Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan
baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan
pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada
pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran",
jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan
judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi
tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media
massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi
sampah dan berselera rendah
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers
“kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran aratwannya, kekurangan yang paling
uatam adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis
ketermapilan menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan
umum, skill, dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan
partisipatif.
Memang aer reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa itu
kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum
sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers sendiri, sebab
secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.
BAB II PEMBAHASAN

Latar Belakang Pasca reformasi merupakan masa yang diharapkan dapat membangun

Indinesia kea rah yang lebih baik. Jatuhnya rezim Soeharto sepatutnya menjadi langkah awal

menuju perbaikan. Namun, setelah empat kali pergantian presiden pasca reformasi, serta

perubahan-peruabahan kebijakan yang dibuat belum memberikan sinyal abik bagi perubahan

Indonensia. Pelbagai masalah muncul pasca reformasi. Oleh sebab itu, agar dapat mengetahui

lebih apa yang terjadi pasca reformasi, penulis merumuskan dan membahas problematika yang

terjadi pasca reformasi serta sedikit kasusyang diperoleh dari sumber dan data yang didapat.

Rumusan Masalah Pada tahun 1998, Soeharto untuk pertama kalinya meletakkan jabatannya

setelah 32 tahun sukses dalam menduduki kursi “panas” Presiden. Peristiwa ini bersamaan

dengan krisis yang melanda Indonesia.

Kondisi demikian membuat masyarakat tidak lagi percaya dengan pemerntah.

Masyarakat mulai membuka pikiran setelah sebelumnya menjadi korban pemerintah yang

otoriter. Masyarakat mulai berani memberontak. Cacian, sindiran, bahkan aksi dorong-sorongan

di jalan menjadi makanan sehari-hari pemerintah saat itu. Masyarakat menyebut masa dimana

mereka bebas dan berhak menyatakan pendapatnya adalah masa reformasi. Dimulai oleh B.J

Habibie yang dilantik menjadi presiden baru reformasi. Sejumlah permasalahan yang sepatutnya

dibahas adalah : Apakah ysang telah dicapai dan apakah yang tidak berhasil pasca reformasi; dan

tantangan-tantangan internal dan eksternal manakah yang dihadapi Indonesia dalam

melaksanakan reformasi? Meski pemerintah orde baru pemerintahan otoriter telah digulingkan,

pemerintahan baru belum tentu berhasil memenuhi hak-hak warga. Reformasi memang ada

bagusnya, sebagai contoh adanya pemilihan umum dan pergantian presiden yang bebas dan adil.

Namun reformasi juga dapat menambah buruk keadaan pemerintah sewaktu periode orde baru,
bahkan membentuk masalah baru di berbagai sektor. Perubahan-perubahan ekonomi, poilitk, dan

sosial yang terjadi

setelah krisis tahun 1997, maupun dalam bidang desentralisasi, kebijakan persaingan dan

privatisasi telah banyak dikupas (Lindenthal, 2004). Bahkan hingga berganti empat presiden

pasca reformasi, Indonesia masih dalam keadaan degradasi yang cukup signifikan di berbagai

sektor. Pembahasan Dalam buku Melewati Perubahan yagng berisikan sekumpulan tulisan dalam

media Jawa Pos & Indopos, terdapat enam bahasan masalah pasca reformasi ng masing-masing

sub bahasannya terdiri sedikitnya 6-15 kasus pasca rerormasi mulai dari periode Habibie hingga

SBY.

Mari kita soroti melalui ekonomi. Menurut Kwik Kian Gie, ekonomi reformasi berubah

menjadi anarki, dan terjajah oleh kekuatan asing. Korupsi, sudah pasti. Internal maupun

eksternal, perekonomi Indonesia mengalami degradasi yang parah khususnya kasus korupsi dan

suap-menyuap. Sebut saja Akbar Tandjung, Jaksa Agung M.A Rahman, anggota-anggoa DPR.

Kasus korupsi ini biasanya dapat merembet ke berbagai elemen pemerintahan lain seperti kasus

yang terjadi pada DPRD Surabaya yaitu anggotanya seakan-akan memiliki ideologi yang sama

dalam mempraktikan korupsi. Anggota DPRD seakan-akan bersatu dan bergotong-royong dalam

“memperlancar” aksinya untuk korupsi. Berdasarkan laporan konferensi United Nations Support

Facilit for Indonesian Recovery, terjadi banyak perubahan mendasar pada sistem politik selama

reformasi diantaranya struktur politik telah berubah secara dramatis dari monopoli ke persaingan.

Ketika dibebaskan dalam berpartai, muncul partai-partai yang berjubel. Mulai dari partai

“sungguhan” hingga partai “bohong-bohongan”. Timbulnya partai-partai ini membuat kasus

sogok-menyogok menjadi kemakluman. Peran militer juga telah berubah dengan cara

mengherankan. Masyarakat sipil dan pers pun banyak lebih bersemangat.


Terbukti bahwa media elektronik semacam TV lebih banyak berpengaruh. RUU tentang

penyiaran banyak mengalami revisi. Bahkan, terlalu bebas, budaya kesopanan Indonesia sudah

tidak lagi menjadi prioritas, demikian juga dengan pendidikan. TV lebih banyak menyorot

budaya luar negeri yang notabene terlalu bebas, tidak ada unsur pendidikan.

DPR seakan susah untuk mengendalikan politik TV dan Radio yangdinilai terlalu bebas.

Lebih parah, menurut Lembaga Survei Indonesia, kabar terakhir mengenai problematika pasca

reformasi ialah merosotnya popularitas Presiden hingga 50%. Masyarakat benar-benar

kehilangan kepercayaannnya kepada Presiden, sang pemipin negara Sektor pertahanan keamanan

pasca reformasi juga mengalami penurunan. kurangnya kesadaran dan kerjasama dari semua

pihak. menurut Yudhoyono (2004), tindakan hukum tidak jarang didiskreditkan bahkan dijadikan

komoditas politik.

Hingga pemilihan Presiden keempat pasca reformasi pun, hukum di Indonesia masih

didiskreditan. Bukan hanya itu, konflik internal menjadi salah satu problematika dalam

pertahanan keamanan. Seperti yang terjadi di Aceh dan Poso. Perpecahan makin meluas.

Pertama di Ambon, Poso. Perpecahan antar Muslin dan Kristen yang semula hidup

berdampingan secara damai. Hingga pemerintah memutuskan untuk Darurat militer di Poso.

Begitu pula yang terjadi di Aceh. Sebagian masyarakat menginginkan kebebasan dari NKRI.

Namun, meski pemerintah mengirimkan pasukannya ke daerah tersebut, penyelesaian kasus

tersebut belum terpecahkan. Poso masih bergolak, begitu pula dengan GAM di Aceh.

Reformasi yang bertujuan untuk mensejahterakan bangsa, realitasnya hingga kini bangsa

Indonesia dililit berbagai masalah seperti yang disebutkan sebelumnya. Mulai dari masalah

persatuan bangsa yang sudah kacau seperti kasus Ambon dan Poso, hingga masalah eksternal

Indonesia seperti banyaknya investor menarik sahamnya dari Indonesia. namun, di sisi lain,
eksplorasi sumber daya alam milik Indonesia dilakukan besar-besaran oleh pihak luar, seperti

kasus Freeport di Papua. Nampaknya, masa pasca reformasi belum dapat memulihkan kondisi

Indonesia yang mengalami penurunan kualitas di berbagai sektor. Mungkinkah akan adanya

reformasi jilid 2?

Setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998, muncul harapan kuat akan munculnya sebuah

pemerintahan dengan tata kelola yang baik. Namun, kekecewaan terhadap kenyataan yang

terjadi, setelah reformasi berlangsung sembilan tahun, memunculkan pertanyaan apakah

ekspektasi rakyat memang terlalu tinggi atau memang terjadi kesalahan mendasar dalam sistem

pemerintahan kita.Masalah tersebut menjadi fokus peluncuran buku Indonesia-Democracy and

the Promise of Good Governance di Centre for Strategic and International Studies (CSIS),

Jakarta, Rabu (27/6). Editor buku, Ross H McLeod, yang juga associate professor dari Australian

National University, menyebutkan ada kebenaran menyakitkan (inconvenient truth) di era

pascareformasi, yaitu kenyataan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh secara cepat dan

konsisten selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru.

Dengan kata lain, kehidupan rakyat secara umum lebih baik pada masa kepemimpinan

Soeharto, terlepas dari fakta-fakta bahwa keluarga dan kroni Soeharto memiliki kekayaan yang

luar biasa besar, sementara mereka yang beroposisi terhadap rezim Soeharto langsung ditindas.

Apa yang salah dengan proses reformasi di Indonesia?

Dalam bukunya, McLeod mengatakan, tantangan bagi masyarakat adalah bagaimana

mendesain sebuah sistem pemerintahan yang bisa menjamin bahwa kepentingan seluruh

masyarakat bisa didahulukan secara efektif, sedangkan interes pribadi pihak-pihak yang berada

dalam pemerintahan bisa diawasi. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik (good
governan. ee), yaitu terbangun sebuah mekanisme sampai ke level terbawah, di mana mereka

yang diberi otoritas bisa menjalankan mandat dari pihak yang telah memberinya

kepercayaan.Masalahnya, persoalan good governance ini luput dari perhatian di tahun 1998

ketika masyarakat dilanda eforia merayakan kejatuhan Soeharto. Soal "keefektifan

pemerintahan" menjadi kalah penting dibandingkan dengan hasrat untuk mencegah agar

kekuasaan presiden seperti yang dipertontonkan Soeharto tak terulang lagi dalam sejarah

Indonesia.

Reformasi birokrasi Salah satu unsur penting dalam menciptakan good governance

adalah dengan mereformasi birokrasi (civil service). Ini merupakan tantangan yang besar bagi

Indonesia yang mewarisi institusi kepegawaian negeri yang masif, serba kekurangan dana, dan

kurang profesional.Menurut Staffan Synnerstrom dari Bank Pembangunan Asia, ada dua faktor

kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan

memperkuat akuntabilitas. Khusus Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeridi

luar militer dan polisiproses ini hanya bisa dilakukan secara gradual.

Salah satu hal yang disorot Synnerstrom adalah tradisi di Indonesia yang memisahkan

antara penyusunan kebijakan (policy making) dan penyusunan anggaran (budgeting). Juga,

pemilahan anggaran menjadi "anggaran pembangunan" dan "anggaran rutin". Tradisi ini

membawa sejumlah kelemahan. Pertama, perubahan kebijakan, standar kinerja, pengeluaran,

diatur melalui jalur administratif, tanpa terkait dengan anggaran, sehingga implementasi

kebijakan sering tak sesuai dengan perencanaan.Kedua, penyusunan anggaran di departemen

umumnya disusun berdasarkan "formula yang kaku". Dengan demikian, untuk sebagian besar
institusi, dana yang diterima sangat tidak mencukupi, tetapi ada juga sebagian kecil institusi yang

memperoleh anggaran yang sangat besar.

Ketiga, Departemen Keuangan tidak memiliki kontrol terhadap anggaran karena sudah

ditetapkan berdasarkan "formula yang kaku".Selain birokrasi, partai politik juga memegang

peranan sangat penting dalam sistem politik yang demokratis. Menurut Ben Reilly, Direktur

Centre for Democratic Institutions di Australian National University, apa yang terjadi dalam

dunia kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia sehaluan dengan tren yang terjadi di kawasan

Asia Pasifik.

Legislasi yang menyangkut kepartaian di Indonesia umumnya menggiring partai untuk

tampil di tingkat "nasional". Hal ini diyakini untuk mencegah munculnya perpecahan kelompok

etnis ataupun regional di masyarakat. Karena, itu, sebuah partai diharuskan memiliki perwakilan

yang layak di seluruh Indonesia.Hanya saja di sini perlu kehati-hatian, karena bila kelompok-

kelompok etnis atau agama ,tak mampu bersaing melalui cara-cara demokratis, dikhawatirkan

mereka akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuannya.


KESIMPULAN

Reformasi yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat pasca orde baru pada kenyataannya

justru sebaliknya. Pasca reformasi pun ternyata hingga pemerintahan sekarang, tetap terjadi

penurunan kualitas di bidang sosial, budaya, politi, pertahanan dan keamanan sebagaimana

reformasi dahulu. Problematika terjadi baik di internal maupun eksternal. Semua pihak, mulai

dari masyarakat hingga pemerintah punya andil besar dalam problematika yang terjadi selama

kuran glebih tiga setengah decade ini.


DAFTAR PUSTAKA

J. A, Denny, ed. 2006. Melewati Perubahan: Sebuah catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia

(Kumpulan Tulisan di Jawa Pos & Indopos). LKIS. Yogyakarta.

Lindenthal, Roland, ed. 2004. Pelajaran dari Transisi Indonesia: Menyiapkan Agenda Reformasi

Masa Depan(Laporan Konferensi). UNSFIR.

Anda mungkin juga menyukai