Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi
(membangun kembali) atau rethinkhing (pemikiran kembali) segala sesuatu yang berkaitan
dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam
masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai
motor penggerak perubahan itu sendiri. Sementara itu, apabila masa transisi atau “masa yang
baru” tiba, intelektual juga diharapkan konsisiten dengan kejujuran, keintelektualan, keyakinan,
dan kekritisan tersebut.
Pendahuluan
Perkembangan demokrasi yang mengglobal di dunia dewasa ini memunculkan harapan baru
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik dan dinamis, salah satu tujuan dari
demokrasi adalah membentuk “civil society” atau masyarakat madani. Menurut Larry Diamond Walaupun
beberapa kalangan menganggap demokrasi sebagai sistem dianggap mampu berjalan dengan niscaya,
menurut Diamond demokrasi juga menuntut tumbuhnya masyarakat beradab yang bersemangat, gigih
dan pluralis. Tanpa satu masyarakat yang beradab demikian, demokrasi tidak akan mungkin
dikembangkan dan menjadi langgeng. Pada jangkauan yang lebih jauh, demokrasi tidak akan mampu
menjalankan misinya membentuk negara yang adil dan mensejahterakan rakyatnya tanpa adanya peran
masyarakat sipil
menyimpulkan lebih luas bahwa masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial berorganisasi yang
terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan
terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Selanjutnya Diamond menekankan
bahwa masyarakat sipil bersedia aktif secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan
kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai
sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk
Masih menurut Diamond bahwa masyarakat madani meliputi banyak semua sektor kehidupan
masyarakat diantaranya : 1. Ekonomi (sektor produksi, sektor konsumsi dan asosiasi perdagangan), 2.
Budaya (agama, etnis, nilai, kepercayaan), 3. Informasi dan pedidikan, 4. Kelompok hobi, 5.
non-partisan. Juga termasuk media masa independen, universitas, industri film dan jaringan seniman.
Ciri Dan Definisi Masyarakat Madani
Berkaitan dengan pencirian masyarakat sipil Diamond mengajukan lima ciri masyarakat sipil.
Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat.
Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut
kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik
secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup pluralisme dan keberagaman. Artinya, organisasi
yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan
semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi
atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup
kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community
yang lebih jelas meningkatkan demokrasi. Civic community adalah konsep yang lebih luas dan lebih
sempit sekaligus: lebih luas karena ia mencakup semua jenis perhimpunan (termasuk parokial); lebih
sempit karena ia hanya mencakup perhimpunan yang terstruktur secara horizontal di seputar ikatan yang
Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan
berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami
sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari
sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah
agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial. Sementara menurut Haynes, tekanan dari
pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional.
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku,
tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di
dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS
Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya
ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara
melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya
kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Dalam arti politik, civil society
politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu
ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu,
demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa.
Persoalan mendasar lainnya setelah pendefinsian adalah siapa yang merupakan bagian dari
masyarakat sipil. Pada level ini seringkali terjadi persoalan karena kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat seringkali menunjuk kepada kelompok yang lain bukan sebagai bagian dari masyarakat sipil
tetapi sebagai masyarakat politik. Untuk menengahi ini kita bisa mengkutip pendapat Diamond bahwa
masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural,
sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa
tumbuh berkembang dan mendapat jaminan rasa aman ia membutuhkan perlindungan dari tatanan
hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara
tetapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law.
Masyarakat sipil (civil society) dalam kasus negara-negara berkembang termasuk Indonesia
berhadapan dengan dua persoalan. Pertama terminologi dan konsep masyarakat sipil yang masih bisa
diperdebatkan diantara kalangan akademisi maupun kalangan aktivis demokrasi. Persoalan yang kedua
adalah peletakan peran (role enactment) masyarakat sipil dalam proses perubahan-perubahan sosial
politik di Indonesia, terutama sekali pada saat demokrasi masih dalam fase transisi. Transisi demokrasi di
Indonesia ditandai oleh partisi kekuasaan atau desentralisasi yang mempunyai dimensi-dimensi
permasalahan kontekstual, terutama sekali berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan agenda
terbentuknya local good government. Walaupun, faktanya kapasitas dan nilai’nilai demokrasi masih
lemah. Sehingga, pada situasi ini civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal
Membincangkan masyarakat sipil dalam dunia modern dalam konteks keindonesiaan, kita
menyadari hal itu tidak lepas dari transformasi modernitas yang mulai berlangsung pada masa
kolonialisme. Masyarakat tradisional yang berbasis komunitas dan pengorganisasian tradisional mulai
mengubah strategi untuk melakukan aksi-aksi aksi kritis. Bahkan kemunculan organisasi-organisai
pemberdayaan keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis dan lainnya merupakan
respon terhadap struktur kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dan struktur kekuasaannya yang
menindas merupakan rahim bagi kelompok-kelompok independen pribumi yang berusaha melakukan
perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan
politik pemerintahan kolonial. Lahirnya Syarekat Islam (SI), Budi Utomo, Indische Party, dan berbagai
kelompok di luar pemerintahan kolonial adalah beberapa contoh organisasi sipil yang kritis terhadap
negara.Pada awal berdirinya Negara Indonesia demokrasi liberal seolah menjadi refleksi euphoria
berbagai kelompok kepentingan pada waktu itu setelah lepas dari struktur politik kolonialisme. Multi partai
sebagai landasan empiris bahwa demokrasi sedang berlangsung memberi kenyataan bahwa Indonesia
Pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan
pada strategi negara menciptakan sistem semu baik pada politik maupun ekonomi (erzats capitalism)
yang sesungguhnya strategi praktik politik otoriter Suharto. Situasi ini jelas berpengaruh terhadap
tumbuhnya masyarakat sipil. Intervensi negara Orde Baru terhadap proses sosial politik masyarakat
dengan legitimasi hukum yang diciptakan rezim merupakan proses penyempitan ruang gerak masyarakat
sipil dalam ruang public (public sphere). Dalam konteks persoalan ini, Soeharto menggunakan
mekanisme carrot and sticks terhadap masyarakat dalam ruang publik yang telah ia kontrol. Artinya,
siapa yang taat dan patuh akan mendapatkan bantuan maupun kemudahan akses sosial ekonomi
sedangkan yang membangkang akan mendapatkan pukulan keras, ditangkap sebagai pelaku subversif.
Pada awal keruntuhan Orde Baru isu-isu korupsi mulai menyeruak diantara hubungan
masyarakat dan negara. Protes dari kalangan masyarakat sipil yang bukan hanya dari NGO, termasuk
mahasiswa dan kalangan bisnis maupun media, melakukan gerakan protes mengenai korupsi dan
perilaku birokrasi pemerintahan. Pada saat Orde Baru tidak mampu menjawab gerakan tersebut,
masyarakat sipil semakin menyadari bahwa otoritarianisme adalah kunci dari munculnya berbagai
dimensi persoalan yang menjerat Indonesia, baik dengan isu kerusakan ekologis, korupsi, ketimpangan
sosial, dan demokrasi. Selanjutnya, gerakan masyarakat sipil mendorong jatuh rezim otoriter dan
berusaha membentuk sistem politik demokratis dengan proses komunikasi dan kerjasama dengan eleit-
elite politik maupun partai-partai politik reformis. Hasilnya adalah demokrasi bagi Indonesia, yang secara
momentum dimulai dengan pemilu 1999 yang mempresentasikan persaingan politik multi partai.
Sistem politik demokrasi menjadi semakin mampu berjalan dengan baik ketika diberlakukan pada skala
yang tidak terlalu besar. Diamond mencatat bahwa ketika gelombang ketiga (demokrasi, pen.) sekitar
setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibandingkan 23%
negara-negara yang lebih besar). Secara keseluruhan, pada awal 1998, hampir 75 persen negara-negara
yang demokratis, disbanding dengan kurang dari 60 persen negara-negara yang lebih besar. Kenyataan
inilah yang juga mendasari bagi pelimpahan demokrasi di level daerah (lokal) atau desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia dimulai diterapkan melalui UU 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah
yang selanjutnya diperbaiki dengan UU 33 Tahun 2004 dimana desentralisasi berada di tingkat
pemerintahan Kabupaten/kota. Walaupun menurut Afan Gaffar (1999) Indonesia belum memiliki
masyarakat sipil karena terutama sekali faktor transisi politik, perekonomian dan tingkat pendidikan
masyarakat akan tetapi dengan melihat perkembangan politik yang semakin membuka ruang publik, kita
bisa bisa berharap bahwa masyarakat sipil pada saat yang bersamaan melakukan proses pembentukan
(penyempurnaan) dan melakukan gerakan sosial berkaitan dengan konsolidasi demokrasi yang sedang
berlansung.