Anda di halaman 1dari 4

Di bagian akhir Surat Ar-Ra’du ayat 23, Allah swt menceritakan hamba-hamba-Nya yang

beruntung pada hari Kiamat nanti karena mereka diberi anugerah untuk masuk surga
beserta orang tua, istri, keluarga dan keturunannya. Al-Quran melukiskannya dengan
indah ketika mereka datang dengan rombongan keluarganya menuju surga. Para malaikat
memberikan sambutan khusus pada mereka seraya mengucapkan, “Salâmun ’alaikum
bimâ shabartum fani’ma ‘uqbad dâr. Selamatlah bagi kalian semua lantaran kalian
bersabar dahulu. Inilah tempat kembali yang paling indah bagi kalian.” (QS. Ar-Ra’du
24).

Mereka masuk surga bersama-sama seluruh keluarganya, seperti melakukan suatureuni’


pada hari Akhirat. Reuni yang mereka adakan melintasi ruang dan waktu. Reuni yang
sering kita adakan di dunia adalah reuni yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita hanya
dapat berkumpul dan bersilaturahim dengan orang-orang yang berada dalam satu tempat
yang tidak berjauhan dan dalam satu zaman dengan kita. Kita tidak pernah bisa mengada-
kan silaturahim dengan orang tua kita yang sudah meninggal dunia atau keturunan kita
yang belum lahir. Tetapi nanti pada hari Akhirat, ada orang yang bisa melakukan reuni
kembali dengan seluruh keluarganya, baik dengan yang sebelum maupun dengan yang
sesudah mereka. Al-Quran menyebutnya, “âbâihim wa azwâjihim wa dzurriyyâtihim.
Generasi terdahulu, generasi yang sezaman, dan generasi kemudian.” (QS. Ar-Ra’du 23).

Siapa gerangan orang yang beruntung bisa mengadakan silaturahim pada hari Akhirat
beserta seluruh keluarganya? Dalam surat Ar-Ra’du disebutkan bahwa salah satu tanda
orang yang beruntung nanti di hari Akhirat ialah orang yang di dunianya senang
menyambung-kan silaturahim. “Walladzîna yashilûna mâ amarallâhu bihî ayyûshala.
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan.” (QS. Ar-Ra’du 21). Karena di dunia mereka senang menyambungkan tali
kekeluargaan, maka Allah sambungkan tali kekeluargaan mereka nanti pada hari Akhirat.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman, “Akulah yang Maha Pengasih, Akulah yang
menciptakan tali kekeluargaan dan Aku berikan nama kepada kekeluargaan dengan
nama-Ku sendiri.” Allah berfirman, “Barangsiapa yang memutuskan kekeluargaan, akan
Aku putuskan hubungan-Ku dengan dia. Dan barangsiapa yang menyambungkan tali
kekeluargaan, Aku pun akan mengokohkan tali kekeluargaannya nanti.”

Itulah salah satu akhlak orang yang beruntung dapat dipertemukan kembali dengan
keluarga pada hari Akhirat nanti. Orang ini pun melakukan silaturahim bukan di
sembarang tempat, melainkan di tempat yang paling baik, fani’ma ‘uqbad dâr. Tempat
yang paling baik itu adalah Surga ‘Adn. Yang menyebabkan mereka dapat berkumpul
kembali adalah karena mereka senang menyambungkan tali kekeluargaan.

Lalu dengan siapa saja kita seharusnya menyambungkan tali silaturahim itu? Menurut Al-
Quran, kita harus bersilaturahim dengan Al-Qurbâ, keluarga yang dekat. Keluarga yang
dihubungkan dengan kita melalui pertalian rahim. Dalam Bahasa Arab, rahim berarti
womb (Bahasa Inggris yang berarti organ wanita yang menyimpan kita sebelum kita
lahir). Karena itu. keluarga disebut Ar-Rahîm dan bentuk jamaknya Al-Arhâm. Sebuah
keluarga dipertali-kan lewat hubungan darah dan melalui rahim yang sama.
Al-Quran menyebutkan bahwa silaturahim merupakan perintah kedua setelah perintah
taqwa, “Wat taqullâhal ladzîna tasâalûna bihî wal arhâm. Dan bertaqwalah kamu
kepada Allah, yang dengan nama-Nya kamu saling memohon dan peliharalah
silaturahim.” (QS. An-Nisa 1).

Di dalam ayat yang sering kita dengar, Allah berfirman, “Innamal mu’minûna ikhwatun,
fa ashlihû baina akhwaikum wat taqullâh. Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara,
maka damaikanlah pertentangan di antara kamu dan bertaqwalah kepada Allah.” (QS. Al-
Hujurat 10). Perintah taqwa selalu digandeng-kan dengan perintah menyambungkan
silaturahim. Surat Ar-Ra’du ayat 21 pun menyebutkan bahwa orang yang beruntung bisa
bergabung di Akhirat bersama seluruh keluarganya itu juga adalah orang yang
yakhsyawna rabbahum, yang bertaqwa kepada Tuhannya. Taqwa dan silaturahim selalu
digandengkan di dalam Al-Quran. Itu adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan.
Artinya, kalau orang itu taqwa kepada Allah, tentu dia akan menyambungkan silaturahim
dan kalau dia tidak taqwa kepada Allah, tentu dia akan memutuskan silaturahim. Surat
Muhammad ayat 22 menyebutkan, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu
akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan kekeluargaan?”

Perintah silaturahim tidak hanya ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam Nasut


(fisik) tapi juga ditujukan kepada makhluk-makhluk di alam Malakut (ruh). Dan itulah
silaturahim yang lebih hakiki. Silaturahim di antara ruh kita dengan ruh kaum mukminin.
Di alam Nasut, secara fisik orang bisa saja bersilaturahim dengan orang lain, tapi ruhnya
tidak. Kita mengadakan halal bihalal di antara kita seraya mengucapkan, “ Mohon maaf
lahir dan batin,” tetapi di dalam hati kita masih tersimpan dendam dan tidak mau
memaafkan. Padahal dalam bahasa Arab, kata maaf itu berarti penghapusan.

Orang sering bersilaturahim di alam nasut, tetapi di alam malakut ruh mereka tidakikut
bersilaturahim. Boleh jadi ada orang-orang yang tidak pernah berjumpa secara fisikal,
tetapi di antara mereka telah ada jalinan silaturahim yang sangat erat seperti sudah
dipertalikan jauh sebelumnya. Di kalangan para Psikolog ada fenomena yang disebut
déja vu, yaitu suatu gejala peristiwa yang rasanya pernah dialami padahal tidak pernah
dialami. Seperti ketika kita berjumpa dengan seseorang untuk pertama kali, tapi kita
merasa telah akrab dengan orang itu. Berdasarkan teori déja vu, hal itu terjadi karena ruh-
ruh mereka pernah melakukan silaturahim di alam Malakut.

Ketika kita shalat Tahajjud, kita dianjurkan untuk memohonkan ampunan bagi diri
sendiri, bagi orang tua, serta bagi empat puluh orang yang kita kenal. Nama-nama mereka
harus disebut satu persatu pada rakaat terakhir shalat Witir setelah membaca qunut dan
istighfar. Untuk apa qunut dan istighfar bagi orang-orang yang namanya kita sebut itu?
Tiada lain untuk menyambungkan silaturahim ruhaniah antara kita dengan orang tua dan
orang-orang yang kita kenal.

Kita pun dianjurkan untuk meng-gabungkan ruh kita dengan ruh kaum muslimin pada
setiap shalat. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 43 disebutkan, “Aqîmush shalâta
wa âtuz zakâta warka’û ma’ar râki’în. Hendak-nya kamu mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, dan ruku bersama orang-orang yang ruku.” Menurut Muqâtil dalam
tafsir Ad-Dûrul Mantsûr, yang dimaksud dengan warka’u ma’arrâki’în itu bukan hanya
berarti ‘hendak-nya kamu shalat berjamaah’, tetapi juga berarti ‘hendaknya kamu
bergabung dengan orang-orang yang ruku. Hubungkan ruh kamu bersama orang-orang
yang ruku, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.’

Dalam Surat At-Taubah ayat 119 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan gabungkanlah diri kamu beserta orang-orang yang benar.”

Di Alam Malakût ada dua jenis kafilah ruhani. Pertama, kafilah ruhani yang sedang
bergerak menuju Allah. Yang kedua, kafilah ruhani yang sedang bergerak menjauhi
Allah. Pada kafilah pertama, mereka pergi meninggal-kan tanah liat menuju Allah
sedangkan dalam kafilah yang kedua, mereka meninggalkan cahaya Allah menuju
kegelapan.

Dalam kafilah yang menjauhi Allah, terdapat Iblis, jin, dan orang-orang durhaka
sepanjang sejarah. Mereka semua berkumpul bergabung dalam rombongan yang sama.
Mereka pun masih membantu ruh-ruh yang sejenis dengan mereka yang masih hidup di
dunia. Al-Quran memberikan contoh bahwa orang-orang munafik saling membantu satu
sama lain termasuk di alam Malakût. Ruh-ruh mereka mendorong untuk berbuat maksiat
kepada orang yang masih hidup.

Adapun dalam kafilah yang bergerak menuju Allah, di sana terdapat para nabi, orang-
orang suci, para syuhada, dan orang-orang saleh. Al-Quran menyinggung hal ini dalam
Surat An-Nisâ ayat 69, “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasulnya, mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-
nabi, para shidiqîn, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.“ Ini semua merupakan rombongan yang taat kepada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka berada pada suatu alam yang disebut Alam Barzakh.

Di dalam kitab Nafâsur Rahmân diceritakan tentang beberapa hadits Nabi yang
menunjukkan bahwa orang-orang saleh di Alam Barzakh itu masih hidup. Mereka masih
membaca Al-Quran dan berdoa untuk saudara-saudaranya di alam Nasut. Sebuah hadits
dari Bukhari meriwayatkan bahwa suatu saat pernah ada beberapa sahabat datang pada
suatu kuburan. Mereka menghamparkan jubahnya di atas tempat itu. Tiba-tiba mereka
mendengar ada suara orang yang sedang membaca surat Al-Kahfi. Para sahabat terkejut
namun mereka tetap mendengarkan bacaan itu sampai selesai. Setelah itu mereka
mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian yang mereka alami. Rasul mengatakan
bahwa suara yang mereka dengar di kuburan itu adalah suara orang yang sedang
membaca Al-Mâni’ah, sesuatu yang bisa mencegah dia dari azab kubur. Nabi tidak
mengatakan peristiwa itu sebagai takhayul atau musyrik. Bahkan Nabi membenarkan
bahwa ruh orang suci itu masih beribadah di Alam Barzakh.

Oleh karena itu, di dalam shalat kita diperintahkan untuk menyambungkan ruh kita
dengan melakukan silaturahim yang melintasi ruang dan waktu. Hubungkanlah
silaturahim kita dengan kafilah ruhani orang-orang suci agar mereka membantu kita
dengan doa mereka. Meminta doa kepada mereka disebut tawasul. Rasulullah saw
bersabda, “Para ruh di alam malakut itu seperti tentara yang digabungkan. Jika mereka
saling mengenal, mereka akan saling berpelukan. Dan jikamereka tidak saling mengenal,
mereka akan saling bertengkar.”

Ruh kita dapat bergabung dengan ruh orang yang suci. Caranya adalah dengan
mengucapkan salam kepada mereka secara khusus dan langsung. Seperti ketika kita
shalat, kita ucapkan salam kepada pemimpin kafilah orang-orang yang suci itu, yaitu
kepada Rasulullah saw, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullâhi wa
barakâtuh.” Sesudah itu kita mengucapkan salam kepada ruh kaum mukmin,
“Assalamu’alaina wa ‘alâ ibâdillâhi shâlihîn.” Dan pada akhir shalat, kita ucapkan
salam kepada semua orang di sekitar kita, “Assalâmu’alaikum wa rahmatullâhi wa
barakâtuh.” Kita ucapkan salam untuk meng-gabungkan ruh kita dengan para arwah
yang suci. Ucapan salam di akhir shalat bukan ditujukan kepada orang yang hadir di
sekeliling kita, melainkan ditujukan untuk para arwah yang suci itu. Bukan saja arwah
yang sudah meninggal, tetapi juga yang masih hidup.

Kita memiliki ruh yang berada di alam Malakut. Ruh kita boleh jadi suatu saat ber-
gabung dengan kelompok yang satu dan berpindah pada kelompok yang lain. Sayang-
nya, kita menggabungkan ruh kita hanya pada saat kita shalat saja. Setelah shalat, kita
asyik berwirid sendiri. Kita tidak mencoba untuk menggabungkan diri dengan para ruh
yang suci.

Pada Hari Akhirat nanti, rombongan yang kita pilih itu juga yang akan dihimpunkan
dalam satu golongan bersama kita. “Pada hari itu, manusia keluar dari kuburannya dalam
keadaan bergolongan-golongan. Supaya diper-lihatkan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka.” (QS. Al-Zalzalah ayat 6).

Jalin silaturahim dengan menggabung-kan ruh kita dengan ruh orang-orang suci setelah
salat. Kirimkan Al-Fatihah dan istighfar pada orang tua, saudara, dan kaum mukminin.

Semula merupakan ceramah di acara “Silaturahim 1412 H” yang diadakan di Masjid


Al-Munawwarah, tanggal 26 April 1992. Transkripsi oleh Sugiarto.

Anda mungkin juga menyukai