Anda di halaman 1dari 8

THEO FRANCISCO TOEMION:

PROFESI IDAMAN KARENA KEASYIKAN MAIN


UANG
Rupiah terpuruk, perekonomian gonjang-ganjing, dan negara
di ambang kebangkrutan. Ekonom bersuara, tak ketinggalan
pula para anggota DPR. Pengamat baru bermunculan. Makin
bingunglah orang. Uraian siapakah yang jadi pegangan? "Tak
ada yang bisa memberikan gambaran soal pasar uang dengan
lebih jelas selain para pemain valas," kata Theo Francisco
Toemion (42), pengamat pasar uang sekaligus pemain valas,
meski kini lebih banyak membagi pengetahuan soal dunia yang
telah belasan tahun ditekuninya itu kepada orang lain.

Ada perbedaan antara pandangan para pakar dengan


Theo F. Thoemion sehubungan dengan krisis ekonomi
yang memburuk sejak kuartal terakhir tahun lalu. Pihak
pertama lebih melihat krisis berpangkal pada lemahnya
sistem perbankan, kebocoran anggaran, buruknya
pengawasan, monopoli, kolusi, korupsi, nepotisme, dan
ekonomi biaya tinggi. Sedangkan Theo lebih melihat ulah
spekulan di pasar uang sebagai sebab paling dominan.
Sisi-sisi negatif penyebab keroposnya fondasi ekonomi
itulah yang menyebabkan krisis tak segera bisa diatasi.
Kalau Korea, Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia
bisa pulih dalam hitungan bulan, negara kita jauh lebih
lama.

Sebagai pelaku pasar valas, Theo tahu betul, tanda-tanda bencana telah muncul
sejak lama. Semuanya adalah permainan para fund manager atau pemain pasar
valas, yang diwarnai keinginan untuk menguji ketangguhan otoritas moneter
suatu negara. Ia tahu bagaimana pedagang besar valas - yang acap disebut
spekulan - semacam George Soros memainkan peran dalam Yendaka,
melambungnya nilai tukar Yen terhadap AS $, pada 1994. Ia juga mencatat,
permainan para spekulan di Eropa memaksa pembahasan mata uang tunggal
Eropa (Euromoney) lebih diintensifkan pada 1996. Selewat masa itu, para
spekulan memang menurunkan aktivitas. Tapi lewat media massa Theo
memperingatkan, "Hati-hati, bukan mustahil mereka akan mengalihkan perhatian
ke Asia," begitu antara lain tulisnya saat itu. "Mereka menunggu kesempatan
bermain mata uang menarik, exotic currencies seperti Won, Bath, Peso, Ringgit,
atau Rupiah. Jangan lupa, Indonesia negara kaya. Karena itulah mereka
membidik kawasan ini, bukan ke Afrika, misalnya."
Betapa tidak. Salah satu kawasan paling dinamis di dunia, dengan pertumbuhan
ekonomi tiap negara rata-rata 7%/tahun, itu tak punya batasan berarti bagi lalu-
lintas devisa. Otoritas moneternya juga belum teruji. Kalau dalam persaingan di
Amerika, Eropa, dan Jepang para spekulan sering kalah, siapa tahu di kawasan
ini. Maka bermainlah mereka.

Pertengahan tahun lalu, saat pemerintah memperlebar pita intervensi, mereka


menangkap sinyal "tantangan" itu, dan terpacu gairah untuk bermain dengan
Rupiah. Ketika Oktober 1997 duet Soedradjat Djiwandono - Mar'ie Muhammad
memutuskan untuk melepas ambang intervensi, mereka pun mendobrak.
Rupanya, keputusan historis untuk membiarkan Rupiah mengambang bebas itu
tak didukung kondisi yang cukup. Nilai tukar dikuasai dan dimainkan, bahkan
dalam seminggu bisa terdepresiasi sampai 50%. Utang membengkak, harga
barang melonjak, produksi mandek, banyak perusahaan bangkrut. Inflasi
membubung, dan perekonomian nyaris ambruk. Tak disangka, fondasi ekonomi
kita demikian keropos.boleh ada berita buruk.

Ada 4 faktor yang menurut Theo bisa jadi penentu


naik turunnya kurs: fondasi ekonomi makro,
carta/grafik berdasarkan rumus, faktor teknis-
psikologis, dan ulah para spekulan. Soal fondasi
ekonomi, menurut Theo, pasar telah mendapat
bukti rentannya perekonomian kita. Carta atau
grafik pun sudah dibuat saat kita menempuh rezim
devisa terkontrol; misalnya dengan mematok
depresiasi tahunan 3 - 4%. Sedangkan faktor
psikologis sangat berhubungan dengan ulah
spekulan, apa lagi dalam rezim devisa bebas. "Sekali pasar memperoleh bukti
mata uang suatu negara bisa didikte, mereka mendikte terus."

Pendiktean harga, yang terjadi setelah ada dorongan psikologis, berawal dari
berita-berita politik yang berpotensi "dimainkan". Theo menunjuk contoh, seluruh
dunia tahu Indonesia pra-11 Maret 1998 menghadapi suksesi. Maka berita
tentang Presiden Soeharto dan situasi sosial politik menjadi bahan permainan
spekulan. Keadaan sakit, yang dalam bahasa Inggris bisa dirumuskan dalam
beberapa kata, mulai dari He's sick, He's ill, sampai He's seriously ill,
mengakibatkan beraneka nilai kurs.

Memang benar. Menurut catatan Theo, grafik penurunan itu berlangsung sejak
bank sentral ketahuan tak punya nyali sehingga menyebabkan Rupiah turun dari
Rp 3.000,- ke Rp 3.800,- terhadap AS $. Angka turun lagi ke Rp 4.400,- karena
Pak Harto istirahat. Kemudian menjadi Rp 4.800,- karena imbas krisis Korea,
turun ke Rp 5.600,- karena Pak Harto batal ke Malaysia, dan dari Rp 6.200,- ke
Rp 9.000,- karena pencalonan B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Kurs
membaik setelah penandatanganan nota kesepakatan dengan IMF 15 Januari,
namun turun lagi setelah terjadi beberapa kerusuhan dan demonstrasi.
Kenyataan itu membuktikan, dalam rezim devisa bebas segala berita dan
peristiwa baik menjadi syarat utama. Dalam berbagai kesempatan Theo
mengingatkan, membiarkan Rupiah mengambang bebas sama dengan bunuh
diri tanpa dibarengi perbaikan di segala sektor yang akhirnya melahirkan berita
buruk. Percuma ada janji segala macam reformasi, penghapusan monopoli dan
oligopoli, tetapi tak ada wujudnya.

Dapat dimengerti, naik-turunnya nilai Rupiah tak lagi ditentukan oleh hukum
ekonomi, keseimbangan antara penawaran dan permintaan. "Tak ada teori yang
bisa menjelaskan hal ini," kata Theo. "Saat masyarakat makin tahu persoalan,
omongan para ekonom sering diabaikan. Pemain seperti saya yang
diperhatikan."

Lantas, berapa kurs AS $ yang wajar? "Ambil nilai terakhir sebelum krisis Rp
2.400,-. Ditambah 80%-lah, sekitar Rp 4.320,-." Penjelasannya, dalam 10 tahun
terakhir perbedaan suku bunga antara AS $ dan Rupiah sekitar 10%. Suku
bunga AS $ 5% dan suku bunga Rupiah 15%. Selisihnya 10%, dan dalam 10
tahun menjadi 100%. Sementara depresiasi per tahun, katakanlah 4%. Jadi
dalam 10 tahun menjadi 40%. "Nah, selisih antara perbedaan suku bunga dan
depresiasi dalam 10 tahun, 100% - 40% = 60%. Tak usah dipatok 60%; beri
kemungkinan sampai 80% untuk ditambahkan pada kurs terakhir. Jadi 180% dari
Rp 2.400,- = Rp 4.320."

Tapi sekali lagi kenyataan membuktikan,


segala teori dan hukum ekonomi tak
berlaku bagi kurs yang liar karena
permainan.

Kalau kita konsisten, pasar akan respek

Dunia perdagangan valas dewasa ini


bagaikan dikontrol para fund manager
besar yang disebut big boys. Menurut
Theo, jumlah big boys yang tercatat saat ini
2.500 orang. Akumulasi modal mereka sekitar AS $ 1.300 miliar, dan dalam
keadaan terpaksa bisa mendapat pinjaman hingga 10 kali lipatnya. Jumlah ini
sungguh raksasa, sebab cadangan devisa negara-negara kaya yang tergabung
dalam OECD pun kalau digabung tak lebih dari AS $ 700 miliar. Maka bisa
dibayangkan betapa konyolnya gagasan untuk melawan spekulan dengan
cadangan devisa hanya AS $ 20 miliar, misalnya.

Dari 2.500 big boys itu terbawa serta ribuan orang lain sebagai mitra atau
pelaksana. Sudah menjadi kebiasaan, pengambilan posisi para pelaksana
ditentukan oleh tokoh besar. Jika Soros, misalnya, mengambil posisi Rp 9.000,-
untuk 1 AS $, yang lain pasti mengikuti. Jika esoknya Soros menjual dengan
harga Rp 9.500,-, yang lain pun pasti ikut. Semua serempak, dan begitulah nilai
mata uang dimainkan.

Kalau mata uang suatu negara dipatok pada nilai tetap, spekulan memang tidak
lagi bisa main. Hanya saja, menurut Theo, konsekuensinya ada dalam
perekonomian negara yang bersangkutan. Bagi Theo, reformasi ekonomi apa
pun yang dipilih pemerintah tak penting benar, asal bisa mengatasi segenap
konsekuensinya. Misalnya, pelepasan batas intervensi mensyaratkan perbaikan
ekonomi total, sedangkan pematokan nilai uang mensyaratkan cadangan devisa
yang cukup dan perbankan yang sehat.

"Tak bisa pula dilepaskan faktor keberanian bank sentral. Kepada siapa pun
yang mau memaksakan kehendak, bank sentral tak boleh setengah hati. Kalau
perlu habis-habisan berintervensi. Jika ini terus berlanjut, dan dunia
membuktikan konsistensi kita, pasar pun akan segan," kata Theo. "Betapa pun
kuat dan nafsunya spekulan, kalau menghadapi otoritas moneter yang teguh dan
konsisten, mereka juga berpikir untuk main-main. Seperti pernah dialami
Hongkong, para spekulan menghentikan serbuan karena tahu Inggris berada di
belakangnya. Tak seorang pun ragu ketangguhan sistem keuangan Inggris."

Kasus Indonesia, menurut Theo, adalah bukti kesekian dari pelecehan para big
boy terhadap otoritas moneter. Permainan selisih kurs antara Rupiah - AS $ jauh
lebih mudah ketimbang permainan selisih kurs Yen - AS $ atau Mark Jerman -
AS $ yang didukung otoritas moneter sangat berwibawa, dan karenanya disebut
hard currencies. Akibatnya sangat mudah diterka, bahkan oleh ibu-ibu rumah
tangga, pihak yang acap disalahkan karena dikira ikut-ikutan berspekulasi.
Masalahnya, menurut Theo, selain tuduhan itu tak benar karena jumlahnya tak
seberapa dibandingan dengan aktivitas pasar uang, pemikiran para ibu sangat
simpel. Jika dulu mudah menghitung depresiasi, 3 - 4% setahun, siapa sangka
tiba-tiba depresiasi bisa 20% dalam sehari? Kalau punya simpanan Rupiah dan
berbunga, katakanlah 40%, pada akhir tahun tak akan mencapai jumlah jika
didolarkan. Pada akhirnya memang tak ada pihak yang bisa disalahkan kalau
terjadi perburuan mata uang asing, karena negara menganut rezim devisa
bebas.

Menggelinding seperti bola salju

Di pasar uang, komoditas yang


diperdagangkan tak cuma valuta asing.
Menurut Theo, meski pemerintah mematok
kurs Rupiah, tak berarti kegiatan berhenti.
Ada pelbagai macam surat berharga dan
surat-surat komersial yang
diperdagangkan.
Memang, belakangan problem ekonomi negara kita tak cuma berasal dari dalam
negeri, melainkan dari luar negeri. Lembaga pemeringkat semacam Standard's &
Poor, sekalipun banyak dicibir, pengaruhnya terhadap pasar sangat besar.
Peringkat buruk yang disandangkan kepada Indonesia, Maret lalu, adalah
klimaks dari kesulitan eksternal. Alat pembayaran berjangka seperti letter of
credit (L/C) tak diterima, investor asing pun tak serta merta datang buat
menanamkan modal. "Dengan peringkat itu, pembeli kertas berharga dari
Indonesia tak lagi dianggap berinvestasi, melainkan dicurigai mau berspekulasi,"
kata Theo. "Kalaupun saya, misalnya, menempatkan diri sebagai broker untuk
mendatangkan uang dari investor asing, sekarang ini sangat sulit.
Ketidakpercayaan demikian kuat, perlu waktu lama untuk memulihkannya."

Pasar uang dunia memang sulit dilawan. Kalau kekayaan big boys sangat besar,
itu konsekuensi dari hakikat pasar uang. "Istilahnya a snowball business, bisnis
yang menggelinding bagai bola salju. Orang harus jadi besar untuk survive."

Bisnis pasar uang, menurut Theo, menganut filosofi dasar: bukan soal berapa
jumlah uang yang akan Anda peroleh, melainkan berapa jumlah uang yang siap
Anda habiskan. Gambarannya, jika seseorang kerja keras sepanjang tahun
hingga memperoleh uang Rp 1 miliar, akan sangat keliru kalau menggunakannya
untuk main valas. Tetapi jika seseorang mendapat lotere Rp 1 miliar, yang Rp
800 juta untuk beli rumah/tanah, Rp 100 juta untuk beli kendaraan, dan sisanya
untuk main valas, silakan saja. "Maka, kalau ada seorang fund manager siap
menghabiskan AS $ 5 miliar di pasar valas, tak terbayang berapa besar
kekayaannya."

Bisnis di pasar uang tak sama dengan judi. Kata Theo, jika judi nasib pelaku
100% tergantung pada kartu, "Di pasar uang ada hal-hal yang bisa
diperhitungkan dan dicarikan peluang."

Menurut Theo, ada 7 tingkat yang harus dicapai untuk betul-betul memahami
bisnis ini. Selain 4 faktor penentu nilai mata uang yang sudah disebut tadi, ada
beberapa hal lain seperti lobi atau hubungan, termasuk kemampuan berbahasa,
faktor intelijen alias daya endus informasi, dan hal paling abstrak dan sulit,
sehingga orang tak sanggup berpikir lagi. "Misalnya, semua faktor telah
terpenuhi, prediksi sudah dilakukan, tapi tak ada action. Ketika faktanya sama
dengan yang sebelumnya telah diperhitungkan, muncul rasa sesal kenapa tidak
begini kenapa tidak begitu. Itulah yang saya maksud tingkat ketujuh."

Sekalipun menggiurkan, bisnis di pasar uang penuh kekecewaan. "Karena apa?


It's about money. Orang hanya tergiur melihat angka. Mereka ramai-ramai
bermain, sementara tatanan dan hukumnya tak mudah dipelajari. Lagi pula dunia
itu sudah dikuasai mafia, big boys, dalam cara kerja yang terintegrasi. Apa pun
permainan para pendatang, mafia-lah yang memperoleh keuntungan."
Menurut Theo, setelah perang dingin reda dan komunisme runtuh, tak ada lagi
kekuatan yang punya daya penghancur sangat dahsyat selain uang. "Ketika
uang menjadi komoditas, dampaknya global. Bencana keuangan di suatu negara
segera bisa merembet ke negara lain. Siapa sekarang orang kaya di kawasan
krisis yang merasa terjamin hingga 7 keturunan? Tak terbayangkan, uang bisa
berlipat kali atau hancur sama sekali hanya dalam hitungan hari."

Jika ditarik ke dimensi filosofis, kata Theo, krisis ekonomi adalah akibat ulah
manusia yang menganggap uang sebagai ideologi. Fakta menunjukkan, miliaran
AS $ telah menguap entah ke mana. Lembaga keuangan banyak yang rugi,
Soros rugi, demikian pula para big boy. Tak jelas ke mana uang-uang itu pergi.

"Inilah tanda-tanda zaman," kata Theo. "Tuhan kasih antibiotik untuk mereka
yang terlalu menghamba pada uang. Orang kaya pusing, konglomerat pusing.
Rasain."

Main uang karena ingin menikmati hidup

Terjunnya Theo di kancah pasar uang agaknya tak terduga sebelumnya. Pria
kelahiran Manado, 21 September 1956, ini semula berangan-angan jadi pastor,
tapi dikeluarkan saat naik ke kelas 3 Seminari Menengah Tomohon tahun 1974.
Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini sama saja dengan ayah, paman, para sepupu,
dan saudaranya, yang pernah masuk ke seminari namun gagal jadi pastor.
"Saya menanggung harapan besar. Nilai dan aktivitas sekolah bagus. Maka ibu
terguncang dan jatuh sakit ketika saya keluar," kenangnya.

Pastor pembimbing waktu itu mengatakan, ia akan lebih sukses hidup di luar
biara. Kendati sedikit menyesalkan keputusan itu, ia berbalik haluan. Ia melamar
ke Bank Indonesia dan diterima di BI cabang Surabaya. Setelah 2 tahun bekerja,
timbul keresahan di antara teman-temannya yang cuma berijazah SMA. Sebab
dengan begitu, mereka tak mungkin bisa masuk jajaran staf. "Nggak bakal pakai
dasi dong seumur-umur," papar Theo mengenang.

Nampaknya BI tanggap pada kegalauan itu dan mengadakan seleksi untuk


promosi. Yang lolos akan disekolahkan sejajar dengan universitas. Dari BI
Surabaya lulus 4 orang, salah satunya Theo. Sementara dari seluruh Indonesia
terjaring 60 orang. Mereka dimasukkan ke Pendidikan Ahli Administrasi dan
Keuangan Bank di Jakarta, menjalani pendidikan maraton dari pukul 08.00 -
17.00 setiap hari dengan fasilitas penuh, selama 3 tahun. "Gelarnya sejajar
akuntan, tapi BI nggak kasih gelar, takut kami keluar."

Sempat bekerja di bagian pengawasan BI selama setahun, ia kembali mengikuti


seleksi intern guna ditempatkan di London. Dari 40 peserta hanya Theo yang
lulus. Di London ia langsung jadi staf termuda pada umur 23 tahun. Kesempatan
di sana ia gunakan untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan praktek. Belajar
valas di Paris, London, Amsterdam, dan Kopenhagen. Mempelajari bank sentral
di Denmark dan Belanda, menggeluti cadangan emas di Swis, juga duduk dan
bermain di banyak ruang transaksi valas. "Waktu itu kepala dealing room Jakarta
pindah, jadi saya disiapkan untuk menggantikannya. Saya sadar, untuk jadi
dealer harus punya pengalaman dan cakrawala dengan duduk di pusat
keuangan dunia."

Penempatan dealer di BI sebenarnya bertujuan untuk mengelola cadangan


devisa sejumlah AS $ 6 miliar dengan menempatkannya di posisi yang tepat.
Bukan untuk memperdagangkannya. "Maka di luar jam kerja, saya main margin
trading atas nama pribadi, bukan BI."

Setelah 5 tahun bermukim di Inggris, Theo sebenarnya ingin pulang ke tanah air,
tetapi pemerintah Inggris mengetahui reputasinya dan memberi izin tinggal tetap.
Ia bisa bekerja apa saja. "Wah, percaya dirilah saya. Pekerjaan BI yang
diidamkan banyak orang nggak terlalu menggiurkan lagi," kata Theo.

Maka, ketika benar-benar pulang ke Indonesia ia sekaligus minta izin keluar dari
BI untuk masuk ke London School of Economics (LSE). Maksudnya sebagai batu
loncatan untuk bekerja di Bank Dunia atau IMF. Tapi keasyikan bermain valas
membuatnya malas bersekolah. "Jiwa saya player, jadi saya tak jadi masuk LSE
meskipun sudah diterima. Saya main valas terus, dan ingin menikmati hasilnya.
Saya ingin menikmati hidup bukan sebagai pegawai BI yang bertahun-tahun
cuma bisa naik mobil sederhana."

Saat main margin trading, pertengahan 1980-an, modal dengkul masih berlaku.
Modalnya dipinjami, tapi kalau untung masuk kantung sendiri. Pokoknya main
untuk meramaikan. Masa itu tak sulit mereguk untung lantaran pasar gampang
diterka. Dolar turun searah. Tapi sejak 1987, peluang meraup keuntungan makin
sulit. Selain pemain makin banyak, modal pun mulai diatur. Saat itulah Bank
Duta terpuruk karena permainan valas.

Soal kesempatan meraup untung memang tak ada yang lebih cepat daripada
main valas. "Saya masih ingat, hanya dengan mengangkat telepon dari vila di
Puncak sambil main gaple dan makan pisang goreng, bisa dapat AS $ 60.000
semalam."

Telepon memang diibaratkan cangkulnya buat cari makan. Juga berbagai


perangkat komunikasi. Baik untuk bertransaksi ke seluruh dunia, memantau
pasar yang berjalan 24 jam sehari, juga melihat kerugian dan keuntungan
uangnya. "Tapi hidup saya tak habis di sana. Apa lagi saya harus membagi
pengetahuan kepada banyak orang. Kalau menulis dan bikin analisis, saya tak
main. Saya meramal dan menghitung, biar orang lain yang dapat keuntungan."

"Cita-cita saya membuat Speed Currency seperti Bloomberg. Ia besar dan


disegani, meski awalnya juga dirintis di garasi," ia menunjuk garasi di rumahnya
yang berhalaman luas di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia
mempekerjakan 4 orang yang, selain mengolah analisis, juga bertindak sebagai
fund manager. "Mereka jago-jago yang tak bisa dianggap remeh, karena lewat
tangannya sering terjadi transaksi miliaran dolar," kata Theo bangga.

Karena bekerja di rumah, Theo tak terikat pada aturan dan jadwal kerja yang
pasti. Ia adalah pegawai bagi dirinya sendiri. Juga pegawai yang mengantar
anak-anak ke sekolah, menemani mereka bepergian, bahkan mendampingi saat
mereka mau tidur.

Theo menganggap, anak-anak lebih memerlukan kebersamaan ketimbang uang.


Tak soal ia telah punya vila di Puncak, Jawa Barat, dan hotel di atas tanah 10 ha
di Manado. Anak-anak pula yang menghadirkan cerita unik bagi perjalanan hidup
Theo. Saat masih di dalam kandungan, kecuali si bungsu Daniel (hampir 2
bulan), mereka berada di tempat yang jauh dari rumah. Dari yang sulung
tempatnya paling jauh, sampai si bungsu yang paling dekat. Namun akhirnya
semua lahir di Jakarta.

Menurut istrinya, Sandra Pingkan Adriana Lolong (38), si sulung Monika (12)
berada di dalam kandungan saat mereka di New York. "Barulah 2 bulan
menjelang melahirkan, saya kembali ke Jakarta," kata Sandra. Begitu pula Abi
(9) yang dikandung saat mereka tinggal di London. Keisha (7) anak ketiga,
dikandung di Singapura. Sedangkan Dorothea (5) dikandung sewaktu mereka di
Manado. Barulah anak ke-5, Daniel, menghabiskan seluruh masa janin hingga
lahir di Jakarta.

Jumlah anak sampai 5, bagi pasangan Theo dan Sandra juga cerita tersendiri.
Theo memang dari keluarga besar, namun Sandra hanya 2 bersaudara. Setelah
kelahiran Abi, keduanya ingin ber-KB. "Tapi apa mau dikata, kebobolan terus.
Selain mengalami beberapa kegagalan, saya pun pernah kehilangan spiral," kata
Sandra. "Akhirnya, setelah melahirkan Daniel, saya minta disteril."

Buat pasangan ini, anak-anak adalah segalanya. Mereka yang terbiasa


memanggil "Papa Theo" adalah rekan sepanjang hidup, sekaligus jadi rem
manakala Theo terlalu keasyikan bermain uang. (G. Sujayanto/A. Heru
Kustara/Mayong S. Laksono)

Anda mungkin juga menyukai