Anda di halaman 1dari 2

MANAKAH SISTEM YANG LEBIH BAIK BAGI RAKYAT ?

Konversi dari pemilihan kepala daerah tingkat satu ditetapkan oleh presiden ke
pemilihan umum, dalam satu dasawarsa ini telah memunculkan berbagai wacana di hampir
seluruh elemen masyarakat. Wacana klasik ini, pada perkembangannya memang akan selalu
menjadi topik menarik untuk didiskusikan bahkan diperdebatkan. Dimana negara berada
pada kondisi dilematis dalam mengimplementasikan sistem pemilihan kepala daerah tingkat
I yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia. Walaupun sejauh ini pemerintah telah
menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
(Pemilu). Sejumlah polemik yang saling
kontradiktif setidaknya mengerucut pada dua
prespektif, yakni prespektif pertama meyakini
bahwa sistem pemilihan umum langsung
adalah cara terbaik bagi kesejahteraan rakyat.
Yang kedua melihat bahwa akan lebih efisien
apabila pemilihan kepala daerah atau
Gubernur setidaknya ditentukan oleh
presiden. Berangkat dari sini mari kita analisa, bagaimanakah mekanisme kedua sistem
tersebut dan peluang yang mungkin terjadi.

Isu perlunya efisiensi pemilihan gubernur dengan cara dipilih langsung oleh presiden
kembali populer pasca statemen dari dua elit politik yang kontroversial, yakni Ketua DPR RI
Marzuki Ali yang pada 6 Mei 2010 mengeluarkan statemennya pada detik.com. "Kalau kita
bersepakat pembangunan itu dilakukan di Kabupaten atau kota, saya kira Gubernur tidak
lagi perlu dipilih rakyat. Mungkin cukup ditunjuk DPRD atau melalui keputusan Presiden…",
sedangkan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Muhaimin Iskandar, Agustus lalu pada
sejumlah wartawan menyatakan hal senada. Statemen ini tentu bertentangan dengan
sebagian golongan yang menolak adanya subtitusi pemilu sebagaimana tersebut. Sebab
golongan yang pro pada proses pemilukada menilai, selain adanya transparansi serta
stimulus bagi perkembangan demokrasi, pemilu Gubernur juga merupakan barometer
seberapa jauh pendekatan secara afektif oleh calon manager publik kepada masyarakatnya.
Namun juga perlu dicatat sebagaimana ditegaskan oleh Marzuki Ali, bahwa apabila alokasi
anggaran untuk biaya pemilu dialihkan ke kabupaten atau kota, bukankah pembangunan
dapat lebih dirasakan secara nyata oleh masyarakat daripada digunakan untuk keperluan
pemilu Gubernur itu sendiri.

Memang secara tekstual anggaran-anggaran besar pemilu akan tampak lebih efisien
jika dialihkan ke pembangunan daerah, sehingga masyarakat dapat langsung merasakan
hasilnya. Tapi pada realitas empiris sirkulasi dana tidak senormal yang diharapakan,
derasnya aksioma mengenai 'akumulasi hak' oleh sejumlah kalangan elit menjadi isu utama
jika berbicara soal politik. Pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan atau diangkat
oleh DPRD telah dilakukan antara tahun 1999-2005, namun hasilnya jauh lebih tidak
memuaskan dari yang diharapkan rakyat. Hal senada juga dikemukakan oleh Bambang
Purwoko salah seorang dosen jurusan ilmu politik dan pemerintahan UGM pada 9 agustus
2010 di Kedaulatan Rakyat (KR) “Tetapi sebagaimana pengalaman sebelumnya, antara
tahun 1999 s/d 2005, model pemilihan oleh DPRD terbukti banyak menghasilkan gubernur
yang jauh melenceng dari harapan rakyat. Banyak anggota DPRD memilih gubernur tidak
dengan pertimbangan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tetapi lebih karena kepentingan
pribadi ataupun partainya. Politik uang merajalela. Bagaimana jika diangkat langsung oleh
presiden? Proses ini lebih sederhana dan bisa lebih menjamin terpilihnya gubernur yang
berkualitas. Namun dari sisi politik dianggap tidak demokratis dan tetap rentan dengan
politik uang. Walaupun presiden kemungkinan besar tidak bisa disuap, tetapi proses-proses
administratif pencalonan selalu rentan dengan permainan uang. Pengangkatan gubernur
langsung oleh presiden juga rentan politisasi jabatan karena rendahnya kontrol publik. Bisa
saja gubernur diangkat karena kesamaan partai politik dengan presiden, atau hanya karena
kedekatan hubungan keluarga maupun hubungan karir, atau hanya karena kedekatan karir,
atau hanya karena kedekatan hubungan keluarga maupun hubungan karirm, atau karena
pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak sepenuhnya objektif dan profesional.” . Apalagi
jika kita melakukan reorientasi pada masa orba dengan yel-yel ABS (Asal Bapak Senang)
yang dinilai kurang populis, dibandingkan dengan bagaimana saat ini, dimana para Daimiyo
justru 'turun gunung' untuk berlomba 'mensejahterakan' masyarakat pemilih.

Sehingga substansi demokrasi tidak terealisasikan, akan tetapi malah sebaliknya


menimbulkan kesenjangan sosial yang berimplikasi pada tidak meratanya pembangunan di
setiap daerah, yang akhirnya tampak sebuah masyarakat yang sesuai dengan pribahasa
gunung diurug sumur dikeruk yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Anda mungkin juga menyukai