Anda di halaman 1dari 3

Bangsa Ini Harus Segera Bertobat

Musibah beruntun yang mendera negeri ini tidak hanya menyisakan perih dan getir, tetapi
juga sejumlah pertanyaan; mengapa bangsa dengan penduduk Muslim terbesar ini terus
dirundung malapetaka; apa penyebabnya dan bagaimana solusinya? Langkah-langkah
praktis apa yang harus dilakukan bangsa ini agar bencana-bencana tersebut tidak terulang
kembali pada masa mendatang?

Pada dasarnya, musibah yang menimpa manusia semacam banjir, gempa bumi, gunung
meletus, tsunami, dan lain sebagainya, ada kalanya merupakan ujian dan cobaan (imtihân
wa ikhtibâr) dari Allah SWT; ada kalanya merupakan hukuman dan peringatan dari Allah
SWT atas kelalaian, kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia serta
ditinggalkannya aktivitas amar makruf nahi mungkar.

Dalam konteks musibah sebagai ujian dan cobaan, seorang Muslim wajib menerima dan
menghadapi semua cobaan tersebut dengan keridhaaan dan kesabaran. Seorang Muslim
wajib menyakini sepenuhnya bahwa setiap cobaan dan ujian yang menimpa dirinya
terjadi atas qadha dan ijin Allah SWT (QS 64: 11). Keyakinan seperti inilah yang akan
menabahkan hatinya, mendorongnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah serta
menjauhkan dirinya dari keputusasaan dan keluh kesah.

Adapun berkaitan dengan musibah sebagai ’azab’1, sikap seorang Muslim adalah mawas
diri, mengakui kesalahan dan kelalaiannya dan segera bertobat kepada Allah SWT. Ia
menyadari sepenuhnya bahwa azab Allah tidak akan dijatuhkan kepada hamba-Nya,
kecuali setelah mereka melakukan kezaliman, kefasadan dan kemaksiatan (QS 28: 59; 46:
35; 44: 37); juga karena mereka telah melalaikan aktivitas amar makruf nahi mungkar
(QS 8: 25). Dengan begitu, ia akan terdorong untuk meninggalkan kemaksiatan dan
kembali taat kepada Allah SWT (tawbat[an] nashûhâ); serta menegakkan aktivitas amar
makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakatnya. Pasalnya, kunci untuk
membebaskan diri dari dosa, bencana dan kesulitan adalah tawbat[an] nashûhâ (tobat
yang tulus) dan amar makruf nahi mungkar. Lantas apa hakikat tawbat[an] nashûhâ itu,
dan bagaimana tatacaranya?

Kembali pada Syariah Islam

Mayoritas ulama mengartikan tawbat[an] nashûhâ (tobat yang tulus) dengan tobat yang
benar-benar suci dan ikhlas serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh syariat.
Said bin Jubair menyatakan bahwa tawbat[an] nashûhâ adalah tobat yang diterima Allah
SWT. Tobat hanya akan diterima Allah selama memenuhi tiga syarat. Pertama: takut jika
tobatnya tidak diterima. Kedua: berharap tobatnya diterima. Ketiga: memupuk ketaatan
kepada Allah.

Menurut Imam al-Hasan tawbat[an] nashûhâ adalah membenci dosa-dosa yang


dilakukannya, kemudian memohon ampunan kepada Allah ketika ia sadar.2
Menurut Imam an-Nawawi, tobat barulah disebut tawbat[an] nashûhâ jika memenuhi
tiga syarat. Pertama: adanya penyesalan di dalam hati. Kedua: segera meninggalkan
kemaksiatan yang dikerjakannya. Ketiga: memiliki niat kuat untuk tidak mengulangi
kemaksiatan serupa di kemudian hari. Syarat-syarat ini berlaku pada kemaksiatan yang
berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT. Jika di dalamnya
terdapat kewajiban meng-qadhâ, membayar kafarat, atau berkaitan dengan hudûd Allah
maka seseorang wajib menunaikan semua itu: meng-qadhâ, membayar kafarat dan
meminta pelaksanaan had atas dirinya. Adapun jika kemaksiatan tersebut berkaitan
dengan pelanggaran terhadap hak-hak manusia maka syarat tobatnya ada empat, yakni
tiga syarat di atas ditambah dengan mengembalikan hak-hak manusia yang dirampasnya
dan memohon maaf dari orang yang dia zalimi.3

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa intisari dari tobat adalah meninggalkan
kemaksiatan dan kembali menaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Meninggalkan
kemaksiatan diwujudkan dengan cara mencampakkan semua perkara yang bertentangan
dengan akidah dan syariah Islam. Adapun mentaati Allah SWT terefleksi dalam bentuk
menjalankan Islam secara menyeluruh dan konsisten di seluruh dimensi kehidupan.

Diadopsinya sistem pemerintahan demokrasi sekular dan diterapkannya hukum-hukum


positif Barat di negeri ini jelas merupakan tindak kemaksiatan yang sangat besar (akbar
al-ma’âshi). Pasalnya, demokrasi dan hukum-hukum positif Barat bertentangan secara
diametral dengan akidah dan syariah Islam. Tidak hanya itu, penerapan keduanya
(demokrasi dan hukum positif Barat) juga telah melahirkan kemaksiatan-kemaksiatan
baru yang jumlah dan ragamnya semakin bertambah banyak. Akibatnya, keadaan umat
manusia terus terpuruk dalam lembah kemunduran dan kehinaan. Yang kaya semakin
kaya, yang miskin semakin miskin. Ironisnya lagi, di tengah kondisi sesusah itu, para
penguasa di negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, malah memberi payung
hukum bagi musuh-musuh Islam untuk merampas dan mengeruk kekayaan kaum
Muslim, bahkan membunuhi anak-anak kaum Muslim.

Di sisi lain, “partai-partai politik Islam” yang ada di parlemen, juga sebagian ulama yang
diharapkan mampu meluruskan penyimpangan penguasa dan memimpin umat dalam
memperjuangkan syariah Islam, justru berkoalisi dengan penguasa sekular. Bahkan tidak
sedikit di antara mereka malah terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran demokrasi sekular
dan menjadi kaki tangan kepentingan barat. Akibatnya, tugas amar makruf nahi mungkar
dan muhâsabah li al-hukkâm (mengoreksi penguasa) yang menjadi tonggak
kelangsungan Islam dan kaum Muslim pelan namun pasti terus mengalami pelemahan.

Dalam keadaan seperti ini, yakni semakin merajalelanya kemaksiatan, akibat diterapkan-
nya sistem kufur dan ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar, sudah sepantasnyalah
negeri ini ’dihukum’ oleh Allah SWT dengan beragam bencana yang datang silih
berganti, yang menimpa baik kepada pendosa maupun orang shalih. Allah SWT
berfirman:

َ ْ ‫ق ع َل َي َْها ال‬ َ ً ‫ك قَري‬ َ َ َ ‫وإ‬


‫ميًرا‬
ِ ْ ‫ها ت َد‬ ّ َ ‫ل فَد‬
َ ‫مْرَنا‬ ُ ْ ‫قو‬ َ َ‫قوا ِفيَها ف‬
ّ ‫ح‬ ُ ‫س‬ َ َ‫مت َْرِفيَها ف‬
َ ‫ف‬ ُ ‫مْرَنا‬
َ ‫ةأ‬ َ ْ َ ِ ‫ن ن ُهْل‬
ْ ‫ذا أَرد َْنا أ‬َِ
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami memerintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah SWT), tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Karena itu, sudah sepantasnya berlaku bagi
mereka perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami menghancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya (QS al-Isra’: [17]:16)

Tatkala menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas menyatakan, “Maksud ayat ini adalah jika
Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada para pembesar di sebuah kota,
kemudian mereka berbuat maksiat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan
penduduk di negeri tersebut dengan azab.” (Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, II/371).

Di tempat lain, Allah SWT berfirman:

َ ِ‫ديد ُ ال ْع‬ َ
‫ب‬
ِ ‫قا‬ َ ّ ‫ن الل‬
َ ‫ه‬
ِ ‫ش‬ ُ َ ‫ة َواع ْل‬
ّ ‫موا أ‬ ً ‫ص‬
ّ ‫خا‬ ْ ُ ‫من ْك‬
َ ‫م‬ ُ َ ‫ن ظ َل‬
ِ ‫موا‬ ِ ّ ‫ن ال‬
َ ‫ذي‬ ّ َ ‫صيب‬
ِ ُ‫ة ل ت‬
ً َ ‫قوا فِت ْن‬
ُ ّ ‫َوات‬

Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja
di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya (QS al-Anfal [8]: 25).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT mengingatkan kepada hamba-hamba-
Nya yang Mukmin terhadap cobaan dan ujian yang tidak hanya ditimpakan kepada
pelaku maksiat saja, tetapi akan diratakan kepada semua orang, disebabkan tidak adanya
upaya untuk menghilangkan kemaksiatan tersebut (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, surah 8
ayat 25).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa satu-satunya jalan agar bangsa ini
terbebas dari bencana dan krisis multidimensional adalah meninggalkan sistem kufur
yang menjadi induk segala kemaksiatan dan kembali pada Islam secara menyeluruh.
Langkah praktis untuk mewujudkan hal ini adalah dengan menyerukan penegakkan
kembali institusi Khilafah al-Islamiyah di negeri-negeri kaum Muslim. Sebab, penerapan
Islam secara menyeluruh dan amar makruf nahi mungkar hanya bisa ditegakkan secara
sempurna dalam Khilafah Islamiyah. Khilafahlah yang mampu melenyapkan
kemaksiatan secara total, menerapkan syariah Islam secara menyeluruh, menyebarkan
Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad serta mengembalikan supremasi
Islam dan kaum Muslim. Dengan cara seperti inilah, umat Islam bisa terbebas dari
dominasi sistem kufur serta kembali pada perintah Allah dan RasulNya. Dengan kata
lain, tegaknya Khilafah Islamiyah menjadi pintu gerbang terwujudnya tawbat[an]
nashûhâ secara massal.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Anda mungkin juga menyukai