Anda di halaman 1dari 6

Mhttp://hanifabdurrahman.blogspot.

com/2007/09/mengand
aikan-usul-fikih-selingkuh.htmlengandaikan Usul Fikih
Selingkuh
3:23 PM

Melihat kedudukannya sebagai salah satu ilmu metodologi islam yang


digunakan untuk membuat produk hukum maka sudah barang tentu usul
fikih mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu lainnya yang
berhubungan dengan sumber mentah hukum islam (al-qur'an dan al-
hadits).
Ilmu usul fikih diartikan tidak lain sebagai kumpulan metodologi fikih
secara universal, cara pengambilan dalil, dan bagaimana kedudukan
seorang yang mengambil dalil (baca: al-mustadil bih).[1] Hubungannya
yang sinergis dengan nash meniscayakan usul fikih memuat satu kaidah-
kaidah pendukung yang berhubungan dengan nash tersebut. Seperti ilmu
lughoh, nahwu, dan ilmu kalam.[2]
Namun tidak seperti ilmu-ilmu tersebut, hubungan antara usul fikih dengan
ilmu tasawuf dianggap sulit untuk diraba. Hipotesa tersebut berawal dari
tampilan kasar dan bengis beberapa produk hukum islam baik yang secara
tegas disebutkan oleh al-qur'an dan al-hadits maupun hukum-hukum yang
keluar melalui proses istinbat oleh para ulama' klasik. Ilmu tasawuf yang
merepresentasikan wajah humanis seakan tak terlihat menghiasi produk
hukum islam. Hal itulah yang mengilhami sebagian orang untuk
mengandaikan usul fikih selingkuh dengan tasawuf. Sampai pada
klimaksnya memunculkan satu gagasan untuk mentajdid kembali usul
fikih.
Perdebatan mengenai mungkin dan tidaknya melakukan tajdid terhadap
usul fikih akhirnya menjadi salah satu topik yang hangat dalam pemikiran
islam kontemporer hari ini. Bukan hanya karena topiknya yang terkesan
progesiv dan dekonstruktif melainkan juga karena tajdid dianggap sebagai
jalan yang bisa mengubah wajah islam secara umum.
Salah satu faktor yang menyebabkan usul fikih menjadi sasaran
amandemen adalah faktor teologis. Konsekuensi teologis seorang muslim
yang meyakini atas kebenaran mutlak al-qur'an dan hadits sohih serta
ketidakmungkinan mengamandemen sumber utama tersebutlah yang pada
akhirnya menggiring kita untuk menyalahkan usul fikih. Karena tidak
mungkin mengamdemen sumber hukum maka cara lainnya adalah dengan
mengamandemen metodologi yang digunakan untuk memproduksi hukum
dari sumber tersebut.
Jika dilihat dari segi historisitas usul fikih, bisa kita pahami kemungkinan
melakukan tajdid. Pertanyaannya adalah apakah ilmu usul fikih terbentuk
atas dasar tuntutan zaman (ikhtiyari) sejak kemunculan nash primer islam,
ataukah ia muncul sejak diprakarsai oleh karya monumentalnya imam
besar syafii dengan al-risalahnya.
Jika kita sepakat dengan argumen yang pertama dalam artian awal
kemunculan usul fikih merupakan tuntutan dari nash yang membutuhkan
satu metodologi untuk menerjemahkan hukum-hukum yang dikandungnya,
maka kemungkinan untuk mendekonstruksi usul fikih turats dan
menggantinya dengan usul fikih yang baru sangat terbuka lebar. Karena
usul fikih di sini di pahami sebagai sebuah metodologi interpretasi yang
digunakan untuk menghubungkan hukum-hukum nash dengan zaman.
Karena proses turunnya syariat berhubungan erat dengan pembentukan
masyarakat, maka proses pemberlakuan syariat tersebut sangat tergantung
dengan keberadaan masyarakat tersebut.[3] Oleh karena itu sangat
mungkin sekali mengganti usul fikih jika dianggap usul fikih yang dulu
sudah tidak dapat menjembatani antara nash dengan zaman kekinian.
Akan tetapi jika kita sepakat dengan argumen yang kedua, yang
mengatakan bahwa usul fikih terbentuk dengan awal kemunculan karya
imam syafii (al-risalah) maka kemungkinan untuk melakukan tajdid[4]
sangat kecil sekali. Hal itu dikarenakan usul fikih dalam hal ini dipahami
hanya sebagai kumpulan kaidah-kaidah atau aturan umum yang di gunakan
untuk beristimbat. Kaidah-kaidah yang tersusun dari ilmu lugahah, nahwu,
dan perpaduan dengan ilmu kalam tersebut tidak mungkin diubah begitu
saja menurut selera orang tertentu.
Dilihat dari maknanya, kata tajdid itu sendiri sebenarnya masih
mengandung ambiguitas makna. Apakah tajdid diartikan sebagai upaya
menyempurnakan kekurangan-kekurangan turats usul fikih, melengkapi
apa yang kurang darinya, dan merekonstruksi apa yang di anggap tidak
sesuai lagi dengan semangat zaman ataukah yang diinginkan dengan tajdid
adalah mengganti seluruh komponen turats klasik usul fikih kemudian
menyusun kembali usul fikih baru dari nol (al-istibdal 'anhu).[5]
Seandainya yang diinginkan adalah menyempurnakan kekurangan yang
ada dalam usul fikih turast, merekonstruksi apa yang dianggap tidak sesuai
lagi dengan zaman, maka semangat dan keinginan itu sama sekali tidak
layak untuk diperdebatkan karena memang sudah menjadi keharusannya.
Bukankah keberadaan banyak mualif kitab usul fikih sejak yang pertama
kali (al-Risalah) merupakan bukti bahwa setiap saat selalu terjadi
penyempurnaan baru terhadap metodologi usul fikih sebelumnya. Hal itu
sangat sesuai dengan hadits nabi "sesungguhnya Allah mengutus untuk
umat setiap awal seratus tahun seorang yang memperbarui agamaNya"[6]
Dengan demikian makna tajdid yang sering menjadi perdebatan bukanlah
makna yang pertama karena untuk makna yang pertama tidak akan
mungkin terjadi perbedaan pendapat. Atau dengan kata lain semua orang
pasti akan sepakat bahwa munculnya banyak pendapat dan aliran dalam
usul fikih yang pada akhirnya mengakibatkan tidak putusnya karya dalam
bidang usul fikih merupakan bukti bahwa usaha untuk menyempurnakan
usul fikih terus dilakukan oleh para ulama'.[7] Berarti dapat kita simpulkan
bahwa yang diinginkan dari makna tajdid adalah al-istibdal atau
meninggalkan metodologi usul fikih lama kemudian menggantinya dengan
metodologi yang baru. Kemudian pertanyaannya adalah apakah hal ini
memungkinkan secara ilmiah dan apakah dapat diterima secara kode etik
keislaman (?).
Membicarakan mungkin dan tidaknya mengganti usul fikih dengan yang
baru berarti membahas kemungkinannya secara epistemologis usul fikih
itu sendiri. Secara epistemologis usul fikih dapat dikelompokkan kedalam
dua point inti yaitu dalil syar'i kulli (dilalah lafdhiyah) dan dalil syar'i juz'i
(masadir al-ahkam).[8]
Dari point yang pertama kemungkinan untuk melakukan tajdid sangat sulit
sekali. Hal itu dikarenakan dilalah lafdhiyah merupakan kumpulan kaidah-
kaidah bahasa arab yang didalamnya terkandung banyak sekali derivasi-
derivasi kaidah sebagai perangkat untuk memahami nash yang kebetulan
berbahasa arab. Seperti dilalah mantuq, dilalah mafhum, kaidah umum
khusus, kaidah mutlak muqoyyad, dan lain sebagainya. Kaidah-kaidah
tersebut merupakan bagian dari kaidah bahasa arab yang sudah tersusun
sejak masa arab klasik. Amat sulit sekali mencari ganti dari kaidah-kaidah
tersebut sebagai perangkat lunak nash. Meskipun dalam hal ini masih
sering terjadi perbedaan pendapat mengenai beberapa kaidah namun itu
bukan berarti kaidah-kaidah khilafiyah tersebut tidak layak lagi untuk
digunakan sebagai metodologi usul fikih. Seperti perbedaan pendapat
antara batas minimal jama' apakah dua atau tiga, perbedaan pendapat
mengenai dilalah lafadh 'umum apakah ia bersifat dhanni atau qot'i, atau
perbedaan pendapt mengenai hukum perintah setelah larangan (al-amru
ba'da al-nahyu) apakah hukumnya mubah atau kembali pada hukum awal
sebelum terjadi larangan. Justeru dengan adanya khilafiyah inilah akan
memungkinkan bagi seorang mujtahid untuk terus menyempurnakan dan
mentarjih khilafiyah tersebut. Jadi yang mungkin untuk dilakukan
perubahan adalah sedikit dari kaidah-kaidah bahasa diatas itupun dengan
catatan dengan tidak membuang kaidah lainnya. Seperti ajakan untuk
memasukkan satu kaidah baru yaitu al-ibrah bi al-maqosid. Itupun bukan
terlihat sebagai kreativitas baru yang msutaqil dari usul fikih turats tetapi
lebih pada pentarjihan antara kaidah lama al-ibrah bi umum al-lafdhi dan
al-ibrah bi husus al-sabab.
Secara riel kemungkinan untuk bermain lebih banyak justeru berada dalam
point kedua yaitu mengenai dalil syar'i juz'i (masadir al-ahkam). Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa sumber hukum dalam islam terbagi
menjadi dua yaitu sumber hukum inti (masadir al-ahkam al- asliyah) dan
sumber hukum lanjutan (masadir al-ahkam al-tabi'iyah). Sumber hukum
inti yang terdiri dari al-qur'an dan al-hadits tentunya adalah harga mati
yang tidak akan mungkin diubah ataupun ditajdid. Akan tetapi sumber
hukum lanjutan atau derivasi-derivasi hukum sangat mungkin diganti dan
bahkan ditambah dengan konsep hukum baru. Bahkan disini terlihat sekan-
akan hukum-hukum baru tersebut adalah kreativitas para mujtahid dalam
rangka menjembatani distansiasi antara hukum inti dengan keadaan sosial
sang mujtahid. Dari dialog antara nash dengan cultur tertentu maka lahirlah
perangkat hukum-hukum baru seperti istihsan, istishlah, maslahah
mursalah, 'urf , dan lain sebagainya. Dari sini tidak menutup kemungkinan
terjadinya perangkat hukum baru sebagai akibat dialog nash dengan
kondisi cultur, demografi dan tuntutan kemashlahatan yang terjadi pada
masa ini. Namun lagi-lagi usaha menambahkan hukum baru tersebut tidak
bisa dikatakn sebagai tajdid secara mustaqil karena pada hakikatnya ia
hanya menambahkan atau menyempurnakan usul fikih lama.
Kesimpualn dari semua uraian di atas adalah, usul fikih sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan tetap menerima sebuah kritik dan perubahan dalam
rangka menuju satu tatanan yang sempurna dan sesuai dengan semangat
zaman. Karena salah satu ciri khusus dari ilmu pengetahuan (ma'rifah)
adalah ia selalu menerima kritik dan memungkinkan untuk selalu diupdate
dan sesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sangat mungkin bila saat ini ada
sebagian kaidah dari usul fikih yang harus direkonstruksi ulang agar tetap
dapat bertahan sebagai metodologi nash yang mampu berdialog dengan
lingkungannya.
Namun mengatakan bahwa usul fikih lama semuanya sudah tidak layak
lagi dijadikan metodologi nash hanya karena adanya sebagian kaidah yang
sudah tidak layak adalah hal yang ceroboh dan terlalu terburu-buru. Karena
sebatas menuduh dan mendakwahkan tajdid usul fikih tanpa
mempersiapkan satu metodologi baru yang siap uji hanya akan menjadikan
semua itu sebatas wacana yang sunyi dari konsep dan praktek. Seperti
mengajak selingkuh usul fikih dengan tasawuf dengan harapan nilai-nilai
humanis tasawuf akan menyatu dengan usul fikih tanpa memberikan
gambaran bentuk metodologinya. Setidaknya harus ada rancangan apa
yang akan dijadikan dasar metodologi, dan segala kemungkinan-
kemungkinannya haruslah jelas terlebih dahulu sebelum wacana tajdid
benar-benar siap diteriakkan dengan lantang. Karena membuangnya tanpa
menyiapkan ganti yang pas hanya akan membuat masalah tambah parah.
Sebagai solusi alternatif yang lebih aman kita kembalikan pada
permasalahan awal. Sesuatu yang mengilhami euforia tajdid usul fikih.
Tidak lain dan tidak bukan adalah dugaan bahwa usul fikih sebagai sebuah
metodologi turut andil bagian atas keluarnya produk-produk hukum yang
kurang humanis, serta kekhawatiran akan terus terulangnya produk-produk
sejenis apabila tidak diadakan perubahan metodologi sebagai alat dalam
menelurkan hukum. Tentunya tidak semua produk hukum yang dihasilkan
lewat metodologi usul fikih lama kurang humanis. Dan tidak semua kaidah
yang ada dalam usul fikih lama menjadi penyebabnya. Mungkin cara yang
paling aman sambil menunggu konsep metodologi baru yang utuh, matang,
dan siap uji maka kita bisa merenkonstruksi kaidah lama yang sudah tidak
sesuai atau dengan menambahkan perangkat hukum atau kaidah baru
sebagai pelengkap kaidah usul yang sudah ada saat ini. Hal itu mungkin
akan lebih sejalan dengan kaidah usul "mempertahankan yang masih layak
dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik" (al-muhafadhoh 'ala al-
qodim al-solih wa al-ahdhu bi al- jadid al- aslah). [ ]

[1] Al- mahsul, fahrudin al-razi. Jus 1 hal 94


[2] 'ilmu usul al-fikh wa 'alaqotuhu bi al-falsafah l-islamiyah, prof. Dr. Ali
jum'ah hal 5
[3] Usul al-syariah, Muhammad Said 'asmawi hal 61
[4] Yang dimaksud dengan tajdid disini adalah mengganti usul fikih lama
dengan usul fikih yang baru, bukan hanya menyempurnakan usul fikih
yang telah ada.
[5] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal
156
[6] sohih wa dhoif fi sunan abi dawud, syeih al-bani juz 1 hal 291
[7] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal
158
[8] Ilmu usul al-fikih, Abdul Wahab Kholaf hal 13

Anda mungkin juga menyukai