PENGERTIAN
Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-
undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986).
Pada waktu penyusunan UUD 1945, masalah hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter) yang di Amerika Serikat
disebut dengan istilah “judicial review”, menjadi bahan perdebatan dalam sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo menanggapi usulan Yamin
“Tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa
sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “
Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo dengan mengemukakan dua alasan; Pertama, Supomo menganggap soal hak menguji
berkaitan dengan paham demokrasi liberal dan trias politika yang tidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia menyatakan:
“Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang
membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan
membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol
kekuasaan (membentuk) undang-undang”.
“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang
masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan
yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras,
sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh
karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan
Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama
sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia
dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu
pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak,
dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu.”
Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondisional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka
dapat saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah
Konstitusi.
MAKSUD DAN TUJUAN
Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan
undang-undang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang politik elit” yang bisa jadi hanya diisi oleh para
politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi “ruang-ruang politik publik”. Dengan dinamika proses
yang terjadi dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan politik.
Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu
melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat
yang memaksa.
Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang
diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya
perlindungan hak konstitusional warga Negara.
LEMBAGA BERWEWENANG
1.Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide:
UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat I huruf
a);
2. Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang
(seperti: Peraturan Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 . UU No. 5 tahun 2004 Pasal 31, Jo.
Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999,
terakhir dengan PERMA No. 1 tahun 2004). Menurut PERMA No. I tahun 2004 pasal I ayat (1), yang dimaksud dengan hak uji
materiil adalah “hak mahkamah agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang terhadap peraturan perandang-undangan yang lebih tinggi.
1 . MATERIL
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang
terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian
dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.
Permohonan HUM terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang dapat
diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang menyebutkan alasan-alasan
sebagai dasar keberatan dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya , serta membayar biaya permohonan yang besarnya
sudah ditentukan dalam peraturan tersendiri. Tenggang waktu pengajuan permohonan adatatr 180
(seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkannya peraturan perundangundangan yang bersangkutan.
2. FORMIL
Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses
pembentukan yang telah diatur dalam UUD.
Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek yang diuji adalah materi
muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang.
Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD.
IMPLEMENTASI DI INDONESIA