Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Berbagai penelitian di bidang biologi molekular telah mencoba mengungkap asal usul
kehidupan dan evolusi berbagai makhluk hidup yang masih hidup atau yang telah punah. Teori-
teori yang berkembang tentang asal usul kehidupan memang sulit dibuktikan. Saat ini fosil
molekular seperti intron yang terdapat dalam materi genetik tiap makhluk hidup merupakan salah
satu petunjuk yang mendukung teori-teori tersebut.

Sel-sel yang hidup pada masa kini mempunyai ciri (1) membran pembatas yang
memisahkan isi sel dengan lingkungan eksternalnya, (2) satu atau lebih molekul DNA yang
membawa informasi genetik untuk menentukan struktur protein yang kelak akan berperan dalam
replikasi DNA, metabolisme, pertumbuhan, atau pembelahan sel, (3) sistem transkripsi untuk
mensintesis RNA, (4) sistem translasi untuk menguraikan rangkaian kode ribonukleotida
menjadi asam amino, dan (5) sistem metabolisme yang akan memberikan energi untuk berbagai
kepentingan fisiologis. Oleh karena itu bentuk kehidupan pertama di planet ini merupakan sistem
yang jauh lebih sederhana daripada sel-sel yang terdapat saat ini.

Usia planet bumi ini diperkirakan telah mencapai 4,6 milyar tahun. Fosil tertua yang
telah ditemukan oleh manusia berwujud seperti bakteri yang usianya 3,5 milyar tahun. Dengan
demikian evolusi kimiawi diperkirakan terjadi saat 1 hingga 1,5 milyar tahun pertama dari usia
bumi. Hal ini menandakan bahwa evolusi kimiawi terjadi sebelum munculnya bentuk kehidupan
selular dan evolusi biologis. Saat ini sebagian besar para ilmuwan sepakat bahwa pada mulanya
atmosfer bumi tidak mengandung oksigen dan terutama mengandung nitrogen, CO2, H2S, dan
H2O.

Fosil tertua tersebut berupa sianobakteri yang ditemukan pada lapisan batu stromalit
yang telah berusia 3,5 milyar tahun. Bakteri tersebut adalah bakteri fotosintetik yang diduga
memproduksi oksigen dari hasil pemecahan air seperti yang dilakukan sianobakteri modern saat
ini. Selama milyaran tahun sejarah bumi ini diperkirakan mulai terakumulasi senyawa oksigen
hingga pada akhirnya mengubah atmosfer primitif bumi menjadi atmosfer yang bersifat
pengoksidasi.

Saat ini terdapat dua teori utama tentang asal usul kehidupan di bumi. Teori pertama
menyatakan bahwa kehidupan berevolusi di bumi dari zat kimiawi tidak hidup, sedangkan teori
ke-2 yang disebut teori panspermia menyatakan bahwa kehidupan berevolusi di suatu tempat di
alam semesta dan terbawa ke bumi oleh komet atau meteorit. Pada dasarnya banyak laporan
tentang berbagai asam amino dan prekursor biomolekul modern yang ditemukan di dalam
meteorit sehingga kemungkinan terjadinya evolusi kimia pada molekul-molekul ini bisa saja
terjadi di berbagai tempat di alam semesta.

Pada tahun 1953, Stanley Miller yang mendapat bimbingan dari Harold Urey membuat
suatu alat untuk merekonstruksi keadaan atmosfer purba untuk menggambarkan evolusi kimia
dari beberapa molekul prekursor biologis. Miller menciptakan suatu sirkulasi uap air dan
beberapa gas (CH4, NH3, dan H2) melalui ruang yang dialiri listrik bertegangan tinggi (yang
merupakan simulasi petir saat itu). Setelah beberapa hari, senyawa yang dihasilkan dari
eksperimen tersebut dianalisis dan ditemukan sedikitnya 10 asam amino yang berbeda, beberapa
aldehid, dan hidrogen sianida. Eksperimen serupa yang dilakukan oleh para ilmuwan dari
generasi selanjutnya menghasilkan berbagai blok pembangun polimer biologis lainnya yang
serupa dengan hasil percobaan Miller.

Sidney Fox beserta koleganya melakukan percobaan dengan cara memanaskan asam
amino dalam keadaan anhidrik dengan suhu 160-210oC dan percobaan ini menghasilkan asam-
asam amino yang terpolimerisasi yang rantai serupa protein yaang disebut ”proteinoid”.
Proteinoid yang ditemukan tersebut mempunyai struktur bercabang dan saat dimasukkan ke
dalam air menunjukkan beberapa sifat biologis seperti aktivitas enzimatik dan renta terhadap
proteinase.

Peptida-peptida serupa juga dapat disintesis dari asam amino dari tanah liat ”clay”. Clay
mengandung berbagai lapisan yang berselang-seling dan tersusun atas ion anorganik dan H2O.
Struktur tanah liat semacam ini dapat menarik molekul-molekul organik dengan sangat kuat dan
memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia di antara molekul-molekul tersebut. Sebuah simulasi di
laboratorium menunjukkan bahwa polipeptida dapat ditemukan pada proses-proses tersebut.

Ketika sebuah molekul proteinoid dipanaskan di dalam air dan kemudian di


dinginkan, maka selanjutnya akan terbentuk partikel kecil berbentuk bola yang disebut
3

mikrosfer. Mikrosfer tersebut mempunyai ukuran dan bentuk yang kira-kira sama dengan bakteri
berbentuk coccus. Beberapa di antaranya dapat tumbuh (mengalami pertambahan massa) melalui
penambahan proteinoid dan lipid. Kemudian terjadi proliferasi melalui pembelahan biner
ataupun budding.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang

perlu dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Bagaimana garis besar evolusi molekular?
2. Bagaimana proses evolusi molekular berlangsung?

C. Tujuan
Berdasarkan penjabaran latar belakang dan rumusan masalah yang diajukan,

maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut.


1. Untuk menjelaskan garis besar evolusi molekular.
2. Untuk menjelaskan proses evolusi molekular.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Garis Besar Evolusi Molekular
Dunia RNA

Suatu system kehidupan harus dapat mereplikasikan materi genetiknya dan mampu
berevolusi. Protein sangat penting dalam replikasi DNA, tetapi sebagian besar potein di sintesis
pada cetakan RNA dan cetakan RNA itu sendiri disintesis pada cetakan DNA.
Para saintis telah membuat hipotesis bahwa molekul-molekul RNA yang dapat
melakukan sendiri muncul secara prabiotis melalui kondensasi acak dari mononukleotida-
mononukleotida menjadi polimer-polimer kecil. Situs-situs aktif pada sebagian besar protein
modern dan RNA katalitik merupakan komponen penyusun segmen-segmen yang relatif kecil
dari polimer-polimernya. Polimer-polimer RNA replikasi primitif berukuran kecil yang terbentuk
secara abiotis kemungkinan hanya mempunyai aktifitas katalitik yang lemah dan rentan terhadap
replikasi yang salah. Meskipun demikian, molekul tersebut barangkali dapat menggunakan
dirinya atau molekul RNA lain sebagai cetakan untuk mempolimerisasi nukleotida RNA.
Kesalahan-kesalahan dalam jumlah banyak yang terjadi selama replikasi pada RNA replikasi
awal menghasilkan sebuahpool keragaman genetic yang dapat dipilah-pilah oleh seleksi alam
untuk menemukan molekul-molekul yang dapat mereplikasikan dengan lebih cepat atau
mempunyai akurasi yang lebih tinggi. Akan tetapi, terdapat sebuah masalah, yaitu tidak ada
replikasi yang dapat mengadakan situs aktifnya sendiri. Karenanya, dibutuhkan minimum dua
replikasi RNA yang disintesis pada saat hampir bersamaan dari prakursor ”sup purba”
(primordial soup). Sebuah tipe primitive sel yang mengandung sebuah genom RNA, yang
disebuteugenot, diduga berkembang dari populasi progenot.

Molekul RNA diduga merupakan molekul genom atau enzim primordial (purba) pada
sistem-sistem kehidupan primitif. Gula ribose lebih mudah disintesi pada simulasi kondisi
primordial dibandingkan gula deoksiribosa. Prakursor DNA dari semua sel yang hidup pada saat
ini dihasilkan dari reduksi nuleosid difosfat RNA oleh enzim protein yang amat lestari
(conserved) yang disebut ribonukleosida difosfat reduktase. Enzim

ini terdapat pada semua sel modern dengan hanya sedikit perbedaan struktur. Hal tersebut tanpa
menunjukan bahwa enzim ini adalah enzim purba yang telah melakukan tugas penting yang
sepanjang sejarah evolusioner yang panjang. System-sisitem kehidupan dengan genom RNA
diduga telah berevolusi terlebih dahulu. Genom-genom DNA yang lebih stabil dievolusikan
kemudia untuk menyimpan informasi genetik.

Selain itu, DNA lebih kecil kemungkinnnya untuk membentuk konfigurasi- konfigurasi
tiga dimesi yang kompleks akibat ketidakadaan gugus 2 hidroksilnya yang telah dapat
mengakibatkan ikatan hidrogen yang tidak biasa. Lebih lanjut, bahwa aktifitas kataliik dari
beberapa ribosom modern melibatkan gugus 2’ OH ini. terakhir, molekul-molekul dsDNA
mempunyai struktur yang sama berupa struktur heliks ganda yang menunjukan kepada kita
bahwa molekul tersebut tidak mempunyai sifat seperti enzimatis. Akan tetapi, dsDNA dapat
melipat ballikke untaiannya sendiri dan ssDNA melipat membentuk struktur tersier.

Secara bertahap, protein mulai mengambil alih fungsi-fungsi kataltik yang sebelumnya
dilaksanakan oleh molekul-molekul RNA. Hal ini memberikan flaksibilitas yang tinggi di dalam
sekuens karena terdapat 20 asam amino dan hanya 4 ribonukleotida. Selain itu, bentuk tiga
dimensi molekul RNA membutuhlan suatu skuens komplementer ditempat lain pada untaiannya
untuk dapat membentuk ikatan hydrogen.

Sintesis-sintesis kehidupan awal yang bias membuat berbegai protein penting cenderung
memiliki keuntungan selektif dibandingkan system-sistem dengan protein- protein yang terbatas.
Dengan demikian, seleksi mendorong munculnya variasi-variasi pada protoribosom, tRNA,

dan tRNA sintesis awal. Proses ini diduga telah


menghasilkan satu set ribosom spesifik-peptida yang masing-masing mempunyai sekuens
mRNA. Dengan demikian, suatu kode genetik primitive dapat termantapkan sebagai set-set
tRNA sintase dan protoribosom spesifik-peptida berevolusi.

Dunia DNA

Molekul DNA beruntai ganda mempunyai struktur yang lebih stabil dibandingkan
ssRNA. Karena lebih menguntungkan bagi system kehidupan untuk menyimpan informasi yang
dapat diwariskan di dalam molekul DNA daripada molekul RNA. Gugus 2” OH pada RNA dapat
menyerang ikatan fosfodiester yang berada

didekanya sehingga membuat RNA menjadi jauh lebih stabil dari pada DNA. Proses
autokatalitik ini barangkali dipercaya oleh kondisi-kondisi yang keras pada bumi primitif.
Seiring semakin kompleksnya sel-sel ukuran genomnya juga harus meningkat. Jika eugenot
pertama memiliki genot RNA yang tersegmentasi, setidaknya satu genom dari tiap segmen harus
ada di dalam tiap sel anaknya agar sel tersebut dapat sintas (survive). Untuk meningkatkan
probabilitas sel-sel anakan memperoleh genom yang utuh, seleksi alam akan lebih memilih
produksi genom polisistroni, akan tetapi semakin besar segmen genomik RNA, semakin tidak
stabil pula RNA tersebut sebagai sifat autokatalitiknya, jadi merupakan suatu keuntungan bagi
molekul DNA polisistronik stabil untuk mengambil alih fungsi genomic dari RNA dan
membiarkan RNA melakukan fungsi-fungsi yang tidak memerlukan molekul-molekul yang
berusia panjang. Sel-sel tak bernukleus pertama yang mengandung genom DNA (dan semua sel
semacam itu yang muncul berikutnya) disebutpr okar iota.

Setidaknya diperlukan empat proses utama untuk menyelasaikan transisi ini, yaitu (1)
sintesis monomer DNA oleh ribonukleotida difospat reduktase; (2) transkripsi balik dari genom
RNA menjadi polimer DNA; (3) replikasi genom DNA oleh DNA polymerase; dan (4)
transkripsigenom DNA menjadi molekul RNA fungsional (nongenomik) seperti tRNA, mRNA,
dan rNA.

Gen-gen yang terpisah pada sel eukariotik modern terdiri dari daerah pengkode (ekson)
dan daerah yang bukan pengkode (intron. Terselingnya gen-gen oleh intron menawarkan suatu
keuntungan evolusioner. Tampaknya,ekson-ekson dari gen yang berbeda kadangkala dapat
direkombinasi melalui mekanisme-mekanisme alami untuk mengkode protein dengan fungsi
yang berbeda namun mempunyai domain-domain asam amino yang mirip. Tiap domain tersebut
mempunyai fungsi spesifik (misalnya sebagai tempat pengikatan reseptor, pembentukan heliks- α
dan lain-lain) proses ini disebut pengocokan akson (exon shuffling), tampaknya telah digunakan
secara luas di dalam dunia DNA eukariota awal.

Analisis Filogenetik

Protein-protein dapat berevolusi dengan laju yang berbeda-beda akibat adanya faktor
intrinsic (mekanisme-mekanisme perbaikan). Protein –protein yang sangat lestari (conserved)
tampaknya hanya mampu menoleransi sedikit perubahan kecil, sedangkan

sejumlah protein lainnya mampu menyerap berbagai mutasi tanpa kehilangan fungsinya. Mutasi
yang terjadi diluar daerah yang terlibat dalam fungsi normal dapat ditoleransi sebagai mutasi
netral secara selektif. Seiring berjalannya waktu biologis, mutasi-mutasi netral tersebut
cenderung terakumulasi di dalam garis keturunan geneologis. Jika kita asumsikan kalau mutasi –
mutasi netral semacam itu terakumulasi dengan laju konstan untuk protein yang sangat lestari,
maka kita bisa menentukan pola percabangan dari pohon filogenetik (disebut jugakl adogr a m
atau pohon evolusi).

Prinsip parsimoni umum digunakan untuk menentukan jumlah minimum

perubahan genetic yang dibutuhkan untuk menyebabkan perbedaan-perbedaan skuens asam


amino atau nukleotida di antara organisme-organisme yang mempunyai nenek moyang
(ancestor) yang sama. Jarak evolusi yang memisahkan organisme di dalam pohon filogenetik
biasanya dinyatakan dalam unit-unit mutasi nukleotida atau subtitusi asam amino sepanjang
masing-masinglengan pohon tersebut di antara titik-titik percabangan seperti pada Gambar 1
berikut.

Gambar 1. Pohon Filogenetik Berdasar Homologi antara Sitokrom c berbagai Organisme


Evolusi Sel-sel Eukariotik

Dahulu, prokariota diduga berkerabat lebih dekat denganprogenot hasil postulasi (nenek
moyang dari semua sel, sebelum adanya genom) daripada eukariota, dan sesame prokariota
diduga juga mempunyai kekerabatan yang lebih dekat daripada denga eukariota manapun.
Sebagian besar spesies prokariota kemudian biasa di klasifikasikan lebih lanjut sebagaie ub akte
r ia. Subkingdom prokariotik lainnya, yaituar c hae, hidup pada lingkungan-lingkungan yang
diduga tesebar luas pada saat kehiudpan mulai berevolusi untuk pertama kalinya. Karenanya,
dipercaya bahwa eubakteria berevolusi dari archae primitive dan eukariota berevolusi dari
eubakteria. Akan tetapi, secara bertahap ditemukan lebih banyak lagi perbedaa yang memisahkan
kedua sub kingdom prokariota tersebut. Beberapa sifat dari archae dapat dijumpai pula pada
eubakteria (keduanya merupakan prokariota), sedangkan beberapa sifat lainnya ditemukan pula
pada eukariota (misalnya gen-gen bagi rRNA dan tRNA mengandung intron). Berdasarkan hasil
analisisnya terhadap sekuens-sekuens nukleotida pada rRNA 165 yang amat lestari dari berbagai
organisme. Pada tahun 1977 Carl Woese mengatakan bahwa archae berbeda dengan eubakteria
dan dari eukariota. Saat ini, ketiga kelompok tersebut diduga berevolusi dari progenot yang
sama.

Organisme-organisme yang mempunyai sebuah nucleus kemungkinan telah berevolusi


sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu, akan tetapi bagaimana munculnya membran nukleus pertama
masih berupa misteri. Berdasarkan hipotesis proliferasi

membran,satu atau lebih invaginasi membrane plasma pada progenot akan bersatu

secara internal mengelilingi genom, menjadi terpisah dari membran plasma dan membetuk
membran nukleus berlapis ganda. Proses melipatnya membran plasma kearah dalam
menenerangkan fakta bahwa nukleus sel-sel eukariotik modern diselubungi oleh “membrane
ganda” yang terdiri dari dua lapisan ganda lipid (lipid

bilayer)Asal usul mitokondria pada eukariota yang berusia lebih muda dapat dijelaskan
pada teori endosimbiotik. Beberapa sel purba dapat mengingesti partikel-partikel makanan
me;alui invaginasi endositik membran plasmanya. Barangkali setidaknya ada sebuah sel pencari
makan berukuran besar yang mampu berfermentasi dan menelan satu atau lebih bakteri respirasi
kecil, namun tidak dpat mencernanya.E ndos imbion ini dapat bertahan hidup pada lingkungan
yang kaya akan nutrisi dan dapat bersembunyi

dari sel predator lani. Sebaliknya sel-sel inang pencari makan tadi mendapatkan keuntungan
energy dari respirasi oksidasi melebihi dari fermentasi. Keuntungan- keuntungan komplementer
ini kemudian berevolusi menjadi sebuah hubungan

simbiosis (“hidup bersama”) dimana salah satu entitas tidak dapat hidup tanpa entitas

lainnya. Sebagian dari adaptasi bersama ini melibatkan transfer sebagian besar gen bakteri endo
simbion kedalam nukleus sel inang. Sebagian besar molekul bermuatan negative, termasuk
diantaranya mRNA, tRA, rRNA, dan beberapa jenis protein yang tidak dapat melewati
membrane organel-organel tersebut harus tetap dikode oleh genom organel itu sendiri. Proses ini
diduga telah memunculkan mitokondria pada sel-sel eukariotik modern setidaknya 1,5 miliar
tahun yang lalu
http://htmlimg2.scribdassets.com/jievt1yuftzwglc/images/9-7d588b114a/000.jpg

Gambar 2. Asal Mula Terbentuknya Membran lapis Ganda pada Eukariot

Bukti yang lebih kuat dapat ditunjukan pada evolusi kloroplas melalui endosimbisis dari pada
evolusi mitokondria. Suatu sel eukariotik pencari makan yang aerob (sel yang telah
mengevolusikan mitokondria) diduga mampu menelan satu atau labih eubakteria (yang
berkerabat dengan sianobakteri) yang dapat melakukan fotosintesis organic. Dalam proses
evolusinya menjadi kloroplas, endosimbion melepaskan beberapa gennya kedalam genom
nukleus namun dalam jumlah yang tidak sebanyak seperti yang dilepaskan oleh endosimbion
yang berevolusi menjadi mitokondria. Seperti halnya mitokondria, protokloroplas juga harus
mempertahankan

gen-gen yang mengkode tRNA dan rRNA bagi sintesis protein dalam kloroplas.
Banyak bukti yang mendukung teori endosimbiotik bagi asal-usul kloroplas dan
mitokondria. Organela-organela ini mempunyai ukuran yang hamper sama dengan bakteri
genomnya terdapat didalam sebuah molekul DNA sirkuler tunggal tanpa protein histon, seperti
pada bakteri.kedua organela bereproduksi secara aseksual melalui pertumbuhan dan pembelahan
organel yang menyerupai pembelahan biner. Sintesis protein pada mitokondria dan kloroplas
dihambat oleh berbagai antibiotik yang mengaktifkan ribosom bakteri, namun hanya mempunyai
efek yang sangat kecil pada ribososm sitoplasma eukariotik. Polipeptida yang baru dibentuk pada
bakteri, mitokondria dan kloroplas mempunyai N-formilmetionin pada ujung aminomnya.
Genom mitokondria dan kloroplas mengkodekan molekul tRNA dan rRNA bagi system-sistem
sintesi-proteinnya sendiri. Ribosom yang terdapat pad kedua organel mempunyai bentuk dan
ukuran yang serupa dengan ribosom bakteri. Terakhir, teori endosimbiotik menerangkan fakta
bahwa kedua organela tersebut mempunyai membran ganda. Membran dalamnya menyerupai
membran plasma endosimbion nenek moyang, sdangkakn membrane luarnya merepresentasikan
membrane plasma nenek moyang sel inang pencari makannya.

B. Proses Evolusi Molekular


Terbentuknya Planet Bumi

Pembentukan alam semesta diawali dari peristiwa Big Bang yang terjadi 20 milyar tahun
yang lampau. Sekitar 15 milyar tahun sesudah peristiwa tersebut, terbentuklah gugusan awan
yang tersusun atas gas dan debu, dimana pengaruh gravitasi menyebabkan benda-benda tersebut
berkondensasi membentuk bola gas yang disebut bintang. Bintang ini dikelilingi oleh berbagai
benda sferis yang disebut planet. Gas hidrogen dan helium adalah komposisi utama pembentuk
bintang, sementara sebagian kecil unsur-unsur berat berperan menyusun berbagai planet. Dalam
tahap awal pembentukannya, planet bumi masih sangat panas hingga H2O selalu dalam bentuk
uap. Pada tahap selanjutnya, saat temperatur bumi mulai menurun, molekul air dapat
berkondensasi hingga terbentuk danau dan lautan. Kehidupan di bumi diperkirakan

berasal dari berbagai reaksi kimia di atmosfer yang diikuti dengan terjadinya berbagai
reaksi di perairan purba tersebut.
Pembentukan Atmosfer
Atmosfer yang pertama kali terbentuk adalah atmosfer primer yang masih tersusun atas
hidrogen dan helium. Akan tetapi helium dan hidrogen memiliki massa yang ringan sehingga
mudah hanyut ke luar angkasa. Oleh karena itu pada tahap selanjutnya terbentuk atmosfer
sekunder yang terbentuk dari semburan gunung berapi. Semburan gunung berapi mengandung
95% uap air dan sisanya adalah berbagai senyawa seperti CO2, SO2, H 2S, HCl, belerang,
H2, CH4, SO3, dan NH3. Pada masa tersebut oksigen belum terbentuk. Uap air yang tersebar di
atmosfer dapat bereaksi dengan beragam mineral purba sehingga terbentuk amonia, dengan
karbid dapat membentuk metan, dan dengan sulfida membentuk H2S.

Atmosfer selanjutnya yang terbentuk adalah atmosfer tersier yang juga terdapat di masa
kini. Atmosfer inilah yang menjadi asal usul kehidupan di bumi. Pada tahap ini telah muncul
organisme fotosintetik yang melepas oksigen ke atmosfer. Organisme petama yang melakukan
fotosintesis di bumi ini adalah cyanobacteria yang secara perlahan meningkatkan kadar O2 di
atmosfer hingga 20% seperti saat ini.

Teori Asal Usul Kehidupan oleh Oparin

Radiasi UV dari matahari bersama dengan percikan listrik dari halilintar diduga
menyebabkan berbagai gas di atmosfer bereaksi dan membentuk senyawa organik sederhana.
Senyawa tersebut akan jatuh kebumi dan terlarut dalam lautan dan terus bereaksi hingga tercipta
bentukan seperti sup yang disebut ”primitive soup”. Sup purba ini mengandung beragam
senyawa seperti asam amino, gula, dan basa asam nukleat. Pada tahap selanjutnya senyawa
dalam sup tersebut mulai mengalami polimerisasi dan menghasilkan bentukan seperti kantung.
Kantung inilah yang diduga kelak akan menjadi sel-sel purba yang pertama muncul di muka
bumi. Teori ini diajukan oleh pakar biokimia dari Rusia bernama Alexander Oparin di tahun
1920-an. Charles Darwin sendiri juga pernah memprediksikan bahwa kehidupan pertama muncul
dari suatu kolam yang mengandung amonia dan senyawa lain yang dibutuhkan. Dalam hal ini
Oparin memberi penekanan bahwa kehidupan muncul di bumi sebelum adanya oksigen.
Hal ini disebabkan oksigen adalah senyawa yang reaktif dan bila bereaksi dengan molekul-
molekul prekursor tersebut dan terjadi oksidasi, maka senyawa yang baru terbentuk tersebut akan
terurai menjadi air dan CO2.

Percobaan Miller

Pakar biokimia bernama Stanley Miller pada tahun 1950 berupaya membuat simulasi
berbagai reaksi yang diduga terjadi di atmosfer masa lampau. Miler menciptakan atmosfer
buatan yang mengandung metan, amonia, dan uap air yang dipaparkan pada muatan listrik
tegangan tinggi (sebagai simulasi petir). Senyawa organik yang dihasilkan dari percobaan ini
dapat terlarut dalam air (sebagai simulasi lautan masa lampau) dan terus melakukan reaksi kimia.
Telah banyak percobaan serupa dilakukan dengan berbagai variasi campuran gas, sumber energi,
dan sebagainya. Sekitar 20% dari total campuran gas tersebut dapat dikonversi menjadi berbagai
molekul organik.

Sesungguhnya proses ini berjalan secara reversibel, yaitu energi yang dipakai untuk
menciptakan molekul organik tersebut juga dapat menghancurkan dan menguraikan. Oleh karena
itu molekul organik ini juga membutuhkan perlindungan dari sumber energi yang dahulu
menciptakannya. Dalam hal ini Miller menekankan pentingnya peran lautan dalam memberi
perlindungan terhadap molekul organik yang baru terbentuk dari serangan radiasi UV dan
sengatan listrik. Kelestarian molekul organik dalam keadaan bumi yang primitif dilakukan
dengan cara larut dalam perairan atau melekat pada mineral. Sedangkan molekul organik yang
masih melayang di angkasa akan segera terurai.

Polimerisasi Monomer Hingga Menghasilkan Makromolekul

Polimerisasi suatu monomer untuk menghasilkan makromolekul seperti proein dan asam
nukleat membutuhkan energi untuk membangun ikatan dan pelepasan H2O. Tidak seperti sel
masa kini yang menggunakan pospat berenegi tinggi, sel di masa lampau menggunakan sumber
energi yang lain. Protein yang pertama kali tercipta adalah suatu polimer yang memiliki urutan
asam amino yang acak disebut sebagai proteinoid. Senyawa ini dapat dibuat dengan cara
memanaskan asam amino kering pada suhu 150oC selama beberapa jam. Bila protein masa kini
membangun ikatan antar asam

asam amino dan sudah memiliki kemampuan enzimatik. Terbentuknya proteinoid ini
diperkirakan terjadi disekitar gunung berapi. Pengamatan tentang terbentuknya proteinoid
banyak dilakukan oleh seorang pakar bernama Sydney Fox.

Terjadinya polimerisasi asam amino juga dapat terjadi melalui pengikatan dengan
mineral tanah liat yang disebut ”clay”. Ikatan antara tanah liat ini dengan molekul-molekul kecil
organik dapat memicu terjadinya reaksi polimerisasi. Sebagai contoh, jenis tanh liat tertentu
seperti Montmorillonite dapat mengkondensasi asam amino menjadi polipeptida sepanjang 200
residu.

Polimerisasi asam amino juga dapat terjadi dalam suatu larutan yang mengandung agen
kondensasi. Beberapa agen kondensasi yang telah dikenal adalah sejenis derivat sianida reaktif
yang disebut poliphospat. Polifosfat dapat bereaksi dengan beragam molekul organik untuk
menghasilkan fosfat organik. Salah satu produk dari reaksi ini adalah asam amino asil fosfat dan
fosforamidat. Asil fosfat adalah asam amino yang memiliki gugus fosfat yang terikat pada gugus
karboksil, sedangkan fosforamidat adalah asam amino yang gugus fosfatnya berikatan pada
gugus amin. Bila senyawa derivat semacam ini dipanaskan, maka akan terbentuk polipeptida.
Melalui cara yang serupa, molekul AMP dapat dibuat dari adenin yang ditambah polifosfat, dan
selanjutnya dapat terbentuk polipeptida melalui polimerisasi.

Kemampuan Enzimatik Pada Proteinoid

Proteinoid yang telah dikembangkan di laboratorium dalam simulasi kondisi bumi di


masa lampau ternyata menunjukkan aktivitas enzimatik. Sesungguhnya kemampuan
enzimatiknya sangat lambat dan tidak akurat, tetapi jelas menunjukkan adanya kemampuan
enzimatik. Sebagaimana enzim yang ada di masa kini memiliki ion logam sebagai kofaktor,
adanya ion logam pada proteinoid dapat meningkatkan kemampuan enzimatiknya.
Asal Mula Makromolekul sebagai Materi Genetik
Informasi genetik suatu organisme diwariskan pada keturunannya melalui suatu
untaian nukelotida. Campuran polifosfat, purin, dan pirimidin dapat menghasilkan

rantai asam nukleat, tentu dengan adanya ribosa atau deoksiribosa. Bila suatu RNA template
diinkubasikan dalam campuran nukleotida dan suatu agen kondensasi, maka dapat terbentuk
untai RNA komplementer. Kemudian bila campuran nukleosida trifosfat (atau campuran
nukleotida dan polifosfat) diinkubasikan dalam kondisi seperti bumi di masa lampau, lalu
menggunakan Zn sebagai katalis, maka pada akhirnya dapat terbentuk satu untai RNA. Proses
polimerisasi seperti ini berjalan sangat lambat. Namun untuk selanjutnya, bila polimer RNA
telah ada, maka RNA ini dapat berperan sebagai template untuk pembuatan RNA komplemen
selanjutnya.

Ribozim dan RNA World

Dalam proses evolusi, nampaknya RNA adalah molekul kehidupan pertama yng muncul
di muka bumi ini. Molekul RNA memiliki kemampuan merakit dan menduplikasi dirinya sendiri
dalam kondisi bumi di masa lampau. Meskipun sebagian besar enzim di masa kini adalah
protein, ternyata RNA juga memiliki kemampuan enzimatis untuk mengkatalis reaksi tanpa
bantuan protein. Hal ini menunjukkan bahwa asam nukleat primitif dapat mereplikasi dirinya
sendiri.

Terdapat suatu gagasan bahwa organisme yang pertama kali muncul di muka bumi ini
telah memiliki gen dan enzim yang terbuat dari RNA yang disebut “RNA world”. Gagasan ini
diajukan oleh Walter Gilbert pada tahun 1986 dalam menghadapi paradox bahwa asam nukleat
diperlukan untuk mensintesis protein, sementara enzim yang terbuat dari protein ternyata
dibutuhkan untuk mereplikasi asam nukleat. Gagasan RNA world dari Gilbert tahun 1986
menyatakan bahwa RNA memiliki kemampuan ganda sebagai asam nukleat sekaligus sebagai
enzim. Walau peran sebagai enzim kini sebagian besar telah dilakukan oleh protein, serta DNA
sebagai pembawa informasi
genetik, RNA tetap memiliki posisi transisi sebagai gen dan enzim. Berikut adalah
contoh peran RNA dalam melakukan reaksi enzimatik sekaligus perannya dalam mengkode
informasi genetik.

Ribozim: ribozim adalah sebuah molekul RNA yang dapat berperan sebagai enzim. Sebagai
enzim senyawa ini dapat mengkatalis sejumlah besar molekul lain tanpa mengubah keadaan
dirinya selama reaksi. Saat ini telah banyak ribozim yang telah diidentifikasi. Salah satunya
adalah ribonuklease P, yaitu ribosomal RNA yang berperan dalam sintesis protein. Enzim ini
mempunyai

komponen RNA dan protein yang mengatur transfer molekul RNA. Bagian RNA ribonuklease P
berperan menjalakan reaksi, sedangkan bagian protein melekatkan ribozim dan tRNA.

Self-splicing intron (“group I” introns): intron ini adalah contoh RNA yang bersifat katalitik.
Gen pada sel eukariot pada umumnya disisipi non-coding region yang disebut intron. Intron ini
harus dilepaskan dari mRNA sebelum ditranslasi menjadi protein dengan bantuan spliceosome
atau molekul RNA kecil lainnya. Akan tetapi intron juga memiliki kemampuan untuk
melepaskan dirinya dari mRNA tanpa bantuan siapapun. Intron semacam ini dapat dijumpai pada
kelompok protozoa, mitokondria sel fungi, dan kloroplas sel tumbuhan.


Viroid: viroid adalah molekul RNA yang dapat menginfeksi tanaman. RNA
semacam ini mampu mereplikasi dirinya sendiri.

RNA polimerase: RNA polimerase yang dibutuhkan sebagai primer untuk untai DNA baru
memiliki kemampuan dalam inisiasi dan pemanjangan. Oleh karena itu diduga RNA polimerase
telah ada sebelum DNA polimerase tercipta di muka bumi ini.


Molekul RNA kecil: RNA semacam ini digunakan dalam berbagai keperluan, antara lain
berperan dalam melepas untaian intron, modifikasi dan editing mRNA.


Riboswitch: bila tidak terdapat protein regulator, maka senyawa ini berperan
dalam pengendalian ekspresi gen.

Dalam hal ini masih terdapat pertanyaan tentang kemampuan RNA dalam menyalin
dirinya tanpa bantuan dari DNA atau protein. Sebuah percobaan yang menggunakan molekul
RNA buatan menunjukkan bahwa molekul RNA tersebut

memiliki kemampuan ligase primitif. Ribozim ligase tersebut dapat menyambung dua
untai RNA sebagaimana protein enzim pada sel masa kini. Pada tahap selanjutnya ribozim
tersebut digunakan sebagai template untuk membentuk RNA komplementer dengan tingkat
akurasi 96-99%. Akan tetapi proses ini berjalan sangat lambat. Tidak seperti polimerase pada
umumnya yang tetap menempel pada template untuk menambahkan nukleotida, ribozim
melakukan tugasnya dengan cara melepaskan diri dari template setelah menambahkan sebuah
nukleotida. Masalah lain pada konsep RNA world adalah bahwa RNA jauh lebih reaktif daripada
DNA. Meskipun RNA dapat disintesis dengan mudah, akan tetapi senyawa ini tidak stabil. DNA
yang terbentuk lebih lambat sebenarnya juga dapat terbentuk dalam kondisi bumi yang primitif.
Sebuah lautan yang dikenal sebagai primitive soup bisa sesungguhnya dapat mengandung
campuran asam nukleat RNA atau DNA, protein, lipida, dan karbohidrat. Pada akhirnya dapat
diduga bahwa sebelum tercipta RNA dan DNA, primitive soup memiliki sejenis asam nukleat
hybrid yang memiliki sifat keduanya.

Asal Mula Terbentuknya Sel

Terbentuknya molekul organik dalam dunia purba adalah tahap pertama pembentukan
sel primitif. Diduga bahwa protein dan lipida terkumpul di sekitar RNA atau DNA primitif
sehingga menghasilkan bentukan serupa kantung. Sel primitif ini mulai mengembangkan
kemampuan untuk menggunakan RNA sebagai materi genetiknya. Lipid berperan membangun
membran yang melindungi berbagai komponen sel. Walau protein dan RNA memiliki
kemampuan enzimatik, tetapi bila protein lebih dominan dalam perannya, maka RNA akan
mengurangi peran katalitiknya. DNA baru ditemukan pada tahap evolusi berikutnya. Karena
DNA lebih stabil daripada RNA, maka DNA dapat menyimpan dan mentransfer informasi
genetik dengan tingkat kesalahan yang rendah.

Sel primitif ini sangat mirip dengan bakteri, sel ini hidup dalam media senyawa organik
yang disebut primitive soup. Akan tetapi media ini menyediakan suplai energi yang terbatas.
Secara perlahan sel primitif ini mulai mencari sumber energi baru, yaitu sinar matahari. Bentuk
awal fotosintesis di muka bumi ini berupa proses yang mengolah energi sinar matahari dan
belerang. Bentuk fotosintesis pada tahap selanjutnya tidak lagi memakai belerang, tetapi
memakai H2O dan melepaskan O2 ke atmosfer. Keberadaan oksigen di atmosfer mulai
mengubah wajah bumi, karena dengan adanya oksigen, maka kemampuan respirasi mulai
terbentuk. Sel pada tahap selanjutnya mampu menghasilkan energi dengan cara mengoksidasi zat
makanannya. Fotosintesis melepas oksigen dan mengambil karbohidrat, sementara respirasi
melakukan sebelumnya. Proses ini membuka jalan terbentuknya ekosistem dimana flora dan
fauna berinteraksi saling melengkapi.

Asal Mula Terbentuknya Metabolisme: Teori Autotrof

Ilmu kimia memandang asal mula kehidupan dari sisi yang berbeda. Dalam pandangan
ilmu kimia, sel primitif di masa lampau bukanlah sel heterotrof yang bergerak secara aktif
mencari makan. Sebaliknya sel tersebut bersifat autotrof dan memfiksasi CO2 untuk
menghasilkan materi organik untuk dimanfaatkan sendiri. Organisme autotrof memanfatkan
materi anorganik seperti karbon untuk menghasilkan makanan untuk diri sendiri. Contoh
organisme autotrof adalah tanaman yang menggunakan energi sinar matahari untuk mengubah
CO2 menjadi berbagai derivat gula. Selain itu beragam bakteri juga bersifat autotrof dan mampu
memfiksasi CO2 untuk dijadikan asam karboksilat.

Teori autotrof mengajukan postulat bahwa kehidupan di masa lampau menggunakan


persenyawaan besi untuk menghasilkan energi. Hal ini dilakukan dengan mengubah FeS menjadi
FeS2 oleh H2S dapat melepaskan energi dan menghasilkan atom H untuk mereduksi CO2
menjadi materi organik. Beberapa jenis bakteri anaerobik di masa kini menghasilkan energi
dengan cara oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+, sementara organisme lain melakukan hal serupa
dengan cara mengoksidasi sulfur. Jadi diduga bentuk metabolisme di masa lampau yang
melakukan metabolisme berbasis besi dan sulfur cukup masuk akal.

Beberapa kemungkinan cara fiksasi CO2 yang dilakukan di masa lampau telah banyak
diusulkan. Pertama, yaitu melibatkan insersi CO2 dengan dikatalis Fe menjadi derivat sulfur
semacam asam karboksilat. Metode ini masih bisa disaksikan di masa kini, yaitu sebagai
perantara metabolik seperti asam asetat, asam piruvat, asam suksinat, dan sebagainya. Hanya saja
kejadian semacam ini tidak terjadi dalam lautan primitive soup, nampaknya lebih dimungkinkan
terjadi di permukaan mineral besi sulfida di bawah tanah. Jadi asal mula senyawa asam organik
tersebut mungkin terjadi melalui proses seperti percobaan Miller. Pendapat lain menyatakan
bahwa molekul organik

pertama yang ada di bumi adalah turunan karbon monoksida dan H2S. Hal ini pernah
diujicobakan bahwa campuran katalis FeS atau NiS dapat mengubah CO yang ditambah
methane thiol (CH3SH) menjadi tioester (CH3-CO-SCH3). Selanjutnya tioester ini dapat
dihidrolisis menjadi asam asetat. Sejumlah katalis selenium dapat membantu konversi CO yang
ditambah H2S menjadi CH3SH yang dapat diproses menjadi asam asetat. Saat ini juga terbukti
bahwa CO dapat diaktivasi katalis FeS/NiS sehingga dapat

menciptakan ikatan peptida di antara asam amino alpha dalam larutan suhu tinggi.
Evolusi Sequence DNA, RNA, dan Protein

Selama jutaan tahun berputarnya roda evolusi, laju mutasi yang terjadi pada sequence
DNA pada gen di masa lampau berjalan sangat lambat dan tidak fluktuatif. sebagian besar dari
hasil mutasi tersebut terseleksi karena menglami kerusakan, sementara yang lain akan tetap
lestari. Terkadang mutasi pada suatu gen menjadi mutasi netral yang tidak menguntungkan atau
berbahaya bagi organisme pembawa gen tersebut. Ada pula mutasi yang dapat memperkuat
fungsi suatu gen atau protein yang dikode, tetapi kejadian semacam ini masih jarang terjadi.
Sementara ada pula mutasi yang semula merugikan lalu berubah menjadi menguntungkan saat
terjadi perubahan lingkungan.

Dalam kondisi sesungguhnya protein jauh lebih penting daripada bagaimana keadaan
sequence gen. Selama protein masih berfungsi dengan normal, maka mutasi pada gen pengkode
protein tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Banyak asam amino yang menyusun suatu protein
dapat membentuk berbagai variasi, akan tetapi dalam batas tertentu mutasi semacam ini tidak
merusak fungsi protein. Pergantian asam amino jarang sekali menyebabkan kerusakan protein.
Bila dilakukan perbandingan beberapa sequence protein yang sama dari berbagai organisme
masa kini maka akan nampak kemiripan dari sequence tersebut. Sebagai contoh, rantai α pada
hemoglobin pada manusia dan simpanse adalah serupa, tingkat perbedaan asam amino
hemoglobin pada manusia dan babi adalah sebesar 13%, bila dibandingkan dengan ayam
perbedaannya sebesar 25%, dan bila dibandingkan dengan ikan perbedaannya sebesar 50%.

Selanjutnya dapat disusun pohon evolusi berdasarkan set sequence untuk protein pada
berbagai organisme yang diamati. Sebagai contoh adalah rantai α pada hemoglobin yang hanya
terdapat pada organisme yang berkerabat dengan manusia. Sedangkan sitokrom c adalah
protein yang berperan dalam menghasilkan energi pada organisme tingkat tinggi termasuk
tanaman dan fungi. Manusia dan ikan memiliki perbedaan sitokrom c sebesar 18%, sedangkan
bila dibandingkan dengan tanaman atau fungi memiliki tingkat perbedaan 45%, sementara
tanaman dan fungi juga memiliki perbedaan sebesar 45%. Dari hasil tersebut dapat tergambar
bahwa jalur evolusi tanaman dan fungi telah terpisah amat jauh sebagaimana terpisahnya evolusi
hewan dari

tanaman.

Mutasi individual dapat berperan mengubah suatu sequence gen menjadi sequence
leluhurnya. Akan tetapi mutasi balik semacam itu hampir tidak pernah terjadi. Hal ini terkait
dengan probabilitas. Pada dasarnya tidak ada yang menghalangi suatu mutasi untuk berbalik
mengubah suatu sequence menjadi sequence leluhurnya, akan tetapi kemungkinannya teramat
kecil.

Munculnya Gen Baru melalui Duplikasi


Duplikasi gen adalah cara lazim untuk menciptakan gen baru. Suatu mutasi juga dapat
menyebabkan terjadinya duplikasi segmen DNA yang membawa beberapa gen. Sequence gen
yang asli dipertahankan untuk mempertahankan fungsinya, sedangkan salinan gen tersebut dapat
mengalami mutasi lebih jauh. Pada umumnya mutasi yang semakin terakumulasi justru akan
mematikan fungsi suatu gen hasil salinan tersebut. Jarang sekali ditemukan salinan gen yang
telah mengalami mutasi, kemudian masih tetap aktif dan mengembangkan fungsi yang berbeda
dari sequence aslinya.

Duplikasi berganda yang diikuti dengan perubahan suatu sequence dapat menciptakan
rumpun gen yang memiliki fungsi yang masih berhubungan. Salah satu contoh yang sangat
terkenal adalah gen dari rumpun gen globin. Hemoglobin adalah pigmen pengikat oksigen di
pembuluh darah, sedangkan mioglobin adalah berperan membawa oksigen di dalam jaringan
otot. Kedua protein tersebut memiliki fungsi yang sama, struktur 3 dimensi yang sama, dan
sequence yang masih berkerabat. Leluhur gen

globin yang melakukan duplikasi di masa lampau, secara perlahan menghasilkan ragam
gen hemoglobin dan mioglobin yang mengembangkan fungsi berbeda.

Hemoglobin pada darah mamalia memiliki dua rantai α globin dan β globin yang
membentuk tetramer α2/β2. Sedangkan mioglobin berupa monomer rantai polipeptida tunggal.
Rantai α globin dan β globin adalah hasil duplikasi lanjut dari gen globin purba di masa lampau.
Bahkan pada tahap selanjutnya gen α globin purba menghasilkan gen untuk α globin dan ζ
globin. Sedangkan gen β globin purba juga menghasilkan jalur terpisah sebanyak dua kali
sehingga menghasilkan gen β globin modern dan γ globin modern, kemudian gen δ globin dan ε
globin.

Berbagai varian globin tersebut memiliki peran pada berbagai tahap perkembangan.
Pada setiap tahap, tetramer hemoglobin tersusun atas dua tipe α dan dua tipe β. Ζ globin dan ε
globin mulai terbentuk pada awal terjadinya embrio yang memiliki hemglobin ζ2/ε2. Saat mulai
terbentuk fetus, ε globin yang ada digantikan dengan γ globin dan ζ globin digantikan oleh α
globin, sehingga dalam hal ini terbentuk struktur hemoglobin α2/γ2. Fetus yang berkembang
dalam tubuh seorang ibu berupaya membentuk ikatan dengan molekul O2, dalam hal ini
hemoglobin α2/γ2 berperan mengikat oksigen.

Berbagai gen globin tersebut adalah contoh famili gen, yaitu sekelompok gen yang
masih berkerabat dan dihasilkan dari proses duplikasi. Setiap anggota famili ini memiliki
sequence dan peran yang serupa. Sejalan dengan berputarnya roda evolusi, proses duplikasi gen
yang dilakukan secara terus menerus akan menghasilkan gen baru yang berlimpah dan memiliki
fungsi yang jauh berbeda dari leluhurnya. Hal ini membentuk terjadinya superfamili gen. Gen
sistem imun adalah contoh famili dan superfamili gen.

Retroelemen pada eukariot yang mengkode transkriptase adalah hal yang lazim
ditemukan sehingga sesekali terjadi pula transkripsi balik pada mRNA. Proses ini dapat
menghasilkan salinan DNA yang dapat diintegrasikan ke dalam genom. Salinan gen semacam ini
tidak memiliki intron dan tapak promoter untuk titik awal gen. Salinan gen yang tidak aktif
seperti ini disebut sebagai pseudogen dan umumnya membawa akumulasi mutasi yang
menyebabkan matinya fungsi untuk coding. Jarang sekali pseudogen yang memiliki ujung
promoter dan diekspresikan. Gen ini adalah salinan dari gen yang asli yang mengalami
perubahan akibat mutasi.

Kesalahan sedikit selama pembelahan sel dapat berakibat duplikasi total pada genom. Suatu
kesalahan pada meiosis dapat menghasilkan gamet yang diploid. Fusi gamet diploid akan
menghasilkan zigot dan individu yang tetraploid. Terkadang terbentuk suatu individu triploid
yang dibentuk dari fusi satu gamet mutan yang ditambah satu gamet haploid normal. Pada
umumnya organisme triploid adalah steril karena gametnya memiliki jumlah kromosom yang
tidak lazim. Akan tetapi organisme triploid masih bisa menghasilkan keturunan yang tetraploid.
Di sisi lain, kelainan semacam ini adalah hal yang lazim. Hanya 5 dari 1000 gamet tanaman yang
bersifat diploid. Suatu persilangan antara dua generasi parental ada kemungkinan akan
menghasilkan zigot tetraploid. Sejalan dengan berputarnya waktu, salinan gen

organisme tetraploid akan membentuk berbagai variasi.


Sequence Paralog dan Ortolog
Beberapa sequence dikatakan homolog bila berasal dari leluhur yang sama. Bila
beberapa organisme sama-sama membawa salinan gen tertentu yang berasal dari leluhur yang
sama, maka selanjutnya dapat dilakukan perbandingan sequence tersebut untuk melihat pohon
evolusinya. Akan tetapi duplikasi gen menyebabkan terjadinya salinan gen yang melimpah
dalam satu organisme. Gen ortolog adalah gen yang ditemukan pada beberapa spesies berbeda
dan akan membentuk variasi baru bila organisme yang membawa gen ini juga membentuk
variasi baru. Gen paralog adalah salinan berlipat akibat duplikasi gen yang terdapat dalam satu
organisme.

Berbagai gen yang ortolog perlu dibandingkan untuk menyusun pohon evolusi. Sebagai
contoh, sequence α globin dari hewan dan α globin ortolog dari organisme lain perlu
dibandingkan. Oleh karena sekelompok gen paralog memiliki sequence yang serupa, hal ini
dapat menimbulkan kerancuan kecuali bila organisme leluhur tersebut telah diketahui. Namun
tetap saja penelitian ini berguna untuk menentukan apakah organisme tersebut membawa
sequence berlipat dari leluhur yang sama.

Pembentukan Gen Baru melalui Shuffling

Pembentukan gen baru dapat pula dilakukan dengan menggunakan pre-made modules.
Beberapa segmen dari suatu gen difusikan dengan menggunakan cara DNA rearrangement untuk
menghasilkan gen baru yang memiliki berbagai regio dari sumber berbeda. Contohnya adalah
pembentukan gen baru yang memiliki berbagai regio untuk mengkode reseptor LDL. LDL
adalah singkatan dari low density lipoprotein yang berperan membawa kolesterol di pembuluh
darah. Reseptor LDL ditemukan pada permukaan sel yang akan menggunakan LDL. Gen
pengkode LDL terdiri atas beberapa regio, dua di antaranya merupakan turunan dari gen lain.
Bila suatu mosaik gen menjalani transkripsi dan translasi, maka akan didapatkan protein
campuran yang terdiri atas beberapa domain.

Setiap Protein Berevolusi dengan Laju yang Berbeda.


Sesungguhnya pohon evolusi tidak dapat dibangun berdasarkan sebuah protein semata.
Bila diusahakan untuk menyusun pohon evolusi berdasarkan berbagai macam protein, maka hasil
yang didapat tidak akan jauh berbeda. Akan tetapi setiap protein memiliki laju evolusi yang
berbeda. Perbedaan rantai α pada hemoglobin manusia dan ikan memiliki perbedaan sebesar
50%, akan tetapi antara manusia dan ikan memiliki perbedaan sitokrom c hanya sebesar 20%.
Bila digambarkan suatu tabel antara tingkat perubahan asam amino dengan skala waktu evolusi,
maka nampak evolusi sitokrom c berjalan lambat, sedangkan laju evolusi hemoglobin pada rantai
α dan β memiliki kecepatan sedang, dan laju evolusi pada fibrinopeptida A dan B berjalan cepat.

Fibrinopeptida adalah protein yang berperan dalam pembekuan darah. Protein ini
membutuhkan asam amino arginin dan membutuhkan habitat yang asam. Oleh karena protein ini
tidak memiliki batasan yang ketat dalam fungsinya, maka protein ini bisa membentuk berbagai
varian dengan leluasa. Sebaliknya protein histon pada DNA sangat menentukan kondisi DNA
secara struktural. Perubahan pada histon, walau sedikit, membawa pengaruh yang mematikan.
Hal ini yang menyebabkan protein histon berevolusi dengan lambat.

Sitokrom c adalah enzim yang fungsinya sangat ditentukan oleh beberapa asam amino
yang berada di bagian active site. Asam amino di bagian tersebut cenderung tidak mengalami
perubahan, sedangkan asam amino di posisi lain bisa mengalami perubahan. Meskipun 88%
residu asam amino milik sitokrom c berubah, konformasi proteinnya tidak akan berubah.

Insulin adalah hormon yang terdiri atas dua rantai protein A dan B yang dikode oleh
sebuah gen pengkode insulin. Sebenarnya mutasi dapat terjadi pada gen insulin, pada bagian A,
B, atau C. Mutasi pada bagian A dan B dapat berakibat fatal, sementara mutasi di bagian C tidak
akan berpengaruh terhadap protein yang disintesis dan tidak menjadi masalah bila diturunkan
pada generasi berikutnya.

Jam Molekular untuk Melacak Terjadinya Evolusi


Suatu protein pada berbagai organisme yang berevolusi dengan cepat, maka dengan
segera protein akan mengalami perubahan sequence. Bila protein tersebut terdapat pada beberapa
organisme berbeda, maka kekerabatan protein itu akan

menghilang secara perlahan. Sebaliknya bila pada berbagai organisme memiliki suatu protein
yang berevolusi dengan lambat, maka perbedaannya tidak akan mencolok. Oleh karena itu
protein yang berevolusi dengan lambat digunakan untuk melacak kekerabatan genetik berbagai
organisme yang berkerabat jauh. Sedangkan untuk organisme yang berkerabat dekat
menggunakan protein dengan laju yang cepat.

Antara manusia dan simpanse memiliki kemiripan pada sebagian besar protein.
Kemudian metode ini dipakai untuk mengestimasi adanya kekerabatan antara manusia dan
simpanse. Mutasi yang tidak berpengaruh terhadap sequence protein justru akan terakumulasi
dengan cepat selama evolusi karena tidak menimbulkan efek yang berbahaya. Kemudian bila
sequence DNA digunakan untuk mengukur kekerbatan berbagai organisme, maka akan
terungkap banyak perbedaan. Perubahan pada DNA umumnya terjadi pada untaian bukan
pengkode dan terdapat pada posisi kodon ke-3. perubahan yang terjadi pada posisi tersebut pada
umumnya tidak menyebabkan perubahan asam amino yang dikode dan protein yang dibentuk.

Intron adalah untaian bukan pengkode yang akan dilepas saat proses transkripsi primer
sehingga tidak akan nampak dalam mRNA. Sequence intron tidak berkontribusi dalam
pembentukan protein, oleh karena itu DNA pada untaian intron leluasa untuk bermutasi. DNA
yang terdapat pada segmen antar gen yang tidak berperan dalam pengendalian fungsi gen juga
mengalami mutasi dengan bebas.

Data awal tentang sitokrom c, hemoglobin, dan sebagainya diperoleh dari sequencing
langsung pada protein. Oleh karena sequencing DNA dapat dilakukan dengan mudah dan
menghasilkan data yang lebih akurat, maka pengamatan dengan memakai sequence protein
dideduksi menjadi pengamatan sequence DNA. Ada banyak sekali informasi tentang DNA pada
berbagai organisme yang berkerabat. Data seperti ini sangat berguna untuk mengungkap
kekerabatan evolusioner di antara berbagai organisme.

Ribosomal RNA yang Berevolusi dengan Lambat

Untuk membangun pohon evolusi yang menggambarkan kekerabatan pada banyak


organisme, maka yang pertama dibutuhkan adalah molekul yang dapat ditemukan pada semua
organisme yang akan diamati. Kemudian molekul tersebut harus berevolusi dengan lambat pada
kelompok organisme tersebut.

Meskipun histon tergolong molekul yang berevolusi dengan lambat, sayangnya protein
ini hanya terdapat pada sel eukariot. Oleh karena itu ribosomal RNA adalah solusinya. Sequence
DNA yang digunakan adalah pada gen yang mengkode RNA untuk subunit ribosom kecil (16S
dan 18S). Setiap makhluk hidup harus mensintesis protein, dan oleh karenanya hampir semua
organisme memiliki ribosom, kecuali pada virus yang masih diperdebatkan asal usulnya.
Ribosom memiliki peran yang tidak bisa dikesampingkan karena kontribusinya dalam sintesis
protein.

Upaya menyusun kekerabatan berdasarkan ribosomal RNA dapat menghasilkan pohon


evolusi yang dapat meliputi hampir semua organisme tingkat tinggi yang meliputi tumbuhan,
hewan, dan fungi. Analisis rRNA mengindikasikan bahwa leluhur fungi bukanlah organisme
fotosintetik, leluhur fungi sudah memisahkan diri dari garis tumbuhan sebelum adanya
kemampuan menggunakan kloroplas. Para ilmuwan botani bahkan beranggapan bahwa fungi
berkerabat dekat dengan hewan daripada terhadap tumbuhan. Bahkan terungkap munculnya
bentukan organisme bersel tunggal dari jalur evolusi eukariot dan sudah tidak tergolong dalam 3
kingdom utama.

Sebagian besar sel eukariot memiliki mitokondria dan khusus pada sel tanaman memiliki
kloroplas. Kedua organel ini berasal daribakteri simbiotik yang memiliki ribosom sendiri.
Sequence rRNA di mitokondria dan kloroplas menunjukkan adanya kekerabatan dengan bakteri.
Kekerabatan di antara eukariot telah berhasil disusun dengan menggunakan rRNA dari ribosom
di sitoplasma sel eukariot. Ribosom memiliki ribosomal RNA sendiri yang dikode oleh gen di
nukleus.

Bila sebuah pohon evolusi berbasis rRNA yang melingkupi organisme prokariot dan
eukariot, maka terungkap bahwa makhluk hidup di Bumi terdiri atas 3 garis silsilah, yaitu
domain eubacteria (bakteri dan organel), archaea atau archaebacteria (bakteri purba), dan
eukariot. Walaupun tergolong dalam prokariot, sebenarnya nampak jelas bahwa eubacteria dan
archaea memiliki perbedaan yang besar. Sequencing pada rRNA

organel mengindikasikan bahwa mitokondria dan kloroplas tergolong dalam garis


eubacteria.

Sampel DNA yang membawa gen untuk rRNA 16S sudah cukup sebagai modal untuk
penyusunan pohon evolusi. Meskipun mikroorganisme di laut dan tanah sulit untuk dikultur,
DNA organisme tersebut masih dapat diekstrak dan diperbanyak untuk mendapatkn sequence-
nya. Melalui metode semacam ini, kini telah ditemukan

kelompok bakteri yang membentuk percabangan dari garis archaebacteria meskipun


spesimen bakteri sulit untuk dibiakkan.
Archaebacteria dan Eubacteria

Bakteri yang lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari pada umunya tergolong
bakteri dari kelompok eubacteria. Namun sebenarnya terdapat kelompok bakteri yang disebut
archaebacteria atau juga dikenal sebagai archaea. Kedua bakteri kelompok ini adalah sel
mikroskopik yang tidak memiliki inti sel. Bakteri memiliki kromosom berbentuk melingkar dan
berkembang biak dengan cara membelah diri. Saat ini telah dipastikan bahwa kedua jenis bakteri
tersebut adalah prokariot dan perbedaan di antaranya tidak terlampau jauh. Akan tetapi, analisis
sekuens ribosomal RNA mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan genetik antara
archaebacteria dan eubacteria. Bahkan lebih jauh nampak bahwa achaea memiliki kekerabatan
yang lebih dekat dengan urkariot, yaitu leluhur organisme eukariot masa kini.
Sebagian archaea memiliki DNA yang disertai sejenis protein yang serupa dengan
histon. Protein ini memiliki homologi sekuens dengan histon yang dimiliki organisme tingkat
tinggi. Detail proses sintesis dan faktor translasi archaea lebih mirip dengan proses serupa yang
terjadi pada hewan eukariot. Hal ini mengakibatkan timbul dugaan bahwa eukariot purba
berevolusi dari archaea.

Dari segi biokimia, archaea memiliki beberapa perbedaan besar dengan eubacteria, yaitu
archaea tidak memiliki peptidoglikan serta membran sitoplasmanya tersusun atas lipida yang
tidak lazim. Membran tersebut terbuat dari unit C5 isoprenoid dan bukannya unit C2 seperti
asam lemak pada lazimnya. Rantai isoprenoid tersebut berikatan dengan gliserol melalui ikatan
ether dan bukannya ikatan ester. Beberapa rantai hidrokarbon isoprenoid tersusun melintasi
seluruh membran sel.

Archaea memiliki habitat di lingkungan yang tidak lazim, sebagian besar hewan ini
beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim. Archaea dapat ditemukan sumber mata air panas yang
mengandung belerang, cerobong panas di dasar laut, di perairan yang tinggi kadar garamnya
(seperti Laut Mati dan Danau Great Salt Lake), di dalam saluran usus hewan mamalia, serta
tempat-tempat lain dimana bakteri tersebut dapat membentuk gas methan. Beberapa contoh
organisme archaea adalah sebagai berikut.

 Halobacteria: organisme ini mampu mentoleransi kadar garam yang sangat

tinggi dan masih bertahan hidup dalam lingkungan dengan kadar garam 5M NaCl. Akan tetapi
organisme ini tidak dapat hidup dalam lingkungan dengan kadar garam di bawah 2,5M NaCl
(kadar garam air laut hanya 0,6M). Makhluk ini mendapatkan energi dari sinar matahari dengan
memanfaatkan molekul yang serupa dengan pigmen rhodopsin (seperti rhodopsin yang
digunakan sebagai detektor cahaya pada hewan).

• Methanogen (bakteri penghasil methan): bakteri ini bersifat anaerob obligat dan
sangat sensitif terhadap oksigen. Bakteri ini dapat mengkonversi H2 dan CO2 menjadi CH4
(methan). Metabolisme bakteri ini cukup unik karena memiliki koenzim yang tidak dimiliki
organisme apapun, tetapi juga tidak memiliki flavin atau quinon yang khusus.

• Sulfolobus: bakteri ini hidup di sekitar sumber panas geotermal, habitat yang

disukai adalah lingkungan dengan pH optimum 2-3 serta suhu 70-80oC. Archaea semacam ini
mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfurat. Jenis archaea lain yang dapat mengoksidasi sulfur
umumnya juga ditemui di berbagai habitat yang ekstrim.

DNA Sequencing dan Klasifikasi Biologi

Sebelum upaya DNA sequencing mulai dikenal, klasifikasi hewan dan tanaman telah
berhasil dikerjakan, sedangkan untuk klasifikasi fungi dan eukariot primitif lainnya masih belum
memberikan hasil yang memuaskan, dan klasifikasi bakteri dipersulit dengan karakter bakteri
yang juga sulit diamati. Oleh karena itu untuk pengklasifikasian bakteri menggunakan metode
sequencing gen, dan hal ini segera diaplikasikan untuk kelompok organisme lain. Hingga saat ini
manusia dapat melacak leluhur suatu organisme dengan cara membandingkan untaian DNA,
RNA, atau protein yang dapat menggambarkan kekerabatan genetik secara mendasar, daripada
menggunakan ciri eksternal. Dalam situasi dimana pengelompokan ke dalam spesies, genera,
famili, dan sebagainya sulit untuk dilakukan, maka data hasil sequencing dapat memberikan
pengukuran kekerabatan genetik secara kuantitatif. Bahkan bila penentuan spesies tidak dapat
dilakukan dengan tepat, maka data keragaman sequence dapat dipakai untuk menempatkan suatu
organisme dalam spesies atau famili yang mana.

Pada mulanya usaha klasifikasi dengan sequencing dilakukan pada ribosomal RNA.
Akan tetapi semakin banyak data yang telah dihimpun, bahkan hingga tingkatan genom, maka
sangat dimungkinkan untuk menggunakan sejumlah gen sebagai dasar klasifikasi. Saat ini
komputer dapat dimanfaatkan untuk mengkalkulasi keragaman relatif pada berbagai sequence
dan menyajikan hasilnya sebagai diagram pohon.
Pada contoh tersebut digambarkan bahwa terdapat 4 jenis bakteri dari genus berbeda
tetapi masih dalam satu famili Enterobacteria. Untuk membuat interpretasi yang tepat atas
diagram tersebut, maka juga diperlukan sequence dari jenis ”out group”, dalam contoh tersebut
menggunakan data dari bakteri Pseudomonas yang berkerabat jauh dengan kelompok bakteri
enterik tersebut. Nodus pada diagram menyatakan adanya kesamaan leluhur. Panjang lengan
diagram menyatakan jumlah mutasi yang terjadi dan adanya angka menyatakan jumlah
perubahan basa nukleotida yang diperlukan untuk mengubah suatu sequence pada tiap cabang.
Perlu dicatat bahwa rRNA dengan satuan 16s memiliki panjang 1542 basa nukleotida.

Hewan parasit adalah hewan yang beradaptasi dan mengembangkan kebiasaan khusus
akibat lingkungan yang tidak lazim. Menyusun kekerabatan filogenetik untuk hewan parasit sulit
dilakukan bila berdasar atas analisis ciri semata. Namun dengan analisis sequence gen dapat
digunakan untuk melacak leluhur hewan parasit atau hewan dengan rupa tidak lazim.
Perkembangan bentuk yang tidak lazim akibat pengaruh habitat tidak hanya terjadi pada hewan
parasit. Tikus tanah adalah hewan yang hidup di bawah tanah atau di gua. Oleh karena hewan ini
beradaptasi untuk tidak menggunakan organ mata, maka hewan ini tidak memiliki mata.
Terkadang struktur organ vestigial

tertentu masih dipertahankan kendati hewan yang memiliki organ tersebut sudah tidak
menggunakannya lagi. Contohnya adalah paus yang memiliki alat gerak belakang yang
mengalami atrofi sehingga menunjukkan bahwa paus bukanlah ikan. Paus adalah mamalia yang
beradaptasi utnuk hidup di perairan dengan cara membentuk tubuhnya seperti ikan. Sebelum
metode sequencing gen dikenal, masih belum terungkap mamalia mana yang berkerabat dekat
dengan paus. Namun kini telah diungkap bahwa paus berkerabat dengan mamalia berkuku dari
kelompok kuda nil, jerapah, babi, dan unta.

Kesulitan yang dihadapi dalam metode sequencing adalah basa yang berubah dapat
berbalik ke kondisi semula. Untuk membandingkan berbagai sequence dengan banyak tapak
yang berubah, maka cukup diperlukan teknik statistik. Akan tetapi
kerancuan masih terus menghantui. Untuk mengatasi kerancuan ini, digunakan metode insersi
dan delesi (juga dikenal dengan sebutan sequence pengenal, atau indel). Meskipun sebuah insersi
atau delesi sebuah basa masih dapat mengembalikan perubahan seperti keadaan semula,
kemungkinan bahwa hasil insersi atau delesi akan kembali ke kondisi semula (merestorasi
sequence semula) adalah sangat kecil. Sebagai konsekuensinya, bila sebuah subgroup famili
beberapa sequence berkerabat yang memiliki indel pada posisi dan panjang yang sama, maka
dapat dipastikan sequence tersebut berasal dari leluhur yang sama.

DNA Mitokondria, Roda Evolusi yang Berputar dengan Cepat

Mitokondria memiliki DNA sirkular yang mirip dengan kromosom bakteri, walau DNA
tersebut lebih kecil. DNA mitokondria mengkode beberapa protein dan rRNA untuk
mitokondria, hanya saja sebagian besar komponennya dikode oleh bagian inti sel. DNA
mitokondria pada hewan mengakumulasi mutasi dengan cepat daripada gen di inti sel. Tepatnya,
akumulasi mutasi terjadi pada posisi kodon ke-3 gen struktural dan lajunya makin cepat pada
tapak regulator antar gen. Hal ini berarti bahwa DNA mitokondria dapat dipakai untuk
pengamatan kekerabatan pada beberapa spesies yang berdekatan atau berbagai ras dalam satu
spesies. Sebagian besar variabilitas pada DNA mitokondria manusia terjadai pada segmen loop
D pada tapak regulator. Sequencing pada segmen ini membantu peneliti untuk perbedaan
beberapa populasi dalam sekelompok etnis tertentu.

Salah satu kelemahan dalam penggunaan DNA mitokondria adalah bahwa mitokondria
diwariskan dari pihak Ibu. Meskipun sel sperma juga membawa mitokondria, namun organel
tersebut tidak dilepaskan selama terjadi fertilisasi dan tidak diwariskan. Di sisi lain analisis DNA
mitokondria dapat membantu dalam penentuan leluhur perempuan karena tidak diributkan
dengan rekombinasi. Sel eukariot yang hanya memiliki satu nukleus, tetapi memiliki banyak
mitokondria, sehingga terdapat ribuan salinan DNA mitoondria. Hal ini menyebabkan ekstraksi
dan sequencing DNA mitokondria jauh lebih mudah secara teknis.
DNA mitokondria terkadang dapat diperoleh dari museum dan berbagai hewan yang
punah. DNA mitokondria yang diekstrak dari mammoth beku di Siberia, bila dibandingkan
dengan sequence serupa milik gajah India dan Afrika menunjukkan

perbedaan hanya sebanyak 4-5 dari 350 basa. Quagga adalah sejenis hewan punah yang mirip
dengan zebra. Hewan ini diketahui hidup di selatan daratan Afrika ratusan tahun yang lalu.
Spesimen yang diperoleh dari museum di Jerman menghasilkan potongan otot dimana DNA
akan diekstrak dan disusun sequence-nya. Dua potongan gen dari DNA mitokondria quagga juga
digunakan dalam pengamatan ini. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat perbedaan basa
DNA quagga dan zebra adalah sebesar 5%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa quagga
dan zebra berasal dari leluhur yang sama jutaan tahun yang lalu.

Metode ekstraksi DNA juga pernah dilakukan pada mumi berusia 2400 tahun dari Mesir.
DNA yang berhasil diperoleh hanya sebanyak 5%, tidak sebanyak yang dapat dilakukan pada
spesiemen yang segar. Meskipun peneliti telah berhasil menyusun sequence sebesar ribuan
pasang basa, namun tidak banyak gen yang dapat diungkap. Hal ini disebabkan sebagian besar
DNA pada hewan tingkat tinggi tersusun atas untaian bukan pengkode. Dari mumi tersebut
hanya terungkap adanya elemen Alu yang merupakan ciri DNA manusia.

Hipotesis “African Eve”

Upaya untuk mengungkap evolusi manusia dari berbagai pecahan tengkorak dan
kerangka kini telah mengerucut pada dua akema alternatif. Pertama adalah model multi- regional
yang menyatakan bahwa Homo erectus berevolusi secara bertahap menjadi

Homo sapiensdan sekaligus juga menyebar menuju Asia, Eropa, dan Afrika. Kedua

adalah model Bahtera Nuh yang menyatakan bahwa sebagian besar percabangan kerabat
manusia telah punah dan digantikan dengan bangsa yang ada saat ini yang merupakan keturunan
dari satu bangsa di masa lampau. Pada umumnya para ahli antropologi mendukung kedua model
tersebut, namun beberapa ahli genetika menganggap bahwa model Bahtera Nuh lebih masuk
akal. Model ini menggambarkan bahwa terjadi pertukaran informasi genetik secara berkelanjutan
pada berbagai suku bangsa yang tersebar dan terisolasi melintasi putaran waktu yang panjang di
masa prasejarah. Tentu saja analisis molekuler lebih cenderung mendukung model Bahtera Nuh.

Meskipun DNA mitokondria berevolusi dengan cepat, variasi manusia pada berbagai ras
secara keseluruhan ternyata tidak terlalu mengesankan. Kalkulasi pada berbagai keragaman dan
perhitungan laju evolusi pada akhirnya mengungkap bahwa

leluhur manusia hidup di Afrika sekitar 100.000-200.000 tahun yang lalu. Oleh karena
mitokondria diturunkan secara maternal, maka leluhur perempuan umat manusia di sebut
“African Eve”. Pendapat ini diperkuat oleh berbagai analisis akar genetic populasi Afrika saat
ini. Pada sisi lain juga terungkap bahwa berbagai sub-bangsa Afrika tersebar ke berbagai wilayah
jauh sebelum terbentuknya suku bangsa lain di berbagai belahan dunia.

Leluhur dari bangsa Eropa saat ini berasal dari bangsa Euro-Asia dan bermigrasi menuju
Eropa melalui Timur Tengah sekitar 40.000-50.000 tahun yang lalu. Bangsa Indian di Amerika
berasal dari dua jalur suku bangsa yang bermigrasi dari daratan Asia. Bangsa Paleo-Indian yang
terlebih dahulu tiba menempati wilayah seluruh daratan Amerika (sekitar 30.000 tahun yang
lalu), kemudian pada periode berikutnya hadir bangsa Na-Dene yang menempati wilayah utara
Amerika sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Di samping menggunakan DNA mitokondria, penggunaan sequence mikrosatelit pada


kromosom juga dapat digunakan untuk membandingkan berbagai suku bangsa. Hasil penelitian
filogenetik semacam ini juga menghasilkan kesimpulan yang serupa. Metode ini juga
mengungkapkan bahwa umat manusia berasal dari bangsa Afrika, bahkan lebih jauh metode ini
dapat mengungkap siapa sebenarnya leluhur manusia 100.000 tahun yang lalu.

Terkait dengan sosok Adam, para ahli biologi molekuler menyebut beliau sebagai Y-
guy. Kromosom Y pada manusia yang pendek tidak mengalami rekombinasi dengan kromosom
X yang lebih besar. Hal ini dapat berperan melacak jalur leluhur laki-laki manusia tanpa adanya
kerumitan rekombinasi. Sebagai contoh adalah gen ZFY pada kromosom Y yang diwariskan dari
ayah menuju anak laki-laki dan berperan dalam maturasi sperma. Data sequence pada ZFY
menunjukkan bahwa manusia dan simpanse berasal dari jalur leluhur yang sama yang hidup
sekitar 5 juta tahun yang lalu dan leluhur laki-laki manusia modern telah hadir sekitar 250.000
tahun yang lalu. Hasil penelitian terakhir yang melibatkan sejumlah besar marker genetik pada
kromosom Y menunjukkan bahwa munculnya Adam atau Y-guy ini sekitar 100.000 tahun yang
lalu.

Hasil penelitian terbaru tentang cluster mutation pada kromosom Y tidak selaras dengan
model multi-regional dan mengkonfirmasi bahwa manusia modern berasal dari leluhur di Afrika.
Hanya saja masih tersisa catatan buruk tentang bangsa Neanderthal.

Meskipun bangsa ini masih bertahan hidup hingga 30.000 tahun yang lalu dan sempat
bersentuhan dengan manusia modern di Eropa dan Timur Tengah, hasil analisis sequence
menunjukkan bahwa leluhur bangsa ini tidak jelas. Perbandingan sequence DNA menunjukkan
bahwa bangsa Neanderthal tidak pernah melakukan persilangan dengan manusia modern atau
berkontribusi dalam gene-pool manusia saat ini.

DNA Purba dari Hewan Punah

Selain dimanfaatkan untuk menganalisis mammoth beku dan mumi kering, metode
sequence DNA pada makhluk hidup juga lazim dipakai untuk mengkonstruksi skema evolusi.
DNA purba yang diekstrak dari fosil sisa-sisa makhluk hidup dapat menyediakan penanda yang
tepat untuk mengukur laju evolusi. DNA tertua yang dapat diperoleh hingga saat ini adalah DNA
dari batuan amber. Amber adalah batuan polimer resin yang mengeras berbentuk batuan tembus
pandang dan telah berusia jutaan tahun. Terkadang terdapat beberapa hewan yang terjebak dalam
resin dan mengalami pengawetan di dalamnya. Sebagian besar hewan yang terperangkap adalah
insecta, cacing, siput, dan kadal. Batuan amber berperan sebagai preservatif dan oleh karenanya
struktur internal sebuah sel seranga masih dapat diamati dengan mikroskop elektron. Oleh karena
itu sangat dimungkinkan untuk memulihkan kembali DNA melalui PCR dari spesimen serangga
yang telah berusia 125 juta tahun.

Potongan amber terbesar yang pernah ditemukan berukuran tidak lebih dari 6 inchi. Oleh
karena itu hewan raksasa seperti dinosaurus tidak pernah ditemukan dalam keadaan masih awet.
Hanya saja bila beberapa sel darah berhasil ditemukan dalam saluran usus serangga penghisap
darah, secara teoritis dapat menyediakan sequence DNA lengkap dari hewan bertubuh besar.
Skenario inilah yang dicoba oleh Michael Crichton dalam film fiksi Jurassic Park yang dia
kerjakan, yaitu mengisahkan bahwa hewan dinosaurus dapat dihidupkan kembali dengan cara
menginsersi DNA dinosaurus ke dalam telur amphibi. Dalam kondisi sesungguhnya, DNA
dinosaurus akan segera rusak dan hanya sedikit sequence yang dapat dibaca. Tetapi pada
prinsipnya bukanlah hal yang mustahil untuk mendapatkan beberapa fragmen gen Tyrannosaurus
rex.

DNA yang telah diisolasi dari berbagai sampel berusia jutaan tahun umumnya segera
mengalami kerusakan sehingga proses identifikasi tidak dapat dilakukan. DNA tertua yang
pernah diperoleh manusia hingga saat ini berusia sekitar 50.000 tahun dan

berasal dari mammoth beku di Siberia. Dari daratan beku tersebut juga ditemukan DNA
tanaman dari rerumputan dan semak yang berusia 300.000-400.000 tahun.

Mikroorganisme juga dapat terperangkap dalam batuan amber dan dalam hal ini tidak
sekedar mendapatkan DNA saja, nampaknya masih dimungkinkan untuk menghidupkan kembali
makhluk tersebut. Spora yang dilapisi selubung protektif pada umumnya disintesis oleh bakteri
untuk menghadapi kondisi lingkungan yang buruk sehingga bakteri tersebut masih bertahan
hidup dalam waktu yang lama. Beberapa spora bakteri berusia 30 juta tahun telah ditemukan
dalam serangga lebah yang terperangkap dalam amber. Spora tersebut bila ditumbuhkan dalam
kultur ternyata dapat menghasilkan koloni bakteri. Bakteri yang mengalami kebangkitan ini
adalah dari jenis

Bacillus sphaericus yang memang selalu ditemukan dalam tubuh lebah hingga saat ini.
Bila DNA Bacillus dibandingkan dengan kerabatnya yang ada di masa kini masih memiliki
kemiripan, tetap tidak identik. Spora dari bakteri jenis yang lain juga telah ditemukan dan dapat
dikultur berasal dari kristal garam berusia 250.000 tahun.

Evolusi Menyamping: Transfer Gen Horizontal.

Teori evolusi yang diajukan Darwin menyatakan bahwa perubahan materi genetik dapat
diwariskan dari satu generasi menuju generasi lainnya. Akan tetapi sesungguhnya transfer materi
genetik juga dapat terjadi antara organisme satu dengan organisme lain atau antara beberapa
organisme yang masih berkerabat. Transfer gen vertikal mempunyai makna transmisi materi
genetik dari generasi parental menuju generasi turunan secara langsung. Transfer vertikal ini
juga dapat berupa transmisi gen yang terjadi melalui pembelahan sel dan berbagai cara
reproduksi yang menghasilkan salinan utuh suatu genom secara seksual atau tidak. Sedangkan
pada transfer gen secara horizontal/lateral, transmisi materi genetik terjadi dari organisme donor
menuju organisme lain di luar jalur keturunannya.

Sebagai contoh, gen resistensi antibiotik yang dibawa oleh plasmid dapat dipindahkan ke
dalam bakteri lain yang tidak berkerabat. Gen yang dibawa dalam plasmid terkadang juga
terintegrasi dalam kromosom, oleh karena itu gen bakteri dapat dipindahkan dari genom suatu
organisme menuju genom organisme lain. Sebagian besar gen pada bakteri telah berhasil
diungkap sequence-nya. Perhitungan yang dilakukan berdasarkan data tersebut mengungkapkan
bahwa sekitar 5-6% dari genom prokariot

adalah hasil transfer horizontal. Adanya fenomena semacam ini banyak diamati dalam dunia
klinik. Kemampuan virulensi dan resistensi terhadap antibiotik adalah hal yang lazim dibawa
melalui plasmid. Transfer horizontal semacam itu dapat terjadi di antara organisme dari spesies
yang sama (seperti transfer plasmid di antara E. coli) atau melintasi batasan taksonomi seperti
yang terjadi pada transfer Ti-plasmid dari bakteri menuju sel tanaman. Transfer gen semacam ini
ditentukan oleh kemampuan carrier untuk melintasi batasan antar spesies. Virus, plasmid, dan
transposon adalah agen yang lazim digunakan dalam transfer gen secara horizontal. Retrovirus
adalah agen yang mampu menginsersikan dirinya ke dalam kromosom hewan, mengambil suatu
gen, serta memindahkan gen tersebut menuju organisme lain.

Salah satu contoh transfer gen horizontal pada hewan terkait dengan virogen tipe C yang
terdapat pada baboon dan keluarga kera dari Dunia Lama. Virogen tipe C pada mulanya telah
ditemukan pada leluhur bangsa kera tersebut sejak 30 juta tahun yang lampau. Selanjutnya
terungkap bahwa sequence virogen tipe C ini juga ditemukan pada berbagai jenis kucing.
Tercatat jenis kucing dari Afrika Utara dan Eropa memiliki virogen tipe C milik baboon ini.
Sementara jenis kucing dari Amerika, Asia, dan Subsahara Afrika tidak memiliki sequence gen
ini. Oleh karena itu leluhur bangsa kucing tidak memiliki gen semacam ini. Labih jauh terungkap
bahwa sequence yang ditemukan di kucing Afrika Utara serupa dengan sequence virogen milik
baboon daripada sequence milik leluhur bangsa kera ini. Oleh karena itu dapat diduga bahwa
bahwa sekitar 5-10 juta tahun yang lalu terdapat retrovirus yang membawa virogen tipe- C secara
horizontal dari leluhur baboon menuju leluhur kucing di Afrika Utara. Kucing hias yang
dipelihara di Eropa sesungguhnya berasal dari daratan Mesir, sehingga dapat dipastikan
membawa virogen tipe C. Akan tetapi bangsa kucing yang berkembang pada periode 10 juta
tahun yang lalu tidak memiliki sequence ini.

Permasalahan dalam Estimasi Transfer Gen Horizontal

Upaya sequencing pada genom manusia kini telah mengungkap bahwa terdapat ratusan
gen manusia yang pada awalnya ditransfer oleh bakteri. Namun hasil analisis terakhir
menunjukkan proporsi gen hasil transfer horizontal tersebut sebenarnya sangat sedikit. Beberapa
faktor yang berkontribusi yang berpengaruh dalam

Perkiraan jumlah gen hasil transfer horizontal pada genom manusia atau pada organisme lain
adalah

sebagai berikut.

1. Bias selama sampling. Secara relatif masih sedikit genom eukariot yang telah disusun sequence-
nya dengan lengkap, sementara masih terdapat ratusan genom yang akan disusun. Hilangnya
sebuah sequence homolog gen manusia dari sequence suatu eukariot masih belum bisa
membuktikan asal mula sequence tersebut dari sumber eksternal seperti bakteri. Semakin banyak
data sequence yang diperoleh, maka akan semakin banyak gen yang terungkap

2. Hilangnya sequence homolog pada beberapa garis keturunan yang berkerabat menunjukkan bahwa
terdapat gen yang berasal dari sumber eksternal. Hal yang dilakukan untuk mengatasi
permasalahan ini adalah pengumpulan data sequence lebih banyak dari berbagai garis keturunan
lain yang masih berkerabat.

3. Duplikasi gen yang diikuti dengan laju divergensi yang cepat dapat menghasilkan
gen baru yang terlepas dari garis keturunan suatu organisme.

4. Seleksi evolusioner pada gen tertentu menyebabkan meningkatnya laju perubahan sequence. Gen
yang berevolusi lebih cepat daripada gen yang normal cenderung menyebabkan kesalahan
perbandingan sequence untuk pembentukan pohon evolusi.

5. Mudahnya transfer gen secara horizontal melalui plasmid, virus, dan transposon dalam kondisi
laboratoris ternyata cenderung menyesatkan. Padahal dalam kondisi di alam masih terdapat
barrier yang menghalangi perpindahan tersebut. Lebih jauh, hasil transfer gen horizontal
cenderung bersifat temporer. Gen yang didapat melalui plasmid, transposon, dan sebagainya
ternyata mudah terlepas dan hilang. Gen

semacam itu akan nampak dalam kondisi menghadapi seleksi (seperti gen resistensi antibiotik),
kemudian gen tersebut akan menghilang saat kondisi selektif tersebut tidak ada.

6. Upaya eksperimental seperti kontaminasi DNA yang sering terjadi. Pada umumnya parasit dari
kelompok bakteri dan virus sering berhubungan dengan organisme tingkat tinggi dan usaha
untuk memurnikan DNA dari organisme parasit tersebut bukan perkara mudah.

Sebagian besar contoh yang dijelaskan di atas dan dari berbagai kasus transfer gen
horizontal juga menghadapi berbagai permasalahn seperti di atas. Akan tetapi ada pula kasus
transfer yang cukup valid, yaitu salah satunya adalah seringnya terjadi transfer transfer gen
horizontal antara genom mitokondria tumbuhan berbunga. Gen untuk protein ribosom tertentu di
mitokondria terbukti telah ditransfer dari garis keturunan tanaman monokotiledon menuju
beberapa garis keturunan dikotiledon. Salah satu contohnya adalah transfer gen rps2 pada
tanaman kiwi (Actinidia) dan gen rps11 pada tanamanSangui naria.

LAMPIRAN
Kromosom Y Jenghis Khan

Sebuah penelitian berskala besar telah membuktikan bahwa 1 di antara 12 laki- laki di
Asia membawa kromosom Y yang berasal dari Mongolia sekitar 1000 tahun yang lalu. Penelitian
tersebut menggunakan 30 marker genetik untuk mensurvey ribuan laki-laki. Marker tersebut
berupa sequence insersi dan delesi, sequence polimorfisme, dan sequence repetitif. Sebagian
besar laki-laki membawa kromosom Y yang mempunyai kombinasi unik dari berbagai marker
tersebut. Akan tetapi sekitar 8% dari laki-laki di Asia membawa kromosom Y dengan kombinasi
marker genetik yang serupa. Fenomena semacam ini tidak ditemui pada laki-laki di belahan
dunia yang lain. Oleh karena itu laki-laki di Asia yang memiliki marker genetik ”Mongol
cluster” hanya ditemui di wilayah yang dahulu menjadi bagian Imperium Mongolia di bawah
ekukuasaan Jenghis Khan. Sebagai contoh, ”Mongol cluster” tidak ditemukan di Jepang dan
Cina bagian selatan karena kedua wilayah tersebut bukan bagian dari wilayah kerajaan Mongol.
Mongol cluster ditemukan pada 15 populasi yang tersebar di sekitar bekas wilayah kerajaan
Mongol.

Hal yang menarik adalah di Pakistan, dimana hanya sedikit laki-laki Pakistan yang
memiliki ”Mongol cluster”, ternyata muncul suku Hazara yang memiliki 30% dari populasinya
memiliki ”Mongol cluster”. Oleh karena itu dapat diduga bahwa suku Hazara adalah asal usul
bangsa Mongol dan mereka mengklaim diri sebagai turunan langsung Jenghis Khan. Oleh karena
Pakistan tidak tergabung dalam wilayah kerajaan Mongol, maka diduga suku Hazara bermigrasi
di lokasi saat ini mereka berada.

Kromosom Y dari varian tersebut dapat diduga berasal dari Jenghis Khan. Sekitar 800
tahun yang lalu muncul seorang bernama Temujin yang berhasil menyatukan Mongolia dan pada
tahun 1206 memproklamirkan diri sebagai Jenghis Khan. Tentara Mongol tercatat membantai
kaum laki-laki di wilayah yang mereka taklukkan, selanjutnya mereka menghamili kaum
perempuan yang tersisa. Distribusi kromosom Y di masa kini membuktikan hal tersebut. Namun
belum jelas apakah varian kromosom Y tersebut berasal dari Jenghis Khan sendiri atau berasal
dari prajuritnya. Akan tetapi bisa dipastikan varian ini tidak berasal dari Jenghis Khan semata
karena pada umumnya prajurit Mongol masih berkerabat.

http://www.scribd.com/doc/30340045/Makalah-Evolusi-Molekular

Anda mungkin juga menyukai