Anda di halaman 1dari 4

03.

RAHASIA PEMBERATAN DALAM MENGHUKUM KEMURTADAN

Rahasia di balik kekerasan dalam menghadapi kemurtadan adalah bahwa sesungguhnya masyarakat
Islam itu pertama kali tegak di atas aqidah dan keimanan. Aqidah merupakan asas identitasnya, pusat
kehidupannya dan ruh keberadaannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk
merusak asas tersebut atau mengusik identitas ini. Dari sinilah maka kemurtadan yang terangterangan
merupakan kejahatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Karena hal itu bisa mengancam
kepribadian masyarakat dan eksistensi kekuatannya. Mengancam terhadap kebutuhan utama dalam
lima kebutuhan, yaitu (agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta) di mana agama adalah yang paling
primer karena seorang mukmin itu berkorban dengan jiwa’ tanah air dan hartanya demi agama yang
dipeluknya.

Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya dan tidak juga memaksa seseorang untuk
keluar dari agamanya, karena keimanan yang sah adalah keimanan (keyakinan) yang muncul dari
pemilihan dan kesadaran. Allah SWT berfirman dalam ayat Makkiyah, “Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus: 99). Dan di
dalam ayat Madaniyah Allah juga berfirman:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
pada jalan yang sesat.” (Al Baqarah: 256)

Tetapi Islam tidak menerima jika agama dijadikan sebagai bahan permainan. Hari ini ia masuk’ tetapi
esok hari ia keluar. Seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Yahudi yang mengatakan:

“Perlihatkan (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman
(sahabat-sahabat Muhammad) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka
(orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali ‘Imran: 72)

Islam tidak memberikan hukuman mati kepada orang murtad yang tidak terang-terangan dalam
kemurtadannya dan tidak mengajak kepada orang lain untuk murtad. Menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah yang akan menetapkan hukumannya di akhirat apabila nantinya ia mati dalam keadaan
kufur’ sebagaimana firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamannya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalantya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 217)

Kadang-kadang Islam memberikan hukuman kepadanya sebagai ta’zir (pengajaran) yang sesuai.

Akan tetapi Islam menghukum orang yang murtad secara terang terangan dan mempengaruhi orang
lain untuk murtad. Hal itu demi memelihara identitas kepribadian masyarakat, asas-asas dan
persatuannya. Tidak satu pun masyarakat di dunia ini kecuali ia memiliki prinsip-prinsip asasi yang
tidak boleh seorang pun mengusiknya. Maka tidak diterima aktivitas apa pun untuk merubah identitas
masyarakat atau mengalihkan loyalitas mereka kepada musuh-musuh, dan lain-lain.

Oleh karena itulah pengkhianatan terhadap tanah air, dan mendukung musuh-musuhnya yaitu dengan
menampakkan rasa cinta pada mereka dan membuka rahasia (kaum Muslimin) di hadapan mereka
merupakan dosa besar. Dan tidak seorangpun mengatakan bolehnya memberikan hak kepada seorang
warga negara untuk merubah loyalitasnya terhadap tanah airnya kepada siapa saja dan kapan saja ia
menginginkan.
Kemurtadan bukanlah sekedar sikap pemikiran’ tetapi ia juga merupakan perubahan wala’ (loyalitas),
penggantian identitas dan perubahan komitmen, orang yang murtad telah memindahkan wala’nya dan
komitmennya dari ummat kepada ummat yang lainnya dan dari tanah air ke tanah air lainnya,
maksudnya dari darul Islam ke tempat yang lainnya, ia telah melepaskan dirinya dari ummat Islam
yang semula menjadi anggota dalam tubuhnya, kemudian ia bergabung dengan akal hati dan
keinginannya kepada musuhnya, inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut,
“Attaariku lidiinihi, al mufaariqu lil-jamaa’ati” (orang yang meninggalkan agamanya dan yang
memisahkan diri dari berjamaah) sebagaimana tersebut dalam haditsnya Ibnu Mas’ud yang
muttafaq’alaih. Kata”Al Mufariqu lil jamaa’ati”ini sifat secara umum yang nampak, bukan eksplisit,
maka setiap orang yang murtad dari agamanya berarti memisahkan diri dari jamaah.

Apapun dosanya kita tidak ingin membedah hatinya dan memugar rumahnya, kita tidak mengatakan
sesuatu kepadanya kecuali sesuai dengan apa yang ia katakan secara terang-terangan melalui lesan,
pena dan perbuatannya yaitu dari sesuatu yang menjadikan ia kufur yang terang dan nyata, tidak perlu
ada tatwil atau kemungkinankemungkinan lainnya, maka keraguan apa pun dalam hal itu bisa
memberikan kemashlahatan orang yang dituduh murtad.

Sesungguhnya bermain-main dalam menghukum orang murtad yang terang-terangan dan yang
mengajak orang lain bisa membuka kesempatan bagi masyarakat seluruhnya untuk menghadapi
bahaya dan bisa membuka pintu fitnah yang tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah SWT.
Maka tidak henti-hentinya orang yang murtad itu mempengaruhi orang lain, terutama orang-orang
lemah dan miskin, dan dibuatlah jamaah tandingan untuk ummat sehingga memperbolehkan dirinya
untuk meminta bantuan kepada musuh, dengan demikian terjadilah konfrontasi dan perpecahan
pemikiran, sosial dan politik yang mungkin akan berkembang menjadi pertarungan berdarah, bahkan
perang saudara yang memakan yang hijau dan yang kering’ (banyak membawa kurban).

Inilah yang benar-benar terjadi di Afghanistan, di mana muncul sekelompok terbatas yang keluar dari
agamanya mereka memeluk aqidah Komunis setelah mereka belajar di Rusia, mereka dilatih dalam
shaf hizb (partai) komunis yang suatu saat mereka akan melompat menjadi penguasa, lalu merubah
identitas masyarakat secara keseluruhan, karena mereka memiliki kekuasaan dan wewenang. Putera-
putera Afghan tidak mau menyerah kepada mereka, sehingga terjadi perlawanan dan semakin meluas
(melebar) perlawanan itu yang berhasil menghimpun barisan jihad yang tangguh melawan orang-
orang komunis yang murtad, yaitu mereka yang tidak peduli untuk meminta bantuan Rusia dalam
melawan keluarga dan kaumnya sendiri, Rusia yang menghancurkan tanah airnya dengan tank-tank,
membombardir dengan pesawat-pesawat tempur serta melumatkannya dengan bom dan roket.
Perang saudara yang berjalan selama empat belas tahun dan mengorbankan jutaan manusia, ada yang
terbunuh, cacat, terluka, yatim, menjadi janda dan kehilangan ibu. Kehancuran yang menimpa seluruh
negara. dan yang merusak tanaman dan ladang serta hewan.

Semua ini terjadi tidak lain kecuali akibat dari kelalaian dalam bersikap terhadap orang-orangyang
murtad dan menganggap ringan terhadap aktivitas mereka serta mendiamkan kejahatan mereka pada
awal mula. Kalau seandainya orang-orang yang keluar dari agama dan yang berkhianat itu dihukum
sebelum menjadi besar niscaya rakyat dan tanah air akan terhindar dari peperangan yang kejam/keras
dan pengaruh-pengaruhnya yang menghancurkan negara dan manusia.

PERMASALAHAN PENTING YANG WAJIB DIPERHATIKAN


<< Kembali ke Daftar Isi >>

Di sini ada sejumlah permasalahan yang ingin saya kemukakan, yaitu: Pertama: bahwa menghukumi
seorang Muslim sebagai murtad dari agamanya’ adalah sesuatu perkara yang sangat berbahaya yang
akan berakibat hilangnya seluruh wala’ dan keterikatan dia dengan keluarga dan masyarakat. Bahkan
sampai harus dipisahkan antara dia dengan isteri dan anaknya’ karena tidak halal bagi seorang
Muslimah berada di bawah kekuasaan orang kafir. Demikian juga terhadap anak-anaknya, ia tidak bisa
dipercaya lagi untuk mendidik anak-anak, apalagi/terutama dari segi sanksi materi yang telah
disepakati oleh,fuqaha’ secara keseluruhan.

Oleh karena itu wajib bagi kita untuk berhati-hati dengan sepenuh hati-hati ketika menghukumi
kufurnya seorang Muslim yang keislamannya masih ada. Karena ia benar-benar Muslim dengan
keyakinannya, maka tidak bisa keyakinan itu dihilangkan dengan keraguan.

Termasuk di antara permasalahan yang sangat berbahaya adalah mengkufurkan orang yang tidak
kafir, dan Sunnah telah memperingatkan hal itu dengan keras.

Saya telah menulis tentang masalah tersebut dalam suatu risalah (buku) dengan tema “Zhahiratul
Ghuluwwifit Takdir,” dengan tujuan untuk memberantas gelombang yang merusak yang menyebar
dengan leluasa dalam hal mengkufurkan orang, dan ini selalu ada yang memeluknya.

Kedua: Sesungguhnya orang-orang yang berhak memberikan fatwa tentang kemurtadan seorang
Muslim adalah mereka yang mendalam ilmunya dari orang-orang yang ahli. Yaitu yang dapat
membedakan antara yang qath ‘i dan yang zhanni, antara yang muhkam dan mutasyabih, antara yang
menerima ta’wil dan yang tidak menerima ta’wil. Maka mereka tidak mengkafirkan kecuali sesuatu
yang tidak ada alternatif lainnya seperti pengingkaran sesuatu yang pasti dari agama atau penghinaan
terhadap aqidah atau syari’ah, seperti juga mencaci Allah SWT, Rasul, dan kitabNya secara terang-
terangan dan lain-lain.

Contoh dari pada itu adalah apa yang difatwakan oleh para ulama tentang Salman Rusydi, demikian
juga Rasyad Khalifah yang mengingkari Sunnah, kemudian mengingkari dua ayat dari akhir surat At-
Taubah, kemudian mengakhiri kekufurannya dengan pengakuannya sebagai Rasul Allah, dengan
mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah penutup para Nabi, bukan penutup para Rasul. Fatwa ini
dikeluarkan oleh Majlis Mujtama’ Fiqhi Rabithah ‘Alam Islami.

Masalah ini tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang tergesa-gesa atau kepada orang-orang
yang berlebihan atau orang-orang yang sedikit ilmunya karena mereka akan mengatakan atas nama
Allah apa-apa yang mereka tidak mengetahuinya.

Ketiga: Sesungguhnya yang berhak memberikan fatwa adalah waliyul amri syar’i yang telah ditetapkan
dan tidak menghukumi kecuali kepada hukum Allah SWT dan tidak dikembalikan kecuali pada ayat-
ayat muhkamat yang jelas dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Keduanya (Kitab Allah dan Sunnah
Rasul) itulah yang menjadi rujukan apabila ada perselisihan antar manusia, Allah SWT berfirman:

“Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, mata kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rusul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa’:
59)

Pada dasarnya qadhi dalam Islam itu harus dari ahli ijtihad, dan apabila tidak memenuhi syarat, maka
ia minta tolong kepada ahli ijtihad, sehingga kebenaran itu menjadi jelas. Tidak memutuskan perkara
dengan kebodohan dan hawa nafsu’ karena jika demikian maka ia termasuk qadhi-qadhi neraka.

Keempat: Jumhur ulama mengatakan wajibnya menyuruh taubat kepada orang yang murtad sebelum
dilaksanakannya hukuman, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitabnya “Ash
Sharimm Al Maslul ‘Alaa Syaatimir Rasul” Qan ini merupakan ijma’ para sahabat dan sebagian fuqaha’–
ada yang membatasi tiga hari, ada yang kurang dan ada yang lebih dari tiga hari’ dan juga yang
mengatakan disuruh bertaubat selamanya.”

Sebagian ulama mengecualikan orang yang zindiq, karena ia menampakkan sesuatu yang berlainan
dengan batinnya, maka tidak ada taubat baginya. Demikian juga orang yang mencaci/melecehkan
Rasulullah SAW karena kemuliaan Rasulullah SAW dan kehormatannya, maka tidak diterima taubatnya.
Ibnu Taimiyah mengarang kitabnya dalam masalah tersebut.

Yang dimaksud dengan hukum tersebut adalah memberikan kesempatan kepadanya agar melihat
kembali dirinya, dengan harapan agar syubhat itu bisa hilang dan hujjah semakin kuat, jika ia ingin
mencari kebenaran dengan ikhlas, meskipun ia juga memiliki hawa nafsu atau berbuat sesuatu atas
perhitungan orang lain, Allah akan menolongnya.

Ada sementara kalangan orangyang mengatakan bahwa yang berhak menerima taubat itu Allah, bukan
manusia. Tetapi itu hukum di akhirat, adapun hukum di dunia maka kita menerima taubat yang
nampak dan kita menerima Islam yang zhahir. Dan kita memang tidak ingin melubangi hati manusia,
karena kita telah diperintahkan untuk menghukumi dengan zhahirnya, sedangkan Allah yang
mengurus yang tidak nampak. Tersebut dalam hadits shahih bahwa barangsiapa yang mengatakan
“Laa ilaahaillallaah” maka ia terpelihara darah dan hartanya. Adapun hisabnya ada pada Allah SWT
sesuai dengan apa yang ia yakini.

Di sinilah kita katakan bahwa sesungguhnya menghukumi kepada seseorang dengan murtad,
kemudian menetapkan bahwa ia berhak dihukum serta menentukan hukuman mati dan tidak ada
lainnya dan melaksanakan hukum itu tanpa kehati-hatian, maka yang demikian ini membawa bahaya
besar terhadap darah, harta dan kehormatan bagi manusia. Karena ini berarti memberikan kepada
orang biasa yang tidak ahli di bidang fatwa tidak pula memiliki hikmah ahlil qadha’, dan tidak memiliki
tanggung jawab ahli tanfidz tiga kekuasaan di tangannya, memberi fatwa (dengan menuduh),
memvonis hukumannya dan melaksanakannya sekaligus.

Anda mungkin juga menyukai