Anda di halaman 1dari 9

Pergulatan Moral Intelektual di Era Transisi

by : Yanu Endar Prasetyo


Semua orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat yang
memiliki fungsi intelektual

Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi
(membangun kembali) atau rethinkhing (pemikiran kembali) segala sesuatu yang berkaitan
dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam
masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai
motor penggerak perubahan itu sendiri. Sementara itu, apabila masa transisi atau “masa yang
baru” tiba, intelektual juga diharapkan konsisiten dengan kejujuran, keintelektualan, keyakinan,
dan kekritisan tersebut.

Intelektual dan Kebenaran


Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian,
lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Oleh
karena itu, mereka harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa
mencari kebenaran. Mereka juga bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, yang
datang dari pihak lain.
Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan,
baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan
dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang
terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis
(jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa
berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.
Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan
apa yang patut dan yang tidak patut, menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis
cenderung lebih konservatif. Sebagaimana tesis Pierre Bouerdieu, tentang kehidupan universitas
di Prancis yang terangkum dalam Homo Academicus, bahwa untuk sukses di dunia akademis,
orang lebih harus menyesuaikan diri daripada menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya,
waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru disita untuk
mengejar karir akademis belaka.
Kemudian, secara eksternal, perubahan sosial masyarakat yang dinamis senantiasa diiringi oleh
silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan
kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan
telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda –
gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kekritisan
intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini
melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang
sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan
kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan (Edward
W. Said, 1993).
Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan
relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan
perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau
organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual
senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan
negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri ataupun staf ahli pemerintahan.
Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi
intelektual, mungkinkah para intelektual tersebut mempertahankan otonomi moral dan
komitmennya terhadap kebenaran ilmu pengetahuan ? Atau akankah intelektual hanya sekedar
sebagai alat?.

Intelektual dan kekuasaan


Ruang yang telah diubah kaum intelektual menjadi kekuasaan, memungkinkan dan merangsang
pertarungan dengan kekuatan lain yang menghasilkan political discourse untuk terus menerus
direproduksi, dipertarungkan, dihancurkan, dan kemudian dibentuk diskursus baru lagi secara
sosial dan politik (Daniel Dakhidae, 2003). Dengan demikian, di saat bangsa kita berada dalam
jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan
logika pasarnya, kita terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan terjadi di
dalam masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus
bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal.
Tabir yang menyelimuti selingkuh antara pengetahuan dan kekuasaan terkuak saat kita membaca
Michel Foucault, khususnya tema "kebenaran" sebagai konsep yang selalu diidentikkan dengan
tujuan mulia intelektual dalam menghasilkan pengetahuan. Fokus tentang kebenaran di sini
bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik
(politics of truth). Ini hal lumrah jika kekuasaan dipahami tidak dalam makna represif, tetapi
sebagai jaringan produktif yang mengalir di sela-sela relasi sosial seperti dijelaskan Foucault.
Melalui jaringan ini kelompok intelektual memainkan kekuasaan dengan dinamis, lewat
pengetahuan yang dihasilkannya dalam berbagai wujud. Pada titik ini kita sampai pada
kesimpulan, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan dan bias-bias
sosial, politik, dan budaya. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada
"kebenaran", karena "kebenaran" sendiri adalah konstruksi politik. Ilmu pengetahuan adalah
hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini, intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat.
Sebab dia senantiasa berada dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep
pengkhianatan.
Implikasi dari pemahaman tersebut, tema pemihakan intelektual kepada rakyat menjadi kurang
atau tidak relevan. Pertama, karena tuntutan pemihakan ini memberi stigma inferior pada rakyat
dan menafikan kemungkinan potensi intelektual dan kecendekiawanan yang ada pada rakyat.
Kedua, yang lebih penting, justru tema-tema "pemihakan" harus dicermati karena dapat dengan
mudah dimanipulasi untuk melegitimasi kekuasaan.
Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab,
masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensinya lahan garap intelektual juga semakin
luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial
(sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender). Pilihan Intelektual untuk bekerja di sektor
Non Goverment Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah konsekuensi
dari arus demokratisasi yang menuntut kesadaran dan keterbukaan berbagai lapisan kelas sosial
masyarakat. Kehadiran intelektual di sana diharapkan mampu membangun kesadaran
transformatif dari kelompok masyarakat, untuk bergabung dengan gerakan civil society
mewujudkan kemandirian dan menghapus berbagai macam ketidakadilan.
Moralitas Intelektual : Sebuah Gerakan
Namun demikian, hambatan utama justru datang dari institusi pendidikan tinggi yang seharusnya
mencetak intelektual-intelektual hati nurani bangsa. PT ternyata hanya mampu menjadi pengabdi
kapitalisme. Sama seperti ketika mengharap otonomi moral intelektual yang berada di
kekuasaan, rasanya sulit pula mengharap lahirnya intelektual dengan kesadaran transformatif
dari pendidikan tinggi yang demikian kapitalistik. Jalan tengah yang bisa diambil dalam
mendamaikan intelektual dari pergulatan kekuasaan, modal, dan otonomi moral adalah dengan
konsep free-floating intelligentsia, dari Karl Manheim. Ia menyatakan bahwa intelektual
seharusnya adalah mereka yang berada pada lapisan sosial yang relatif bebas dari kepentingan
kelas ekonomi tertentu dan mampu bertindak sebagai kekuatan politik kreatif dalam masyarakat
modern. Intelektual memiliki tugas sejarah, memberi cermin kepada publik agar dapat merefleksi
diri, sehingga dapat memilih jalan dan cara yang tepat bagi tindakannya. Netral namun tidak
terasing. Independen, namun bukan berarti tidak menjalin hubungan dengan institusi sosial yang
lain, termasuk negara dan modal asing.
Kaum intelektual, seperti diungkapkan Jakoeb Oetama, harus merumuskan sesuatu untuk
menjadi feasible dan lebih workable serta lebih bermakna dan berdampak pada relasinya dengan
kekuasaan, modal, kebudayaan dan juga pada sosoknya yang lain yakni sosok masyarakat.
Bangkitnya lagi suatu keharusan membangun dan mengembangkan masyarakat madani,
membuka peluang yang lebih cocok bagi kaum intelektual untuk mendekatkan pemikiran dan
analisisnya ke masyarakat. Untuk menjaga moralitas ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh
intelektual, diperlukan gerakan menempatkan moral diatas ilmu.
Gerakan ini setidaknya harus dijalankan secara sistemik dan kultural oleh pendidikan tinggi.
Sekurang-kurangnya PT harus memfokuskan perhatian pada empat hal. Pertama mengupayakan
para intelektual tetap berdiri dan bertindak sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan inovasi
pemberdayaan masyarakat. kedua penjaga integritas setiap ilmuwan dan cendekiawan agar tetap
bertindak sebagai pelopor pengembangan ilmu pencerahan.
Ketiga mengingatkan kembali pentingnya moral dan memperluas koridornya dalam gerak
langkah pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. keempat gerakan ini akan
memberikan perhatian khusus pada cakupan pembicaraan moral, bukan hanya bersifat horizontal
antara ilmuwan/cendekiawan dengan manusia lain atau masyarakat lainnya, tetapi juga bersifat
vertikal, kepada Tuhan dan Agamanya. Dari analisa diatas terlihat bahwa penegakan moral
merupakan kebutuhan yang sangat urgen dalam rangka mengawal transisi bangsa, hingga tetap
dalam jati dirinya sebagai bangsa yang religius dan berbudaya. Berpijak pula pada pandangan
Hegel dan Thomas Hobbes, maka negara sebagai pemegang kekuasaan penuh, juga harus
menegakkan supremasi hukum bagi setiap pelanggaran moral, termasuk budaya korupsi di segala
sendi kehidupan kebangsaan yang menjadi musuh bangsa bersama.
Dengan begitu, menciptakan komunitas intelektual yang santun, radikal dan kritis adalah hal
yang sangat penting. Sehingga, gerakan masyarakat sipil menjadi lebih berhati nurani dan
bermakna bagi seluruh bangsa.
MASYARAKAT MADANI

Oleh : Djoko Yuniarto, SE

Pendahuluan

Perkembangan  demokrasi yang mengglobal di dunia dewasa ini memunculkan harapan baru

terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik dan dinamis, salah satu tujuan dari

demokrasi adalah membentuk “civil society” atau masyarakat madani. Menurut Larry Diamond Walaupun

beberapa kalangan menganggap demokrasi sebagai sistem dianggap mampu berjalan dengan niscaya,

menurut Diamond demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih

dan pluralis. Tanpa satu masyarakat yang beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin

dikembangkan dan menjadi langgeng. Pada jangkauan yang lebih jauh, demokrasi tidak akan mampu

menjalankan misinya membentuk negara yang adil dan mensejahterakan rakyatnya tanpa adanya peran

masyarakat sipil

Larry Diamond dalam bukunya developing democracy toward consolidation (2003)

menyimpulkan lebih luas bahwa masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial berorganisasi yang

terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan

terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Selanjutnya Diamond menekankan

bahwa masyarakat sipil bersedia aktif secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan

kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai

sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk

menuntut akuntabilitas negara.

Masih menurut Diamond bahwa masyarakat madani meliputi banyak semua sektor kehidupan

masyarakat diantaranya : 1. Ekonomi (sektor produksi, sektor konsumsi dan asosiasi perdagangan), 2.

Budaya (agama, etnis, nilai, kepercayaan), 3. Informasi dan pedidikan, 4. Kelompok hobi, 5.

Pengembang, 6. Kelompok kepentingan (lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan). 7. Kelompok

non-partisan. Juga termasuk media masa independen, universitas, industri film dan jaringan seniman.
Ciri Dan Definisi  Masyarakat Madani

Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil.

Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat.

Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut

kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik

secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi

yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan

semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi

atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup

kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community

yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih

sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih

sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang

sekira mempunyai kebersamaan, kooperatif, dan saling mempercayai.

Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan

berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali

menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami

sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.

Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil

yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja .

Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari

kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan

sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah

agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial. Sementara menurut Haynes, tekanan dari

“masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program


demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menyelenggarakan

pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional.

Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku,

tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di

dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS

Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan

kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya

ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara

melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya

kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Dalam arti politik, civil society

bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai

kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga

politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu

terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan

ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu,

prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip

demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa.

Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari

masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam

masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil

tetapi sebagai masyarakat politik. Untuk menengahi ini kita bisa mengkutip pendapat Diamond bahwa

masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural,

informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan.


Masyarakat sipil yang kritis dan mandiri secara esensial didukung oleh orientasi pasarnya,

sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa

tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan

hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara

tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law.

Masyarakat Sipil Indonesia: Dari Otoriterianisme ke Demokrasi

Masyarakat sipil (civil society) dalam kasus negara-negara berkembang termasuk Indonesia

berhadapan dengan dua persoalan. Pertama terminologi dan konsep masyarakat sipil yang masih bisa

diperdebatkan diantara kalangan akademisi maupun kalangan aktivis demokrasi. Persoalan yang kedua

adalah peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil dalam proses perubahan-perubahan sosial

politik di Indonesia, terutama sekali pada saat demokrasi masih dalam fase transisi. Transisi demokrasi di

Indonesia ditandai oleh partisi kekuasaan atau desentralisasi yang mempunyai dimensi-dimensi

permasalahan kontekstual, terutama sekali berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan agenda

terbentuknya local good government. Walaupun, faktanya kapasitas dan nilai’nilai demokrasi masih

lemah. Sehingga, pada situasi ini civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal

konsolidasi demokrasi di tingkat daerah.

Membincangkan masyarakat sipil dalam dunia modern dalam konteks keindonesiaan, kita

menyadari hal itu tidak lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa

kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai

mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Bahkan kemunculan organisasi-organisai

pemberdayaan keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dan lainnya merupakan

respon terhadap struktur kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dan struktur kekuasaannya yang

menindas merupakan rahim bagi kelompok-kelompok independen pribumi yang berusaha melakukan
perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan

politik pemerintahan kolonial. Lahirnya Syarekat Islam (SI), Budi Utomo, Indische Party, dan berbagai

kelompok di luar pemerintahan kolonial adalah beberapa contoh organisasi sipil yang kritis terhadap

negara.Pada awal berdirinya Negara Indonesia demokrasi liberal seolah menjadi refleksi euphoria

berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu setelah lepas dari struktur politik kolonialisme. Multi partai

sebagai landasan empiris bahwa demokrasi sedang berlangsung memberi kenyataan bahwa Indonesia

sesungguhnya memulai bangsa ini dengan demokrasi.

Pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan

pada strategi negara menciptakan sistem semu baik pada politik maupun ekonomi (erzats capitalism)

yang sesungguhnya strategi praktik politik otoriter Suharto. Situasi ini jelas berpengaruh terhadap

tumbuhnya masyarakat sipil. Intervensi negara Orde Baru terhadap proses sosial politik masyarakat

dengan legitimasi hukum yang diciptakan rezim merupakan proses penyempitan ruang gerak masyarakat

sipil dalam ruang public (public sphere). Dalam konteks persoalan ini, Soeharto menggunakan

mekanisme carrot and sticks terhadap masyarakat dalam ruang publik yang telah ia kontrol. Artinya,

siapa yang taat dan patuh akan mendapatkan bantuan maupun kemudahan akses sosial ekonomi

sedangkan yang membangkang akan mendapatkan pukulan keras, ditangkap sebagai pelaku subversif.

Pada awal keruntuhan Orde Baru isu-isu korupsi mulai menyeruak diantara hubungan

masyarakat dan negara. Protes dari kalangan masyarakat sipil yang bukan hanya dari NGO, termasuk

mahasiswa dan kalangan bisnis maupun media, melakukan gerakan protes mengenai korupsi dan

perilaku birokrasi pemerintahan. Pada saat Orde Baru tidak mampu menjawab gerakan tersebut,

masyarakat sipil semakin menyadari bahwa otoritarianisme adalah kunci dari munculnya berbagai

dimensi persoalan yang menjerat Indonesia, baik dengan isu kerusakan ekologis, korupsi, ketimpangan

sosial, dan demokrasi. Selanjutnya, gerakan masyarakat sipil mendorong jatuh rezim otoriter dan

berusaha membentuk sistem politik demokratis dengan proses komunikasi dan kerjasama dengan eleit-

elite politik maupun partai-partai politik reformis. Hasilnya adalah demokrasi bagi Indonesia, yang secara

momentum dimulai dengan pemilu 1999 yang mempresentasikan persaingan politik multi partai.
Sistem politik demokrasi menjadi semakin mampu berjalan dengan baik ketika diberlakukan pada skala
yang tidak terlalu besar. Diamond mencatat bahwa ketika gelombang ketiga (demokrasi, pen.) sekitar
setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibandingkan 23%
negara-negara yang lebih besar). Secara keseluruhan, pada awal 1998, hampir 75 persen negara-negara
yang demokratis, disbanding dengan kurang dari 60 persen negara-negara yang lebih besar. Kenyataan
inilah yang juga mendasari bagi pelimpahan demokrasi di level daerah (lokal) atau desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia dimulai diterapkan melalui UU 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah
yang selanjutnya diperbaiki dengan UU 33 Tahun 2004 dimana desentralisasi berada di tingkat
pemerintahan Kabupaten/kota. Walaupun menurut Afan Gaffar (1999) Indonesia belum memiliki
masyarakat sipil karena terutama sekali faktor transisi politik, perekonomian dan tingkat pendidikan
masyarakat akan tetapi dengan melihat perkembangan politik yang semakin membuka ruang publik, kita
bisa bisa berharap bahwa masyarakat sipil pada saat yang bersamaan melakukan proses pembentukan
(penyempurnaan) dan melakukan gerakan sosial berkaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sedang
berlansung.

Anda mungkin juga menyukai