujur
Timur dan 10 sampai 40 Lintang Selatan. Bagian barat merupakan
rawa pasang surut (200.000 Ha), rawa monoton (500.000 Ha) dan
rawa banjir (100.000 Ha). Di wilayah barat ini banyak tumbuh
hutan rawa. Sedangkan di bagian timur merupakan daerah
berbukit dan bergunung yang didominasi oleh hutan primer, hutan
skunder dan padang ilalang. Jika dilihat dari persentasenya maka
Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh daratan yang
melingkupi 33,89% wilayah serta pengunungan seluas 33,56%
(9).
Provinsi Kalimantan Selatan berbatasan dengan Provinsi
Kalimantan Timur di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan,
sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan sebelah
timur dengan Selat Makasar (9).
Secara administratif pemerintahan terbagi menjadi tiga
belas Kabupaten/Kota yang terdiri dari 2 (dua) Kota dan 11
13

(sebelas) Kabupaten. Pembangunan yang dilaksanakan di


Provinsi Kalimantan Selatan dibagi menjadi 3 (tiga) sub wilayah
pembangunan, yaitu (9):
1. Sub wilayah pembangunan I (sub wilayah
pembangunan Kayu Tangi), berpusat di Banjarmasin yang
meliputi Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar dan Tanah Laut.
2. Sub wilayah pembangunan II (sub wilayah
pembangunan Banua Lima), berpusat di Kandangan yang
meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu
Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan dan
Tabalong.
3. Sub wilayah pembangunan III (Sub wilayah
pembangunan Tanah Bumbu), berpusat di Kotabaru yang meliputi
Kotabaru dan Tanah Bumbu.
Berdasarkan 6 kelas ketinggian menunjukan wilayah
Kalimantan Selatan sebagian besar berada pada kelas ketinggian
25-100 meter di atas permukaan laut yakni 31,29 % (9).
Tanah di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan sebagian
besar berupa hutan dengan rincian : hutan lebat 780.319 ha, hutan
belukar 377.774 ha, hutan rawa 90.060 ha, tanah berupa semak
alang-alang seluas 870.314 ha, untuk sawah 413.107 ha,
perkebunan 437.073 ha dan untuk perkampungan 57.903 ha (9).
Wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dialiri sungai
antara lain Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam
Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit,
Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, Sungai
Sampanahan dan lainnya yang umumnya berpangkal pada
pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat
Makasar (9).
14

2) Penduduk
Sesuai dengan data BPS Provinsi Kalimantan Selatan
(2006), jumlah peduduk Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun
2006 tercatat sebesar 3.307.565 jiwa dengan tingkat kepadatan 86
per km2 (Indonesia 115 km2) dan rata-rata jiwa per Rumah
Tangga sebanyak 4 jiwa. Kabupaten/ Kota yang memiliki
kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Banjarmasin, yakni
dengan kepadatan sebesar 8.371 km2. Kabupaten/Kota lain
dengan kepadatan penduduk relatif tinggi adalah Kota Banjarbaru
(423 km2), diikuti oleh Kabupaten Hulu Sungai Utara (225 km 2),
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (161 km2), Kabupaten Hulu
Sungai Selatan sebesar (114 km2), Kabupaten Banjar (99 km2)
dan Kabupaten Barito Kuala (88 km2). Dibanding dengan rata-
rata, terdapat 7 Kabupaten yang memiliki kepadatan di bawah
rata-rata. Kepadatan penduduk tertendah ada di Kabupaten
Kotabaru (28 km2) (9).
Tingkat kepadatan penduduk merupakan suatu indikasi
terhadap kemampuan suatu wilayah untuk menampung penduduk
serta sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan. Rata-
rata jiwa dalam satu Rumah Tangga di Propinsi Kalimantan
Selatan tahun 2006 sebesar 4 jiwa/ RT (9).
Komposisi penduduk Kalimantan Selatan menurut
kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk yang berusia
muda (0 – 14 tahun) sebesar 40,04 %, yang berusia produktif (15-
64 tahun) sebesar 66,10 %, dan yang berusia tua (>65 tahun)
sebesar 4,86%. Dengan demikian, maka Angka Beban
Tanggungan (Dependency Ratio) penduduk di Kalimanantan
Selatan pada tahun 2006 sebesar 51,30, dengan kisaran antara
43,90 (Kota Banjarbaru) dan 54,70 di Kabupten Banjar. Dilihat
dari jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang
dibandingkan penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar
15

1.662.969 (50,28 %) dan 1.644.596 (49,72 %) dengan ratio


sebesar 101,1. Ratio tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu sebesar
108,50, diikuti Kabupaten Kotabaru (107,8), Kabupaten Banjar
(105,4), Kota Banjarbaru (105,0), Kabupaten Tanah Laut (103,7),
Kabupaten Barito Kuala (102,4), dan Kabupaten Tabalong
sebesar 100,2. Kabupaten/ Kota lainya berada dibawah 100,00
yang berarti bahwa panduduk perempuan lebih banyak (9).
Komposisi penduduk Kalimantan Selatan tahun 2006
menurut kelompok umur dan jenis kelamin menunjukkan proporsi
penduduk terbesar berada pada kelompok umur 10-14 tahun,
diikuti penduduk kelompok umur 15–19 tahun dan kelompok
umur 20–24 tahun (9).
3) Pendidikan
Kemampuan membaca dan menulis merupakan
keterampilan minimum yang diperlukan oleh penduduk agar
dapat hidup sehat dan sejahtera yang tergambar dari angka melek
huruf penduduk umur 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan
menulis huruf latin dan huruf lainnya. Gambaran angka melek
huruf sebagai ukuran kemampuan menyerap informasi
masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006 adalah
sebesar 94,40 % dengan rincian laki-laki sebesar 96,70 % dan
perempuan 92,00 %. Dilihat dari sebaran menurut
Kabupaten/Kota, terlihat bahwa persentase angka melek huruf
tertinggi di Kota Banjarmasin (98,00 %), diikuti Kota Banjarbaru
(96,90 %) dan persentase terendah di Kabupaten Tanah Laut
(85,50 %) diikuti Kabupaten Balangan (90,30 %). Hal ini perlu
diperhatikan pada pembangunan kesehatan di Kabupaten Tanah
Laut dan Kabupaten Balangan, terutama dalam penyampaian
pesan-pesan tentang kesehatan. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia salah satunya bertitik tolak pada upaya pembangunan
bidang pendidikan (9).
16

Gambaran tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan


dapat menjadi indikator pembangunan bidang pendidikan.
Persentase tertinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh
penduduk laki-laki adalah 16,20 % (Tidak/Belum Tamat SD/MI)
diikuti Tamat SD sebesar 14,83 %, sedangkan penduduk yang
menamatkan pendidikan sampai dengan DI/ DIII dan Perguruan
Tinggi (PT) berkisar antara 1,32 % - 2,52 %. Persentase
penduduk laki-laki yang Tidak/ Belum Pernah Sekolah sebesar
2,65 %. Gambaran tingkat pendidikan tertinggi penduduk
perempuan adalah sebagai berikut : Tidak/ Belum Pernah Sekolah
sebesar 1,88 %, Tidak/Belum Tamat SD sebesar 16,11 %,
SLTP/MTs sebesar 9,22 %, SLTA/ MA sebesar 10,19 %, dan
DI/DIII sampai PT berkisar antara 1,35 % - 1,82 % (9).
4) Ekonomi
Indikator yang digunakan untuk mengukur kondisi
perekonomian Kalimantan Selatan adalah Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Bardasarkan data BPS Kalimantan
Selatan, PDRB Kalimantan Selatan menurut usaha atas dasar
harga berlaku (AHDB) dengan migas selama kurun waktu 5 tahun
terakhir adalah sebesar Rp.19.229,- miliar rupiah (2001),
Rp.21.155 miliar rupiah (2002), Rp.23.374 miliar rupiah (2003),
Rp.25.792 miliar rupiah (2004), dan Rp.29.067 miliar rupiah pada
tahun 2005. Sedangkan PDRB per kapita Kalimantan Selatan
selama kurun waktu 5 tahun terakhir adalah sebesar
Rp.5.170.169,- (2001), Rp.5.753.756 (2002), Rp.6.324.113
(2003), Rp.6.785.128 (2004), dan Rp.7.324.451 pada tahun 2005
dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 2003 dengan
migas sebesar 4,40 % dan 4,91 % pada tahun 2004 (9).
17

b. Data kesehatan :
1) Angka kesakitan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota serta dari sarana pelayanan kesehatan (fasility
based data) yang diperoleh melalui sistem pencatatan dan
pelaporan diperoleh gambaran atau pola 10 penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan di puskesmas tahun 2005 seperti disajikan
pada tabel berikut (9):
Tabel 2.1 10 Penyakit Terbanyak pada Pasien Rawat Jalan di
Puskesmas Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006

Sumber : profil kesehatan Kalsel tahun 2006


a) Penyakit Malaria
Penyakit malaria masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat di Kalimantan Selatan, namun sejak
tahun 2002 mengalami kecenderungan penurunan. Kasus
tertinggi di Kabupaten tabalong (2.873), diikuti Kabupaten
18

Tanah Laut (1.180), Kabupaten Tanah Bumbu (1.158) dan


Kabupaten Kotabaru (1.052). Dari angka klinis malaria ini
dijumpai fenomena yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni
ditemukannya kasus malaria klinis di Kota Banjarbaru
dengan jumlah yang cukup banyak sebanyak 560 kasus
dengan positif 87 slide. Jumlah ini melebihi angka malaria
klinis di Kabupaten Banjar (529 kasus dengan positif 89
slide).Dibanding dengan AMI nasional, angka kesakitan
malaria di Propinsi Kalimantan Selatan relatif lebih kecil.
AMI Kalimantan Selatan pada tahun 2004 lebih kecil
dibanding Propinsi Kalimantan Barat (26,3 per 1.000
penduduk) dan Propinsi Kalimantan Tengah sebesar 7,78 per
1.000 penduduk (9).
b) Penyakit DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan penyakit yang selalu diwaspadai di Propinsi
Kalimantan Selatan. Dari tahun ke tahun wilayah
penyebarannya semakin meluas. Pola musiman seiring
dengan turunnya hujan berhubungan erat dengan
perkembangan DBD di Kalimantan Selatan (9).

Persentase cakupan imunisasi dasar anak umur 12-59


bulan yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan adalah BCG
(85,8%), Campak (80,3%), dan Polio 3 (71,2%). Persentase
cakupan imunisasi BCG untuk anak umur 12-59 bulan lebih
rendah dari angka provinsi adalah Kabupaten Banjar, Kota Baru,
Tanah Bumbu, dan Balangan. Untuk imunisasi Campak
kabupaten/kota dengan persentase cakupan lebih rendah dari
angka provinsi adalah Banjar, Balangan, Banjarmasin, Kota Baru,
dan Tanah Bumbu. Untuk imunisasi polio terendah adalah
Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tapin, dan Balangan.
19

Persentase cakupan imunisasi dasar pada hampir semua jenis


imunisasi pada anak umur 12-59 bulan cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala keluarga,
lebih tinggi di perkotaan lebih tinggi, dan cenderung meningkat
sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran per kapita (10).
Persentase cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59
bulan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah 52,9%, tidak lengkap
adalah 36,4% dan tidak mendapat imunisasi sama sekali sebesar
10,6%. Untuk imunisasi yang tidak lengkap, persentase tertinggi
di Balangan, Tapin, dan Hulu Sungai Selatan. Untuk yang tidak
mendapat imunisasi sama sekali tertinggi di Banjar, Tanah
Bumbu, dan Kota Baru. Persentase imunisasi lengkap anak l2-59
bulan di Provinsi Kalimantan Selatan meningkat sesuai dengan
meningkatnya jenjang pendidikan kepala keluarga, lebih tinggi di
perkotaan, dan meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat
pengeluaran per kapita. Untuk persentase imunisasi tidak lengkap
dan tidak mendapat imunisasi sama sekali makin meningkat pada
pendidikan yang lebih rendah, lebih tinggi di perdesaan, dan
meningkat pada tingkat pengeluaran per kapita yang lebih rendah
(10).
20

Tabel 2.2

Sumber : hasil Riskesdas Provinsi Kalsel tahun 2007

2) Angka kematian
a. AKB
Data angka kematian yang terdapat pada komunitas
diperoleh melalui survei, hal ini karena sebagian besar
kematian terjadi di rumah. AKB pada tahun 2006 sebesar
40,80 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini menurun dibanding
periode tahun sebelumnya (9).
b. AKABA
AKABA di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hasil
survei BPS Kalimantan Selatan cendurung mengalami
penurunan dari 66,97 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun
1995 menurun menjadi 52,60 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 2000 dan pada tahun 2006, AKABA di Provinsi
Kalimantan Selatan menurun menjadi 1,1 per 1.000 kelahiran
hidup (9).
21

c. AKI
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut perkiraan BPS
Propinsi Kalimantan Selatan adalah sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 1998. AKI di Indonesia dari hasil
SDKI 1997 sebesar 334 per 100.000 kelahiran hidup dan
menurun menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI
2002-2003) (9).
d. AKK
AKK (Angka Kematian Kasar) menurut perkiraan BPS
Provinsi Kalimantan Selatan mengalami penurunan dari 21,0
per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 19,5 per 1.000
penduduk pada tahun 2006 (9)

c. Data perilaku (10):


1) Perilaku Konsumsi Buah Dan Sayur
Secara keseluruhan penduduk di Provinsi Kalimantan
Selatan (92,3%) kurang mengkonsumsi sayur dan buah.
Prevalensi responden yang kurang kecukupan sayur dan buah
cenderung lebih tinggi pada responden dengan usia tua (di atas
65 tahun), tidak banyak berbeda di antara laki-laki dan
perempuan, cenderung meningkat pada tingkat pendidikan yang
lebih rendah, dan hampir sama pada berbagai tingkat
pengeluaran per kapita (10).
2) Alkohol
Prevalensi penduduk usia 10 tahun ke atas yang
mengkonsumsi alkohol 12 bulan terakhir di Provinsi Kalsel
1,2% (rentang: 0,1-3,2%), kabupaten/ kota dengan prevalensi
lebih tinggi dari angka prevalensi provinsi adalah Banjarmasin,
Balangan, dan Banjar. Penduduk usia 10 tahun ke atas yang
mengkonsumsi alkohol dalam 1 bulan terakhir di Provinsi
22

Kalimantan Selatan 0,5% (rentang: 0,1-1,6%), tertinggi di kota


Banjarmasin (10).
3) Aktifitas Fisik
Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan kurang aktifitas
fisik sebanyak 49,1% (rentang: 35,7-68,1%), tertinggi di
kabupaten Kota Baru, Banjarbaru, dan Tapin. Prevalensi
penduduk yang kurang aktifitas fisik tertinggi pada umur 65
tahun ke atas (usia 75 tahun ke atas mencapai 86,1%), lebih
tinggi pada perempuan, tinggi pada tingkat pendidikan tamat
perguruan tinggi, tinggi pada penduduk yang tidak bekerja, lebih
tinggi pada penduduk di perkotaan dibandingkan di perdesaan,
dan cenderung meningkat dengan makin tingginya tingkat
pengeluaran per kapita (10).
4) HIV/AIDS
Persentase penduduk yang pernah mendengar tentang
HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan hanya mencapai 44,3%
(rentang: 27,7-64%), yang berpengetahuan benar tentang
HIV/AIDS hanya mencapai 44,1% (rentang: 27,6-63,9%), dan
bersikap benar tentang pencegahannya hanya 20,5% (rentang:
7,4-45%), terendah di kabupaten Hulu Sungai Tengah, Tanah
Bumbu dan Hulu Sungai Selatan. Persentase penduduk yang
berumur antara 15 – 44 tahun lebih tinggi dalam hal pernah
mendengar tentang HIV, berpengetahuan yang benar tentang
penularannya dan berpengetahuan benar tentang pencegahannya
di bandingkan usia lainnya. Persentase penduduk yang pernah
mendengar, berpengetahuan yang benar tentang penularan dan
tentang pencegahan HIV/AIDS; lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan, meningkat dengan bertambah
tingginya pendidikan, lebih tinggi pada penduduk di perkotaan,
dan meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran
per kapita. Sikap yang paling dipilih oleh penduduk di Provinsi
23

Kalsel andaikata ada anggota keluarga menderita HIV/AIDS


tertinggi adalah melakukan konseling dan pengobatan 89,9%
(rentang: 77,8-95,3%), diikuti dengan membicarakan dengan
anggota keluarga lain (63%), namun sikap mencari alternatif
juga cukup tinggi (60,5%). Hanya sebagian kecil yang bersikap
mengucilkan penderita HIV/AIDS dan merahasiakannya (6,2%)
(10).
5) Perilaku Higienis
Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang
berperilaku benar dalam hal BAB yaitu BAB di jamban di
Provinsi Kalsel mencapai 69,9% (rentang: 33,5-88,1%),
sedangkan berperilaku benar dengan cuci tangan dengan sabun
17,9% (rentang: 4,3-40,8%). Kabupaten/kota dengan penduduk
berperilaku benar dalam hal BAB terendah di Barito Kuala,
HSU, dan Hulu Sungai Selatan. Kabupaten/kota dengan
penduduk berperilaku benar cuci tangan dengan sabun terendah
di Tapin, HSU dan Hulu Sungai Tengah. Penduduk di Provinsi
Kalsel yang memiliki perilaku benar dalam BAB dan perilaku
benar cuci tangan dengan sabun lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan laki-laki, cenderung meningkat sesuai dengan
meningkatnya jenjang pendidikan, tertinggi pada pekerjaan
utama sebagai pegawai, lebih tinggi di perkotaan dibandingkan
di perdesaan, cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya
tingkat pengeluaran per kapita (10).
6) Pola Konsumsi Makanan Berisiko
Prevalensi penduduk dengan umur 10 tahun ke atas di
Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsumsi makanan
berisiko, tertinggi dalam mengkonsumsi makanan yang manis
83,5% (rentang: 70,8-95,9%) dan penyedap (84,7%). Kabupaten
dengan prevalensi penduduk mengkonsumsi makanan manis
melebihi angka prevalensi provinsi yaitu Hulu Sungai Tengah,
24

Balangan, Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, Tabalong, Tapin,


dan Tanah Laut. Prevalensi penduduk umur 10 tahun ke atas
dengan kebiasaan mengkonsumsi penyedap tertinggi di
Balangan, Hulu Sungai Tengah, Tanah Laut, Banjarmasin, dan
Barito Kuala (10).
7) Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan proporsi rumah
tangga dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan
klasifikasi baik di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan
sebesar 51,1%, terbaik pada Kabupaten Tabalong (66,8%) dan
rendah pada Barito Kuala, Kota Baru, Tanah Bumbu, Banjar,
Hulu Sungai Utara, dan Tapin (10).
Rumah tangga di Provinsi Kalimantan Selatan telah
memanfaatkan posyandu/ poskesdes sebanyak 25,2%, terendah
di Kabupaten Barito Kuala (19,2%). Di Provinsi Kalimantan
Selatan 7,2% rumah tangga tidak memanfaatkan pelayanan
tersebut, tertinggi (lebih 10%) di Barito Kuala, Kota Baru,
Tapin, Banjar Baru, Tabalong. Alasan RT tidak memanfaatkan
pelayanan posyandu/ poskesdes terbanyak adalah pelayanan
tidak lengkap (43,1%). Kabupaten dengan lebih separuh RT
beralasan letak posyandu/poskesdes jauh adalah Balangan,
Tabalong, dan Tanah Laut. Kabupaten dengan lebih separuh RT
yang tidak memanfaatkan posyandu/poskesdes dengan alasan
tidak ada posyandu adalah Hulu Sungai Utara dan Kota Baru
Sebanyak 19,3% rumah tangga di Provinsi Kalimantan Selatan
telah memanfaatkan keberadaan polindes/bidan, 17,3% tidak
memanfaatkan dan 63,3% merasa tidak membutuhkannya.
Kabupaten yang relatif banyak rumah tangganya tidak
memanfaatkan keberadaan polindes/bidan desa adalah Hulu
Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara. Sedangkan RT yang
merasa tidak membutuhkan keberadaan Polindes/Bidan desa
25

terbanyak di Banjarbaru, Banjar, dan Tanah Bumbu. Di Provinsi


Kalimantan Selatan proporsi RT yang pernah memperoleh
pelayanan pengobatan jauh lebih tinggi (80,4%) dibanding
dengan RT yang pernah memperoleh jenis pelayanan bidang
KIA lainnya. Jenis pelayanan KIA yang diterima RT yang
memanfaatkan polindes/bidan desa tertinggi berturut turut
adalah pemeriksaan kehamilan (21,3%), pemeriksaan bayi/balita
(20,6%), persalinan (8,2%), pemeriksaan ibu nifas (6,7%), dan
pemeriksaan neonatus (5,7%) (10).

d. Tabel 2.3 Multiple Criteria Utility Assesment (MCUA)


Masalah Tingginya Tingginya Penyakit Penyakit
kasus TB kasus Tetanus Darah
Paru ISPA Tinggi

Kriteria
S B xS S BxS S BxS BxS
(bobot)
S
1 Prevalensi 3 12 5 20 1 4 4 16
Masalah (4)
2 Kegawatan (5) 3 15 4 20 4 20 3 15
3 Kelanjutan 2 10 2 10 5 25 2 10
Program (5)
4 Perhatian 3 12 3 12 4 16 3 12
Masyarakat (4)
5 Kemungkinan 3 12 3 12 5 20 4 16
(4)
6 Kebijakan 2 8 2 8 5 20 2 8
politik (4)
Jumlah 69 82 105 77

Berdasarkan penentuan prioritas masalah dengan menggunakan


tabel Multiple Criteria Utility Assessment (MCUA) diatas maka yang
menjadi prioritas masalah adalah penyakit tetanus. Terkait dengan
penyakit tetanus adalah upaya pemberian imunisasi yang masih kurang
26

terutama di kabupaten/kota Balangan. Intervensi yang akan dilakukan


dikhususkan untuk kabupaten/kota Balangan karena cakupan imunisasi
terutama imunisasi DPT masih kurang atau merupakan yang terendah
diantara 13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Selain itu
juga tingkat pendidikan masyarakat di kabupaten/kota Balangan masih
rendah yang artinya tingkat pengetahuan dan perilaku hidup sehat juga
akan rendah sehingga dapat memungkinkan terjadinya penyakit tetanus.

2. Analisa Masalah Secara Edukatif


Hal pokok dalam menganalisa masalah secara edukatif adalah :
a. Mempelajari Penyebab Langsung
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri anaerob
Clostridium tetani. Spora dari Clostridium tetani dapat hidup selama
bertahun-tahun di dalam tanah dan kotoran hewan. Jika bakteri
tetanus masuk ke dalam tubuh manusia, bisa terjadi infeksi baik pada
luka yang dalam maupun luka yang dangkal. Setelah proses
persalinan, bisa terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang
baru lahir (tetanus neonatorum). Yang menyebabkan timbulnya
gejala-gejala infeksi adalah racun yang dihasilkan oleh bakteri,
bukan bakterinya (8).
Racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri Cl.tetani
merupakan eksotoksin yang terbagi menjadi dua macam yaitu
tetanolisin dan tetanospamin. Tetanospamin terdiri atas protein yang
bersifat toksik terhadap sel saraf. Masa inkubasi berkisar antara tiga
hari sampai empat minggu, kadang lebih lama; rata-rata delapan hari.
Umumya, pada pasien dengan masa inkubasi kurang dari satu
minggu, angka kematiannya tinggi (2,3).

b. Perilaku Sebagai Penyebab Tidak Langsung dan Latar Belakang


Perilaku yang Membantu timbulnya Masalah
27

Perilaku perorangan atau masyarakat yang membantu


timbulnya penyakit tetanus adalah perawatan yang salah terhadap
luka, baik luka tusuk ataupun luka bakar. Sehingga spora dari bakteri
Clostridium tetani yang masuk melalui luka dapat hidup dan
menghasilkan toksin. Sikap masyarakat yang masih keliru mengenai
imunisasi sehingga ada bayi atau balita yang tidak mendapat
imunisasi dasar lengkap. Hal ini dapat dipengaruhi oleh karena
kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya imunisasi.
Kurangnya pengetahuan masyarakat diakibatkan dari tingkat
pendidikan yang rendah dan lingkungan tempat tinggal yang kurang
menerima informasi khususnya informasi kesehatan.

c. Perilaku Perorangan atau Masyarakat yang Diharapkan


Masyarakat atau ibu-ibu membawa bayi atau balitanya untuk
diimunisasi ke Puskesmas atau Posyandu. Melakukan tindakan
perawatan yang benar dan aman jika mengalami luka.

d. Kelompok yang Diharapkan Berperilaku


Semua laipsan masyarakat diharapkan dapat berperilaku seperti yang
dianjurkan untuk mencegah penyakit tetanus.

e. Hambatan yang Dihadapi dalam Merubah Perilaku


Tingkat pendidikan masyarakat kabupaten/kota Balangan
relatif rendah. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh
terhadap tingkat pengetahuan masyarakat serta tingkat ekonomi yang
relative rendah sehingga kemungkinan masih sedikit sulit untuk
dapat merubah perilaku seperti yang diharapkan.

f. Hal Pendorong Terjadinya Perubahan Perilaku


Tenaga Puskesmas dan fasilitas yang memadai.
g. Mempelajari Keadaan Sarana
28

Sarana kesehatan yang dapat digunakan untuk merubah


perilaku masyarakat Kalimantan selatan terdiri dari Puskesmas,
rumah sakit dan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM).
Jumlah Puskesmas yang ada dari total 13 kabupaten/kota yaitu 201
Puskesmas, total Puskesmas pembantu (Pustu) adalah 629 sedangkan
total Puskesmas keliling adalah 211 Puskesmas keliling. Untuk
UKBM jumlahnya yaitu, Posyandu 3431, Polindes 1312 dan pos
obat desa yaitu 339 (9).

h. Mempelajari Keadaan Ketenagaan


Tabel 2.4 Rasio Tenaga Kesehatan
di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006

Sumber : profil kesehatan Kalsel tahun 2006

Dari gambaran seperti tabel di atas, nampak bahwa rasio


tenaga kesehatan terhadap penduduk di Provinsi Kalimantan Selatan
masih berada di bawah standar yang diharapkan (9).

i. Mempelajari Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat


Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan adalah suku Banjar
dan beragama Islam, selain itu ada juga suku Jawa, Sunda, Madura,
Daya, Bugis, Minang, dan Batak. Suku Banjar berikut adat
istiadatnya merupakan hasil dari suatu proses akulturasi dari
29

kebudayaan Melayu, Dayak, Jawa dan Bugis yang dipengaruhi


agama Hindu dan Islam. Pengaruh Hindu dimulai sejak berdirinya
kerajaan Kutai sekitar abad ke 5 dan sisa-sisa kebudayaan Hindu
dapat dilihat dengan ditemukannya situs candi di Amuntai. Dalam
kehidupan sehari-hari dapat ditemukan adanya kesenian wayang,
topeng, dan lamut, pengobatan tradisional, dan relief ukiran interior
rumah adat Banjar. Pengaruh agama Islam sangat dirasakan dalam
kehidupan masyarakat suku Banjar. Sebagai penganut Islam yang
taat dan fanatik, kehidupan sehari-hari suku Banjar tidak terlepas
dari berbagai aturan kehidupan yang bersumber dari Al Qur‘an dan
Hadist. Adat istiadat perkawinan selalu merujuk ke Al Quran dan
Hadist. Dalam masyarakat Banjar terdapat sistem pelapisan sosial
yang berdasarkan faktor keturunan yaitu golongan keturunan raja
dan bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Tetapi di
pihak lain, para ulama terutama bagi yang telah menunaikan ibadah
haji, merupakan salah satu strata sosial yang dipandang dan disegani
masyarakat. Strata sosial lainnya yang menunjukkan lapisan teratas
adalah pegawai pemerintah dan pedagang. Hal ini dikarenakan dari
aspek kesejahteraan kedua golongan tersebut cukup berada dan
umumnya dari golongan ini punya kemampuan untuk dapat
menunaikan ibadah haji (10).

3. Menetapkan Sasaran Penyuluhan


Sasaran dalam perencanaan pendidikan kesehatan penyakit tetanus ini
dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut :
a. Sasaran primer
Sasaran primer adalah kelompok yang berisiko terkena atau sudah
pernah terkena penyakit tetanus. Sasaran primer yang akan
mendapatkan penyuluhan adalah seluruh masyarakat kabupaten/kota
Balangan khususnya kepada ibu-ibu yang mempunyai bayi atau
balita. Tujuan pendidikan atau promosi kesehatan untuk sasaran ini
30

antara lain meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan


meningkatkan keterampilan untuk mencegah penyakit tetanus dari
segi cara perawatan luka yang benar dan aman.
b. Sasaran sekunder adalah para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat kabupaten Balangan dengan harapan kelompok ini akan
memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat di sekitarnya.
Di samping itu, para tokoh masyarakat diharapkan akan memberikan
contoh atau acuan perilaku sehat bagi masyarakat sekitarnya
(dukungan sosial).
c. Sasaran tertier adalah para pembuat keputusan atau penentu
kebijakan dalam menentukan dukungan pelaksanaan suatu program
kesehatan, sehingga metode yang digunakan adalah menggunakan
strategi advokasi.

4. Menetapkan Tujuan Penyuluhan


Tujuan penyuluhan yang ingin dicapai disini adalah :
1)Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah selesai penyuluhan masyarakat mengetahui tentang penyakit
tetanus, mengerti akan manfaat imunisasi DPT dan TT, serta cara
pencegahan penyakit tetanus.

2) Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


a. Masyarakat atau sasaran penyuluhan dapat menjelaskan penyebab
penyakit tetanus serta cara pencegahannya.
b. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya imunisasi
DPT dan TT.
c. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya cara
perawatan luka yang baik, benar, dan aman.

5. Menentukan Strategi Penyuluhan


31

Pendekatan yang dilakukan adalah pada ibu-ibu yang


mempunyai anak bayi atau balita. Setelah dilakukan pendekatan
kemudian diberikan pengarahan atau penyuluhan agar ibu dari bayi atau
balita tersebut dapat membawa anak mereka ke puskesmas atau pada
waktu kegiatan posyandu untuk diberikan imunisasi. Selain itu juga
terhadap masyarakat dengan melakukan pendekatan saat diadakan
kegiatan misalnya karang taruna atau pengajian baik ibu-ibu maupun
bapak-bapak.
Strategi yang diambil terlebih dahulu harus dikembangkan kepada
pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar pada
daerah yang bersangkutan, agar stategi ini berhasil karena pemuka
agama atau orang yang mempunyai pengaruh besar di daerah tersebut
lebih dihormati masyarakat. Kemudian setelah mengembangkan
pemuka agama dan masyarakat diharapkan para ibu bayi atau balita
dapat membawa bayi dan balita pada puskesmas atau posyandu untuk
diberikan imunisasi agar mempunyai kekebalan tubuh yang baik dan
terhindar dari penyakit tetanus. Serta msyarakat lebih berhati-hati dalam
melakukan perawatan terhadap luka atau melakukan tindakan
penanganan yang benar terhadap luka.

6. Menentukan Isi Penyuluhan


a. Masyarakat atau sasaran penyuluhan dapat menjelaskan penyebab
penyakit tetanus serta cara pencegahannya.
b. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya imunisasi
DPT dan TT.
c. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya cara
perawatan luka yang baik, benar, dan aman.

7. Menentukan Metode dan Tempat Penyuluhan


Metode yang dipakai dalam upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, merubah sikap dan keterampilan untuk mencegah
penyakit tetanus adalah dengan ceramah yang diisi pula dengan
32

demonstrasi. Tempat yang akan dipakai dalam kegiatan penyuluhan


adalah balai desa yang ada di kabupaten Balangan.

8. Menentukan Media Penyuluhan


Media yang dipilih dalam penyuluhan ini adalah poster, leaflet
dan stiker. Poster yang digunakan adalah sehelai kertas atau papan yang
berisikan gambar-gambar dengan sedikit kata-kata. Poster tersebut akan
ditempelkan pada tempat yang mudah dilihat dan banyak dilalui orang
misalnya di dinding balai desa, pinggir jalan, papan pengumuman, dan
lain-lain. Gambar dalam poster dapat berupa ilustrasi atau photo.
Sedangkan Leaflet atau sering juga disebut pamflet adalah selembaran
kertas yang berisi tulisan dengan kalimat-kalimat yang singkat, padat,
mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Leaflet dan
stiker dapat diberikan atau disebarkan pada saat penyuluhan dan pada
saat pendekatan pada ibu-ibu, kegiatan karang taruna serta kegiatan
pengajian. Poster merupakan media yang cocok dengan sasaran ini
karena disini diperlukan media yang menarik, mencolok, dan dapat
mempengaruhi orang banyak. Pada penyuluhan ini diharapkan media
dapat menarik perhatian masyarakat.

9. Menyusun Rencana Jadwal Pelaksanaan


33

Sasaran
Waktu Kegiatan Tujuan Isi Metode Media
Jenis Jmlh
7 Penyuluhan Umum: 200 Peningkatan Tentang Ceramah Poster,
Januari kesehatan semua org pengetahuan penyebab, cara demonstr stiker,
2011 masyarakat penyakit pencegahan asi pamflet
pukul 9 kabupaten/ tetanus, penyakit
pagi kota pencegahan, tetanus,
Balangan. manfaat manfaat
Khusus: imunisasi & imunisasi DPT
ibu-ibu perawatan & TT, cara
yang punya luka yang perawatan luka
anak bayi benar & yang baik,
dan balita aman. benar & aman.

10. Membuat Rencana Penilaian


Dalam membuat rencana penilaian, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
1. Apa yang akan dinilai berdasarkan indikator
2. Kapan penilaian dilakukan
3. Siapa yang menilai
Berdasarkan indikator penilaian, ada 4 evaluasi yang perlu
dinilai yaitu:
a. Evaluasi input
Evaluasi input merujuk pada sumber-sumber yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan yaitu
personel, alat atau fasilitas, informasi, dan dana.
Personel yang melaksanakan kegiatan penyuluhan adalah
9 mahasiswa PSKM FK UNLAM angkatan 2008 yang
bekerjasama dengan petugas puskesmas dan aparat desa.
Struktur kepanitiaan dapat dilihat di bawah ini:
Ketua panitia : Apriana Rahmadiani
34

Sekretaris : Diah Novita Sari Ratna


Bendahara : Ersa Istiana
Presenter : Septiana Eka Saputri Fadli
Seksi Dana dan Humas : 1. Meitha Theresia Osanti
2. Nina Yuniar
Seksi Perlengkapan dan Dokumentasi:
1. Ahkmad Haris
2. Rian Saputra
3. Resty Purinawati
Fasilitas yang digunakan mahasiswa sebagai sarana
penyuluhan adalah balai desa yang ada di kabupaten/kota
Balangan dan media penyuluhan yang digunakan adalah poster,
stiker dan pamflet. Informasi atau isi penyuluhan yang
disampaikan kepada masyarakat adalah penyebab dan cara
pencegahan penyakit tetanus, manfaat dan pentingnya imunisasi
DPT dan TT serta cara perawatan luka yang benar dan aman.
Rincian dana rencana penyuluhan tercantum pada tabel di
bawah ini.

Tabel 2.5 Rincian dana promosi kesehatan penyakit tetanus


Rincian biaya Jumlah biaya (Rp)
35

Biaya pembuatan poster 3 buah 150.000


Biaya konsumsi untuk 200 orang @ Rp 2.000.000
10.000
Biaya transportasi 300.000
Biaya pembuatan spanduk 150.000
Biaya sewa sound system 200.000
Biaya fotocopy soal pre-test dan post-test 60.000
Biaya lain-lain 55.000
Total 2.915.000

b. Evaluasi proses
Evaluasi proses adalah meliputi monitor tugas atau
kegiatan selama awal kegiatan sampai berakhirnya kegiatan.
c. Evaluasi output
Evaluasi output mengukur hasil meliputi cakupan,
termasuk pengetahuan, sikap, dan perubahan perilaku yang
dihasilkan oleh tindakan yang dilakukan.
d. Evaluasi outcome
Evaluasi outcome dipergunakan untuk menilai perubahan
atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka
panjang termasuk perubahan status kesehatan masyarakat atau
penduduk.
Penilaian akan dilakukan setelah penyuluhan selesai
dilaksanakan untuk menilai pengaruh penyuluhan terhadap
cakupan imunisasi dan angka kunjungan untuk perawatan atau
pengobatan yang berisiko terjadi tetanus. Penilaian akan
dilakukan oleh kepala puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai