Anda di halaman 1dari 5

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif

Kebijakan
Hanan Nugroho©

Penyakit “subsidi BBM” yang cukup lama menggerogoti APBN/ ekonomi Indonesia
sesungguhnya bisa disembuhkan. Penyakit ini terjadi karena kurangnya diversifikasi
energi, diabaikannya konservasi energi, tidak efisiennya sistem penyediaan BBM, serta
lemahnya kebijakan harga energi nasional.
Kompensasi terhadap kaum duafa karena harga BBM dinaikkan bukanlah terapi
penyembuhan terhadap penyakit subsidi BBM itu sendiri. Gambar 1 mengilustrasikan
bagaimana perbaikan terhadap faktor-faktor tersebut di atas akan mengurangi penyakit
subsidi BBM.

Gambar 1. Pendekatan untuk mengurangi subsidi BBM

+ + EFISIENSI
DIVERSIFIKASI - - PENYEDIAAN
ENERGI BBM

SUBSIDI
BBM

KONSERVASI HARGA ENERGI


ENERGI RASIONAL
- -
+ +

Diversifikasi Energi
Ketergantungan konsumsi energi nasional yang sangat besar terhadap BBM -
pangsanya sekitar 60-70 persen- merupakan akar penyakit subsidi BBM (Gambar 2).
Ketergantungan ini tak sehat karena Ibu Pertiwi dikaruniai beraneka sumberdaya energi.
Kandungan gas bumi dan batubara Tanah Air lebih besar daripada minyak bumi; harga
mereka pun lebih murah. Potensi panas bumi Indonesia terbesar di dunia; potensi energi
terbarukan pun cukup besar. Pemanfaatan mereka sangat rendah.
Diversifikasi energi secara konsisten mesti dilakukan untuk menurunkan
ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap BBM. Substitusi terhadap BBM perlu
diupayakan di berbagai pemakaian, misalnya pembangkitan listrik. Pangsa penggunaan
sumber-sumber energi non-BBM seperti gas bumi, batubara dan panas bumi
(geothermal) mesti diperbesar.
Peningkatan pangsa sumber energi non-BBM seperti gas bumi dan batubara dapat
ditempuh melalui pembangunan infrastruktur energi secara progresif. Misalnya, dengan

©
Perencana Senior Bidang Energi di BAPPENAS. Anggota Redaksi Jurnal
Perencanaan Pembangunan.
membangun secara besar-besaran jaringan transmisi dan distribusi gas bumi di dalam
negeri (Hanan Nugroho: Increasing the share of natural gas in national industry and
energy consumption: infrastructure development plan? Perencanaan Pembangunan
IX/3/2004). Demikian pula prasarana angkutan, penimbunan dan pemrosesan batubara
perlu diperbanyak.

Gambar 2. Perkembangan konsumsi energi final Indonesia (1990-2003)


350.0

300.0

250.0

200.0 BBM
juta SBM

Gas Bumi
Batubara
Listrik
150.0 LPG

100.0

50.0

0.0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Sumber: Ditjen Listrik & Pengembangan Energi, Statistik Energi, 2005.

Dibandingkan kesiapan untuk mengekspor gas bumi atau batubara, kondisi


infrastruktur energi kita di dalam negeri miskin, mengakibatkan akses terhadap energi
non-BBM rendah dan upaya diversifikasi energi terhambat.
Pemerintah juga perlu menggerakkan pembangunan energi terbarukan (renewables),
walau kontribusi mereka dalam konsumsi energi nasional tidak besar. Insentif fiskal,
mekanisme pembiayaan, training dan badan khusus untuk mendorong pengembangan
energi terbarukan bila perlu dibentuk. Di dunia kini tersedia banyak hibah/ sumber dana
murah untuk pengembangan energi terbarukan, yang mestinya dimanfaatkan.
Dibandingkan alokasi dana yang disediakan untuk subsidi BBM yang telah melonjak
tinggi, biaya pembangunan infrastruktur gas bumi, batubara, panas bumi maupun energi
terbarukan gas bumi relatif murah. Ke arah ini pemerintah perlu mempertegas
komitmennya. Tujuannya, agar portofolio konsumi energi nasional makin sehat.

Konservasi Energi
Konservasi energi sebagai pilar manajemen energi nasional belum mendapat
perhatian yang memadai di Tanah Air. Indonesia –berdasarkan data intensitas energi-
adalah negara yang produktivitas pemanfaatan energinya sangat rendah dibandingkan
banyak negara di Asia. Energi di Indonesia, termasuk BBM, digunakan secara boros.
Potensi untuk melakukan konservasi energi sangat terbuka di Tanah Air. Gambar 3
memperlihatkan pengunaan energi berdasarkan jenis dan sektor pemakai. Tampak jelas
bahwa sektor transportasi adalah pemakai utama BBM, sehingga pantas dijadikan target
utama penghematan pemakaian BBM.

Gambar 3. Konsumsi energi final berdasar jenis dan sektor (2003)


350

300

250
juta setara barel minyak

200 Transportasi
RumahTangga/Servis
150 Industri

100

50

0
BBM Gas Bumi Batubara Listrik LPG

Sektor lain seperti industri, perkantoran, rumah tangga maupun penyediaan tenaga
listrik juga sangat terbuka untuk ditingkatkan efisiensi pemanfaatan energinya. Beberapa
studi memperkirakan potensi Indonesia untuk melakukan efisiensi pemakaian energi
berkisar 20–30 persen. Banyak teknik dapat dimanfaatkan untuk melakukan konservasi
energi.
Konservasi energi di suatu sisi juga dapat diangap sebagai “penemuan” sumber
energi. Misalnya, penghematan konsumsi BBM sekitar 10 persen bisa dianggap
menemukan sekitar 150.000 bph minyak mentah. Konservasi energi berarti penghematan
biaya eksplorasi.
Dengan demikian, perlu sekali menggalakkan konservasi energi untuk setiap sektor
pemakai energi (transportasi, industri, perkantoran, rumahtangga) serta setiap jenis energi
yang digunakan (khususnya BBM). Bagaimana “setengah memaksa” atau membangun
kesadaran masyarakat/ pemerintah untuk menjadikan konservasi energi sebagai budaya
baru perlu dikembangkan. Kampanye hemat energi, audit energi, teknik melakukan
konservasi energi, pengembangan insentif untuk melakukan efisiensi pemanfaatan energi
perlu diterapkan. Undang-Undang Konservasi Energi pun perlu dibuat.
Contoh yang berhasil mengembangkan konservasi energi adalah Jepang, yang sukses
pula mengembangkan diversifikasi energi. Ketergantungan Jepang pada minyak bumi
sebelum periode Krisis Minyak 3 dekade lalu sekitar 80 persen. Melambungnya harga
minyak memaksa Jepang dengan ketat melakukan diversifikasi dan konservasi energi,
dan membentuk Pusat Konservasi Energi Nasional. Jepang kini adalah negara yang
produktivitas pemanfaatan energinya paling baik di dunia, sedangkan minyak bumi
tinggal 45 persen dari konsumsi energi mereka.
Contoh sukses Jepang ditiru di Asia misalnya oleh Thailand. Indonesia dapat belajar
pula untuk membuat konservasi energi menjadi bagian budaya masyarakat untuk
mendapatkan pola konsumsi energi lebih rasional/ sehat.

Mekanisme Penyediaan BBM


Konsumsi BBM tumbuh pesat di Tanah Air, mencapai sekitar 60 juta liter setahun
ini. Peningkatan konsumsi BBM tidak diikuti produksi minyak mentah dalam negeri.
Sebagian minyak mentah harus diimpor. Penambahan kapasitas kilang hampir tidak
dilakukan. Sebagai akibatnya impor BBM meningkat. Peningkatan impor BBM dan
minyak mentah melonjakkan biaya pengadaan dan subsidi BBM.
Mekanisme penyediaan BBM nasional hingga saat ini dapat ditunjukkan dalam
Diagram 4. Sistem penyediaan BBM nasional ini, yang mengandalkan Pertamina sebagai
pelaku tunggal penyediaan BBM nasional, tidak dapat dikatakan telah dilakukan dengan
efisien. Terbuka kemungkinan bahwa efisiensinya dapat ditingkatkan. Dalam situasi
dimana harga minyak mentah dunia membumbung, upaya efisiensi dalam sistem
penyediaan BBM nasional akan memberikan dampak berarti terhadap biaya konsumsi
dan subsidi BBM.

Gambar 4. Mekanisme penyediaan BBM di Indonesia

Ekspor Produk

Produk Minyak Konsumsi


Ekspor Produk DN
Minyak Mentah Lainnya

Konsumsi
Produksi Kilang BBM Dalam
Minyak Mentah Dalam Negeri
Negeri

Stok
BBM
Impor Minyak Impor DN
Mentah BBM

Tindakan efisiensi yang dapat dilakukan, misalnya dengan menambah kapasitas


kilang untuk menurunkan volume BBM yang harus diimpor). Selain itu, mempertingi
efisiensi distribusi BBM, yang dapat ditempuh dengan memperbanyak pipa distribusi
BBM. Berapa sebetulnya konsumsi “real” BBM di Tanah Air –dengan
mempertimbangkan penyelundupan yang terjadi- juga perlu dicermati.
Impor, baik untuk minyak mentah maupun BBM merupakan komponen biaya
terbesar (> 90 persen) bila harga minyak mentah dunia membumbung di atas
US$ 50/barel. Karena itu manajemen impor, baik untuk minyak mentah maupun BBM,
merupakan titik rawan yang mesti dimonitor atau diperbaiki sistemnya untuk menjamin
bahwa impor dilakukan dengan biaya yang termurah. Impor minyak mentah dan BBM
merupakan bisnis yang nilainya melebihi Rp. 100 trilliun/tahun.
Hal-hal yang berkaitan dengan proses penyediaan BBM, khususnya mengenai
pengadaan minyak mentah dan BBM, seyogyanya dibuat terbuka untuk masyakarat
umum, sehingga memantau perkembangan yang terjadi pada bisnis yang menyangkut
hajat hidup orang banyak tersebut.

Harga Energi
Politik harga energi yang menetapkan BBM sebagai komoditi dengan harga seragam
secara nasional sudah tak tepat lagi untuk perkembangan ekonomi yang berbeda-beda di
Tanah Air. Harga BBM yang dibuat “murah” dengan subsidi yang tak tepat arah lebih
mendatangkan mudharat daripada manfaat ekonomi.
Harga murah membuat konsumsi boros dan makin meningkatkan ketergantungan
pada BBM. Harga BBM murah tidak merangsang pengembangan sumber energi non-
BBM. Harga BBM murah juga tidak mencerminkan “nilai” dari sumberdaya minyak
bumi itu sendiri yang mesti tidak dikonsumsi hanya oleh generasi sekarang. Harga BBM
bersubsidi sesungguhnya tak tepat buat Indonesia yang produksi minyak bumi per
kapitanya paling rendah di antara negara OPEC.
Langkah pemerintah untuk menaikkan harga BBM sudah tepat. Namun hanya
menaikkan harga saja tidak cukup, karena kompleksitas penyakit subsidi BBM kita tidak
hanya karena faktor harga.
Dengan menerapkan serangkaian kebijakan energi yang pokok-pokoknya diuraikan
di atas (diversifikasi, konservasi, efisiensi) maka penyakit subsidi BBM Insya-Allah
dapat disembuhkan.

--hn--

Anda mungkin juga menyukai