Anda di halaman 1dari 7

Sukses dan 

Kecerdasan
Posted on April 12, 2007 by Arif Perdana

Oleh : Jansen H Sinamo


Kecerdasan secara umum dipahami pada dua tingkat.
Pertama, kecerdasan sebagai suatu kemampuan memahami
informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran.
Kedua, kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses
informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat
dipecahkan (problems solved) dan dengan demikian
pengetahuan pun bertambah.
Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi
kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan
efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas,
akan mampu memilih strategi pencapaian sasaran yang lebih
baik dari orang yang kurang cerdas. Artinya orang cerdas
mestinya lebih sukses dari orang yang kurang cerdas.
Yang sering membingungkan ialah kenyataan adanya orang
yang kelihatan tidak cerdas (sedikitnya di sekolah) ternyata
kemudian tampil sukses, bahkan lebih sukses dari
rekan-rekannya yang lebih cerdas, dan sebaliknya.
Sepuluh Elemen Sukses
Ada dua alasan mengapa hal di atas terjadi. Pertama, bahwa
kecerdasan memang bukan satu-satunya elemen sukses. John
Wareham (1992), umpamanya, mengatakan ada sepuluh
unsure pokok untuk menjadi eksekutif yang sukses yaitu:
(1) kemampuan menampilkan “persona” (topeng) diri yang
tepat,
(2) kemampuan mengelola energi diri yang baik,
(3) kejelasan dan kesehatan sistem nilai pribadi dan kontrak-
kontrak batin,
(4) kejelasan sasaran-sasaran hidup yang tersurat maupun
yang tersirat,
(5) kecerdasan yang memadai (dalam arti penalaran),
(6) adanya kebiasaaan kerja yang baik,
(7) keterampilan antarmanusia yang baik,
(8) kemampuan adaptasi dan kedewasaan emosional,
(9) pola kepribadian yang tepat dengan tuntutan pekerjaan, dan
(10) kesesuaian tahap dan arah kehidupan dengan espektasi
gaya hidup.
Dale Carnegie (1889-1955), bahkan tidak menyebutkan
kecerdasan secara eksplisit (dalam pengertian umum) sebagai
elemen keberhasilan. Ia mengatakan bahwa untuk
berhasil dibutuhkan sepuluh kualitas yaitu:
(1) rasa percaya diri yang berlandaskan konsep diri yang sehat,
(2) keterampilan berkomunikasi yang baik,
(3) keterampilan antarmanusia yang baik,
(4) kemampuan memimpin diri sendiri dan orang lain,
(5) sikap positif terhadap orang, kerja, dan diri sendiri,
(6) keterampilan menjual ide dan gagasan,
(7) kemampuan mengingat yang baik,
(8) kemampuan mengatasi masalah, stres, dan kekuatiran,
(9) antusiasme yang menyala-nyala, dan
(10) wawasan hidup yang luas.
Jadi jelaslah bahwa kecerdasan, yang biasanya diukur dengan
skala IQ, memang bukan elemen tunggal atau tiket menuju
sukses. Perlu dicatat di sini bahwa John Wareham
menyimpulkan hal di atas sesudah ia mewawancarai puluhan
ribu calon eksekutif dan mensuplai ribuan eksekutif ke banyak
perusahaan, dalam peranannya sebagai “head hunter”.
Dale Carnegie juga tiba pada kesimpulannya sesudah ia
mewawancarai banyak tokoh sukses kontemporer pada
jamannya dan sesudah membaca ribuan biografi dan
otobiografi orang-orang sukses dari segala macam lapangan
kehidupan.

Tujuh Macam Kecerdasan


Kedua, kecerdasan umumnya yang kita mengerti sangat
sempit, yaitu hanya berkaitan dengan daya ingat, logika, atau
penalaran. Dr. John Elliot, seorang profesor
pendidikan pada jurusan pengembangan (kecerdasan)
manusia dari Maryland University, dalam seminar pada bulan
April 1993 di Jakarta, membahas adanya tujuh macam
kecerdasan yaitu:
Kecerdasan Fisikal: Kecerdasan ini tampil dalam bentuk
kinerja (performance) fisik manusia, seperti pada diri atlet
umpamanya. Mereka yang unggul dalam kecerdasan
fisikal ini mampu mendayagunakan fisik mereka pada taraf
yang mengherankan pada orang-orang biasa. Olahragawan,
pelukis, pengukir, penulis indah, pemain sirkus, dan
penari adalah kelompok-kelompok manusia yang cerdas
fisiknya.

Kecerdasan Ruang-Waktu: Kecerdasan ini membuat


seseorang selalu sadar akan posisi relatifnya dalam koordinat
ruang-waktu. Orang yang tidak cerdas ruang, tetap bingung
akan jalan-jalan di Jakarta, walaupun sudah puluhan tahun
tinggal di Jakarta. Orang yang tersesat, yakni orang yang
mengalami disorientasi ruang, termasuk pula pada golongan
tak cerdas ruang. Sebaliknya pilot, nakhoda, penyelam,
penjelajah alam, pemain bulu tangkis, adalah orang-orang yang
memiliki kecerdasan ruang yang tinggi. Demikian juga
arsitek, insinyur, ahli geometri, fisikawan dan sejarawan.
Kecerdasan Penalaran: Inilah kecerdasan yang secara umum
dikenal luas sebagai kecerdasan. Orang ini mampu memahami
relasi antarbagian dalam realitas yang disadarinya dan karena
itu ia produktif membuat kesimpulan-kesimpulan.
Kecerdasan macam ini juga termasuk kemampuan berpikir
logis dan matematis.
Kecerdasan Verbal: Anak kecil yang sudah pandai berceloteh
dan memiliki vocabulary yang mengherankan pastilah cerdas
secara verbal. Orang-orang yang cari makan dengan
mengandalkan kepiawaian mulutnya, seperti guru, pengacara,
instruktur, orator, master of ceremony, penyiar radio,
komentator olahraga, termasuk penulis, reporter, dan
penyiar adalah golongan orang-orang cerdas verbal. Orang-
orang ini mampu mengekspresikan diri, pikiran, dan
perasaannya lewat rangkaian kata-kata.
Kecerdasan Sosial: Orang yang cerdas secara social seolah-
olah mampu membaca orang dengan akurat. Dan bias
mengetahui persis apa isi hati, suasana hati, dan keinginan
orang lain. Karena itu, ia dapat dengan mudah menyesuaikan
diri, mengambil hati, mempengaruhi, dan termasuk memimpin
orang lain. Konflik antarpribadi,
pertengkaran, ketakharmonisan hubungan, dan semacamnya,
banyak berpangkal pada ketakcerdasan sosial yang
bersangkutan.
Kecerdasan Musikal: Kecerdasan ini membuat seseorang
mampu memahami, menghayati, dan mengekspresikan nada,
irama, dan suara dalam bentuk musikal yang estetik. Musikus
dalam segala bentuknya, termasuk seniman pada umumnya,
tentulah
termasuk kaum cerdas musikal.
Kecerdasan Etis-Spiritual: Orang cerdas di bidang ini mampu
mengerti hal ikhwal spiritual. Tidak saja dalam pengertian
bahwa ia memahami dunia spiritual, tapi lebih
pada kemampuannya menampilkan sikap dan praktik hidup
yang harmonis dengan nilai-nilai fundamental yang secara
tajam diketahuinya. Hati nuraninya bening, suara batinnya
tajam, dan mata hatinya awas dalam membedakan apa yang
baik dari yang tidak baik, dan membedakan apa yang baik,
yang terbaik, dan yang sempurna. Orang yang unggul di
bidang ini pada akhirnya menampilkan diri sebagai pribadi yang
bijak bestari, penuh hikmat, agung, dan berwibawa.
Menurut Prof. Elliot, semua manusia memiliki ketujuh macam
kecerdasan ini dengan kombinasi kualitas yang berbeda dari
orang ke orang. Dengan demikian mudah dipahami adanya
kenyataan yang kita lihat seperti orang yang goblok ruang tapi
cerdas musikal, dosen jenius matematika tapi sontoloyo dalam
mengajar.
Di lain pihak kita juga dapat menjumpai orang multi cerdas:
pintar bergaul, jenius fisika, piawai main biola, luhur budi
pekerti, serta canggih dalam mengajar. Einstein konon
termasuk dalam kategori ini.
Jika kita bandingkan tujuh macam kecerdasan di atas dengan
sepuluh kunci sukses menurut Wareham dan Carnegie,
tampaklah bahwa banyak di antaranya merupakan fungsi dari
salah satu kecerdasan tersebut. Karena itu dapatlah
disimpulkan bahwa kecerdasan merupakan suatu elemen kunci
untuk berhasil, karena dengannya kita dimampukan untuk
mengenal teritori permainan, diri kita sendiri, mitra tanding kita,
aturan permainan, serta jebakan-jebakan pertandingan yang
lazim. Olehnya kita juga mampu menyusun strategi permainan
yang membawa kita kepada kemenangan
akhir. Namun tetap perlu kita catat, kecerdasan bukanlah
segalanya. Masih ada hal-hal lain yang bukan termasuk
kategori kecerdasan pada daftar Wareham dan Carnegie.

Petunjuk Meningkatkan Kecerdasan


Sebelum kita lihat beberapa cara untuk meningkatkan
kecerdasan yang tujuh macam tersebut, ada baiknya kita lihat
dahulu struktur kecerdasan tersebut yang terdiri
dari dua bagian:
Bagian pertama ialah informasi atau pengetahuan itu sendiri.
Ini kita peroleh melalui pengalaman dan pendidikan.
Bagian kedua ialah mengolah informasi, terdiri dari penalaran,
penilaian, dan kreativitas.
Mudah dipahami, memang sebagian kecerdasan, kita warisi
secara genetis. Warisan semacam ini umumnya kita sebut
sebagai bakat. Tetapi bagian terbesar dari kecerdasan
adalah hasil usaha. John Dewey mengatakan bahwa
kecerdasan bukanlah sesuatu yang kita miliki dan tak berubah
selamanya, melainkan kecerdasan adalah suatu proses
pembentukan yang berkesinambungan, dan untuk
mempertahankannya diperlukan semacam kewaspadaan untuk
mengamati kejadian-kejadian, keterbukaan untuk belajar,
dan keberanian untuk menyesuaikan diri.
Jadi untuk meningkatkan kecerdasan, kita perlu menambah
pengetahuan dan berlatih memproses pengetahuan itu lewat
kegiatan kreatif, kegiatan menalar, dan kegiatan
mengevaluasi atau menilai. Dari penjelasan yang sederhana ini
maka beberapa hal di
bawah ini akan menolong kita untuk meningkatkan kecerdasan
kita:
1. Mengadakan evaluasi diri.
Meneliti kekuatan dan kelemahan diri sendiri, tepatnya
menyusun peringkat kecerdasan kita, yang mana dari yang
tujuh tersebut paling kuat, kedua paling kuat, dan seterusnya.
2. Menetapkan cita-cita atau sasaran hidup.
Cita-cita yang jelas akan membangkitkan semangat dan
antusiasme. Cita-cita yang memikat bagi diri sendiri mampu
melahirkan daya juang. Semangat, antusiasme, dan daya
juang adalah tiga serangkai yang membuat kita produktif
belajar dengan demikian kecerdasan kita diasah. Dari sekian
banyak cita-cita, maka salah satunya ialah kita
harus mencita-citakan menjadi orang cerdas dan ingin dikenal
orang sebagi orang cerdas.
3. Membangun suatu kebiasaaan hidup cerdas
umpamanya membaca, berdiskusi, olah pikir, olah rasa, dan
olah raga.
4. Membangun sikap keterbukaan-kritis.
Sikap terbuka membuat kita mampu menerima ide-ide baru,
ilmu-ilmu baru, dan pengertian-pengertian baru. Tapi jangan
terlalu terbuka supaya kita masih mungkin membuat sintesa
dari pertemuan sejumlah ide-ide yang berlainan. Jadi kita juga
harus kritis, artinya mampu mempertanyakan apa saja yang
memasuki alam pikiran kita. Tapi jangan terlalu kritis yang
membuat kita jadi tertutup, kaku, dan merasa benar sendiri.
Yang pas adalah terbuka dan kritis.

5. Membangun suatu sikap belajar positif terhadap apapun


yang kita alami.
Pengalaman, kata Aldous Huxley, bukanlah peristiwa-peristiwa
yang menimpa kita, melainkan apa yang kita lakukan terhadap
peristiwa-peristiwa itu. Hanya dengan sikap belajar positif inilah
kita dapat bertambah cerdas sesudah mengalami suatu
peristiwa, yaitu pengalaman kita jadikan sebagai guru.
Pengalaman, katanya, adalah
guru terbaik.

6. Membangun sikap yang rendah hati.


Air selalu mengalir ke tempat yang rendah, demikian pula
hikmat dan pengetahuan mengalir menuju hati yang rendah.
Penutup
Saya harap, sesudah membaca artikel ini, Anda sekalian akan
bertambah cerdas. Bila Anda berhasil melihat ketaklengkapan
dan kekurangan artikel ini dan sekalian melengkapinya, berarti
Anda adalah orang yang sangat cerdas. Tapi bila Anda tidak
merasa dicerdaskan sedikitpun, itu berarti sayalah yang kurang
cerdas, sedikitnya kurang cerdas dalam hal penalaran dan
verbal. Doakanlah supaya saya tambah cerdas. Dengan
berbuat demikian, kecerdasan etis-spiritual Anda akan
ditingkatkan. Artinya upaya membaca artikel ini sama sekali tak
sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai