Pada suatu malam, dia tiba pulang terlambat, pukul sebelas malam
baru tiba di rumah. Jalanan macet, katanya. Ada demontrasi
mahasiswa di Jakarta, yang menentang kenaikan harga BBM.
Meski terlambat, Teh Hindun, istrinya tetap menyambut dengan
baik, dengan menyediakan air hangat untuk mandi, makan malam
dan segelas air kopi panas. Sambil merokok dia ngobrol ruang
tengah. Sebuah khabar diterima bahwa Haji Usin meninggal dunia,
tadi sore.
Selain urusan tanah yang belum tuntas, dia juga terkejut karena
harus berangkat kerja sebelum subuh, ada pekerjaan yang harus
dibereskan sebelum pukul delapan. Padahal orang yang sudah
menikah dua kali ini paling takut dengan orang baru meninggal.
Hampir semalaman tidak bisa tidur, memikirkan hal itu. Minta
diantar tak tahu harus kesiapa. Orang-orang sudah tidur. Lagipula
alangkah malunya bila didengar orang lain. Orang setua dirinya
masih taku dengan hantu.
Dengan sangat terpaksa, Kang Atang harus melakukan aktifitas
rutinnya, berangkat dari rumah sebelum subuh. Sejak keluar
rumah, perasaannya tidak enak, takut hantu Haji Usin. Ketakutan
itu betul-betul terjadi. Di balik pohon duku yang besar, sesosok
tubuh berdiri dengan pakaian serba putih. Dia sangat terkejut.
Pasalnya sesosok tubuh itu memang Haji Usin. Lebih terkejut lagi
saat Haji Usin memanggil-manggil namanya. Hantu, pikirnya.
Kini Kang Atang tenang. Hantu itu sudah hilang, bahkan tidak
mengikutinya. Dia berseder pada dinding sebuah warung,
menunggu mobil angkutan lewat. Namun kembali dia terkejut,
karena tiba-tiba saja hantu itu sudah berdiri di hadapannya. Seluruh
tubuhnya gemetaran. Dengan histeris, dia menjerit, lalu berteriak,
hantu. Saking takutnya, dia tidak bisa melangkah, kaki seperti
tertanjap ke bumi.
Kang Atang pulang lebih cepat. Dia sangat senang. Karena selain
disambut Teh Hindun juga Enjat, lelaki seumurnya. Nanti kalau
berangkat kerja akan meminta untuk mengantarku, begitu bisik
hatinya. Biarlah malu juga, toh dia itu teman dekatku. Sepertinya
bisikan itu disambut dengan baik. Buktinya Enjat senyum-senyum
sendiri sambil menatapnya. Selain Enjat, ternyata Teh Hindun juga
turut tersenyum, seolah mengejeknya.