Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PENGGANTI UJIAN MATA KULIAH

SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

DOSEN : PROF. SOENYOTO USMAN, MA, Ph.D

Oleh :

Wahyuni
NIM 20660/PS/TG/06
No. Presensi : 6

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA
YOGYAKARTA 2007
KETIMPANGAN PENGUASAAN TANAH DAN UPAYA PENATAANNYA
UNTUK MENCAPAI KEADILAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
RAKYAT

A. LATAR BELAKANG

Persoalan kemiskinan merupakan masalah yang akan selalu ada sepanjang


kehidupan manusia. Kemiskinan secara umum dimaknai sebagai kondisi yang ada di
bawah standar, atau ketidakmampuan baik secara fisik atau ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya untuk hidup. Tipe dan penyebab kemiskinan pun bisa
diklasifikasikan dalam beberapa kategori diantaranya adalah kemiskinan struktural
yang disebabkan oleh ketidakmampuan struktur pemerintahan dan kemasyarakatan
untuk mendukung semua warganegara mencapai kemakmuran yang diinginkan dan
kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakmampuan
sumberdaya alam untuk mendukung perikehidupan.
Angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2007 menurut BPS tercatat sebesar
16,58 prosen dari seluruh jumlah penduduk atau sebesar 37,17 juta jiwa. Yang cukup
mengherankan, ternyata para penyandang predikat “miskin” tersebut ternyata 90
persen adalah pekerja dan bahkan termasuk pekerja keras. Maka yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana mereka tetap miskin sedangkan mereka sudah bekerja
sangat keras ? Jawabannya adalah karena terjadinya ketimpangan penguasaan tanah
disektor pertanian. Di wilayah pedesaan, banyak sekali masyarakat yang berprofesi
sebagai petani, tetapi tidak mempunyai lahan sendiri, sehingga ia mencari
penghidupan dengan menjadi petani penggarap dengan upah yang sangat minim.
Sementara di perkotaan kemiskinan terjadi karena kurangnya kemampuan atau skill
untuk mendukung pekerjaan di sektor industri dan perdagangan. Yang sangat umum
terjadi, urbanisasi merupakan pilihan dari sekelompok masyarakat yang tidak
mempunyai lahan di desa, dan ketika pindah ke kota mereka jarang sekali mempunyai
bekal kemampuan atau skil yang diperlukan akibat pola hidup agraris yang sudah
mereka punyai sejak lahir (di desa).
Sangat disadari bahwa selama ini telah terjadi proses degradasi sekaligus
konsentrasi kepemilikan lahan pertanian. Sensus pertanian menunjukkan bahwa pada
tahun 1983 jumlah rumah tangga dengan kepemilikan lahan lebih dari lima hektar
(ha) adalah 2,1% dengan rata-rata pemilikan 9,45 hektar. Pada tahun 1993 kemudian
diketahui bahwa proporsinya menjadi hanya 1,3% tetapi dengan rata-rata pemilikan
11,5 hektar. Data tahun 1993 juga menunjukkan bahwa sekitar 4,4 juta (16%) rumah
tangga menguasai lahan pertanian lebih dari satu hektar (jumlah itu meliputi dari luas
tanah pertanian 69%), sedangkan 22,9 juta (84%) rumah tangga menguasai lahan
kurang dari 1,0 hektar (termasuk sebagian besar menguasai di bawah 0,1 hektar)
hanya meliputi 31% luas tanah pertanian. (Salahuddin : 1999)
Gambaran ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan lahan pertanian
semakin timpang. Ketimpangan ini membawa implikasi negatif terhadap upaya

2
pemerataan hasil-hasil pembangunan maupun peningkatan kesejahteraan, karena
mereka yang berlahan sempit cenderung kurang mampu dan kalah cepat dalam
memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan penghasilannya.
Teknologi yang ada cenderung lebih termanfaatkan oleh mereka yang berlahan besar
karena dapat memberikan insentif yang memadai, sedangkan dengan lahan sempit
teknologi dan intensifikasi tidak cukup memberikan insentif pendapatan. Mereka
yang berlahan sempit dan buruh tani sering terpaksa mencari penghasilan di luar
usaha tani atau di perkotaan, bukan karena daya tarik kota tetapi lebih karena
terlontar dari desa. Keterbatasan mereka itupun cenderung membawanya pada
kondisi yang miskin lagi, sehingga kelompok ini semakin tersisih.
Tidak aneh bila ketimpangan kepemilikan lahan di pedesaan juga berakibat
pada ketimpangan kekuatan sosial, ekonomi dan politik. Dalam kondisi tiadanya
perlindungan, si miskin akan lebih cepat tergusur oleh kepentingan yang lebih besar.
Sebenarnya secara teknis masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan
penguasaan lahan di luar Jawa, karena masih tersedia lahan yang belum diusahakan.
Namun hal ini terkendala oleh terbatasnya modal petani, sehingga tidak mungkin
untuk meningkatkan kepemilikan lahan dengan kekuatannya sendiri. Kondisi
demikian lebih meyakinkan perlunya penerapan kebijakan pertanahan yang lebih adil
dan menjamin pemerataan kesempatan bagi petani untuk memperoleh manfaat dari
hasil-hasil pembangunan.
Kenyataan inilah yang kemudian menjadi dasar pernyataan Joyo Winoto (2007)
bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah lemahnya akses mereka terhadap
sumber-sumber ekonomi dan politik, di antaranya adalah tanah. Lemahnya akses
kaum marjinal terhadap tanah sesungguhnya sudah menjadi persoalan semenjak masa
kolonial Belanda terutama untuk daerah-daerah yang padat penduduk di wilayah
Jawa dan Madura, sehingga muncul istilah petani ‘gurem’. Sampai pada tahun 1945
masalah penguasaan tanah di Indonesia sebenarnya sudah cukup parah
(Tjondronegoro, 1984). Pemberian fasilitas untuk memperoleh tanah yang sangat luas
melalui Domein Verklaaring kepada pengusaha-pengusaha perkebunan, yang
mengakibatkan menyempitnya lahan-lahan garapan, serta mobilisasi penduduk
pedesaan untuk menjadi buruh upahan yang mengerjakan kebun-kebun itu merupakan
potret nyata lemahnya akses masyarakat kecil terhadap sumberdaya tanah.
Kondisi demikian sesungguhnya telah pula disadari bahkan sejak Pemerintah
Kolonial, sehingga setelah munculnya gugatan Van Kol yang merupakan akumulasi
kecaman terhadap pemiskinan penduduk pribumi sebagai ekses dari kebijakan
liberalisme yang ditopang dengan hukum agraria yang berpihak kepada kaum
pemodal tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membentuk komisi penyelidik
kemiskinan (Mindere Welvaart Commissie) taun 1902. Hasil penelitian oleh komisi
ini mendorong pemerintah kolonial menerapkan Politik Etik yang mencakup enam
program yaitu di bidang irigasi, reboisasi, transmigrasi, pendidikan, kesehatan, dan
perkreditan.
Pada masa setelah kemerdekaan, masalah agraria ini juga langsung mendapat
perhatian dengan proses panjang perumusan Undang-undang Pokok Agraria dimulai

3
dengan pembentukan Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia
Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958) dan Rancangan Soedjarwo (1960) yang
kemudian menghasilkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria yang sebenarnya sangat memperhatikan konsep keadilan sosial
dalam penguasaan tanah. Sebelum UUPA diundangkan telah dilahirkan beberapa
undang-undang yang sejalan dengan upaya penataan penguasaan tanah, yaitu
Undang-undang bagi hasil dan Undang-undang Land Reform. Ketiga undang-undang
ini disebut-sebut sebagai undang-undang terbaik yang pernah dihasilkan oleh bangsa
Indonesia, namun demikian pelaksanaannya di lapangan banyak sekali menemui
kendala.
Kebijakan untuk meningkatkan akses kaum marjinal terhadap tanah telah pula
dilakukan di sepanjang tahun 1962-1965, dengan redistribusi tanah negara 450.000
hektar tanah, karena pergolakan politik pada saat itu maka pembagian 200.000 hektar
tanah pada tahun 1966 tidak terlaksana secara efektif.
Politik pertanahan era orde baru lebih ditekankan pada aspek penataan
administrasi pertanahan untuk menjamin kepastian hukum penguasaan dan pemilikan
tanah untuk mengundang penanaman investasi modal dalam negeri dan modal asing,
karena orientasi pemerintah lebih kepada pertumbuhan ekonomi. Peningkatan akses
terhadap tanah dan pemerataan penguasaan tanah ditempuh melalui jalur
transmigrasi, dengan logika bahwa para transmigran ini akan menjadi agen
pembangunan di wilayah yang baru..
Jika melihat sejarah panjang persoalan penguasaan tanah beserta usaha-usaha
untuk mengatasi masalah tersebut yang belum membuahkan hasil yang sesuai dengan
harapan maka kita dapat mengidentifikasi beberapa masalah :
1. Apa yang menjadi penyebab ketimpangan penguasaan tanah sesungguhnya dan
siapa saja yang menjadi pelaku utama dari persoalan tersebut ?
2. Bagaimana upaya penyelesaian masalah penguasaan tanah yang telah dilakukan
selama ini dan apa yang menjadi kelemahannya?
3. Bagaimana alternatif penyelesaian masalah tersebut ke depan ?

B. MASALAH PENGUASAAN TANAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN


POLITIK PEMERINTAHAN DARI MASA KE MASA
Masalah penguasaan tanah selalu dipengaruhi oleh politik pemerintahan dari
masa ke masa, karena kedudukan tanah yang sangat penting bagi manusia. Tanah
merupakan kebutuhan yang hakiki bagi manusia untuk menunjang seluruh aspek
kahidupannya. Mulai dari tempat tinggal, tempat mendirikan usaha, tempat untuk
berkembang biak, hingga tempat berbaringnya jasad ketika ia tiada. Henry George
dalam Barlowe (1986) menyatakan “…..land is habitation of man, the store-house
upon which he must draw for all his needs, the material to which his labour must be
applied for the supply of all his desires….On the land we born, from it we live, to it
we return again.

4
Secara formal legal kebijakan yang terkait dengan penguasaan tanah di
Indonesia dimulai sejak Pemerintahan Gubernur Jendral Inggris Stamford Rafles
(1811-1816) dengan pernyataan domeinnya bahwa semua tanah adalah Raja sehingga
semua warga harus membayar sewa tanah atau pajak bumi dengan menyerahkan dua
per lima dari hasil buminya kepada kepada Pemerintah Inggris (Landrente). Untuk itu
batas-batas pemilikan tanah harus jelas, karena besarnya pajak yang harus dibayar
harus sesuai dengan luasnya pemilikan tanah.
Tonggak kedua politik pemerintahan yang sangat berpengaruh dalam pola
penguaasaan tanah pada masa kolonialisme adalah pelaksanaan sistem tanam paksa
atau cultuurestelsel yang sedikit demisedikit mengikis struktur pemilikan tanah secara
komunal menjadi pola penguasaan secara individual. Dengan bertambahnya jumlah
penduduk maka pola pewarisan tanah juga berubah. Petani-petani lebih suka
membagi tanahnya kepada anak-anaknya secara individu, daripada mengusahakan
tanah tersebut tetap pada pemilikan bersama dan membagi hasil-hasilnya. Akibatnya
luasan tanah garapan semakin hari semakin menyempit.(Aas dalam Tjondronegoro
dan Wiradi, 1984)
Kebijakan agraria adalah pada saat diundangkan Agrarisch Wet oleh Pemerintah
Hindia Belanda (setelah pendudukan Indonesia kembali kepada Belanda) pada tahun
1870, sebagai jawaban atas tuntutan kaum liberal yang menginginkan fasilitas untuk
dapat menanamkan modalnya secara besar-besaran.dengan mengusahakan
perkebunan-perkebunan besar untuk berbagai komoditi, seperti teh, karet, kina, kopi,
dan lain-lain. Tujuan dari Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 adalah : 1)
Memberikan pengakuan terhadap hak milik mutlak orang pribumi (hak eigendom), 2)
Berdasarkan Domein Verklaaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak
dapat dibuktikan bahwa tanah itu menjadi eigendom orang lain adalah tanah negara
(domein van der staat) maka tersedia tanah negara yang bisa disewa oleh pengusaha
swasta dalam jangka waktu panjang (erfpacht).
Undang-undang Agraria 1870 ini melahirkan konsep tanah negara bebas dan
tanah negara tidak bebas. Tanah negara bebas yaitu tanah-tanah yang sama sekali
tidak diliputi oleh hak seseorang menurut hukum Belanda , dan tanah negara tidak
bebas yaitu tanah-tanah yang dibebani oleh hak-hak dalam hukum Belanda selain
hak eigendom misalnya hak erfpacht dan opstal. .
Kenyataannya, undang-undang agraria ini lebih merupakan bentuk perlindungan
terhadap penanaman modal karena pemberian hak eigendom dimaksudkan untuk
memberi pengakuan terhadap hak milik mutlak kaum pribumi sehingga lebih mudah
dalam proses penjualan atau penyewaannya. Karena peraturan ini banyak sekali
penduduk/petani yang kehilangan tanahnya dan menjadi buruh-burh pekerja
perkebunan, karena ketidak mampuan mereka membayar pajak sehingga lebih
memilih menjual tanah, atau bahkan meninggalkan tanah-tanahnya begitu saja.
Konsentrasi pengusaan tanah oleh para pengusaha perkebunan mulai terjadi,
dan menyebabkan kemiskinan di mana-mana. Sekalipun Pemerintah kemudian
menjalankan poltik etis namun tidak memperbaiki keadaan, oleh karena kebijakan
mendasar di bidang agraria tidak disentuh samasekali sehingga ketimpangan
penguasaan tanah terus berlangsung.

5
Fase selanjutnya adalah pada masa kemerdekaan, yang sesungguhnya sudah
mulai mempunyai arah untuk pemanfaatan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa
"Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Penataan penguasaan tanah
pasca kemerdekaan mulai dilakukan dengan tindakan nasionalisasi tanah milik 40
perusahaan gula Belanda di Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta dengan Undang-
undang No. 13 Tahun 1948 dan penghapusan tanah-tanah partikelir atau nasionalisasi
tanah-tanah perusahaan asing di Republik Indonesia dengan UU no. 1 Tahun 1958.
Ada kesadaran bahwa suatu pembangunan yang memihak kepada rakyat banyak
harus dilandasi lebih dahulu dengan penataan kembali masalah pertanahan, sehingga
dibentuklah Panitia Agraria untuk memikirkan masalah pertanahan secara serius.
Setelah perjalanan panjang selama 15 tahun dengan pergantian panitia yang terus
menerus akhirnya Panitia Agraria berhasil menelurkan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) sebagai undang-undang yang akan menjadi kerangka bagi undang-
undang dan peraturan yang menyangkut keagrariaan selanjutnya dan seiring dengan
UUPA lahir pula Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) dengan UU No. 2
Tahun 1960, yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang lebih adil antara
pemilik tanah dan petani penyakap.
Tetapi dalam masa pra dan paska kemerdekaan struktur sosial masyarakat
berdasarkan keadaan pertanian di pulau jawa, terbagi dalam kelas-kelas sosial yaitu
Tuan Tanah, Petani Kaya, Petani Sedang, Petani Miskin, dan Buruh Tani. (Van der
Kroef dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984) Tuan tanah adalah mereka yang
memiliki tanah dengan luasan diatas 10 Ha, Petani kaya memeiliki tanah santara 5-10
Ha, Petani Sedang adalah petani dengan pemilikan tanah seluas 1 -5 Ha, mengerjakan
sendiri tanahnya dan mampu hidup dari hasil tanahnya itu. Petani miskin adalah para
petani yang memiliki lahan sempai atau kurang dari 0,5 Ha, sehingga kebutuhan
hdiupnya tidak mampu tercukupi oleh hasil buminya. Karena itu biasanya petani
miskin juga menggarap tanah milih tuan tanah atau petani kaya dengan bagi hasil.
Dari data-data Kementrian Agraria Tahun 1957, jumlah petani kecil di Jawa Barat
mencapai 87,8 %, di Jawa Tengah 92,6 %, di jawa Timur 88,1 % sedang di Sulawesi
dan Nusa Tenggara mencapai 76,3 %. Menurut Penelitian Departemen Agraria di
batang Jawa Tengah Tahun 1965 jumlah petani yang tuna kisma atau tidak
mempunyai tanah mencapai jumlah lebih dari 60 %. Selain itu polarisasi orientasi
kehidupan sosial keagmaan dan budaya terjadi dengan adanya 3 kelompok besar yaitu
Kelompok Priyayi, Kelompok Santri, dan Kelompok Abangan (Geertz dalam Fauzi,
2001) Pemisahan kelompok ini tampak semakin mengerucut pada pra pemilihan
umum 1955, dimana kelompok santri dengan simbol-simbol keagamaanya terafiliasi
dalam partai-partai kanan, sementara kaum abangan lebih banya terkonsentrasi dalam
PKI dan PNI. Sehingga polarisasi poltik mengempokkan masyarakat dalam dua
oriantasi yang yang berhadap-hadapan yaitu kelompok Islam versus Non Islam.
Ketimpangan penguasaan tanah akhirnya melahirkan konflik antar kelas sosial dan
konflik orientasi budaya-keagamaan.

6
Dalam rangka menggairahkan kehidupan bermasyarakat di alam kemerdekaan
yang barusaja diraih, melalui maklumat Wakil Presiden tanggal 1 November 1945,
pemerintah yang baru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan.Dan dengan
adanya kesempatan ini munculah upaya-upaya untuk membangun organisasi petani.
Tak lama setelah Maklumat keluar, tanggal 5-7 November 1945, dilaksanakanlah
kongres dan rapat-rapat kaum buruh dan petani di Surakarta yang dhadiri 2000
utusan. Konggres Petani selanjutnya diselenggarakan di Yogyakarta dan berhasil
mendirikan Barisan Tani Indonesia (BTI), dengan segera BTI belajar menangkap isu
penting dlam kehidupan masyarakat yaitu anti kolonialisme.BTI menyuarakan
perjuagan kaum petani yang telah disengsarakan oleh kolonialisme,sekalipun
pimpinan BTI kebanyakan merupakan orang kota (bukan petani). Oleh karena
kemampuan BTI menangkap persoalan aktual maka dengan cepat ia dapat merangkul
semua aliran ideologi apapun yang mempunyai perhatian sama terhadap nasib petani.
BTI berkembang luas bahkan sampai ke Sumatera. Tahun 1947 setelah melalui
proses pergantian pemimpin, BTI berkembang ke arah Marxisme, dan akibatnya
pemimpin BTI dari kalangan Islam meninggalkan BTI dan berpintah ke organisasi
tani lain yang disonsori oleh Masyumi dalam Serikat Tani Islam Indonesia.
Sedangkan pemimpin BTI yang berpaham sosialis dan nasionalis tetap bertahan.
Organisasi petani (BTI dan STII) terus melakukan takanan terhadap Pemerintah
untuk membeli tanah-tanah partikelir dan perkebunan terlantar untuk dijual murah
kepada para petani.
Pemerintah meresponnya dengan membentuk Komisi Tanah Konversi tahun
1948 untuk menyelesaikan persoalan tanah-tanah yang ditinggalkan Pemerintah
Kolonial. Tahun 1949 hampir berbarengan dengan pengakuan Kedaulatan RI dengan
KMB seluruh organisasi petani mengadakan Konggres bersama dan mengemukakan
tuntutan penting kepada Pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah konversi
tanah dengan tuntutan untuk mendirikan koperasi terhadap pemodal asing, pemilik
perkebunan, dan buruh di bawah pengawasan pemerintah. Tuntutan lainnya adalah
agar perkebunan yang tanahnya diduduki oleh rakyat sejak masa perjuangan melawan
penjajah diberikan kepada petani dan penduduk desa.
PKI mempunyai peran sangat penting dalam politik agraria, dengan mendirikan
Rukun Tani Indonesia (RTI) yang langsung berada di bawah komandonya. RTI
mengkritisi program agraria BTI yang menempatkan negara sebagai lembaga yang
berhak atas semua tanah. Maka semboyan agraria ‘nasionalisasi semua tanah’
dirubah menjadi tanah untuk kaum tani, pembagian tanah kepada kaum tani, dan
milik perseorangan petani atas tanah untuk meraih simpati kaum tani sebesar-
besarnya. Pimpinan PKI melakukan analisis masalah agraria dengan pendekatan
kelas. Lapisan sosial desa dikonfrontasikan dengan istilah musuh dan kawan. Musuh-
musuh PKI dikelompokkan dalam Tujuh Setan Desa yaitu : Tuan Tanah Penghisap,
Lintah Darat, Tukang Ijon, Kapitalis Birokrat, Tengkulah Jahat, Bandit Desa dan
Penguasa Jahat. Bersamaan dengan tiu PKI melakukan riset-riset untuk mengenali
dan menyelidiki secara langsung kehidupan kaum tani. Hasil penelitian mereka
menyebutkan membenarkan adanya pertentangan antara kaum tani miskin, dan buruh

7
tani dengan petani kapitalis dan tuan tanah, dan meneguhkan thesis adanya
kontradiksi kaum tani tanh bertanah (tunakisma) dengan tuan tanah.
Berdasarkan hasil penyelidikan itu PKI-BTI semakin gencar menyuarakan land
reform dalam pandangan mereka. Paska pemilihan umum 1955, dinamika politik elit
dan massa dalam politik agraria terpusat pada isu land reform (Utrecht dalam Fauzi,
2001) dan isu tersebut menjadi pembicaraan secara nasional ketika diangkat dalam
pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian
disebut sebagai Manifesto Politik atau Manipol. Dalam pidato tersebut juga
disebutkan perlunya memberantas sejumlah warisan kolonial termasuk pengaturan
mengenai tanah dengan Revolusi Indonesia. Sebagai tindak lanjut DPA melakukan
Sidang Dewan dan menegaskan kembali penghapusan kelas-kelas sosial dalam
kehidupan masyarakat desa, memberikan tanah hanya pada yang mengerjakan
sendiri, dan mengurangi buruh tani melalui land reform.Land reform digunakan
sebagai strategi untuk mengatasi ketimpangan pengausaan tanah yang terjadi.
Gejolak politik yang terjadi pada masa itu sangat kental mempengaruhi
kebijakan pertanahan, penataan penguasaan tanah melalui land reform mempunyai
kedudukan sebagai isu sentral di kalangan elit politik.. Persaingan politik antara PNI,
Partai-Partai Keagamaan, dan, Partai Komunis Indonesia membentuk polarisasi
pandangan yang cukup ekstrem terhadap land reform. Di kalangan elit kenegaraan
pertentangan dua kubu kepentingan antara wakil petani tak bertanah versus tuan tanah
dan pemilik tanah yang luas amat tercermin dari polarisasi kekuatan politik baik
dalam DPR maupun DPA yang terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Golongan Radikal yang berasal dari unsur-unsur PKI, PNI, dan Murba yang
menyatakan pembagian tanah hanya untuk petani penggarap. Para tuan dan dan
pemilik lahan laus dikatakan sebagai penghisap kaum petani miskin, dengan cara
penggarapan, sewa dan bagi hasil.
2. Golongan Konservati yang terdiri dari unsur-unsur partai Islam dan sebgian PNI
yang menolak anggapan penghisapan kaum petani miskin oleh tuan tanah dan
pemilik tanah yang luas. Golongan ini pun menolak pembatasn pemilikan tanah
3. Golongan Kompromis yang menerima pandangan kelompok radikal tetapi
pelaksanaannya harus dilakukan secara bertahap. Presiden Sukarno dan Menteri
Agraria Mr. Soedjarwo termasuk dalam golongan ini.

Setelah melalui perdebatan alot akhirnya kubu konservatif dan kubu radikal
akhirnya berkompromi dan menyetujui RUU land reform menjadi Undang-undang.
UU Land Reform dipayungi oleh dua undang-undang sebelumnya yaitu UUPA dan
UUPBH. Tahun 1961 kegiatan land reform dimulai dengan tiga (3) kegiatan yaitu : a)
Pendaftaran Tanah dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, yang dilaksanakan desa demi desa secara lengkap. Pendaftaran
tanah dilakukan dengan memperhatikan riwayat tanah dan keterangan-keterangan
yang diberikan oelh yang berkepntingan. Pejabat yang melakukan pendafatran terdiri
dari satu orang pejabat di Jwatan Agraia, dua orang dari pemerintah desa, dan bila
dipandang perlu dapat ditambah masing-masing seorang dari Jawatan Agraia,
Pamong Praja, dan Kepolisian. Hasil pengukuran dan pendaftaran tanh ini menjadi

8
dasar penetuan tanah-tanah obyek land reform yang diatur dengan PP No 224 tahun
1961, khususnya tanah-tanah kelebihan dari luas maksimum yang diperbolehkan.
Land reform dilaksanakan secara bertahap, tahap pertama dilaksanakan di
wilayah pulau Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat mulai 24 September
1962 atau tepat di ulang tahun kedua UUPA. Pada tahap ini akan dibagikan tanah-
tanah kelebihan luas maksimum yang diperbolehkan, tanah guntai dan tanah eks
swapraja yang direncanakan selesai tahun 1963 atau paling lambat tahun 1964, tahap
kedua dilaksanakan diwilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lain
Keseluruhan program land reform ini dimuat dalam rencana Pembangunan Nasional
Semesta tahap I dan diperkirakan akan memakan waktu antara 3-5 tahun.
Pertentangan dua kepentingan yaitu kepentingan petani miskin dan buruh tani
yang direpresentasikan oleh BTI dan kepentingan tuan tanah atau pemilki tanah luas
melaui PETANI, dimanifestasikan dalam perebutan pengaruh antar 2 kelompok ini
terhadap panitia-panita land reform dan justru menghambat kerja panitia.
Kendala lain adalah hambatan dalam proses pendaftaran tanah dan pembagian
tanah-tanah obyek land reform . Pelaksanaan UUPBH pun banyak mengalami
kendala dalam pelaksanaannya di lapangan. Hambatan-hambatan Pokok dalam
pelaksanaan land reform disebutkan oleh Mr. Soedjarwo dalam laporannya sebagai
berikut :
ƒ Belum sempurnanya administrasi pertanahan, sehinga pelaksanaan landreform di
lapangan mengalami kesulitan untuk mengetahui secara tepat luas tanah yang
dapat ditentukan sebagai obyek landreform.
ƒ Belum adanya persepsi yang sama tentang pentingnya penyelenggaraan land
reform.
ƒ Kurangnya perhatian dari penyelenggara pelaksanaan land reform.
ƒ Belum optimalnya peran masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
pelaksanaan dan pengendalian landreform
ƒ Adanya tekanan-tekanan psikologis dan ekonomis dari pemilik pemilik tanah
yang tanahnya diambil untuk dijadikan objek.

Hambatan-hambatan ini menjadi alasan dilakukannya aksi sepihak oleh BTI


untuk mendorong kaum petani miskin mengambil alih tanah-tanah obyek land reform
dari petani kaya, tuan tanah, dan pemilik tanah luas dengan cara-cara kekerasan.
Situasi ini melahirkan kekacauan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di desa-
desa, pertentangan antar lapisan masyarakat melahirkan konflik horisontal yang
menegangkan. Kenyamanan dan ketenteraman hidup bertetangga hilang seketika
berupa menjadi rasa saling curiga dan kebencian.
Puncak dari semua ketegangan adalah meletusnya G 30 S PKI, merupakan titik
kontra produksi perjalanan penataan penguasaan tanah di Indonesia. Trauma-trauma
aksi sepihak yang pernah dijalankan oleh BTI membuat land reform mendapat stigma
sebagai progranm yang kekiri-kirian, sehingga harus dijauhi. Seluruh fundamen
poltik agraria populis seperti proses konversi, pendaftaran tanah, land reform dan
pembangunan nasional semesta dicampakkan seketika.

9
Partisipasi politik rakyat pedesaan dihancurleburkan, iklim politik yang
bernuansa konfrontatif antata komunis – anti komunis, agitasi-counter agitasi,
propaganda – anti propaganda mewarnai kehidupan sosial pedesaan, mulai dari antar
individu, sampai antar kelompok. Perilaku sosial yang dulu saling menopang hilang
seketika. Anggota masyarakat yang dicurigai berafiliasi kepada BTI dan PKI
dibunuh, dan sebagian dipenjarakan. Demikian pula dari kelompok anti komunis juga
berjatuhan korban.
Yang paling tragis, program land reform yang sejak awal dituduh sebagai
produk PKI dihentikan total, tanah-tanah obyek land reform yag diidentifikasi dengan
susah payah akhirnya banyak yang kembali ke pemilik semula karena ketakutan yang
dialami pemilik baru. Kerja keras panitia land reform selama bertahun-tahun menjadi
tidak berati lagi.
Untuk menyelamatkan hasil positif panitia land reform Menteri Agraria
mengeluarkan instruksi tanggal 10 Desember 1965 (No. 2- PLP-1965) berupa
perintah membuat perhitungan semula dan orang lain yang menyalahgunakan situasi
yang anti PKI dengan mengambil kembali tanah-tanah yang sudah diredistribusikan.
Tetapi mengingat situasi kebencian yang tengah berkobar, maka usaha ini pun sia-sia.
Seiring dengan itu terjadi pergantian pemerintahan di Republik Indonesia dan
orientasi politik. Corak pemerintahan populisme dengan sosialisme ala Indonesia
berubah menjadi kapitalis yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan
pembangunan. Dunia sedang berada dalam hipnotis aliran developmentalism dimana
pertumbuhan ekonomi menjadi fokus dalam kebijakan pemerintahan mulai mewarnai
corak pemerintahan Republik Indonesia.
Penataan penguasaan tanah atau land reform oleh orde baru didudukkan dalam
masalah teknis semata. UUPA yang dicap sebagai produk orde lama dipeti eskan, dan
dikesampingkan, untuk mengisi kekosongan hukum guna pengaturan pemanfaatan
sumberdaya alam maka dibuatlah beberapa Undang-undang seperti Undang-undang
No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dan UU No. 11 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Pertambangan, yang tidak menginduk ke UUPA melainkan
langsung mengambil Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna "untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat" tersebut dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam
berbagai kebijakan yang relevan dalam berbagai bidang, termasuk bidang
pertanahan?
Kenyataan di lapangan telah mengisyaratkan adanya ketidakserasian dalam
pengaturan pertanahan. Di antaranya adalah :
1. Sebagian besar tanah berada dalam kawasan hutan yang menjadi “milik” negara.
Dalam kawasan ini tidak dibenarkan adanya penguasaan tanah oleh orang pribadi,
perusahaan atau masyarakat karena dikuasai oleh negara. Masyarakat yang sudah
hidup dan tergantung kepada tanah tersebut tidak diakui haknya. Sementara itu, di
luar kawasan hutan juga terdapat tanah negara (yang diakui sebagai milik negara

10
tetapi tidak dikuasai oleh negara) yang semua orang yang berupaya memilikinya.
Proses pemilikan tanah negara ini menjadi milik seseorang membutuhkan biaya
yang besar serta melalui birokrasi yang berbelit-belit.
2. Sebagian besar masyarakat yang menguasai tanah tidak memiliki bukti
kepemilikan. Hak atas tanah yang dibuktikan dengan sertifikat tanah meskipun
terdaftar masih amat tidak pasti karena sewaktu-waktu seseorang bisa kehilangan
dengan berbagai sebab.
3. Banyaknya bentuk penguasaan tanah yang tidak jelas siapa pemiliknya dan apa
maksudnya. Hal ini menyebabkan kebingungan di masyarakat dan mengakibatkan
tertinggalnya pasar tanah dibanding komoditi lainnya.
4. Penguasaan oleh kelompok masyarakat tidak dapat dicatat sebagai hak atas tanah
walaupun kenyataan ini terdapat di banyak daerah. Sebidang tanah yang dikuasai
kelompok masyarakat Baduy tidak jelas statusnya. Apabila dijadikan kawasan
hutan, mereka tidak diakui keberadaannya dan apabila dijadikan tanah negara
bebas, maka semua orang berebut untuk mengambilnya secara perseorangan dan
kelompok masyarakat Baduy terancam terusir dari tempat yang menjadikannya
khas. (Sumardjono : 2001)
UUPA hanya digunakan secara parsial untuk mendukung pembangunan,
dengan membuat peraturan-peratusan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebutuhan
praksis seperti yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah..
Undang-undang No. 20 tahun 1961 tantang Pencabutan Hak atas Tanah yang
semula dibuat untuk mendukung pelaksanaan land reform berubah penggunaanya
untuk mendukung pembebasan tanah untuk kepetingan umum (baca :
pembangunan).Istilah Pencabutan hak atas tanah pun diperhalus menjadi pembebasan
tanah melalui Permendagri No. 15 Tahun 1975, yang memungkinkan untuk
membebasakan semua hak atas tanah yang diberikan oleh UUPA termasuk hak adat.
Mekanisme pembebasan dilaksanakan oleh Panitia Sembilan yang semuanya berasal
dari kalangan birokrat dan militer tanpa ada partisipasi dari masyarakat yang
tanahnya dikenai pembebasan
Dengan Inpres inipun ternyata proses pembebasan tanah tidak bisa semulus
harapan sehingga dikeluarkan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Definisi
kepentingan umum dalam Kepres ini dimaknai sebagai kepentingan seluruh lapisan
masyarakat, sedangkan pembangunan utnuk kepentingan umum dibatasi pada
kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah,
serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan
Definisi kepentingan umum juga didekati dengan bentuk daftar kegiatan yang
dikategorikan sebagai kepentingan umum, yang terdiri dari 14 kegiatan yaitu :
1. Jalan umum, saluran pembuangan air;
2. Waduk, bendungan dan bangunan peng-airan lainnya termasuk saluran irigasi;
3. Rumah Sakit Umum dan Pusat-Pusat Kesehatan Masyarakat;
4. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;
5. Peribadatan;
6. Pendidikan atau sekolahan;

11
7. Pasar umum atau Pasar INPRES;
8. Fasilitas pemakaman umum;
9. Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul, penanggulangan
bahaya banjir, lahar lain-lain bencana;
10. Pos dan Telekomunikasi;
11. Sarana Olah Raga;
12. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
13. Kantor Pemerintah;
14. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;

Pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah dan bila tidak dicapai kata
sepakat sedang lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, maka ditempuh cara-
cara yang diatur dalam UU no. 20 tahun1961. Sayangnya dalam pelaksanaannya arti
kepentingan umum manjadi bias oleh karena pembangunan jalan tol yang dikelola
pihak swasta pun masuk dalam kategori kepentingan umum, sedang jalan
musyawarah yang ditetapkan seringkali dilakukan melalui rekayasa-rekayasa.
Kuatnya pengaruh militer membuat jalan kekerasn yang penuh intrik dilakukan dalam
proses pembebasan tanah, seperti ilustrasi sebagai berikut :
Untuk meningkatkan aksesibilitas di desa, maka dibuatlah jalan baru yang
melewati tanah (tegalan) milik masyarakat. Namun karena rencana jalan mengenai
sebagian tanah seorang oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI, pada waktu itu
bernama Angkatan Bersenjata RI = ABRI), maka lokasi jalan baru terpaksa digeser
beberapa meter. Akibatnya tanah milik mertua penulis yang sebelumnya tidak terkena
rencana jalan kini membujur terbelah dua oleh jalan desa. Beberapa pemiliki tanah
yang lain juga mengalami nasib serupa. Mengingat fungsi sosial tanah dan
kepentingan pembangunan, maka masyarakat pemilik tanah menerima kondisi yang
terjadi karena mengharap adanya ganti rugi yang akan diterima. Namun hingga jalan
telah selesai dibuat dan diresmikan, ganti rugi yang dijanjikan tidak pernah diterima.
Sekitar dua bulan kemudian masyarakat yang tanahnya tergusur pembangunan jalan
desa tersebut dikumpulkan di kantor kepala desa. Di sana telah hadir Kepala Desa
Gadungan, Camat Gandusari, Komandan Rayon Militer (Danramil), Kepala
Kepolisian Sektor (Kapolsek) Gandusari dan beberapa pegawai Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten Blitar. Pada pokoknya acara tersebut berisi penyerahan Piagam
Penghargaan yang ditandatangani Bupati Blitar kepada masyarakat yang tanahnya
tergusur pembangunan jalan desa yang intinya menyatakan ucapan terima kasih atas
partisipasinya dalam pembangunan di wilayah Kabupaten Blitar. (Kumoro, 2005)
Kepres ini akhirnya semakin menjadi akselerator proses konsentrasi penguasaan
tanah oleh sekelompok kecil masyarakat yang disebut sebagai pahlawan
pembangunan, dan diperparah lagi oleh berbagai kebijakan pertanahan yang tampak
secara menyolok lebih banyak memberikan kemudahan kepada sekelompok kecil
masyarakat, sebaliknya hal yang sama belum atau tidak diberikan kepada kelompok
masyarakat yang lebih besar. Beberapa bentuk kebijakan yang menggambarkan
keberpihakan tersebut antara lain :

12
1. Kebijakan berupa penyederhanaan tata cara pemberian hak guna usaha (HGU)
dan hak guna bangunan (HGB) serta pemberian batas waktu penyelesaiannya.
Kemudahan yang digulirkan seiring dengan deregulasi pada tahun 1992 sampai
dengan 1993 ini bertujuan untuk menarik investor agar membuka dan
memperluas investasinya di Indonesia. Namun kemudahan dan kepastian waktu
(pengurusan sertifikat tanah) tersebut tidak dapat dirasakan oleh masyarakat
umum.
2. Kebijakan penguasaan tanah oleh perusahaan pembangunan perumahan dan
industri (real estate dan industrial estate) pada umumnya diperoleh melalui proses
alih fungsi tanah pertanian subur. Pada prakteknya banyak ditemui perusahaan
yang belum atau tidak memanfaatkan seluruh tanah yang dikuasainya atau belum
menguasai seluruh tanah sesuai dengan perencanaan semula. Kondisi paradok
tampak bahwa di satu sisi ada areal tanah yang luas namun tidak dimanfaatkan,
sedangkan di sisi lain sulitnya memperoleh sebidang tanah karena kenaikan harga
tanah yang tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan kecemburuan sosial.
3. “Kebijakan pem-biar-an” investasi atau spekulasi tanah oleh sebagian kecil
masyarakat yang memiliki kelebihan modal yang mengakibatkan harga tanah
semakin tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Mereka yang tidak
mampu bersaing untuk memperoleh tanah ini kemudian tersingkir.
4. Kebijakan pemberian HGU atas bekas lahan perkebunan terlantar. Di beberapa
tempat tanah-tanah ini dimanfaatkan atau digarap oleh masyarakat sekitarnya
dalam waktu yang relatif lama. Pemberian HGU kepada pemegang hak yang baru
seringkali mencakup areal yang sudah dikerjakan oleh masyarakat secara intensif.
Kebijakan memberikan hak atas tanah secara kolektif kepada para penggarap
yang rajin dan beritikad baik tersebut justru tidak dilakukan karena pemerintah
lebih memperhatikan kepentingan pengusaha daripada kepentingan para
penggarap.
5. Kebijakan yang menyimpang dari tujuan semula karena ketidaksengajaan
sehingga menguntungkan pihak-pihak yang sebetulnya kurang atau tidak
membutuhkan manfaat kebijakan tersebut. Program konsolidasi tanah, misalnya
di wilayah perkotaan perkotaan, hasilnya justru tidak dinikmati oleh pemilik atau
pemegang hak atas tanah semula. Konsolidasi tanah biasanya mengakibatkan
peningkatan harga tanah. Hal ini kadang-kadang memberatkan karena
menyebabkan kenaikan pajak, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh)
pengalihan hak atas tanah. [Sumardjono : 2001]

Ada benang merah yang selalu terhubung sepanjang sejarah penguasaan tanah
di Indonesia, dimana dapat diidentifikasi ada tiga (3) pelaku utama yang
menyebabkan ketimpangan penguasaan tanah. Pelaku utama tersebut adalah
pemerintah, pihak swasta sebagai pemilik modal atau para pengusaha, dan
masyarakat khususnya petani. Masing-masing pelaku mempunyai posisi tawar yang
berbeda karena perbedaan akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan
sumber daya alam berupa tanah yang jumlahnya terbatas. Kedudukan yang tidak

13
seimbang dalam posisi tawar-menawar di antara masyarakat dan pihak swasta lebih
dikukuhkan dengan adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang
kebijakan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat tersebut
dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan tanah.
Akar masalah sesungguhnya dari fenomena ketimpangan penguasaan tanah
selain akibat terus bertambahnya jumlah penduduk yang menyebabkan kelangkaan
tanah serta bergesernya pola penguasaan komunal ke pola penguasaan individual,
adalah sikap rakus pemodal besar yang menginginkan fasilitas berupa kemudahan
memperoleh tanah untuk mengembangkan usaha mereka. Dan pola ini sudah terjadi
sejak zaman kolonialisme dengan politik culture stelsel, yang menempuh segala cara
untuk mendapat tanah dan pekerja dengan upah murah, dan dengan mengalami
banyak metamorfosa pola ini tetap berlangsung dan bahkan semakin menjadi-jadi di
era orde baru. Proses pembangunan yang seharusnya merupakan suatu metode untuk
mensejahterakan rakyat berubah menjadi ideologi yang harus didukung semua
komponen negara. Kebijakan pemerintah oede baru dengan paradigma yang secara
populer dikenal sebagai proses penetesan ke bawah (trickle down effect) yang pada
dasarnya merupakan pengembangan teori ekonomi dari pengalaman Amerika Serikat
merekonstruksi perekonomian Jerman yang rusak sebagai akibat Perang Dunia kedua
yang disebut sebagai Marshall Plan. Paradigma tersebut memberikan harapan bahwa
jika suatu perekonomian tumbuh dengan cepat (lebih dari 5% per tahun), maka akan
terjadi "penetesan" pendapatan dari kelompok pendapatan yang tinggi ke kelompok-
kelompok pendapatan yang lebih rendah melalui mekanisme pasar yang
dikendalikan.
Pengkajian terhadap negara-negara yang telah mengalami proses penetesan ke
bawah, misalnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia, menunjukkan bahwa
berlangsungnya proses penetesan ke bawah tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain :
a. Tingkat perkembangan kelembagaan petani terutama representasinya.
b. Keefektifan koreksi terhadap mekanisme pasar.
c. Pemerataan tingkat pendapatan per kapita.
d. Pola kepemimpinan.
e. Tingkat dan sifat perkembangan struktur perekonomian nasional.
f. Tingkat diversifikasi ekonomi.
g. Keseragaman kelimpahan dan kualitas sumberdaya alam.
h. Tingkat perkembangan budaya. [Nasution : 2000]

Apa yang terjadi di Indonesia selama dua dekade ini samasekali tidak
memenuhi syarat terjadinya penetesan ke bawah tersebut. Pola hidup yang konsumtif
dan senang kemewahan membuat pembagian kue pembangunan hanya berputar-putar
di kalangan penguasa dan pengusaha denganmerebaknya praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme yang telah menghacrkan sendi-sendi kehidupan bangsa.

14
Kondisi ini membuahkan krisis ekonomi berkepanjangan yang membuat
kepemimpinan orde baru terguling, Pada masa reformasi tarik menarik kepentingan
kapitalis serta keinginan untuk kembali menjalankan pemerintahan yang populis turut
pula mewarnai kebijakan pertanahan. Pemodal besar masih mempunyai pengaruh
yang cukup kuat yang tercermin dengan penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan
terakhir dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006, yang cukup kontroversial.
Perubahan daftar kegiatan yang termasuk dalam kategori kepentingan umum, dengan
memasukkan jalan tol sebagai salah satu wujud kepentingan umum, serta sarana
prasarana telekomunikasi dan listrik sementara privatisasi di sektor-sektor tersebut
sedang terjadi. Sedangkan fasilitas umum seperti pasar umum dan rumah tahanan
malah hilang dari daftar kegiatan. Akusisi tanah tidak lagi bertumpu pada asas
musyawarah, karena jika tidak ada kesepakatan maka penggantian kerugian secara
sepihak dapat dilakukan dengan menitipkan uang ganti rugi di pengadilan negeri
setempat Namun demikian partisipasi politik masyarakat sudah mulai menguat,
sehingga efektifitas peraturan perundang-undangan juga akan sangat dipengaruhi oleh
kesediaan masyarakat untuk mentaatinya.
Di era paska reformasi sekarang kesadaran tentang perlunya menata kembali
struktur keagrariaan telah muncul kembali dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mengharuskan penyelenggaraan
reforma agraria atau pembaruan agraria. Ketetapan ini diteguhkan kembali melalui
Keputusan MPR RI No. 5 tahun 2003. Dengan demikian hal ini merupakan
konsensus sosial dan politik baru dalam mewujudkan keadilan sosial sebagaimana
telah dicita-citakan oleh Pancasila maupun UUD tahun 1945. Konsensus baru ini
kemudian dituangkan dalam Bab IV.1.5 Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional 2005-2025: “ menerapkan sistim
pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum
terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi,
dan demokrasi,.......perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui land reform” Reforma Agraria sebagai
strategi dan langkah pembangunan yang mengalami kisah sukses di beberapa negara
seperti Jepang, Taiwan, dan ebberapa Negara Latin, seperti El Salvador, oleh karena
reforma agraria merupakan mandat poltik, mandat konstitusi dan diperjuangkan untuk
kepentingan rakyat. Ada pendekatan baru dalam konsep reforma agraria yang
digulirkan oleh BPN RI selaku lembaga yang diserahi untuk melaksanakan tugas
besar itu bersama-sama dengan Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian,
yaitu bahwa kegiatan reforma agraria yang bertumpu pada land reform plus acces
reform ini juga dibarengi upaya untuk memberdayakan masyarakat kecil calon
penerima tanah, dalam bentuk pembinaan ke arah Usaha Menengah Kecil (UKM).
Pola ini mengambil teori Hernando De Soto bahwa sesungguhnya masyarakat kecil
mempunyai kekuatan yang tidak kalah dengan pemegang modal besar untuk
menjalankan sektor ekonomi mikro yang bahkan terbukti mampu bertahan melewati
krisis ekonomi yang melanda negeri.

15
Reforma Agraria dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) yang berkeadilan dengan langsung
mengatasi pokok persoalannya. Makna ini didekomposisi dalam 5 komponen yaitu :
(a) restrukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi
politik yang lebih berkeadilan (equity), (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang
berbasis keagrariaan (welfare), (c) penggunaan /pemanfaatan tanah dan faktor-faktor
produksi lainnya secara optimal (efficiency), (d) keberlanjutan (sustainability), dan
(e) penyelesaian sengketa pertanahan.
Reofma agraria bukan semata-mata masalah redistribusi tanah tetapi juga
mengupayakan optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diberikan
secara simultan sehingga dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan kepada
para peenrimanya. Peningkatan kualitas hidup serta multiplyer effect dari usaha yang
dijalankan di atas tanah baru tersebut diharapkan akan dirasakan pula oleh
wilayahnya, dan pada akhirnya akan memberi sumbangsih positif untuk
perekonomian secara nasional.

C. PENATAAN PENGUASAAN TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN


MASYARAKAT

Tidak dapat diingkari lagi bahwa penataan penguasaan tanah atau land reform
dalam rangka menigkatkan akses masyarakat atas tanah memang merupakan
kehendak dari seluruh masyarakat untuk mencapai kemakmuran yang lebih
berkeadilan. Dan sudah menjadi tugas negara untuk menjalankan agenda besar ini
sebagai perwujudan fungsi negara yaitu memberikan kebajikan pada masyarakat
dengan memberikan kesejahteraan secara merata,karena hakikatnya penyelenggaraan
negara merupakan kontrak sosial dan politik dari seluruh warga negara
untukmencapai kesehatreaan bersama. Belajar dari sejarah panjang penataan
penguasaan tanah maka dimana kegagalan program land reform atau penataan
penguasaan tanah selama ini disebabkan oleh kesalahan thesis dan teori pendekatan
terhadap struktur sosial masyarakat. Reforma agraria dengan UU Agraria 1870 jelas-
jelas produk pemerintah kolonial yang syarat akan eksploitasi kekayaan alam dan
sumberdaya manusia (tenaga kerja) sehingga memang tidak dilaksanakan secara
sungguh-sungguh dengan menyentuh pokok persoalan.
Usaha penataan penguasaan tanah di era paska kemerdekaan hingga orde lama
yang pada awalnya sudah cukup bagus, menjadi bias oleh karena pendekatan yang
salah dalam menangkap situasi sosial keagrariaan, dengan melihat pola penguasaan
tanah yang dibagi dalam kelas-kelas sosial, yang kemudian saling dipertentangkan.
Padahal sesungguhnya sekalipun banyak sekali petani tak bertanah kala itu tetapi pola
hidup kebersamaan dengan pola pengerjaan sawah secara bagi hasil. Yang di Jawa
dikenal pula dengan istilah maro, mertelu dan sebagainya cukup mampu menopang
kehiupan masyarakat.
Pola pemilikan individual yang makin menguat dan semakin menghilangnya
pola penguasaan tanah secara komunal juga menjadi persoalan yang tidak ditangkap

16
dalam pelaksanaan reforma agraria. Pemilikan tanah secara individu mempengaruhi
dalam pola pewarisan tanah, sehingga tanah garapan yang semula luas akan terus
menyempit karena pembagian tanah yang terus berulang. Luasan tanah yang semakin
sempit menjadi tidak efektif lagi untuk menjalankan usaha pertanian. Melihat dari
pengalaman di Jepang dan Taiwan, pembatasan luasan tanah pertanian minimum,
maka tanah pertanian yang dimiliki cenderung diwariskan kepada anak yang
dipandang paling mampu untuk mengusahakannya dengan kewajiban membagi hasil
pertanian secara proporsional. Sehingga di kedua negara yang mempunyai wilayah
sempit ini tanah pertanian cenderung bertambah luas, dibandingkan dengan Indonesia
yang setiap tahun luasan lahan pertaniannya terus menurun.
Sebagaimana dilaporkan oleh Mr. Soedjarwo selaku Menteri Agraria yang
menjalankan program land reform di era orde lama, salah satu hambatan dalam
pelaksanaan land reform adalah lemahnya administrasi pertanahan, yang
menyebabkan ketiadaan data yang pasti mengenai luasan tanah obyek land reform.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan jika reforma agraria hendakdijalankan secara
sungguh-sungguh. Administrasi pertanahan yang dilakukan merupakan warisan dari
orde baru yang menempatkan BPN pada posisi pasif, dengan mendaftar persil-persil
tanah yang didaftarkan oleh masyarakat saja sesuai dengan PP No. 24 athun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. . Memang ada juga usaha untuk mengumpulkan data
secara masal (sistematik) melalui proyek-proyek ajudikasi, tetapi luasan yang dapat
dipetakan masih sangat sedikit dibanding luas wilayah seluruh Indonesia.
Padahal jika kita ingin menata aset tanah yang dapat dimanfaatkan secara
optimal melalui land reform dan acces reform maka kita sangat memerlukan basis
data penguasaan tanah di seluruh Indonesia, artinya BPN harus mendapat mandat
secara aktif melakukan pendataan dan pemetaan penguasaan tanah di seluruh
Indonesia. Termasuk pula penguasaan tanah-tanah adat, dan bentuk-bentuk
pengausaan lain yang dikenal di seluruh wilayah Indonesia, seperti penguasaan tanah
eks swapraja, selain penguasaan individual.
Untuk itu diperlukan pula perangkat peraturan perundang-undangan yang
memberikan payung hukum terhadap eksistensi pola penguasaan yang ada di seluruh
wilayah Indonesia. UUPA ssungguhnya telah memberikan kerangka bagi
pembentukan peraturan pelaksanaan mengenai hak ulayat dan tanah-tanah eks
swapraja. Dan kerangka hukum yang sudah diberikan tersebut belum penah disentuh
sama sekali karena perubahan orientasi poltik pemerintahan sepanjang era orde baru
sampai dengan orde reformasi.
Padahal sesungguhnya di banyak negara seperti Ghana, Papua Nugini,
kepulauan Fiji, dan beberapa negara Amerika Latin yang pola pengausaan tanahnya
80 % merupakan penguasaan adat, telah terbukti bahwa mengakomodasi hak tanah
adat atau ulayat dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan optimalisasi
pemanfaatan tanah-tanah adat dengan mekanisme yang disesuaikan dengan norma
setempat.
Kekosongan hukum yang mengatur tanah adat dan tanah eks swapraja
menyebabkan banyak sekali tanah-tanah dengan status quo sehingga secara otomatis
akan menyebabkan pemanfaatan tanah yang tidak optimal.

17
Contoh yang paling aktual saat ini adalah tanah Sultan ground (SG) dan Paku
Alam Ground (PG) di Yogyakarta. Ketidakjelasan status tanah-tanah tersebut menjadi
dilema tersendiri. Disisi lain banyak sekali masyarakat yang kekurangan tanah untuk
mendukung kehidupan mereka sementara di sisi lain banyak sekali tanah SG dan PG
yang terbiarkan begitu saja karena pengusahaan tanah dengan status yang tidak jelas,
jelas mengandung resiko yang sangat besar.
Oleh karena itu reforma agraria yang mencakup land reform dan acces reform
seyogyanya dilakukan dengan penataan poltik pertanahan yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, dan penataan hukum pertanahan secara holistik.

D. PENUTUP
D.1. Kesimpulan
1. Ketimpangan penguasaan tanah merupakan fenomena sosial yang terus ada
sepanjang sejarah Bangsa Indonesia. Penyebab utama dari ketimpangan
penguasaan tanah ini adalah pertambahan jumlah penduduk, perubahan opal
pengausaan tanah komunal menjadi pola pengausaan individu, dan adanya
pembagian tanah yang terjadai secara terus menerus dengan pewarisan
2. Di lapisan lain keadaan ini diperparah oleh sifat manusia yang rakus tanah
yang diperlihatkan oleh pemodal besar dan ditentukan oleh orientasi politik
dan pemerintahan yang berpihak kepada kaum pengusaha besar.
3. Kondisi penguasaan tanah yang timpang jika dibiarkan secara terus menerus
akan membuahkan ketidakpuasan masyarakat banyak, dan pada gilirannya
akan melahirkan instabilitas sosial.
4. Usaha penataan penguasaan tanah sudah dilakukan jauh sebelum
kemerdekaan tetapi selalu menemui kegagalan dikarenakan tarik menarik
kepentingan yang sangat besar yang selalu mewarnai usaha ke arah itu,
disamping pendekatan struktur sosial yang kurang tepat
5. Kegagalan program penataan penguasaan tanah juga disebabkan oleh
pendekatan yang parsial, dari segi pembagian tanah saja atau pelaksanaan
secara fisik saja atau hukum pelaksanaannya saja tetapi kurang
mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti kejiwaan penguasaan tanah
yang ada.

D.2. Saran
Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi maka maka pelaksanaan land
reform yang akan dilaksanakan hendaknya memperhatikan dan
mempertimbangkan segala aspek mulai dari penataan politik pertanahan,
hukum pertanahan, dan administrasi pertanahan yang mampu mengakomodasi
nilai-nilai atau norma atau kearifan lokal, sehingga tanah tidak hanya
mempunyai nilai ekonomis saja tetapi nilai-nilai magis religius dan sosial
sebagaimana diamantkan oleh UUPA dapat dripertahankan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Haeruman, Herman, 1999, SISTEM PERTANAHAN POSITIF LEBIH EFEKTIF


UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT dalam Majalah BHUMIBHAKTI
Nomor 19/1999.

Harsono, Sony, 1997, KONFLIK PERTANAHAN DAN UPAYA-UPAYA


PENYELESAIAN dalam Majalah BHUMIBHAKTI Nomor 13/1997.

Winoto, Joyo, 2007, MANDAT POLITIK, KONSTITUSI DAN HUKUM DALAM


RANGKA MEWUJUDKAN TANAH UNTUK KEADILAN DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT, Bahan Kuliah Umum Kepala Badan
pertanahan Nasional di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, 22 November
2007

Nasution, Lutfi Ibrahim, 2000, PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI


PENINGKATAN LUAS PEMILIKAN TANAH PERTANIAN dalam Majalah
BHUMIBHAKTI Nomor 20/2000.

Ruchiyat, Eddy, 1999, POLITIK PERTANAHAN NASIONAL SAMPAI ORDE


REFORMASI, PT Alumni, Bandung.

Salahuddin, Soleh, 1999, PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI REFORMASI


AGRARIA DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI dalam Majalah
BHUMIBHAKTI Nomor 19/1999.

Sumardjono, Maria S.W., 2001, KEBIJAKAN PERTANAHAN ANTARA REGULASI


DAN IMPLEMENTASI, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta

Wiradi, Gunawan dan Sudiono M.P. Tjondronegoro, 1984, DUA ABAD


PENGAUSAAN TANAH, Seri Pembangunan Pedesaan, PT. Gramedia, Jakarta

Wiradi, Gunawan, dan Noer Fauzi, Khrisna Ghimire, 2001, REFORMA AGRARIA :
JALAN PENGHIDUPAN DAN KEMAKMURAN RAKYAT, Lapera Pustaka
Utama, Yogyakarta

19

Anda mungkin juga menyukai