Terabaikan
Situs kompas.com melansir sebuah berita yang berkaitan dengan implikasi dari kasus lumpur
Lapindo yang hingga kini belum kunjung selesai. Dalam beritanya, situs tersebut menyatakan bahwa
anak-anak korban lumpur lapindo sebanyak 103 orang masih membutuhkan dana sekitar 43 juta
rupiah untuk pembayaran SPP, buku, seragam, ujian, dan lain sebagainnya.
Bukan jumlah yang kecil memang jika ditilik dari sudut pandang siapa yang membutuhkan
dana tersebut. Hal ini disebabkan karena memang kebanyakan orang tua dari anak-anak mereka telah
kehilangan lapangan pekerjaan ketika bencana tersebut terjadi. Hal ini kemudian menyebabkan orang
tua mereka tidak memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk membayar biaya sekolah tersebut.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa pendidikan yang seyogyanya menjadi hak anak
di Indonesia ini harus kembali terabaikan dan bahkan nampak seperti tidak ada yang bertanggung
jawab terhadap hal tersebut?
Abai
Bukan kali pertama pendidikan di Indonesia terasa diabaikan. Banyak kejadian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa pendidikan masih menjadi anak tiri di negeri yang padahal masih
membutuhkan banyak anak berprestasi untuk memajukan bangsa Indonesia ini.
Kejadian seperti banyaknya sekolah yang rusak serta sarana dan prasarana yang tidak lengkap
di sekolah-sekolah yang ada menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap keberadaan sekolah-
sekolah yang memang membutuhkan biaya untuk mendidik anak di Indonesia ini. Belum lagi selesai
permasalahan mengenai sekolah yang rusak, muncul lagi wacana yang waktu itu digulirkan oleh
wapres Boediono mengenai penutupan sekolah yang dianggap tidak mencetak siswa yang berprestasi.
Lebih lanjut lagi. Biaya pendidikan di Indonesia yang masih cenderung mahal menunjukkan bahwa
pemerintah nampaknya masih belum mampu untuk mendukung biaya pendidikan yang bisa
terjangkau oleh masyarakat di Indonesia.
Hal-hal di atas mengindikasikan bahwa sebenarnya pendidikan di Indonesia memang masih
belum mampu untuk diutamakan, entah apa alasan yang ada dibaliknya dan sudah seharusnya ini
menjadi keprihatinan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah yang seharusnya mampu untuk
menjadi pengayom bagi terjaminnya ketersediaan pendidikan malah mengabaikan pendidikan itu
sendiri dan implikasi ke depannya bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan menjadi sebuah negara
yang dekaden karena ketiadaan anak-anak bangsa yang cukup kompeten untuk memimpin.
Kembali kepada permasalahan anak-anak usia sekolah yang menjadi korban Lapindo, hal ini
juga mengindikasikan bahwa pemerintah nampak sudah lepas tangan dengan segala kasus yang terjadi
berkaitan dengan bencana lumpur tersebut, mulai dari penyelesaian proses ganti rugi yang terkatung-
katung, pengabaian untuk mencari solusi terbaik memecahkan masalah tersebut hingga berlanjut
sekarang kepada permasalahan pendidikan bagi para korban Lapindo.
Baru-baru ini saja beberapa anggota DPR pergi ke Gaza untuk memberikan bantuan sebesar 2
juta dolaar AS. Pertanyaannya, bagaimana jika dana tersebut diberikan untuk membantu biaya
pendidikan korban lumpur Lapindo tersebut? Bukankah jika dirupiahkan, dana tersebut akan lebih
dari cukup untuk menutupi kebutuhan sebesar 43 juta rupiah tersebut? Dan bukan tidak mungkin juga
dengan 2 juta dollar AS tersebut, pemerintah masih mampu untuk membantu ratusan korban lumpur
lainnya yang membutuhkan bantuan yang sama, yakni dalam hal pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih belum mampu untuk menentukan
prioritas tentang siapa yang seharusnya dibantu terlebih dahulu. Mengapa mudah untuk membantu
saudara kita yang diluar namun begitu sulit untuk menggelontorkan dana untuk menyelesaikan
permasalahan Lapindo tersebut, apalagi sekarang juga mulai mengena pada bidang pendidikan?
Jika pemerintah memang mau lepas tangan dan tidak ikut campur lagi, setidaknya harus
dibutuhkan tindakan tegas yang ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam terjadinya bencana
tersebut untuk melakukan ganti rugi dan juga menanggung biaya pendidikan anak-anak korban
lumpur tersebut sebagaimana yang dilansir dalam situs kompas.com tersebut.
Peran serta masyarakat
Jika memang mengharapkan bantuan pemerintah adalah sesuatu hal yang cukup utopis, maka
tidak lain yang harus turun tangan adalah masyarakat Indonesia sendiri sebagai bentuk solidaritas dan
keprihatinan.
Bukan saja kita menunjukkan bahwa kita pandai mengutuk Israel yang menyerang Gaza dan
dengan rela mengirim relawan dan bantuan kesana, namun kita juga harus menunjukkan bahwa
solidaritas kita sendiri di dalam negeri cukup solid untuk memberikan bantuan kepada saudara kita di
Sidoarjo sana.
Pembentukkan sebuah wadah bisa menjadi alternatif yang menarik untuk menggalang dana
pendidikan bagi para korban lumpur Lapindo ini. Dengan adanya pemusatan, maka pengumpulan dan
pemberian dana bisa lebih dilakukan secara terstruktur. Tentunya, wadah yang dibentuk harus
terbebas dari “perpanjangan tangan” pemerintah atau oknum-oknum nakal lainnya sehingga dana
yang tersalurkan juga bebas dari segala maca tindakan koruptif.
Selain pembentukkan wadah terpusat, bisa dijuga dilakukan pengumpulan koin seperti yang
waktu itu dilakukan untuk Prita dan Bilqis. Pengumpulan koin dinilai bisa cukup efektif untuk
menggalang dana dan menumbuhkan rasa solidaritas. Koin yang terkumpul ini pada akhirnya juga
harus disalurkan melalui wadah terpusat yang nantinya akan menyalurkan bantuan tersebut untuk
pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo.
Biar bagaimanapun, anak-anak korban lumpur Lapindo tetap memiliki hak yang sama dengan
anak-anak pada umumnya dan salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Ini adalah
pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mencari solusi tentang memberikan pendidikan yang tepat
bagi mereka tanpa harus membebani dengan biaya yang besar karena memang tidak memungkinkan
dari mereka untuk mengeluarkan biaya yang besar, dan tentunya peran serta kita juga diharapkan
untuk bisa membantu anak-anak tersebut memperoleh hak nya, hak untuk mendapatkan pendidikan
yang layak untuk kemajuan Indonesia.
Sumber : www.kompas.com
Tanggapan :
Accesstia Christy
ITP A/ H0910001