Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan
baru. Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan
pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada
pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran",
jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan
judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks. Tetapi
tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media
massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang menyajikan informasi
sampah dan berselera rendah
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers
“kebablasan” adalah karena kurang profesionalnya jajaran aratwannya, kekurangan yang paling
uatam adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis
ketermapilan menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan
umum, skill, dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan
partisipatif.
Memang aer reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa itu
kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum
sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan pers sendiri, sebab
secara tidak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.
BAB II PEMBAHASAN
Latar Belakang Pasca reformasi merupakan masa yang diharapkan dapat membangun
Indinesia kea rah yang lebih baik. Jatuhnya rezim Soeharto sepatutnya menjadi langkah awal
menuju perbaikan. Namun, setelah empat kali pergantian presiden pasca reformasi, serta
perubahan-peruabahan kebijakan yang dibuat belum memberikan sinyal abik bagi perubahan
Indonensia. Pelbagai masalah muncul pasca reformasi. Oleh sebab itu, agar dapat mengetahui
lebih apa yang terjadi pasca reformasi, penulis merumuskan dan membahas problematika yang
terjadi pasca reformasi serta sedikit kasusyang diperoleh dari sumber dan data yang didapat.
Rumusan Masalah Pada tahun 1998, Soeharto untuk pertama kalinya meletakkan jabatannya
setelah 32 tahun sukses dalam menduduki kursi “panas” Presiden. Peristiwa ini bersamaan
Masyarakat mulai membuka pikiran setelah sebelumnya menjadi korban pemerintah yang
otoriter. Masyarakat mulai berani memberontak. Cacian, sindiran, bahkan aksi dorong-sorongan
di jalan menjadi makanan sehari-hari pemerintah saat itu. Masyarakat menyebut masa dimana
mereka bebas dan berhak menyatakan pendapatnya adalah masa reformasi. Dimulai oleh B.J
Habibie yang dilantik menjadi presiden baru reformasi. Sejumlah permasalahan yang sepatutnya
dibahas adalah : Apakah ysang telah dicapai dan apakah yang tidak berhasil pasca reformasi; dan
melaksanakan reformasi? Meski pemerintah orde baru pemerintahan otoriter telah digulingkan,
pemerintahan baru belum tentu berhasil memenuhi hak-hak warga. Reformasi memang ada
bagusnya, sebagai contoh adanya pemilihan umum dan pergantian presiden yang bebas dan adil.
Namun reformasi juga dapat menambah buruk keadaan pemerintah sewaktu periode orde baru,
bahkan membentuk masalah baru di berbagai sektor. Perubahan-perubahan ekonomi, poilitk, dan
setelah krisis tahun 1997, maupun dalam bidang desentralisasi, kebijakan persaingan dan
privatisasi telah banyak dikupas (Lindenthal, 2004). Bahkan hingga berganti empat presiden
pasca reformasi, Indonesia masih dalam keadaan degradasi yang cukup signifikan di berbagai
sektor. Pembahasan Dalam buku Melewati Perubahan yagng berisikan sekumpulan tulisan dalam
media Jawa Pos & Indopos, terdapat enam bahasan masalah pasca reformasi ng masing-masing
sub bahasannya terdiri sedikitnya 6-15 kasus pasca rerormasi mulai dari periode Habibie hingga
SBY.
Mari kita soroti melalui ekonomi. Menurut Kwik Kian Gie, ekonomi reformasi berubah
menjadi anarki, dan terjajah oleh kekuatan asing. Korupsi, sudah pasti. Internal maupun
eksternal, perekonomi Indonesia mengalami degradasi yang parah khususnya kasus korupsi dan
suap-menyuap. Sebut saja Akbar Tandjung, Jaksa Agung M.A Rahman, anggota-anggoa DPR.
Kasus korupsi ini biasanya dapat merembet ke berbagai elemen pemerintahan lain seperti kasus
yang terjadi pada DPRD Surabaya yaitu anggotanya seakan-akan memiliki ideologi yang sama
dalam mempraktikan korupsi. Anggota DPRD seakan-akan bersatu dan bergotong-royong dalam
“memperlancar” aksinya untuk korupsi. Berdasarkan laporan konferensi United Nations Support
Facilit for Indonesian Recovery, terjadi banyak perubahan mendasar pada sistem politik selama
reformasi diantaranya struktur politik telah berubah secara dramatis dari monopoli ke persaingan.
Ketika dibebaskan dalam berpartai, muncul partai-partai yang berjubel. Mulai dari partai
sogok-menyogok menjadi kemakluman. Peran militer juga telah berubah dengan cara
penyiaran banyak mengalami revisi. Bahkan, terlalu bebas, budaya kesopanan Indonesia sudah
tidak lagi menjadi prioritas, demikian juga dengan pendidikan. TV lebih banyak menyorot
budaya luar negeri yang notabene terlalu bebas, tidak ada unsur pendidikan.
DPR seakan susah untuk mengendalikan politik TV dan Radio yangdinilai terlalu bebas.
Lebih parah, menurut Lembaga Survei Indonesia, kabar terakhir mengenai problematika pasca
kehilangan kepercayaannnya kepada Presiden, sang pemipin negara Sektor pertahanan keamanan
pasca reformasi juga mengalami penurunan. kurangnya kesadaran dan kerjasama dari semua
pihak. menurut Yudhoyono (2004), tindakan hukum tidak jarang didiskreditkan bahkan dijadikan
komoditas politik.
Hingga pemilihan Presiden keempat pasca reformasi pun, hukum di Indonesia masih
didiskreditan. Bukan hanya itu, konflik internal menjadi salah satu problematika dalam
pertahanan keamanan. Seperti yang terjadi di Aceh dan Poso. Perpecahan makin meluas.
Pertama di Ambon, Poso. Perpecahan antar Muslin dan Kristen yang semula hidup
berdampingan secara damai. Hingga pemerintah memutuskan untuk Darurat militer di Poso.
Begitu pula yang terjadi di Aceh. Sebagian masyarakat menginginkan kebebasan dari NKRI.
tersebut belum terpecahkan. Poso masih bergolak, begitu pula dengan GAM di Aceh.
Reformasi yang bertujuan untuk mensejahterakan bangsa, realitasnya hingga kini bangsa
Indonesia dililit berbagai masalah seperti yang disebutkan sebelumnya. Mulai dari masalah
persatuan bangsa yang sudah kacau seperti kasus Ambon dan Poso, hingga masalah eksternal
Indonesia seperti banyaknya investor menarik sahamnya dari Indonesia. namun, di sisi lain,
eksplorasi sumber daya alam milik Indonesia dilakukan besar-besaran oleh pihak luar, seperti
kasus Freeport di Papua. Nampaknya, masa pasca reformasi belum dapat memulihkan kondisi
Indonesia yang mengalami penurunan kualitas di berbagai sektor. Mungkinkah akan adanya
reformasi jilid 2?
Setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998, muncul harapan kuat akan munculnya sebuah
pemerintahan dengan tata kelola yang baik. Namun, kekecewaan terhadap kenyataan yang
ekspektasi rakyat memang terlalu tinggi atau memang terjadi kesalahan mendasar dalam sistem
the Promise of Good Governance di Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
Jakarta, Rabu (27/6). Editor buku, Ross H McLeod, yang juga associate professor dari Australian
pascareformasi, yaitu kenyataan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh secara cepat dan
Dengan kata lain, kehidupan rakyat secara umum lebih baik pada masa kepemimpinan
Soeharto, terlepas dari fakta-fakta bahwa keluarga dan kroni Soeharto memiliki kekayaan yang
luar biasa besar, sementara mereka yang beroposisi terhadap rezim Soeharto langsung ditindas.
mendesain sebuah sistem pemerintahan yang bisa menjamin bahwa kepentingan seluruh
masyarakat bisa didahulukan secara efektif, sedangkan interes pribadi pihak-pihak yang berada
dalam pemerintahan bisa diawasi. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik (good
governan. ee), yaitu terbangun sebuah mekanisme sampai ke level terbawah, di mana mereka
yang diberi otoritas bisa menjalankan mandat dari pihak yang telah memberinya
kepercayaan.Masalahnya, persoalan good governance ini luput dari perhatian di tahun 1998
pemerintahan" menjadi kalah penting dibandingkan dengan hasrat untuk mencegah agar
kekuasaan presiden seperti yang dipertontonkan Soeharto tak terulang lagi dalam sejarah
Indonesia.
Reformasi birokrasi Salah satu unsur penting dalam menciptakan good governance
adalah dengan mereformasi birokrasi (civil service). Ini merupakan tantangan yang besar bagi
Indonesia yang mewarisi institusi kepegawaian negeri yang masif, serba kekurangan dana, dan
kurang profesional.Menurut Staffan Synnerstrom dari Bank Pembangunan Asia, ada dua faktor
kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan
memperkuat akuntabilitas. Khusus Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeridi
luar militer dan polisiproses ini hanya bisa dilakukan secara gradual.
Salah satu hal yang disorot Synnerstrom adalah tradisi di Indonesia yang memisahkan
antara penyusunan kebijakan (policy making) dan penyusunan anggaran (budgeting). Juga,
pemilahan anggaran menjadi "anggaran pembangunan" dan "anggaran rutin". Tradisi ini
diatur melalui jalur administratif, tanpa terkait dengan anggaran, sehingga implementasi
umumnya disusun berdasarkan "formula yang kaku". Dengan demikian, untuk sebagian besar
institusi, dana yang diterima sangat tidak mencukupi, tetapi ada juga sebagian kecil institusi yang
Ketiga, Departemen Keuangan tidak memiliki kontrol terhadap anggaran karena sudah
ditetapkan berdasarkan "formula yang kaku".Selain birokrasi, partai politik juga memegang
peranan sangat penting dalam sistem politik yang demokratis. Menurut Ben Reilly, Direktur
Centre for Democratic Institutions di Australian National University, apa yang terjadi dalam
dunia kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia sehaluan dengan tren yang terjadi di kawasan
Asia Pasifik.
tampil di tingkat "nasional". Hal ini diyakini untuk mencegah munculnya perpecahan kelompok
etnis ataupun regional di masyarakat. Karena, itu, sebuah partai diharuskan memiliki perwakilan
yang layak di seluruh Indonesia.Hanya saja di sini perlu kehati-hatian, karena bila kelompok-
kelompok etnis atau agama ,tak mampu bersaing melalui cara-cara demokratis, dikhawatirkan
Reformasi yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat pasca orde baru pada kenyataannya
justru sebaliknya. Pasca reformasi pun ternyata hingga pemerintahan sekarang, tetap terjadi
penurunan kualitas di bidang sosial, budaya, politi, pertahanan dan keamanan sebagaimana
reformasi dahulu. Problematika terjadi baik di internal maupun eksternal. Semua pihak, mulai
dari masyarakat hingga pemerintah punya andil besar dalam problematika yang terjadi selama
J. A, Denny, ed. 2006. Melewati Perubahan: Sebuah catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia
Lindenthal, Roland, ed. 2004. Pelajaran dari Transisi Indonesia: Menyiapkan Agenda Reformasi