Anda di halaman 1dari 3

Ruang lingkup UU

HAK MENGUJI PERUNDANG-UNDANGAN


PENDAHULUAN

Pasal 24c, ayat (1) UUD Tahun 1945 :


“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan Pengadilan Negara Tertinggi
dari semua lingkungan peradilan, dalam melaksanakan tugasnya adalah kekuasaan yang mandiri, bebas dari pengaruh pemerintah
(eksekutif), pengaruh pembuat undang-undang (legislatif) maupun pengaruh luar lainnyaserta melakukan pengawasan tertinggi
atas pelaksanaan peradilan sesuai dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004pasal 11 ayat 2 yang berbunyi :
“Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. ”

PENGERTIAN

Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-
undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986).

LATAR BELAKANG SEJARAH

Pada waktu penyusunan UUD 1945, masalah hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter) yang di Amerika Serikat
disebut dengan istilah “judicial review”, menjadi bahan perdebatan dalam sidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo menanggapi usulan Yamin
“Tentang Mahkamah Agung, tuan Yamin menghendaki supaya Mahkamah Agung mempunyai hak untuk memutus, bahwa
sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “

Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo dengan mengemukakan dua alasan; Pertama, Supomo menganggap soal hak menguji
berkaitan dengan paham demokrasi liberal dan trias politika yang tidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia menyatakan:

“Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistim yang
membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan
membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman mengontrol
kekuasaan (membentuk) undang-undang”.

Selanjutnya Supomo mengatakan :

“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang
masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan
yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras,
sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis; oleh
karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan
Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan Supomo yang kedua ialah sebagai berikut:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama
sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia
dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu
pengadilan spesifik- yang melulu mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak,
dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kira belum
waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondisional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka
dapat saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah
Konstitusi.
MAKSUD DAN TUJUAN

Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan
undang-undang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang politik elit” yang bisa jadi hanya diisi oleh para
politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi “ruang-ruang politik publik”. Dengan dinamika proses
yang terjadi dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan politik.
Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu
melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat
yang memaksa.

Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang
diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya
perlindungan hak konstitusional warga Negara.

LEMBAGA BERWEWENANG

1.Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide:
UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat I huruf
a);

2. Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang
(seperti: Peraturan Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 2004 . UU No. 5 tahun 2004 Pasal 31, Jo.
Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999,
terakhir dengan PERMA No. 1 tahun 2004). Menurut PERMA No. I tahun 2004 pasal I ayat (1), yang dimaksud dengan hak uji
materiil adalah “hak mahkamah agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang terhadap peraturan perandang-undangan yang lebih tinggi.

PENGUJIAN HUKUM FORMIL – MATERIL

1 . MATERIL

Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang
terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian
dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.

1.1 Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil

Permohonan HUM terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang dapat
diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang menyebutkan alasan-alasan
sebagai dasar keberatan dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya , serta membayar biaya permohonan yang besarnya
sudah ditentukan dalam peraturan tersendiri. Tenggang waktu pengajuan permohonan adatatr 180
(seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkannya peraturan perundangundangan yang bersangkutan.

Adapun permohonan HUM dapat diajukan dengan dua cara yaitu:

A. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)


- Dalam hal pennnohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan ke kepaniteraan MA dan dibukukan datam buku
register tersendiri dengan menggunakan kode/nomor "...... P/HUM/Th -----";
- Panitera MA setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirim salinan permohonan tersebut kepada Termohon setelah
terpenuhi kelengkapan berkasnya;
- Termohon wajib mengirimkan/menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya salinan permohonan tersebut;
- Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua MA menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan
memutus permohonan keberatan tentang HUM tersebut;
- Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang HUM tersebut dengan menerapkan ketentuan
hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dengan waktu yang sesingkat singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
B. Diajukan Melalui Pengadilan Negeri / PTUN Setempat
- Bahwa permohonan HUM selain dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung, menurut PERMA Nomor 1 tahun 1993 dapat
diajukan melalui "Pengadilan Tingkat Pertama", sedangkan menurut PERMA Nomor 1 tahun 2004 (pasal 2 ayat 1 huruf b)
dapat diajukan melalui “Pengadilan Negeri" yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon (dalam Surat
Pengantar PERMA No. 1 tahun 2004, tertanggal 29 Maret 2004 No. MA/KUMDIL/30/III/K/2004 diteruskan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi (umum) dan ketua PTTUN serta Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua PTUN di seluruh Indonesia). Dalam
prakteknya, permohonan HUM dapat diajukan baik melalui Pengadilan Negeri maupun PTUN yang wilayah hukumnya meliputi
kedudukan pemohon;
- Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui PN/PTUN, didaftarkan pada kepaniteraan PN/PTUN dan dibukukan dalam
buku register tersendiri dengan menggunakan kode / nomor:
....., P/HUM/Th....../PN atau PTUN......, dengan membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
- Panitera PN/PTUN setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirimkan permohonan keberatan HUM kepada MA pada hari
berikutnya setelah pendaftaran (dan proses selanjutnya ditangani oleh MA).
1.2 Putusan HUM dan Pelaksanaannya
- Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan HUM tersebut bertentangan dengan uu atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan
HUM tersebut dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan
segera mencabutnya;
- Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan HUM tidak beralasan, maka permohonan itu ditolak;
- Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan MA dikirimkan dengan surat tercatat kepada para pihak, atau dalam hal
permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan;
- Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera MA mencantumkan petikan Putusan dalam Berita
Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara;
- Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan MA dikirim kepada Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan
peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
demi hukum tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;

- Terhadap Putusan HUM, tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).

2. FORMIL

Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses
pembentukan yang telah diatur dalam UUD.

Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek yang diuji adalah materi
muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang.
Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD.

LEMBAGA YANG BERWENANG

IMPLEMENTASI DI INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai