PIDATO PENGUKUHAN
20 Maret 2004
DAFTAR ISI
I. Pengantar .............................................................................
I. Pengantar
Kajian Islam dan dunia Barat yang dulu sering dikenal dengan
istilah Orientalisme1 dan kemudian dicounter oleh Hassan Hanafi
dengan Oksidentalisme, dewasa ini sangat sedikit memperoleh
perhatian baik oleh dunia Islam maupun dunia Barat itu sendiri.
Apalagi penggagas dan pembongkar hegemoni imaginasi dunia Barat
atas dunia Timur, Edward Said, dengan magnum opusnya Orientalism
itu, belum lama ini di penghujung tahun 2003 telah meninggalkan kita
semua untuk menghadap Sang Pencipta untuk selamanya, seakan
semakin mempersulit wilayah tidak bertuan ini.
Karya-karya yang do justice, objektif terhadap dialog Islam-Barat
bisa dihitung jari. Di antaranya adalah Muslims and The West (2000)
oleh Mahboob A. Khawaja, intelektual India; Teologi Dialog Islam-
Barat: Pergumulan Muslim Eropa (1999) merupakan refleksi intelektual
Muslim yang bergelut dengan kehidupan sosial-keagamaan di Eropa
oleh Tariq Ramadan, cucu Hassan al-Banna tetapi keluar dari
1
Edward Said dalam, Orientalism, memberi definisi salah satu makna
Orientalisme adalah a Western Style for dominating, restructuring, and having
authority over the Orient. (Massachusetts: 1997), hal.3
mainstream pemikiran sang kakek yang kini menjadi penduduk dan
profesor di Perancis; Europe and Islam (1985) kajian kreatifnya
Hichem Djait; Orientalism, Islam, and Islamicisit (1984) dengan editor
Asaf Hussein, Robert Olson sebuah bunga rampai tulisan intelektual
Muslim dan sarjana Barat.
Risalah pengukuhan profesor ini merupakan upaya penerusan
dan pengembangan tradisi Intelektual Muslim yang mencoba
mendialogkan kearifan dunia Timur dan kreatifitas dunia Barat. Sisi
buruk kontak dua dunia yang berbeda ini, dari perang Salib sampai
kesewenang-wenangan George W. Bush, sengaja tidak akan dibahas
karena sudah menjadi rahasia umum.
Dialog pada era globalisasi abad 21 ini adalah sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dihindari karena dialog merupakan
kemauan menerima the others, mendengar dengan tulus, dan berakhir
dengan mutual learning. Dalam proses dialog ini, dunia Islam-Barat
harus diposisikan sejajar, tidak ada yang merasa lebih dimuliakan
sebagai sebuah peradaban. Stereotyping, bias, apriori juga harus
dihindari. Sebaliknya dialog harus lebih menekankan deskripsi dan
interpretasi kritis sebuah fenomena secara objektif dengan dilandasi
spirit of learning, semangat saling belajar. Dalam bahasa intelektual
Muslim India, Ali Engineer sebagai berikut:
Globalization leads to much increased shifting of population and
migration. Thus diversity increases and people of different
religions and cultures live together. If there is no dialogue among
themselves or they emphasize da'wah in place of dialogue it
would lead tension, strife and conflict. And social tension would
disturb social stability. It is therefore necessary to promote the
spirit of dialogue among people of different faiths. 2
(Globalisasi membawa terlalu banyak bertambahnya
perpindahan penduduk dan migrasi. Jadi keragaman mendorong
banyak manusia dari berbagai agama dan budaya untuk hidup
bersama. Jika tidak ada dialog di antara mereka atau mereka
lebih menekankan da'wah mengalahkan dialog, pasti akan terjadi
ketegangan, permusuhan dan konflik. Serta tensi sosial akan
mengganggu stabilitas sosial. Oleh karena itu perlulah kiranya
2
Asghfar Ali Engineer, “Da’wah or Dialogue?”, Ihya’ Ulumal-Din, International
Journal, Vol.4 No. I, July 2002, hal. 53-60.
mendorong semangat dialog antara umat manusia lintas agama.
Wacana dan literatur yang ada tentang hubungan Islam-Barat
pada umumnya dihiasi dengan kebencian, permusuhan, pertikaian,
pertempuran, konflik, kolonialisasi serta pertumpahan darah3. Jika
umat Islam selalu memiliki collective memory menghubungkan dunia
Barat dengan perang Salib pada abad pertengahan, dunia Barat selalu
mengasosiasikan Islam dengan jihad. Bahkan apa yang dilakukan oleh
George W. Bush terhadap Afghanistan, Iraq juga sering dipandang
sebagai kelanjutan perang Salib. Demikian juga dunia Barat
memandang figur-figur semacam Usamah bin Laden sebagai
representasi dunia Islam yang menyebarkan Jihad melawan dunia
Barat.
Memandang Barat hanya sebatas fenomena Bush adalah satu
penyederhanaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,
oversimplification. Sementara melihat Islam hanya dengan kata Jihad
dengan mendistorsikan substansinya adalah satu kepicikan. Kata
Jihad itu sendiri sangat disalahfahami oleh dunia Barat baik dalam
wacana politik, publik maupun academic discourse. Tapi juga tidak
sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa "jihad" identik dengan
perang. Karena faham ini sering terlontarkan dari mimbar ke mimbar,
ilmuwan dan media Barat sering mengidentikkan "jihad" dengan
kekerasan, violence. Fenomena inilah yang mendorong pemerintah AS
pasca 11 September 2001 untuk memasang spionasi kamera di
beberapa masjid, dan Islamic center di AS. Apalagi "Jihad" ini
dihubungkan dengan upaya garis keras umat Islam Timur Tengah
melawan hegemoni Barat dan kebrutalan penguasa Israel. Fenomena
ini menjadikan image Islam di mata dunia Barat menjadi sah untuk
dipandang sebagai "agama Jihad" atau "agama kekerasan."
Belum lagi peristiwa-peristiwa kerusuhan dan kekerasan di
Indonesia mulai dari peristiwa Tasik, Situbondo, Pekalongan, Jepara,
Aceh, Maluku, Timor-Timur, dan Mataram, serta pengeboman gereja
di berbagai lokasi yang menjadikan penduduk minoritas Indonesia
tidak aman dan tidak nyaman. Ini semua jelas telah membawa daftar
panjang yang semakin memperkuat kesan dan stereotype dunia Barat
3
Resensi yang menunjukkan permusuhan itu diantaranya adalah Robert
Fernea and James Malarkey (1975).
atas dunia Islam4.
Sebetulnya kasus-kasus kekerasan di Indonesia dan di Timur
Tengah jika diteliti lebih cermat belum sebanding dengan warna Islam
itu sendiri yang penuh dengan kedamaian. Artinya wajah Islam dan
dunia Islam secara umum tetap lebih dominan menampakkan
panorama peace dari pada violence. Bahkan bisa diteorikan, jika
sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim maka non-Muslim di
negara tersebut pasti aman, terlindungi hak-haknya dan dijamin
kedamaian kehidupan sosio-relijius mereka.
Mainstream dunia Islam: Sunni, sebetulnya dalam realitas
historis, selamat dari faham fundamentalisme dan terrorisme. Ciri-ciri
Sunni dibawah diperoleh dari hasil studi historiografis sarjana Barat
sejak abad sembilan belas sampai kini. Yakni Dari Gibbon, Goldziher
sampai ke contemporary scholars tahun 1990an. Mereka
berpandangan bahwa Sunni yang merupakan mayoritas Muslim world,
world, tidak fundamentalis dan tidak teroris itu ditandai dengan:
1. Tidak memberontak terhadap sistem pemerintahan yang mapan.
2. Rigiditas, ketangguhannya dalam mempertahankan kesatuan
melawan segala bentuk disintegrasi dan kekacauan.
3. Lebih mengutamakan konsep jama'ah, majority, dan supremasi
Sunnah hingga lebih pas disebut sebagai Ahlussunah wal
Jama'ah.
4. Memiliki sikap jalan tengah, wasitah, middle of the road, antara
teologi dan politik yang ekstrim (khawarij) dan syi'ah.
5. Lebih menampakkan diri sebagai "a normative society," kaum
normatif, dengan berdiri tegak mempertahankan prinsip kebebasan
spiritual dan menegakkan etika standar dan syari’ah.5
Dunia Barat telah termakan image bahwa orang-orang Arab
melakukan serangan kecil terhadap Israel serta pendukung-
4
Meskipun sudah dibubarkan, paling tidak di Indonesia pernah eksis Laskar
Jihad, sebuah gerakan yang ditakuti khususnya oleh turis Mancanegara karena
gerakan sweeping mereka. Bahkan di beberapa pondok modern di Jateng ada juga
kelompok Laskar Santri, yang diakui atau tidak merupakan prototype Laskar Jihad.
5
Hasil penelitian individual untuk mata kuliah historigrafi Islam di bawah
bimbingan Prof. Michael Morony dengan topik paper pribadi “Sunnism in the Eyes of
Modern Scholars”, UCLA, AS 1993.
pendukung AS. Masa bodoh terhadap apa yang terjadi di Timur
Tengah, mereka, khususnya media AS, gagal memahami bahwa
terorisme Arab sesungguhnya merupakan reaksi terhadap terorisme
Israel - yakni apa yang mereka lakukan ethnic cleansing of Palestine,
agressi mereka terhadap tetangganya, serta penempatan mereka
secara brutal di West Bank jalur Gaza. 6 Kesimpulan ilmuwan AS yang
"jujur" berbunyi:
Morally, most persons believe that violence is justified in order to
end violent oppression. This is the case in Palestine.7
Secara moral kebanyakan orang percaya bahwa kekerasan bisa
dibenarkan dalam rangka mengakhiri penindasan dalam bentuk
kekerasan.
Prof. Ronald Alan Lukens-BulI, kolega penulis dari UNF, AS, juga
menyuarakan hal yang sama: it seems to me that US policy is morally
and politically undefensible.8
Arogansi AS yang dipertontonkan diatas bumi akhir-akhir ini,
semakin mempersulit tugas-tugas kemanusiaan di masa depan.
Hubungan Islam-Barat semakin diliputi kabut tebal akibat ulah negara
adikuasa yang mencoba menyaingi kuasa Tuhan. Selama ini salah
faham, stereotyping, berdasarkan etnisitas Timur dan Barat telah
dikikis sedikit demi sedikit oleh kaum bijak bangsa-bangsa khususnya
oleh kaum akademisi, budayawan, dan cendikiawan. Pertukaran
budaya, pemikiran, informasi, serta pengetahuan yang berada dalam
wilayah pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding) kini
berada dalam situasi mission impossible, sesuatu yang hampir-hampir
mustahil tercapai. Kegagalan dunia menyetop arogansi AS di Irag,
adalah kegagalan demokrasi, akal sehat serta kemanusiaan. Paslah
6
Surat terbuka berbahasa Inggris dari warga negara AS terhadap kongress dan
pemerintahnya baru-baru ini: Sumber email : hlinder1@yahoo.com. Lengkap bunyinya
adalah : Americans have been assaulted for years by images of Arabs committing
small scale attacks against Israelis and their American supporters. Ignorant of the
history of region, they fail to understand that Arab terrorism has been a reaction to
Israeli terrorism-its, its aggressions against its neighbors, and it brutal occupation of
the West Bank and Gaza. There were no Arab terrorist attacks against Westerners
before the Zionist began to implement their plan of conquering Palestine.
7
Ibid.
8
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Gama
Media:November 2003) hal. 38.
kiranya jika para akademisi AS memberi cap pemimpinnya sebagai
insan yang insane, tidak waras. Sambil menunggu uluran tangan dari
Tuhan, dalam keadaan seburuk apapun, manusia harus tetap
menyuarakan dan mengusahakan keadilan, kebenaran, serta
kedamaian di atas burru ini. Tanpa self-assertive dan affirmative action
semacam ini dalam rangka penegakan keadilan, manusia
sesungguhnya tidak akan eksis secara bermakna menjadi penduduk
bumi ini.
Dewasa ini peradaban dunia yang berada dibawah cengkraman
hegemoni AS belum menunjukkan tanda-tanda yang beradab.
Hubungan antara yang kuat dan yang lemah masih klise digambarkan
sebagai survival of the fittest, hukum rimba. Jahiliyyah moderen
agaknya masih menandai peradaban moderen. Renungan
kontemplatif guru kedua dalam dunia Filsafat, al-Farabi, dalam
karyanya the Virtuous City atau al-Madinah al-Fadilah agaknya lebih
memudahkan kita memahami fenomena moderen tapi dihiasi dengan
mentalitas jahiliyyah. Filosuf abad sepuluh itu yang meninggal 950 M.
mengingatkan pada masyarakat dunia agar menjauhi peradaban yang
tidak ideal dengan ciri-ciri 1) indispensable, peradaban yang lebih
mengedepankan subsistence atau pertahanan hidup, pencarian
nafkah sebagai tujuan utama dengan orientasi perut 2) vile, peradaban
yang dipenuhi dengan iklim penumpukan kekayaan, keserakahan
materialisme yang berlebihan. 3) base, peradaban yang penuh dengan
hiburan dan petualangan sensasional, dengan ornamen nafsu syahwat
dan mesum, semisal jual pinggul dan bokong menjadi idola
masyarakat 4) timocratic, yang bertujuan popularitas dan kehormatan
dewasa ini bukan selebritis yang haus ketenaran, menjadi orang
populer agaknya sudah mewabah di mana-mana 5) tyranni-cal,
dimana kekuasaan dan dominasi serta penindasan terhadap kelompok
lain menjadi tujuan utama, dan 6) semu demokratis yang tidak memiliki
tujuan bersama dan setiap penduduknya mencari dan berbuat
sekehendak mereka (baca chaos : penuh dengan musim penjarahan).9
Di tengah gelap gulitanya peradaban dunia saat ini, di mana ciri-
ciri jahiliyah itu tidak hanya menimpa negara adikuasa, tapi agaknya
juga turut mewarnai kebudayaan negeri ini, layak dipertimbangkan
ulang ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw. yang telah diakui dalam
sejarah sebagai salah satu pemimpin terbesar dunia yang lahir di
9
Majid Fakhry, History of Islamic Philosophy, (New York : 1983), hal. 107-128.
Mekkah 570 (M.) dan meninggal 632 (M). Memang tokoh-tokoh yang
lebih mendahulukan kedamaian seperti Nabi Muhammad dan
Mahatma Gandhi, juga Mother Teresia, peraih hadiah nobel
kedamaian 1979, harus lebih banyak dicermati dan disosialisasi dalam
melihat dunia yang penuh dengan kebencian, kemarahan, kekerasan,
terrorisme serta ketidakadilan ini. Yang tidak kalah penting lagi adalah
melakukan flash back dalam rangka memperoleh wisdom of the past
untuk memantapkan langkah kini dan ke depan. Khususnya/7as/i back
mengenai hubungan dan dialog Islam-Barat yang pernah terjadi dan
saling menguntungkan kedua belah pihak (mutual benefit). Dialog
semacam ini juga tidak memperoleh perhatian yang memadai atau
hampir-hampir terhapus dalam rekaman sejarah peradaban bangsa-
bangsa.
Ketertarikan pemakalah terhadap subjek dialog Islam-Barat
sudah terbukti dalam perjalanan akademik pemakalah untuk
menempuh gelar S2-S3 di negeri Barat selama tujuh (7) tahun 1990-
1997 dan enam bulan untuk Posdoct 2001-2002. Selama ini salah satu
kelas favorit pemakalah adalah Cross Culture Understanding (CCU) di
Sl, dan Islam and the West untuk Pasca Sarjana. Tujuan penulisan
risalah ini pada dasarnya tidak berbeda dengan tujuan utama subjek
Islam and the West yang meliputi.
1. to bridge the gap between the Muslim world and Western
Civilization. to bridge the two worlds here is to acquire a better
mutual understanding, especially on how the West interacts with
the Muslim world. (menjembatani gap dunia Islam dengan dunia
Barat. Untuk menjembatani dua dunia di sini adalah untuk
memperoleh saling memahami yang lebih baik, khususnya
bagaimana dunia Barat berinteraksi dengan dunia Islam)
2. to compare between Islamic and Western thoughts objectively
and critically. By having this comparison, one will obtain wisdom
from different civilizations (Untuk membandingkan pemikiran-
pemikiran dunia Islam dan Barat secara objektif, kritis. Dengan
memperoleh perbandingan ini, seseorang akan memperoleh
pengetahuan yang bermanfaat dari berbagai peradaban yang ada).
Referensi yang digunakan untuk penulisan ini secara umum
adalah hasil riset perpustakaan, observasi, serta wawancara penulis di
AS dari Agustus 2001 s/d Januari 2002 dengan beasiswa dari the
Fulbright Foundation di tiga tempat: North Florida, University (UNF)
Jacksonville, Arizona State University, dan UCLA. Bahan-bahan riset
ini telah memperoleh respons yang sangat positif khususnya dari
mahasiswa-i pasca sarjana IAIN Walisongo dalam diskusi berbahasa
asing kelas Islam and the West. Refleksi diskusi mereka dengan hasil
paper yang cukup berkualitas bisa dilihat dan dibaca di antaranya
dalam Journal Studi Islam, Pebruari 2002.
II. Landasan Teologis: ideological foundation
Nabi Muhammad saw. dengan ajaran-ajarannya di kemudian hari
pada masa klasik telah melahirkan ulama-ulama besar, ilmuwan-
ilmuwan Muslim dari berbagai bidang ilmu termasuk filsafat,
kedokteran, falak, geografi, matematika, fisika, kimia, sastra, sosiologi,
sejarah, ilmu politik dan sebagainya. Ini adalah bukti sejarah. Karya-
karya tersebut sampai kini bisa ditemukan di perpustakaan-
perpustakaan internasional. Sayangnya justru negara-negara non-
Muslim semacam Amerika-Eropa yang secara rapi dan profesional
menyimpannya. Disinilah pentingnya pelajar Muslim menimba ilmu di
AS-Eropa untuk mentransfer kembali "permata" yang sementara ini
"dipinjam" oleh dunia Barat. Syukurlah bahwa saat ini tidak sedikit
ilmuwan yang jujur mengakui bahwa supremasi Barat saat ini tidak
bisa lepas dari sumbangan dan sambungan peradaban Islam di masa
lampau. Dulu orang Barat belajar dari dunia Islam, sekarang
sebaliknya tidak kurang kaum Muslimin belajar dari Barat. Orang Barat
tempoe doeloe, bahkan sampai di abad 19-pun sudah mengakui hal
ini. Simak saja pernyataan Marqquis of Dufferin, Diplomat Inggeris
(London 1890) sewaktu ia menulis: "It was to Mussulman Science, to
Mussulman art, to Mussulman literature that Europe has been in
agreat measure indebtedfor its extrication from the darkness of the
Middle Ages".
Apa sesungguhnya kunci kehebatan perkembangan ilmu di dunia
Islam dulu. Agaknya hal itu sangat berhubungan erat dengan
keberhasilan umat Islam dalam memahami dan melaksanakan ajaran-
ajaran Rasul secara konsisten. Dinamika umat Islam lima abad
pertama (sejak munculnya Islam abad tujuh sampai sebelas M.) dalam
melaksanakan ajaran Rasul mengenai "utlubal-‘ilma", kegairahan
mencari ilmu, benar-benar merata dari raja sampai rakyat jelata.
'Ulama dan ilmuwan-ilmuwan Islam mendapat perhatian khusus dari
penguasa. Al-Kindi dengan nama lengkap Abu Yusuf ibn Ishaq filosuf
Muslim pertama yang meninggal 870 M misalnya, memperoleh tugas
mengajar privat putra-putra raja Abbasiyyah.
Yang menarik tentang sejarah perkembangan ilmu dalam Islam
adalah hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan
non agama. Kedua disiplin ilmu ini ternyata saling melengkapi. Ilmu-
ilmu agama secara kronologis historis berkembang terlebih dahulu dan
mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya harus dilandasi
dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum
ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Dalam penelitian sebelumnya,
pemakalah menulis:
The advent of those sciences in Islam responded to a religious
and cultural demand in the sense that during the first four centuries of
Islam, the religion had effectively encouraged and inspired men of
learning, and that their intellectual exchange with other civilized
peoples required it and enriched Islamic culture itself.10
Abad pertama dan kedua ditandai dengan perkembangan ilmu
agama seperti ilmu tafsir al-Qur'an, ilmu yang berhubungan dengan
hadits, ilmu yang berhubungan dengan hukum Islam serta teologi
Islam atau al-Tauhid. Lahirlah pakar-pakar hukum Islam yang terkenal
dengan pendiri empat Mazhab yakni Abu Hanifah atau Imam Hanafi
(meninggal 767 M), Malik bin Anas (meninggal 795), Imam Syafi'i
(meninggal 820), serta Ahmad Ibn Hanbal (meninggal 855).
Para pendiri Mazhab yang menciptakan frame work dasar-dasar
hukum Islam ini adalah tokoh-tokoh yang memperkaya dirinya dengan
ilmu al-Quran dan al-Hadits. Pengaruh pemikiran Mereka sampai saat
ini menyebar di berbagai penjuru dunia Islam. Semasa hidup mereka,
pengembangan dan penyebaran ilmu agama memang menjadi
komitmen mereka. Semuanya adalah 'ulama besar yang mempunyai
majlis ta'lim dengan ratusan jumlah siswanya.
Pada masa yang sama para ahli Hadits bermunculan. Merekalah
para genius penghafal ribuan Hadits yang mempunyai semangat luar
biasa dalam mengoleksi Hadits. Semangat inilah yang mengantar
Imam Bukhari (meninggal 870) meninggalkan negerinya Turkistan
10
Abdurrahman Mas’ud, Muslim Scholarship, paper dipresentasikan di San Fransisco 3
Juni 1995.
menuju Baghdad, pusat intelektual pada masanya, kemudian ke
jantung Arab Mekkah Medinah, Egypt dan Syria. Selama perjalanan 16
tahun dia menyeleksi Hadits-Hadits hingga mampu merangkai 60.000
Hadits Sahih. Meskipun demikian dengan keuletannya, 60.000 hadits
tersebut diseleksi dan diedit kembali oleh Bukhari hingga menjadi
Sahih Bukhari seperti yang bisa kita nikmati dewasa ini, yakni menjadi
7563 versi Fath al-Bari dan 7124 versi Dr. Al-Bugho.
Yang menarik dari perkembangan disiplin ilmu-ilmu agama ini
adalah ternyata bahwa disiplin ini justru membangkitkan ilmu-ilmu lain
seperti sejarah dan sebagainya. Sejarah adalah ilmu yang paling
dominan yang mewarnai sejarah perkembangan ilmu dalam Islam dari
abad kedua seterusnya. Di abad kedua, kita sudah bisa menemukan
tokoh Ibn Ishaq (meninggal 150 H/768 M) yang terkenal dengan
sejarah riwayat hidup Nabi, the life of Muhammad (Sirah al-Nabi).
Kegemaran umat Islam terhadap ilmu sejarah bahkan
berkesinambungan sampai abad moderen di lingkungan pesantren.
Salah seorang mufassir dan arsitek dunia pesantren, Nawawi al-
Bantani (meninggal 1897 M), menafsiri bahwa surat al-Fatihah juga
mengandung ilmu sejarah al-qisas wa al-akhbar, yakni sejarah dan
cerita tentang bangsa-bangsa pada masa lalu. Dalam disertasi penulis
berbunyi:
... The fourth is the history and the story of nations in the past.
The victorious who need to be entirely imitated were the prophets
while the losers and condemned were the non-believers. The former is
included in alladhina an 'amta 'alayhim, and the latter are in ghayri-l-
maghdubi 'alayhim wa la-l-dallin.11
Disiplin lain yang tidak boleh dilupakan adalah filsafat yang
merupakan sumber ilrnu, the mother of knowledge. Filsafat inilah yang
kemudian mentrigger ilmu-ilmu lain semacam fisika, kimia, dan
matematika dalarn Islam. Di abad ketiga Islam kita sudah
diperkenalkan dengan filosuf sejati al-Kindi (hidup tahun 800-870 M),
al-Farabi (870-950 M) yang tradisi mereka dilanjutkan oleh Ibn Sina
(980-1033 M). Dengan demikian pada masa ini tidak ditemukan
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Pengaruh perdana
Yunani Kuno, First wave o/Hellenism (meminjam istilah Montgomery
11
Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious
Teachings (UCLA).
Watt: 1973) tidak pernah disambut dengan antagonisme dalam lima
abad pertama peradaban Islam.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa seluruh ilmu-ilmu dalam
Islam semakin hari semakin berkembang dari abad ke tujuh sampai ke
sebelas : sebuah rentangan waktu panjang yang tidak mungkin
terhapus dari sejarah kebudayaan dan peradaban manusia. Evidensi
sejarah dengan jelas menunjukkan absennya dikotomi, sebagaimana
hasil penelitian Bayard Dodge, ahli sejarah pendidikan Islam, yang
meliputi :
grammar,
hadits (sirah genealogy),
jurisprudence,
translation of science and philosophy,
theology dan tasawwuf (mysticisrn),
science and philosophy termasuk kedokteran,
sejarah dan geography,
matematika,
amusement/ hiburan,
syair (poetry),
sastra
tafsir
akhlaq,
politik,
kemasyarakatan
dan pemerintahan 12
12
Bayard Dogde, “The Subjects and Titles of Book Written During the First Four
Centuries of Islam”. Islamic Culture, October 1954, halaman 525-540.
13
Pembahasan mendalam tentang dikotomi ilmu agama dan non-agama dalam
perspektif intellectual history, bisa dibaca dalam Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas
Pendidikan Islam Nondikotomik” (Gama Media:Nopember 202)
dikotomis dan menekankan kesinambungan. Dalam bahasa Moh
Asad:
The juxtaposition of these two sacred temples is meant to show
that the qur'an does not inaugerate a "new" religion but
represents a continuation and the ultimate development of the
same divine message which was preached by the prophets of
old.14
Penyebutan kombinasi dua tempat suci ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa Qur'an tidak menyambut agama "baru" tapi
kombinasi itu mewakili kesinambungan dan perkembangan akhir
risalah ketuhanan yang sama dida’wahkan oleh nabi-nabi
sebelumnya.
Islam adalah agama tanpa pagar dari Arabia- Afrika, Asia, juga
Eropa dan Amerika. Afrika dan Asia adalah sebuah contoh yang
menarik. Islam telah menyatukan semenanjung Arabia menyapu
Afrika, Asia dan menyatukan manusia dengan tetap menjaga
keragamannya: unity in diversity dalam arti yang sebenamya. Al-
Qur'an tidak membedakan Barat dan Timur: Takwa sejati bukanlah
menghadapkan mukamu ke Timur atau ke Barat, tapi muttaqin
hakikatnya adalah yang beriman pada Allah, hari akhir, Malaikat,
wahyu, serta para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya pada
kerabatnya, anak-anak yatim, fakir miskin, musafir, peminta-minta,
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, menunaikan zakat,
orang-orang yang menepati janji tat kala berjanji, serta orang-orang
yang sabar dalam kesulitan, penderitaan, dan dalam peperangan.15
Dari ayat ini jelas al-Qur'an tidak mendikotomikan antara Timur dan
Barat, juga tidak membenarkan simbolisme yang mengalahkan
fungsionalisme. Dalam hal ini seorang mufassir menerangkan "Thus
the Qur'an stresses the principle that mere compliance with outward
forms does not fulfil the requirements of piety 16" (Jadi al-Qur'an
menekankan sebuah prinsip bahwa taat pada bentuk-bentuk kulit luar
saja tidak atau belum memenuni syarat-syarat kesalihan).
Siapapun sepakat bahwa hadits Nabi yang berbunyi "Utlub al-ilm
14
Moh Asad, Op.Cit. hal 417.
15
Al-Qur’an : al-Bawarah 177.
16
Moh Asad, The Messages of the Qur’an (Gibraltar:1993), hal 36.
walau bi al-sin"17 (Carilah ilmu meskipun ia berada di negara Cina)
menekankan betapa pentingnya mencari ilmu, yang dalam era
globalisasi ini disebut knowledge and information become primary
industry. Cina yang demikian jauh dari dunia Islam saat itu toh
diperdekat oleh Nabi demi meraih ilmu. Masyarakat yang aktif belajar
(learning society) merupakan sebuah potret masyarakat religius yang
memandang agama mereka sebagai elemen pokok dalam memenuhi
kebutuhan dasar spiritual dan intelektual mereka.
Bagi orang yang suka merenung sejarah mungkin bertanya-
tanya mengapa Cina disebut-sebut Nabi.18 Ternyata di zaman Nabi
awal abad tujuh Masehi sebenarnya sudah terjadi kontak antara
bangsa Arab dengan bangsa Cina. Seperti kasus Islam Indonesia,
Islam datang ke Cina juga melalui kontak perniagaan. Ini berarti kata
Cina tidak asing lagi bagi pare Sahabat Nabi. Sa'ad ibnu Abi Waqqas,
sahabat Nabi, datang ke Cina, tinggal di Canton serta dimakamkan di
sana d: masjidnya yang dinamakan syauq al-Nabi: rindu padamu ya
Rasul, dengan meninggalkan sebuah inskripsi "siapa yang meninggal
dalam keadaan musafir (di negeri asing), maka ii wafat syahid." Kontak
dua dunia ini semakin intensif pada era Usman bin 'Affan. 19 Bahkan
sebelum zaman Nabi, bangsa Arab bagian selatan, Himyariah, telah
mengekspor barang barang antik dari Cina dan India. Jalan ke timur
mereka melalui Teluk Iran, Persian Gulf, kemudian ke atas melewati
Bukhara menuju Cina atau ke tenggara menuju India. Surat Quraisy
yang menerangkan kebiasaan dan kegemaran bangsa Aral dalam
"rihlah" yakni tradisi rombongan annual trade pergi ki Syiria di musim
panas dan ke Yaman di musim dingin menunjukkan bahwa bangsa
yang dipimpin Nabi in mempunyai kebiasaan merantau yang luar
biasa. Terlebih lag sejarah mengatakan bahwa bangsa Cina pada
17
Hadis Anas diriwayatkan al-Baihaqi dan dinyatakan sanadnya masynur serta
matan dla’ifni dikutip oleh al-Ghazali Ihya ‘Ulum al-Din I, pada bab kitab al’ilmi (Beirut
Daar al-Kutub al “Alamiyyah: tanpa tahun) hal 19.
18
Pada umumnya orang tidak begitu mengapresiasi sejarah, terbukti sewaktu
peneliti belajar di Madrasah Qudsiyah Kudus kawan-kawan pada hafal kitab Alfiah
tapi tidak ada satupun yang hafal Tarikh Islam (termasuk peneliti sendiri) apalagi
menganalisanya. Padahal Imam Syafi’I yang merupakan idola kaum madrasah belajar
sejarah tidak kurang dari dua belas tahun. Bukankah Imam Syafi’I lebih terkenal
kehebatan usul fiqihnya. Bagaimana dengan sejarawan-sejarawan Muslim lainnya
yang karangannya ratusan seperti Al-Tabari, Al-Mas’udi, Ibn Athir, Ibn Khaldun, tentu
mereka belajar sejarah sepanjang hayatnya.
19
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World ,vol II (Cairo: 1995), hal. 331.
waktu itu sudah terlebih dahulu "maju" kebudayaan dan
peradabannya. Maka tidak mustahil kalau Nabi menyebut negara yang
jauh itu tapi "maju."
Sejarawan Muslim, Baladuri (meninggal 892 M) meriwayatkan
bahwa Nabi juga pernah menyuruh sekretarisnya, Zaid, untuk
mempelajari bahasa orang Yahudi. Setelah dua minggu menekuni
"Kitab al-Yahud", Zaid mampu berkomunikasi baca tulis dengan orang
Yahudi. Manfaat dan tujuan mempelajari bahasa di sini bukan sekedar
kemampuan berkomunikasi. Lebih jauh lagi perintah Nabi ini bisa
ditafsirkan bahwa umat Islam seharusnya selalu mengantisipasi apa
yang akan dilakukan kelompok lain seperti Yahudi. Fenomena dewasa
ini menunjukan bahwa meskipun minoritas, temyata Yahudi sangat
mempengaruhi dan menguasai lobi-lobi penting di negara maju
semacam Amerika. Dengan memahami bahasa orang Yahudi, umat
Islam di zaman Nabi selamat dari kasak-kusuk dan tipu daya mereka.
Kelompok Yahudi di Madinah akhirnya diusir Nabi karena mereka
melanggar Piagam Madinah, yakni semacam "Pancasila" bagi
kehidupan bersama masyarakat multikultur Madinah.
Adalah bukti sejarah pula bahwa setelah munculnya Is-lam,
bangsa Cina secara bertahap mulai kehilangan kekuasaannya. Di
abad tujuh dan delapan Masehi, kerajaan Cina mencapai zaman
keemasannya di bawah kekuasaan dinasti T'ang, khususnya di tangan
Hsuan-tsung yang memerintah tahun 713-755 M. Cina pada masa ini
menguasai Turki Timur, Asia tengah. Tapi setelah kekuatan Islam
muncul, daerah kekuasaan Cina mulai terkikis. Qutaibah ibn Muslim
(meninggal 715 M.) misalnya mampu merebut Turki dari tangan Cina
dan generasi setelah Qutaibah bahkan mendirikan benteng-benteng
perang yang kokoh di Bukhara dan Samarkand yang mengakibatkan
kekuasaan Cina semakin lemah. Agaknya sejak zaman Nabi sampai
abad sebelas Masehi, kekuasaan Islam tidak pernah memudar atau
melemah sedikitpun.
Dua Hadis yang menyinggung Cina dan Yahudi setelah dikaitkan
dengan sekilas sejarah di atas menunjukkan, seolah-olah Nabi telah
memberikan isyarat atau clue bahwa Cina dan Yahudi sudah
selayaknya dikuasai umat Islam. Muqaddimah penaklukannya adalah
dengan mempelajari bahasa, memahami cara berfikir, mengenal
peradaban mereka serta menguasai ilmu mereka. Penafsiran Hadis ini
barangkali terasa terlalu jauh atau dibuat-buat. Tapi memahami
sebuah Hadis tanpa mengaitkan dengan konteks sejarah barangkali
akan menghasilkan pemahaman yang kurang sempurna.
Apakah kemenangan Islam atas Yahudi dan Cina di kemudian
hari itu hanya merupakan "kebetulan sejarah" (historical accident)
yakni Nabi tidak memainkan peran sosio-politik, atau memang
merupakan "keharusan sejarah" (historical necessity) sebagai akibat
yang tidak terelakkan dari kedahsyatan militansi umat Islam yang
diinspirasikan oleh ajaran-ajaran Rasulullah. Bukti sejarah mengatakan
poin yang kedua lebih mendekati kenyataan. Bukan hanya Yahudi dan
Cina yang diantisipasi Nabi, bangsa besar lainnya seperti Romawi dan
Persi yang kemudian ditaklukan oleh kekuatan Islam juga sudah diberi
isyarat dalam al-Qur'an dan Hadis.20
Akhimya perlu dipertegas di sini bahwa Islam tanpa pagar berarti
Islam tanpa dinding-dinding geografis. Ummah adalah batas-batas
Islam, sementara tauhid terefleksi dalam kebebasan beragama dan
kebebasan dalam masyarakat. Batas-batas Islam adalah sistem
keimanan dalam Islam, pelestarian value system dalam Islam, serta
sistem etika universal. Monotheisme dalam teori dan praktek adalah
pagar-pagar Islam, sementara batas-batas internal disatukan dengan
kesalihan dan amal salih, good deed.21
III. Runut Historis: Evidensi Sejarah
Masa Nabi
Selama ini sejarah masa Nabi yang paling banyak diungkap
adalah interaksi beliau dengan kaum Yahudi pada periode Madinah.
Diatas telah diberikan penjelasan bahwa interaksi Nabi dan Sahabat
bukan hanya dengan kaum Yahudi, tapi juga dengan bangsa Cina baik
dalam kata maupun aksi Sangat jarang diungkap dan diperhatikan
bahwa Nabi telah berinteraksi dengan kaum Nasrani jauh sebelum
Nabi Hijrah ke Madinah tahun 622 M. Saat-saat kritis pada periode
Mekkah di mana kaum Muslimin mengalami siksaan dan penindasan
yang di luar batas-batas kemanusiaan, tepatnya tahun 615 M. Nabi
20
Jauh sebelum runtuhnya kerajaan Romawi, al-Qur’an sudah mengisyaratkan
kekalahan ini pada Nabi dan Sabahatnya. Hal ini terlihat pada surah Rum ayat 2. ini
sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur’an juga terdiri dari beberapa ayat yang sifatnya
anticipatif ke depan.
21
Lihat Hanafi, Op.Cit. Hal. 340-341.
menyarankan para Sahabat melakukan Hijrah ke Abisinia (Habsyah).
Sabda beliau: "Tempat itu diperintah seorang raja dan tidak ada
orang yang dianiaya disitu. Itu bumi kejujuran : sampai nanti
Allah membukakan jalan bagi kita semua."22 Ini menunjukkan
bahwa Nabi tidak pernah apriori terhadap kelompok lain, Nasrani
Abissinia (Ethiopia sekarang) di bawah kekuasaan Negus (al-Najashi)
meskipun Nabi belum pernah bertemu dengan mereka. Hal ini
menunjukkan pula bahwa beliau bahkan mengajarkan para sahabat
trust pada orang lain berdasarkan husnuzan. Kalau beliau tidak
memandang negatif terhadap kelompok lain, di antaranya adalah
karena cara berfikir yang serba positive think-ing, open-minded
dengan landasan karakter insan kamil yang penuh dengan trust. Maka
tidak mengherankan bahwa Umat Islam pada waktu itu terdiri dari 11
laki-laki dan 4 perempuan melakukan migrasi ke Abissinia pada trip
pertama, Rombongan kedua bahkan lebih banyak lagi dengan total 80
Sahabat tanpa wanita dan anak.23
22
M. Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: 2001), hal.105.
23
Ibid.
raksasa tua itu.24
Meskipun Persi dikalahkan oleh Byzantine, tapi tanpa ragu Nabi
mengajak kerajaan Romawi Timur itu untuk mengikuti ajaran Islam.
Padahal waktu itu posisi dan kekuatan Islam belum mencapai
puncaknya atau lebih lemah dibanding hegemoni Byzantine. Memang
setiap Muslim, apalagi seorang Nabi, mempunyai kewajiban
menyampaikan kebenaran, tanpa harus memaksakan, apalagi dengan
cara kekerasan. Sejarah mencatat meskipun Hiraclius tidak mau
mengikuti ajakan Sang Rasul, tetapi sang raja menerima utusan Rasul
dengan penuh sopan santun dan bereaksi secara hati-hati dan bijak.
Saking etisnya penerimaan kenegaraan ini, hingga ada beberapa
sejarawan yang menduga sang raja pada akhirnya memeluk Islam.
Ajakan Nabi cukup tegas sebagaimana dalam teks aslinya:
25
26
Syaifurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah (Pustaka al-Kautsar:2000),
hal. 466
banyak memanfaatkan elemen non Arab khususnya Persi, serta al-
Ma’mun (813-833 M.) yang terkenal Bait al-Hikmah-nya, yakni balai
untuk para cendikiawan manca negara. House of wisdom ini lebih
mirip Museum Ptolemi di Alexandaria dari pada universitas moderen.
Lembaga ini dilengkapi dengan observatory astronomi, biro
penerjemah, dan perpustakaan akbar, yang membantu para peneliti
serta murid-murid ampuh mereka, bukan murid-murid ingusan.
Lembaga ini sangat penting karena mampu menjadi basis koleksi
manuskrip-manuskrip asing serta penerjemahan buku-buku ilmiah.
Pemikir-pemikir handal semacam Plato Aristotle, Hippocrates, Galen,
Ptolemy, serta ilmuwan-ilmuwan klasik lain menjadi begitu akrab bagi
publik Muslim.27
Bani Abbas tidak hanya berkuasa di Baghdad, tapi juga
mengembangkan kerajaannya di Egypt yang dimulai dari al-Mustansir
tahun 1261 sampai al-Mutawakkil III tahun 1517. Sebelum Abbasiyah
mencapai Egypt dua dinasti yang tidak boleh dilewatkan adalah
Tuluniah (868- sd- 905M.) dan Fatimiyyah yang berideologi Syi'ah
mulai 905 sampai 1171. Meskipun penduduk Egypt tidak mengikuti
faham Syi'i tatkala berada di bawah penguasa Syi'i, tapi dinasti ini juga
cukup mengesankan dalam sejarah Islam. Fatimiyyah terkenal juga
sebagai sponsor pengembangan pengetahuan melalui pendirian Dar
al-'Ilmi (house of science) di tahun 1004 M. oleh al-Hakim yang
mempunyai koleksi tidak kurang dari 1,600,000 buku. Perpustakaan ini
terbuka untuk siapa saja demi kepentingan ilmu dan riset.
Sebelumnya, Al-Azhar di Cairo juga didirikan pada tahun 972 sebagai
masjid dan dalam waktu yang sama digunakan sebagai pusat kajian
keagamaan dan pendidikan. Paper sebelumnya berbunyi:
27
Baca Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, (Washington, D.C.
: 1992), hal. 16.
purpose.28
Mulai zaman al-Ma'mun, dunia Islam benar-benar mampu
mentransfer "the ancient knowledge" yang dimulai dari usaha
penerjemahan di balai tersebut. Al-Mansur bahkan menyewa tenaga
khusus non-Muslim sebagai sekretaris. Tentu dialog dengan Yunani
telah terjadi jauh sebelum masa al-Ma'mun. Setengah abad
sebelumnya pada masa Umayyah sudah ada interaksi dua peradaban
itu meskipun belum begitu massif. Pakar sejarah sosial Islam, Ira
Lapidus mencatat hal yang serupa sebagai berikut:
In Syria and in Egypt the whole administrative apparatus,
including the revenue administration, and even the form of
chancery documents, was Byzantine in origin. Syrian military
organization also followed Byzantim models... The Umayyads
borrowed Greek motifs and even Greek builders and artists to
decorate their mosques and took Sassanian designs and
decorations for their palaces.29
Dalam bentuk pemikiran, pengaruh Yunani kuno juga sudah
mulai masuk, terutama sebagai akibat dialog yang tidak terlelakan
antara ahli kalam Muslim dengan teolog Nasrani. Pemikiran-pemikiran
Hellinistik pada mulanya memikat Muslimin untuk menjawab
persoalan-persoalan teologis. Debat para pakar lintas agama secara
santun yang terjadi di Istana Umayyah itu memaksa mereka untuk
menggunakan logika, terminologi maupun literatur Yunani. Perhelatan
dini di Damaskus ini kemudian diikuti dengan berbagai penelitian
ilmiah di Bahgdad, dan dengan penerjemanan karya-karya berbahasa
Syiria dan Yunani kedalam bahasa Arab.30 Dengan demikian the
transfer of knowledge Yunani ke dunia Islam dalam bentuk
penerjemahan secara massif baru terjadi setelah Bait al-Hikmah
terbuka untuk publik di perempat pertama abad sembilan M.
Di masa al-Ma'mun Islam tidak hanya melanjutkan tradisi
intelektual Byzantine dan Yunani, melainkan juga menciptakan dan
mengembangkan tradisi baru. Jika Islam hanya mengambil ilmu dari
Yunani, maka tidak akan lahir ilmuwan-ilmuwan besar yang justru
28
Abdurrahman Mas’ud, The Fatimid Educational Institution in Egypt, (UCLA :
Winter 1991).
29
Ira M. Lapidus, A. History of Islamic Societies, (Cambridge, 1988) hal. 62.
30
Lihat Lapidus, hal. 93-94.
banyak mengkritik karya-karya Yunani seperti al-Kindi, al-Mas'udi di
abad sepuluh (meninggal 956 M.), serta al-Ghazali yang paling keras
mengritik tradisi Yunani di abad sebelas-dua belas (M). Dalam kitab
Murujal-Dahab, al-Mas'udi menyayangkan kebangkrutan ilmu Filsafat
segera setelah Kristen menjadi agama resmi negeri Romawi. Dalam
penelitian paper penulis sebelumnya berbunyi: "Due to his critical
thinking, al-Mas'udi criticizes not only some Greek thinkers but the
Muslims as well. More significantly, he shows his regret at the decay of
philosophy after the introduction of Christianity in the Roman Empir."31
Singkatnya bisa disimpulkan bahwa guru umat Islam selain
Muhammad Rasulullah saw. yang mengajarkan kedamaian, tasamuh,
keadilan, dialog, kehausan mencari ilmu, pemihakan pada kebenaran,
akal sehat, adalah juga bangsa lain yang lebih tua dan telah mencapai
kemajuan peradaban terlebih dahulu yakni Yunani, like or dislike.
Ungkapan sejarawan Montgomery Watt layak mengakhiri bagian ini:
"there is no definite evidence that the first wave of Hellenism was
greeted with particular antagonism. "32
Barat belajar dari Dunia Islam
Di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberi
konstribusi yang cukup signifikan dalam kehidupan baru peradaban
dunia Barat yang meliputi:
1. Sepanjang abad 12 dan sebagian abad 13, karya-karya Muslim
dalam bidang filsafat, sains dan sebagainya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa latin, khususnya dari Spain. Penerjemahan ini
sungguh telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat,
khususnya di North-west Eropa.
2. Muslim telah memberi sumbangan experimental mengenai
metode-metode dan teori-teori sains ke dunia Barat.
3. Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama
dikenalkan ke dunia Barat
4. Karya-karya dalam bentuk terjemah, khususnya dari lbnu Sina
31
Hasil penelitian individu untuk mata kuliah histografi Islam di bawah
bimbingan Prof K. Ismail Poonawala, dengan topik paper pribadi “Muslim Scholarship
in the Early Period of Islam” UCLA, AS 1993, lihat al-Mas’udi, Muruj al-Dhawab, ed.
Barbier de Meynard, Paris 1861, II, hal. 320-1.
32
Walt, Montgomery, The Formative Periode of Islam, (Edinburgh, 1973)
dalam bidang kesehatan, dipakai sebagai text di lembaga-lembaga
pendidikan tinggi sampai pertengahan abad 17.
5. Ilmuwan-ilmuwan Muslim dengan karya-karya mereka telah
merangsang kebangkitan Eropa, memperkaya dengan
kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada
gilirannya melahirkan Renaissance.
6. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh
sebelum Eropa bangkit dalam bentuk ratusan madrasah-madrasah
adalah pendulu-pendulu, forerunners, universitas-universitas
college di Eropa.
7. Para ilmuwan Muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi
ilmiah Romawi-Persi sewaktu Eropa dalam kegelapan.
8. Sarjana-sarjana Eropa belajar di pelbagai lembaga pendidikan
tinggi dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia
Barat.
9. Ilmuwan-ilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan
tentang rumah sakit, sanitasi, serta makanan keEropa.33
Di sinilah posisi sentral konstribusi Islam yang mengantarkan
ilmu Greek kuno ke dunia moderen. Guru dunia Barat dalam hampir
semua ranah kebudayaan adalah tradisi intelektual Muslim. Sang Guru
adalah dunia Islam, sementara sang murid adalah umat Yahudi dan
Kristen. Hassan Hanafi menggambarkan hal ini dengan manis:
Andalusian Symbiosis appeared more in the intellectual relations
between Muslim and jews in Spain during the jewish golden age,
in theology, philosophy, mystidsm, and science (physics,
medidne, astronomy, math, etc), The impact of Muslim
philosophy on Christianity did not occur in Muslim Spain. It came
later after the the Reconquesta through Latin Averoism in
Europe, to create another goldey age in Medieval Christian
Thought.34
(Hubungan simbiosis Spanyol lebih tampak pada hubungan
kecendikiawanan antar Muslim dan Yahudi di Andalusia pada
33
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education,
(Colorado : 1964) halaman 61.
34
Hasan Hanafi, Op.Cit. hal. 256.
masa keemasan Yahudi di bidang teologi, filsafat, mistisisme,
serta sains yang meliputi fisika, kedokteran, falak, matematika,
dan sebagainya. Dampak Filsafat Islam pada tradisi Nasrani
tidak terjadi pada masa Islam Spanyol, melainkan menjadi nyata
setelah masa Reconcjuesta (penaklukan kembali Spanyol Oleh
Kristen abad 12 M.), melalui pemikiran Ibn Rusyd yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Eropa, untuk melahirkan
masa keemasan kembali pada pemikiran Kristen abad
pertengahan).
Jika the transfer of knowledge dari Yunani ke dunia Islam banyak
dimotori oleh para penerjemah professional demikian pula sejarah
terulang (history repeats itself untuk meminjam istilah sejarawan
Yunani: Thucydides) tatkala Barat belajar dari dunia Islam. Pemikiran-
pemikiran ke-Islaman dan filsafat dari Spanyol dibawa ke Eropa.
Dengan dikuasainya Toledo oleh umat Islam tahun 1085 dan
Saragossa 1118, budaya Islam Spanyol memberi pengaruh kuat
terhadap pola pikir kaum Nasrani. Para bangsawan, gerejawan
membangun rumah-rumah mereka dengan cara-cara kaum Muslimin
serta meminjam motif-motif Islam Spanyol untuk praktek ilmu lambang
mereka. Mereka berbaju seperti orang Arab, serta literatur-literatur
Islam dan Yahudi diterjemahkan ke dalam bahasa Castilian dan Latin.
kisah mi'raj misalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Castilian
kemudian ke bahasa Prancis klasik dan Latin, yang kemudian bisa
dimanfaatkan oleh Dante.35 Munculnya lembaga-lembaga pendidikan
tinggi abad 12 Eropa, terjadi secara beruntun dengan penerjemahan
karya intelektual dan keilmuan Islam kedalam bahasa Latin, dan
penyebarannya ke negara-negara Prancis dan Italia.36
Deskripsi singkat ini membuktikan bahwa dunia Barat meskipun
dalam sejarah lebih banyak bersitegang dengan dunia Islam, tapi
dalam masalah arts, seni dalam arti luas, tidak ada lain bagi mereka
kecuali tunduk mengagumi warisan legacy dunia Islam. Kekaguman ini
bukan sekedar sikap pasif semata semacam, secret admirer. Terbukti
52.000 macam koin cantik dunia Islam pada masa klasik misalnya bisa
ditemukan di negera-negera Eropa utara, yang kemudan sebagian
dibuat perhiasan yang terbuat dari abad delapan sampai 11 M. Karpet
35
Lapidus, Op. Cit. hal 385-386.
36
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (logos:1990), hal.
188.
tertua di dunia yakni berasal dari 11 M, sampai saat ini masih bisa
ditemukan di gereja pedalaman Marby Sweden Utara, Eropa yang
sebagian motifnya berasal dari warisan Islam.37
Dunia Barat lebih ta'ajub lagi dengan pesona arsitek peninggalan
dunia Islam. Salah satu bukti curiosity dan amazement ini adalah
bahwa pada musim panas sejarawan Prof. Micheal Morony (UCLA,
AS), bersama-sama tidak kurang dari 50 mahasiswa-I AS tiap tahun
memanfaatkan waktu belajar sejarah Islam mereka dengan cara
langsung melihat dan menikmati trip, kelas jauh di Spanyol. Pengaruh
besar arsitektur Islam jelas diakui oleh dunia Barat, seperti:
"Externally, the impact of Islamic architecture occurred in several
different ways. Specific themes of Islam architecture, such as
actual writing or imitation of it, are quite common all aver the
world”. 38
(Secara eksternal dampak arsitek Islam terjadi dalam macam-
macam cara yangberbeda. Tema-tema khusus arsitek Islam,
seperti tulisan nyata atau tiruan padanya, sangatlah umum di
seluruh dunia).
Bahkan menurut orientalis beken, Sir Thomas Arnold, lebih dari
1000 tahun Eropa memandang tinggi keseniaan Islam sebagai suatu
yang menakjubkan, thing of wonder. Pada awalnya warisan-warisan
kesenian itu dihubungkan dengan dekatnya tempat-tempat warisan
kekuasan Kristen, tapi perkembangan selanjutnya tidak terelakkan
karena keindahan kesenian itu sendiri, its own intrinsic beauty.39
Dengan demikian peradaban Barat yang telah mengalami
kemajuan pesat pasca Renaissans dan revolusi Industri pada mulanya
tidak bisa disangkal belajar dan kontak secara interaktif dengan dunia
Islam. Para ilmuwan serta filosuf Muslim dulu demikian tertariknya
pada tradisi intelektual Yunani, menerjemahkan buku-buku mereka
dalam berbagai disiplin ilmu kedalam bahasa Arab. Memang
peradaban bagaikan obor dan piala bergilir dari Yunani ke dunia Islam
kemudian pindah ke Barat kembali di abad pertengahan. Barat
moderen adalah anak Islam secara historis. Sayang hubungan bapak-
37
Joseph Scacht, The Legacy of Islam, (Oxford: 1974), hal 292-293.
38
Joseph Scacht, hal. 245.
39
Thomas Arnold, The Legacy of Islam, (Oxford : 1960), hal 147.
anak ini jarang disadari dan belum menjadi kesadaran bersama umat
manusia yang sesungguhnya harus saling belajar dan berhubungan
secara empatik.
Carilah ilmu meskipun di negeri Barat
Bahwa umat Islam merantau jauh ke dunia Barat untuk
mengenal peradaban dunia lain dan belajar, sebetulnya bukan
merupakan fenomena kekinian abad 20-21. Sejak abad 19 (M) sudah
terjadi dialog dan interaksi kultural dunia Islam dengan kemajuan dunia
Barat baik secara formal maupun informal. Turki Usmani telah
mengimpor budaya, expertise, dan kreativitas budaya Eropa lebih satu
abad sebelum Mustafa Kamal Attaturk (wafat 1938 M.), demikian juga
kaum intelegensia Iran tidak sedikit yang berlatar belakang pendidikan
Barat. Ira Lapidus mendeskripsikan:
The new intelligentsia was represented in the 1860$ by the
young Ottoman society. In the name of synthesis of Ottoman
tradition and Ottoman reform, Young Ottomns such as Namik
Kemal (1840-88), Ibrahim Shinasi (1826-71) and Ziya Pasha
(1825-80) were committed at once to the continuity of the
Ottoman regime, to the revitalization of lslam, and to
modernization along European lines.
(Kecendikiawanan baru diwakili oleh anak-anak muda Turki pada
tahun 1860-an. Atas nama sistesa tradisi Usmaniyah dan
reformasi Usmaniyah, Usmaniyah muda seperti Namik Kemal
(1840-88), Ibrahim Shinasi (1826-71) dan Ziya Pasha (1825-80)
serentak melakukan komitmen kesinambungan rejim Usmaniyah,
revitalisasi Islam, serta modernisasi yang sejalan dengan bangsa
Eropa).
Sejarah telah membuktikan bahwa pemikir-pemikir kritis dunia
Islam, rata-rata sudah pernah bersentuhan dengan pemikiran-
pemikiran Barat baik secara langsung maupun tidak. Ciri intelektual
yang terakhir ini seiring dengan teori sosiolog George A. Theodorson
yang menyebut intelektual sebagai makhluk yang terbiasa dengan
disiplin mengembangkan pemikiran-pemikiran orisinal dan melacak
terobosan-terobosan pemikiran kreatif .40
Jatuhnya Shah Iran Pahlavi dan naiknya revolusi Islam Iran di
40
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, hal 254-255.
bawah imamiyah Khumaini 1979, ternyata juga tidak bisa lepas dari
dukungan kaum intelegensia Iran yang sedang belajar di luar negeri.
Tepatnya adalah CISNU (the Confederation of lranian Students) atau
konfiderasi mahasiswa Iran di luar negeri yang selalu menggelar
pertemuan tahunan di Frankfurt Jerman Mereka juga memiliki publikasi
bersama, Iran Report, untuk mengkonsolidasi pemikiran dan gerakan
mereka. Media informasi dan komunikasi ini sangat strategis terutama
pada tahun 1978 saat menjelang ambruknya Dinasti Syah Pahlavi.41
Tokoh sekaliber Muhammad Abduh (lahir 1849 M.) misalnya juga
menikmati pengasingan kehidupan di Paris beberapa tahun, serta
sempat menikmati London. Saat ditanyakan kesan dan pengalaman
Abduh di Eropa, dia menjawab:" Aku melihat Islam di Eropa, meskipun
aku tidak melihat Muslim di sana. Sebaliknya aku tidak melihn t islam
di Mesir, tapi ketemu banyak Muslim disini."
Meskipun para cendikiawan Muslim tidak sedikit yang terpesona
dengan Liberalisme dan Rasionalisme serta kivativitas dunia Barat,
tapi mereka biasanya tidak larut dalam peradaban Barat. Cendikiawan
Muslim abad 19 misalnya, Rifa'a al-Tahtawi (1801-73) yang
memperoleh mandat dari Muhammad Ali, penguasa Mesir, untuk
belajar di Paris menggambarkan Paris abad 19 dengan plus minusnya
sebagai berikut:
... Sudah menjadi karakter orang Perancis bahwa mereka peduli,
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sangat antusias terhadap hal
baru, cinta perubahan dan pembaharuan dalam segala hal,
terutama dalam hal baju... perubahan sering tampak pada sifat-
sifat mereka, dari gembira cepat menjadi sedih, dari serius
kemudian berubah menjadi canda atau sebaliknya, maka dalam
satu hari seseorang akan bersikap beberapa macam. Tapi
semua ini bisa ditemukan dalam hal-hal kecil, juga dalam hal-hal
besar, pandangan mereka tentang politik tidak berubah; setiap
orang tetap pada pendiriannya... mereka mengingkari mukjizat,
dan tidak percaya sesuatu yang bisa merusak hukum alam, juga
tidak percaya bahwa agama akan membawa kebaikan ... tapi di
antara pandangan yang terburuk adalah ini, akal intelek serta
41
Baca Bassam Tibi, The Crisis of Medern Islam : A Preindustrial Culture in the
Scientific Technological Age, (Utah : 1988), hal. 104-144.
kebaikan filosuf lebih berharga dari ilmu para Nabi. 42
Tahtawi adalah contoh menarik pembaharu budaya Islam Timur
Tengah, yang hidup dalam dua dunia yang sulit dipertemukan. Dia
adalah produk proses akulturasi kontemporer.43 Pada umumnya
cendikiawan Muslim berpendidikan Barat berpandangan bahwa
mengambil hal-hal yang baik dari dunia Barat sah-sah saja, sementara
menangkal budaya lokal dari pengaruh negatif budaya asing juga
merupakan keharusan. Dengan kata lain penerimaan secara selektif
terhadap budaya Barat adalah satu sikap bijaksana Hal ini tidak bisa
lepas dari kaidah populer al-Muhafazah 'ala al-qadim al-salih wa al-
akhdu bi al-jadid al-aslah: preserving the righteous past and to absorb
or to transfer a more suitable innovations. Atau juga bersandar dari
ajaran khud al-hikmta min ayyi una, ambilah hikmah darimanapun ia
berasal.
Di Barat mereka tidak hanya duduk manis pergi kuliah di bangku
sekolah tapi yang tidak kalah penting adalah belajar dan mengalami
nilai-nilai dinamis dan bentuk-bentuk oposisi politik dari dunia nyata.
Sebagai dampaknya mereka tidak mau begitu saja saat kembali ke
negerinya menyerahkan diri pada pemerintahan dan sistem budaya
mereka secara tidak kritis.
Betapapun, kaum intelektual sering ambisius, ragu untuk terlibat
atau sebaliknya menjahui sebuah pemerintahan. Hal ini disebabkan
ciri-ciri intelektual itu sendiri yang selalu mempunyai-ide-ide jernih
untuk masa depan bangsa dan negaranya, serta setumpuk cita-cita
mulia lainnya.
Kaum intelektual pernah mengkritik diri sendiri sebagai "orang
Barat" di dunia "Timur" karena ada kecenderungan di kalangan
sebagian intelektual yang mengimpor ide-ide Barat tanpa
memperhatikan kondisi lokal. Salah satu di antara mereka dalam
sejarah Indonesia adalah Sutan Syahrir (wafat 9 April 1966) yang
dengan tegas menganjurkan Indonesia untuk berkiblat ke dunia Barat
sebagai jalan keluar dari keterbelakangan bangsa.44
42
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples (New York : 1991), hal 304-304.
43
Tibi, Op.Cit., hal 104.
44
Alfian, Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta : 1979), hal. 35-
36.
Kontak budaya lokal dengan budaya Barat kasus Indo-nesia
sesungguhnya tidak kalah menarik. Putra Indonesia yang berhasil
menggabungkan elemen-elemen asing dan pribumi bisa dilihat pada
sosok Bung Karno, Bung Hatta, bahkan jauh sebelumnya Ibu kita
Kartini. Mereka diakui atau tidak adalah manusia-manusia baru
Indonesia yang unggul dan mampu mengantarkan Indonesia ke
babakan Indonesia moderen.
Berbeda dengan pendekatan ulama, kaum intelektual
sebagaimana disinggung di atas lebih banyak menimba dan berkaca
dari supremasi Barat meskipun tidak harus menerima dengan
sepenuhnya. Tokoh-tokoh intelektual dekade 40-an dan 50-an
sebagian besar telah melakukan perantauan mental ke Barat. Dialog
pemikir Indonesia dengan dunia Barat sesungguhnya terus
berlangsung hingga kini. Demikian juga para pemikir Muslim
Indonesia, baik alumni Timur tengah, ilmuwan otodidak, apalagi
lulusan Barat, agaknya mustahil membendung mereka dari proses
dialog dengan pemikiran dan metodologi Barat. Sebut saja nama-
nama besar seperti Prof. Nur Cholis Madjid, Prof. Syafi'i Ma'arif, Prof.
Amin Ra'is adalah periode terjun bebas (tanpa campur tangan Depag)
putra-putra bangsa merantau ke negeri Barat dalam rangka
menempuh pendidikan lebih tinggi.
45
Baca Wawancara dengan Zamakhsyari Dhofier di Majalah Kiblat, No. 58. 15
Juli 1991, hal.32-34.
IAIN Semarang. (menjalankan 5 training bersama seperti
pengembangan kurikulum untuk pengembangan dua institusi,
University of Hamburg dan IAIN Walisongo Semarang)
Facilitating 5 students or researches each year within the period of
partnership programme to carry out research in the country of their
partner, (memfasilitasi 5 mahasiswa tiap tahun untuk
melaksanakan riset di negara kemitraan).
Publishing the experiences of dialogue and partnership of the two
worlds.46 (Menerbitkan pengalaman-pengalaman dialog kemitraan
dua dunia itu).
46
Dikutip dari proposal rencana kerjasama IAIN Walisongo dengan Hamburg
University 2005-2009 yang disiapkan oleh Tim Afandi Mochtar, Depag tahun 2004.
47
Saat ini disertasi tersebut dalam bentuk terjemahan Indonesia berada dalam
tahap akhir penerbitan di Gama Media Jogjakarta yang segera diterbitkan insya Allah
bulan April 2004.
scholarship.48
Hubungan Islam-Dunia Barat Pasca 11 September 2001 di AS,
ternyata tidak seburuk yang dikhawatirkan khalayak. Sebelum
peristiwa serangan teroris itu pemahaman atau eksistensi Islam di
Amerika tidak mendapat sorotan yang mendalam. Tapi setelah 9/11,
sorotan, tinjauan, dan kritikan ataupun perhatian terhadap Islam dan
komunitas muslim menjadi cukup besar. Timbul rasa ingin tahu yang
lebih banyak di kalangan Barat terhadap Islam yang sering dicitrakan
menyeramkan di pelbagai mass-media Barat. Ada bless in disguise
dari peristiwa naas itu meskipun masih ada peristiwa lanjutan seperti
bom Bali dan di beberapa negara lain telah menyusul.
Pengetahuan warga AS tentang Islam dengan demikian makin
membaik, mendalam, dan positif. Hal itu didasarkan dari hasil survei
yang pernah dilakukan harian USA Today yang ternyata pemahaman
mereka tentang Islam menjadi semakin baik bahkan mencapai angka
80 persen. Survei ini dilakukan dalam skala nasional tahun 2003.
Belum lagi disebut disini proyek-proyek besar program kerjasama
dunia Islam dengan AS di berbagai negara dari Indonesia sampai
Afrika yang meliputi training dan workshop konflik resolusi, American
Corner di beberapa perguruan tinggi Islam, serta pengiriman tokoh-
tokoh Islam ke AS hampir tidak terhitung, Pimpinan NU-
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, agaknya
tidak terhitung mondar-mandir Jakarta-Washington DC untuk
menggelar dialog dua dunia itu. Memang sebagai akibat dari
globalisasi, dialog berbagai disiplin ilmu di lingkungan IAIN juga harus
dipertimbangkan. Dengan dialog interaktif ini, para ilmuwan IAIN tidak
lagi gatek, computer illiterate dan siap berdialog secara kritis dengan
ilmuwan-ilmuwan regional maupun global serta peradaban moderen,
tapi dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Islam serta
mempertahankan etika standar secara konsisten.
IV. Refleksi & Rekomendasi
Sebuah catatan awal, preliminary note, runut historis hubungan
harmonis Islam-Barat telah digelar. Dengan upaya flash back
semacam ini prediksi akan dialog Islam-Barat ke depan yang
48
Baca Abdurrahman Mas’ud, Pengembangan Ilmu Keislaman di IAIN : Sejarah
dan problematikanya”. Dipresentasikan 11 Juli 2003 di IAIN Walisongo dalam “Bedah
buku dan Simposium Nasional Pengembangan Ilmu-Ilmu keislaman di PTAI”.
diidealkan akan lebih mendekati kebenaran. Menurut Charles van
Doren,:
The more clearly we see how knowledge has changed and
grown in the past, particularly the recent past, the more
accurately wt can predict the changes that are likely to occur in
the future- at least the near future.49
(Semakin jelas kita melihat pengetahuan berubah dan tumbuh di
masa lalu, khususnya masa yang baru lalu, semakin akurat kita
meramal perubahan-perubahan yang akan terjadi pada masa
yang akan datang- paling tidak di masa mendatang jangka
dekat).
Menjadi pertanyaan sejarah, "kapan Islam mencapai puncak
peradabannya." Mayoritas Muslim yang bukan ahli sejarah barangkali
akan mengatakan bahwa puncak peradaban Islam berada pada masa
Nabi dengan indikasi ayat al-Quran "hari ini Aku sempurnakan
agamamu" (Qur'an, 5:3). Message yang terkandung dalam ayat ini
bukanlah kesempurnaan peradaban dalam totalitas, civilization in toto,
melainkan religiosity segi keagamaan fungsional. Lebih tegas lagi ayat
al yauma akmaltu lakum dinakum itu tidak menerangkan atau merujuk
sebuah peradaban, melainkan agama Islam sebagai pedoman atau
religious law yang paripurna. Yakni Allah telah menyempurnakan
sistem keimanan dan memberkahi pada kaum beriman anugerah yang
sempurna pada mereka. Apalagi ayat ini diwahyukan di Arafah, Jumat
siang 9 Zulhijjah 10 (H) yakni 81 atau 82 hari menjelang wafatnya
Nabi. Tidak ada lagi wahyu setelah wahyu terakhir ini.50
Para sejarawan sering mengatakan bahwa puncak sejarah
peradaban Islam berada pada empat abad pertama sejak munculnya
49
Charles Van Doren, A History of Knowledge, (New York : 1991), hal xviii.
50
Islam sebagai agama paripurna bisa dilihat dari beberapa kenyataan bahwa
Islam adalah sebuah ajaran universal yang ditandai dengan tiga hal. Islam mengajak
pada semua umat manusia tanpa memandang turunan, ras, atau lingkungan apapun.
Kedua Al-Qur’an tegas sekali mengajak pada akal sehat, maka tidak menganjurkan
taqlid buta pada sebuah dogma yang tidak bisa dipertanggunajawabkan berdasarkan
taqlid iman, dan ketiga berbeda dengan kitab-kitab suci lain yang sudah menyejarah,
Qur’an sama sekali belum pernah berubah baik dalam kata maupun apalagi substansi
sejak diwahyukan 15 abad yang lalu. Inilah makna kesempurnaan ajaran Islam
sebagai final stage of all divine revelation dengan seorang Rasul pamungkas,
Khatamul anbiya. Lihat Moh. Asad, Op.Cit. hal 502.
Islam seperti yang telah dibahas diatas. Setelah abad itu nampak ada
"cultural decline" kemunduran peradaban, yakni sewaktu fenomena
dikotomi "Islamic knowledge" dan "non-Islamic knowledge" mulai
menghinggapi umat Islam. Misalnya Madrasah Nizam al-Mulk yang
hanya mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu agama di
paruh kedua abad 11, bisa dilihat sebagai kemajuan di bidang
pendidikan agama, tapi di lain pihak bisa juga dilihat sebagai
kemunduran Islamic civilization karena non-Islamic knowledge sudah
tidak menjadi perhatian lagi dalam dunia pendidikan Islam. Demikian
juga kondisi dan posisi "ulama. Sebelum abad dua belas (M) definisi
ulama adalah makhluk multi atau bahkan transdisipliner yang
mempercantik diri dengan berbagai disiplin ilmu, bisa dilihat dari sosok
Hassan Basri di abad delapan sampai ke al-Ghazali di abad sebelas
M. Setelah abad 12 makna 'ulama mengalami penyempitan menjadi
sosok yang memperkaya diri hanya dengan ilmu-ilmu agama
khususnya ilmu fiqh. Pada periode ini dan seterusnya fiqh menjadi
mahkota ilmu, juga induk ilmu mengasingkan jauh-jauh ilmu-ilmu lain.
Bagi Muslim yang hidup di abad 21 ini, peradaban Islam selayaknya
tidak pernah dipandang final dalam puncaknya. Dengan membatasi
empat abad diatas, disadari atau tidak faham Fatalisme yang
merenggut etos kerja dan mengandaskan idealisme hari ini dan esok,
telah merasuk ke faham dasar umat Islam. Faham inilah yang
memperbesar dan memperlama hegemoni Barat atas dunia Islam.
Keagungan peradaban Islam di masa lampau perlu ditekuni dengan
instensif dan seksama. Kemajuan peradaban Barat yang menguasai
dunia sampai hari ini juga perlu diarifi, karena Islam memberi petunjuk
bahwa wisdom dari manapun berasal, min ayyi wi'a, selayaknya
diserap secara bijak.
Jika dirasakan selama ini ajaran Islam masih bersifat normatif
dan formalistis yang berakibat pasif, maka upaya penciptaan iklim
yang kondusif terhadap aktualisasi sistem nilai (value system) dalam
rangka memusatkan manusia sebagai aktor perubahan dan
peradaban merupakan proses yang tidak pernah dan tidak boleh
terhenti. Dengan kata lain, putus asa terhadap realitas sosial yang
korup tidak ada dalam vocabulary Islam.
Islam pada dasarnya merekomendasikan persaudaraan
kemanusiaan tanpa pandang bulu ras, kulit, agama, nasionalitas. Islam
tidak bisa mentolerir prasangka-prasangka, arogansi-arogansi, apalagi
kekerasan berdasarkan perbedaan-perbedaan itu. Inilah yang menjadi
tugas utama bersama, melembagakan jihad damai dalam tubuh umat
Islam dan pada seluruh umat manusia.
Komunikasj umat Islam yang efektif dengan membawa message
ke-Islaman, kedamaian, mendialogkan kebenaran, kebaikan, dan akal
sehat pada era globalisasi dan masyarakat multi kultur ini adalah
identik dengan da'wah Islamiyyah yang bersandar dari ajaran wa
khatibinnas 'ala qadri 'uqulihim, 'ud'u ila sabili rabbika bi- alhikmati wa
al-mau'idat al-hasanah, atau juga wa jadilhum billati hiya ahsan.
Proses komunikasi ini bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Apalagi
jika komunikasi itu melibatkan aktor-aktor "musuh bebuyutan". Faktor-
faktor lintas budaya, agama jelas bisa menciptakan masalah-masalah
komunikasi yang cukup serius. Untuk mengurangi jika tidak boleh
disebut menghindarkan mispersepsi, misinterpretasi, serta
misevaluasi, perlu diperhatikan beberapa prinsip moderen seperti:
1. Assume differences until similarity is proven. (berangkat dari
asumsi berbeda hingga menemukan kesamaan)
2. Emphasize description rather than interpretation or evaluation.
(lebih menekankan deskripsi dari penafsiran atau evaluasi)
3. Practice empathy. (lakukanlah empati/merasa sebagai sesama
umat manusia)
4. Treat your interpretations as a working hyphothesis.51
(perlakukanlah penafsiran-penafsiran anda sebagai hipotesa
operasional).
Petunjuk praktis teori-teori moderen ini, jika dicermati akar-akar
filosofisnya sesungguhnya tidak bertentangan bahkan saling tali
menali dengan ajaran dasar Islam. Surat populer dalam al-Qur'an, al-
Hujurat : 13, misalnya mengindikasikan bahwa manusia diciptakan
bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa agar bisa saling belajar satu
sama lain. Inilah ayat utama yang menjadi dalil dan rujukan dialog
teologis disini. Dalam penelitian sebelumnya penulis menyimpulkan
The interpretation of this verse, which indeed be-come the ideological
foundation of this enterprise is noteworthy: Islam basically encourages
brotherhood of mankind and it is Islam, which is against racial, tribal,
and national prejudice. Therefore it is part of the Muslim world's
51
Stephen P. Robins, Organizational Behavior, (New Jersey : 1993) hal 345
responsibilities to institutionalize this ideological foundation.52
Sejarah telah mengajarkan bahwa saat dua dunia yang berbeda
itu saling memahami, saling menghormati, dan saling belajar maka
yang terjadi adalah kemajuan budaya dan peradaban khususnya pada
pihak yang hendak belajar. Dunia Islam banyak belajar dari Yunani di
masa klasik, sementara dunia Barat tidak akan masuk ke masa
pencerahan tanpa belajar dari dunia Islam.
Islam sebagai sebuah sistem teologi telah melengkapi umatnya
untuk memperkaya dunianya dengan proses penyerapan budaya dan
peradaban lain untuk kepentingan kemanusiaan bukan untuk
kepentingan diri sendiri. Secara teologis Islam tidak pernah
menganggap rendah dunia lain, termasuk dunia Barat. Bahkan
universalisme Islam secara eksplisit tidak membedakan Timur dan
Barat. Bila terjadi pembenturan budaya, pasti hal itu merupakan
fenomena sosial politik. Jadi bukanlah konflik antar iman dan
peradaban sebagaimana thesis Huntington tapi yang terjadi adalah
konflik; power dan dominasi. Bila dash of civilization itu sahih, maka
sudah tidak ada lagi pelajar-pelajar Muslim yang belajar ke dunia
Barat. Tapi sebaliknya sejarah telah menunjukkan dari sejak abad 19
sampai kini kecendrungan studi ke Barat semakin menjamur. Maka
vested interest, dan politiklah penyebab utama clash yang terjadi
dalam sejarah. Dengan umat Kristen Nabi belum pernah terjadi konflik,
kenapa karena di Madinah tidal ada orang Kristen maka tidak pernah
terjadi perubatan dominasi atau kekuasaan. Nabi dengan Negus, raja
Kristen Ethiopia sebagaimana dituturkan diatas terbukti saling
menghormati, dan saling melindungi. Terbukti pula Nabi
mengembangkan persahabatan sejati dengan umat manusia lintas
iman serta memandang mereka dengan penuh hormat, respek.
Model dialog Nabi Muhammad yang mengembangkan
persahabatan, kedamaian antar umat manusia itulah yang harus
dipraktekkan dalam era globalisasi ini, yakni era yang penuh dengan
kebencian dan hegemoni antar sesama umat manusia. Hal inipun
telah diakui oleh sastrawan kenamaan British Bernard Shaw (1856-
1950): If a man like Muhammad were assumed to the dictatorship of
52
Lihat Abdurrahman Mas’ud, “When the Muslim World and the West Learn
Each Other”, International Journal Ihya ‘Ulum al Din, Vol 3, No. 2 Desember 2001, hal
depan editorial.
modern world he would succeed in solving its problem, in a manner
which would bring it to the much needed peace in happiness. (jikalau
seseorang seperti Muhammad diberi wewenang untuk memimpin
dunia moderen, dia akan berhasil memecahkan masalahnya, dengan
cara yang akan membawa dunia pada kedamaian dan kebahagiaan
yang didambakan).
Memang era globalisasi adalah era dialog. Siapa saja dituntut
untuk merespons globalisasi. Dialog mengharuskan seseorang atau
kelompok untuk mengembangkan kemampuan belajar, sebagaimana
ajaran dasar Islam yang mengharuskan pemeluknya untuk selalu
belajar dari sejak lahir sampai ke liang lahat. Belajar adalah proses
ganda antara guru dan murid, saling memperkaya dan
mengembangkan kreativitas bersama. Dialog ini tidak diragukan telah
dan terus berlangsung dalam sejarah peradaban umat manusia
termasuk kontak dua dunia Islam-Barat. Jika model konflik dan
peperangan selama ini lebih menghiasi perjalanan sejarah peradaban
manusia, kenapa mereka tidak memilih rileks menyayangi kehidupan
sesama sambil menyanyikan we are the world. Lembaran baru dialog
Islam-Barat harus diwujudkan dengan landasan filosofis bahwa semua
budaya setara dan masing-masing bisa mencapai tujuan bersama,
serta bersama-sama mengikuti undang-undang universal berdasarkan
akal sehat, hak untuk belajar, alam serta penggunaan hukum alam ini.
Jihad umat Islam dengan landasan teologis yang bisa
dipertanggungjawabkan adalah jihad damai atau peaceful jihad.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi peradaban manapun untuk
tidak menyokong semangat dialog antar sesama lintas iman dan lintas
bangsa. Dialog semacam ini tidak ada lain kecuali ditujukan pada
pencapaian saling pemahaman dan dalam waktu yang sama
menegakkan Islam sebagai agama perdamaian, tasamuh dan toleran
sesama antar umat manusia.
Oleh karena itu untuk melawan kekerasan bukanlah dengan
kekerasan, karena kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan itu
sendiri, violence will breed violence, meminjam istilah Gandhi. Dunia
Islam semestinya bisa bekerjasama dengan siapapun termasuk
dengan dunia Barat dalam memerangi kesewenang-wenangan,
kekerasan, ketidakadilan, kemiskinan, serta segala bentuk
ketertinggalan. Cara terbaik untuk memerangi radikalisme agama-
agama adalah dengan membackup (mendukung) lembaga-lembaga
demokrasi yang lebih mendahulukan kedamaian seperti kontreks
Indonesia NU-Muhammadiyah.
Akhirnya menjadi tugas perguruan tinggi Islam semacam IAIN
untuk mengupayakan langkah strategis sebagai berikut:
Menciptakan iklim yang sehat bagi tumbuhnya dialog, renewal dan
gagasan-gagasan segar di lingkungan kita khususnya, dan
masyarakat akademis Indonesia pada umumnya sesuai dengan
landasan teologis dan histories Islam yang ideal.
Menda'wahkan Islam humanis yang berpihak pada kemanusiaan
dan keadilan, kedamaian, toleransi, saling menghargai perbedaan
antar umat manusia, dan antar bangsa.
Memperkaya modern scholarship dengan informasi dan
pengetahuan tentang Islam Indonesia serta hubungan Islam dan
dinamika kebudayaan lokal, serta tradisi keilmuan Barat.
Mengupayakan bridge the gap antara sesama dunia Islam juga
antara Muslim and Western scholarship dengan titik tekan pada
belajar bersama networking, joined research, serta publikasi hasil
studi dan penelitian orisinil.
Melakukan profesionalisasi pusat-pusat kajian di lingkungan
perguruan tinggi agama dalam rangka merespons globalisasi,
otonomi daerah, serta future without shock.
Ketua Senat, Para Anggota Senat serta hadirin yang berbahagia,
Demikianlah uraian saya mengenai perlunya membuka lembaran baru
dialog Islam-Barat dalam perspektif teologis-historis. Sebelum
mengakhiri pidato pengukuhan ini, sekali lagi saya ingin memanjatkan
puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan,
kekuatan, bimbingan dan petunjuk kepada saya selama berkecimpung
dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang studi
pendidikan Islam dan sejarah peradaban, begitu pula karena ridla-Nya
sehingga saya mendapat anugerah dan kesempatan untuk diangkat
sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang: alhamdulillah wasysyukru lillah.
Pada kesempatan yang terbaik ini sudah seharusnya saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik
Indonesia, c.q Departemen Pendidikan Nasional (juga Depag) yang
telah memberi kepercayaan dan mengangkat saya untuk menduduki
jabatan Guru Besar. Ucapan terima kasih yang tulus serta
penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA,
Agama Islam Departemen Agama, Prof. H. A. Qodry A. Azizy,
dan Menteri Agama, Prof. Dr. H. Aqil Siraj Munawar, yang telah
berkenan meneruskan usulan guru besar saya kepada Menteri Diknas
untuk penetepannya, dan sekaligus menghadiri upacara pengukuhan
ini. Jazakumullah.
Terimakasih serupa juga saya alamatkan pada AMINEF, the
Fulbright Foundation yang telah memberi beasiswa selama saya
belajar dan melakukan penelitiaan di negeri jauh AS. Kepada kolega
dosen IAIN, juga mahasiswa saya di pasca dan di program S1, saya
ingin berbagi terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Juga pada
seluruh jajaran panitia pengukuhan tidak boleh lupa disampaikan
terimakasih
Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada para Guru,
ustadz, dan kyai saya sejak TK, Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, dan 'Aliyah,
serta pesantren-pesantren yang telah membentuk faham keagamaan
dan tingkah laku saya.
Selanjutnya, saya sampaikan rasa terimakasih dengan penuh
rasa hormat dan tulus sedalam-dalamnya kepada orang tua saya,
Ibunda Hj. Humaidah Amir Hadi, dan ayahanda al-Marhum H. Mas'ud
Irsyad. Alhamdulillah hari ini Ibunda bisa menghadiri upacara
pengukuhan pada siang beserta keluarga besar kami dari Kudus,
Sukabumi, dan Jakarta. Do'a restu dan dorongan ibunda adalah
penyebab utama segala sukses dalam kehidupan yang ananda alami.
Semoga jabatan Guru besar yang saya sandang saat ini turut
membahagiakan ibunda. Demikian juga doa Ibunda mertua Hj. Cicah
A'isyah yang selama ini mengiringi pencerahan dan kebahagiaan kami
sekeluarga, saya haturkan terimakasih. Kepada saudara-saudari
kandung saya, juga terimakasih atas dukungan moril dan do'annya
selama ini.
Penghargaan dan terimakasih yang tiada terhingga saya
sampaikan kepada istri saya tercinta Hj. Dra Ella Nurlaila yang selama
ini lebih dari 15 tahun mendampingi saya dalam segala suka dan duka.
Kepada anak-anak saya terimakasih atas segala pengertiannya.
Mudah-mudahan suatu saat nanti, Insya Allah, engkau semua semua
dapat mengikuti jejak langkah orang tuamu.
Semoga Allah SWT selalu memberikan limpahan taufiq dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin yaa rabbal alamin.
Ketua senat, para anggota senat serta hadirin yang terhormat,
Akhirnya terimakasih atas kesediaan dan kesabaran hadirin
sekalian untuk mendengarkan dan memperhatikan pidato ini sampai
selesai, disertai permohonan maaf sekiranya ada hal-hal yang kurang
berkenan di hati hadirin sekalian. Sekian dan terimakasih.
Wassalamu'alaikum w.wb.
Wallahu A'lamu Bishshawab.
(Al-Faqir ila rahmati Rabbihi).
DAFTAR PUSTAKA
I. Primary sources
A. Sepintas Biografi
Pasangan H. Mas'ud bin KH. Irsyad dan Hj. Chumaidah binti H.
Amir Hadi melahirkan putra mbarep dengan nama Abdurrahman. Putra
pertamanya itu lahir di Desa Damaran Kecamatan Kota Kabupaten
Kudus, tepatnya 16 April 1960. Ayah "Dur", begitu ia akrab disapa
sejak kecil, adalah seorang santri yang berkiprah di bidang tekstil dan
sangat sukses. Memang Desa Damaran sebagai salah satu Desa di
Kudus Kulon terkenal dengan iklim agama dan dagang, terutama
tekstil.
Simbah Haji Irsyad semasa hidupnya dikenal sebagai seorang
Kiai yang ampuh dalam bidang tauhid dengan pondoknya Raudlatul
Muta'allimin Jagalan Kudus. Sekarang pondok ini diasuh oleh paman
Abdurrahman yang bernama KH. Ma’ruf Irsyad, Rois Syuriah NU
Kabupaten Kudus.
Sebagaimana dikisahkan, kata "Damaran" berasal dari kata
Damar yang berarti lampu. Desa ini disebut Damaran karena pada
zaman Sunan Kudus para murid-muridnya yang tinggal di desa ini
ketika hendak bersuci pada malam hari memerlukan lampu. Maka
mereka membawa lampu sejenis teplok atau senthir karena tempat
bersucinya cukup jauh dan harus jalan kaki. Walhasil, ramainya zaman
dinamakan Damaran. Sedangkan tempat bersucinya dinamakan
"Sucen", yang sampai sekarang dijadikan nama perkampungan di
sebelah utara Damaran berjarak sekitar 1 Km atau terletak di sebelah
timur-laut Masjid Menara. Sementara Damaran berada di sebelah
Barat Desa Kauman Menara yang dijadikan tempat persinggahan
Sunan Kudus Sayyid Ja far Snodiq.
Di Damaran ini pula lahir Kiai kharismatik bemama KH. Laden
Asnawi (1861-1959). Selain itu, di Damaran juga masih sangat kental
dengan budaya Kudus Kulon yang hidup dengan apa adanya dan
hormat kepada Kiai. Sehingga apabila dilihat lari sosiohistoris, iklim
Kudus Kulon banyak mempengaruhi pola pikir Abdurrahman. Dan
1
Ditulis atas inisiatif pribadi berdua berdasarkan observasi, wawancara, serta
proses interaksi selama ini dengan dosen yang selama ini dirasakan sebagai Bapak,
kakak dan teman.
memang sejak kecil Abdurrahman sudah berkecimpung di dunia
agama, seperti nengaji Al Qur'an dan berjanjen.
Situasi dan tradisi lingkungan pesantren dimana Abdurrahman
dilahirkan, berkaitan erat dengan lingkungan rang sudah padat dengan
rumah-rumah penduduk. Selain itu juga karena mata pencaharian
penduduk yang mayoritas pengusaha konfeksi atau sejenis industri
rumah tangga lain seperti bordir dan tenun tangan (non-mesin).
Karena itulah suasana kehidupan di kawasan Damaran, penuh
dengan suasana kerja. Bila kita menelusuri gang-gang, baik pada pagi
maupun sore hari, suasana kawasan ini tampak lengang, kecuali suara
mesin jahit yang bersahut-sahutan dan berirama tanpa putus.
Suara kerja tersebut akan berubah total ketika malam tiba,
terutama antara waktu magrib dan isya'. Pada saat seperti inilah
semua warga masyarakat Damaran mengaji. Bagi mereka yang tidak
mengaji, tidak membuat gaduh. Semua radio, tape dan televisi pada
jam-jam tersebut dimatikan. Jika pada saat yang demikian ada orang
yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera
diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang akan menganggap bahwa
duduk bersantai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-
jam pengajian itu dianggap tabu atau "saru". Suasana seperti ini
berbeda jauh dengan suasana pada siang hari, yang terdengar hanya
suasana mesin jahit.
Dalam kondisi demikian, ayahnya tetap mempunyai komitmen
agar Dur tidak tergiur dengan dunia kerja dulu, tetapi memiliki niat kuat
belajar agama. Maka anaknya dilibatkan dalam kegiatan agama baca
Al-Qur'an dan Al-Barjanji di Kauman Menara di bawah Jam'iyyah
Nahhdlatul Athfal (NA). Lewat jam'iyyah ini ia dididik membaca Al-
Qur'an dengan fasih dan dibekali cinta kepada Rasulullah dengan
membaca sejarahnya yang ditulis Imam Al-Barzanji. Maka orang Jawa
dengan mudah menyebut kegiatan ini dengan nama Berjanjenan.
Masa kecil dalam membaca Barzanji masih dikenang
Abdurrahman hingga sekarang. Bahkan ketika ia menyelenggarakan
acara aqiqah anaknya, salah seorang tamu undangan yang membaca
kalimat Barzanji: Hajidzal ilahu karamtan li Muhammdin, aba'ahul
amjada shauna liismihi. Oleh Abdurrahman, pembacaan seperti itu
dikatakan salah dalam kalimat liismihi. Karena ketika di NA diajarkan
dengan membaca lismihi, sebab hamzahnya adalah washal, bukan
fatha'. Itulah salah satu kepedulian dan ketelitian Abdurrahman dalam
hal bacaan, yang dianggapnya sebagai nostalgia masa kanak-kanak.
H. Mas'ud dikenang oleh Dur sebagai seorang ayah yang peduli
terhadap pendidikan agama bagi anaknya. Ayahnya sangat rajin
menghadiri pengajian. Sikap apreseatif itu ditunjukkan dengan
mengajak Abdurrahman menghadiri pengajian KH. Syukron Makmun
di Rembang bersama KH. M. Sya'roni Ahmadi. Padahal jarak tempuh
Kudus Rembang hampir dua jam bila ditempuh dengan mobil pribadi.
Kepedulian pendidikan agama oleh ayahnya itulah yang
mendorong disekolahkannya Abdurrahman di Raudlatul Athfal Banat
Kudus. Setelah dua tahun di pendidikan pra sekolah (TK), ia
melanjutkan sekolah di Qudsiyyah. Abdurrahman belajar di Qudsiyyah
selama 12 tahun mulai dari Shifir Awal, Shifir Tsani, Madrasah
Ibtidaiyyah hingga Madrasah Aliyah dan lulus tahun 1980. Lalu ia
melanjutkan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah.
Abdurrahman remaja juga memanfaatkan media radio, televisi
dan buku dalam menambah pengetahuannya, terutama mengenai
pemenuhan minat berbahasa Inggris semenjak kelas enam
Ibtidaiyyah. Radio yang berbahasa Inggris yang sering didengarkan
Rahman adalah radio Australia, dan BBC dari London yang disiarkan
bekerjasama dengan radio Indonesia. Acara televisi yang dijadikan
pendukung belajar bahasa Inggris adalah TVRI yang diasuh oleh Arif
Rahman di tahun 1970an. Sedangkan buku-buku yang berbahasa
Inggris yang biasa dibaca Rahman adalah buku-buku yang berasal
dari Australia. Diantaranya, delapan buku bahasa Inggris radio
Australia ia baca dan ia ikuti programnya secara tuntas ketika kelas
satu Tsanawiyah.
Melalui media tersebut Rahman belajar banyak dan dapat
mengetahui informasi baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini tidak
hanya diikutinya dengan fasilitas media yang berbahasa Indonesia,
namun juga media radio dan buku yang berbahasa Inggris. Kedua
media inilah yang merupakan pendorong keinginan besar Rahman
untuk mengetahui berbagai pemikiran yang berkembang di luar
tradisinya. Dari sinilah pemikiran Rahman mulai terbuka untuk lebih
meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas, di
luar pengetahuan keagamaan yang dipelajari di pesantren
keluarganya sendiri.
Disela-sela kesibukan belajar bahasa Inggrisnya dengan Radio
Australia, Rahman juga aktif mengaji al-Qur'an dengan KH. Arwani
Amin pada pukul 06.00 pagi. Bahkan ketika waktu mengaji, siaran
radio Australia ia rekam karena waktunya bersamaan dengan jam
ngaji al-Qur'an di Pondok Yanbu'ul Qur'an. Yang paling dikenang oleh
Rahman adalah belajar kefasihan dan tabarrukan membaca al-Qur'an
dari Kiai Arwani. Padahal sebelum mengaji dengan KH. Arwani,
Rahman sudah dua kali khatam al-Qur'an musyafahah dengan Kiai
Masykuri Kauman Menara. Pundemikian, Rahman harus merelakan
waktu selama satu bulan hanya untuk belajar surat al-Fatihah ke surat
al-Nas. Waktu sebulan masih tergolong sangat sedikit bagi santri Kiai
Arwani. Banyak santri yang belajar Fatihah itu memakan waktu
berbulan-bulan dan ada juga yang sampai satu tahun.
M. Hanafi. BA, keponakan Abdurrahman mengatakan bahwa H.
Mas'ud mempunyai garis keturunan sampai Sunan Kalijaga. Kakek
dari H. Mas'ud yang dinamakan Mbah Sumo adalah seorang yang ahli
dalam ilmu kanuragan. la terkenal sangat ampuh dan membidangi ilmu
hikmah. Bahkan beliau mewarisi salah satu kitab yang berisi ajaran
Sunan Kalijaga. Kitab itu sampai sekarang ada di tangan H. Mahfudh
Ma'ruf. Kehidupan keluarganya, walaupun banyak orang mengatakan
keluarga kaya, tapi diwarnai dengan kesederhanaan. Misalnya dalam
hal menentukan menu makanan, Hj. Chumaidah tidak sebagaimana
orang kaya lainnya yang selalu bermewah-mewahan. Tapi ia memilih
masakan yang ala kadarnya, yang penting bergizi dan sehat.
Keluarganya tergolong keluarga besar. Sebab H. Mas'ud
dikaruniai enam Anak. Bahkan Abdurrahman mempunyai sepupu lebih
dari 50 orang dari garis Ibu. Diantara adik-adik Abdurrahman adalah
Dra. Hj. Nur Farida, H. Durrun Nafis, SE, Ir. Muallif, Eny Chumaisiyah,
S.Pd dan Ahmad Anis. Abdurrahman tergolong beda dengan adik-
adiknya. la memilih untuk terjun di dunia akademik. Dan ada satu
adiknya yang juga berkiprah di dunia pendidikan yaitu Eny
Chumaisiyah yang belum lama baru pulang dari Jerman. Sementara
adiknya yang lain rata-rata mempunyai usaha wiraswasta; Tekstil,
Konfeksi, Perhiasan, Cuci Mobil, Ganti Oli. Keluarga besar ini di Kudus
dikenal dengan sebutan "Barokah". Hal ini karena ayah Dur
mendirikan usaha tekstil dengan nama Barokah di Jalan Sunan Kudus
No. 105 telpon (0291) 435176.
Hampir selama 20 tahun Abdurrahman hidup di kota Kudus.
Kudus seperti dimuat dalam Peraturan Daerah nomor 11 tahun 1990
tertanggal 6 Juli 1990 ditetapkan berdiri pada tanggal 1 Ramadlan 956
H bertepatan dengan 23 September 1549 M. Secara geografis Kudus
merupakan daerah perlalulintasan yang menghubungkan daerah-
daerah sekitarnya menuju Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, atau juga
jalur utama Jakarta dan Surabaya. Letaknya diantara 110° 36’ Bujur
Timur dan 6°51' dan 70°16' Lintang Selatan. Tanahnya mempunyai
tinggi rata-rata 55 m dari permukaan laut. Iklim tropis daerah ini
tergolong bertemperatur sedang. Kota Kudus tergolong besar, karena
berkisar 22,50 Km. dari Barat ke Timur dan 39,00 Km. dari utara ke
selatan. Jadi, total luasnva sekitar 42.515,644 Km.
Abdurrahman menikah dengan putri pasangan H. Dadang holili
dan Hj. Cicah A'isyah yang bernama Hj. Ella Nurlaila pada akhir
Agustus 1987. Ella sudah dikenalnya semenjak ia kuliah di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, keduanya saling kenal lewat organisasi ekstra
PMII. Ella adalah dua tahun bawah tingkatnya Rahman. Gadis asal
Sukabumi putri pegawai KUA itu dikatakan anggun dan santun oleh
Abdurrahman, sehingga ia tertarik untuk menikahinya. pernikahannya
pun dilaksanakan beberapa bulan setelah Abdurrahman diwisuda.
selang setahun pernikahannya, Ella menyusul diwisuda.
Acara pernikahan dengan Ella tidak sebagaimana lazimnya
pernikahan orang Kudus, yang biasa selenggarakan di rumah
pengantin putri. Kali ini pernikahan diadakan di rumah pengantin putra,
tepatnya di Kudus. Ijab qabul dilaksanakan oleh KH. Turaichan
Adjhuri, Kiai yang ahli dalam ilmu falak. Selain Mbah Tur, begitu
sapaan Kiai Turaichan, juga dihadiri Kiai Kudus yang lain. Acara
pernikahan tersebut dihadiri pula oleh rombongan keluarga besan dari
Sukabumi sebanyak lima bis. Pernikahan tersebut dikaruniai empat
anak:
1. Buna Rizal Rahman
2. Moh Eric Fazlur Rahman
3. Medina Janneta Rahman
4. Ezza Alan Rahman
C. Karya-karya Ilmiah
Sebagai seorang guru besar Sejarah Peradaban Islam,
Abdurrahman Mas'ud telah menghasilkan banyak karya-karya ilmiah.
Karya-karyanya selain buku, masih banyak yang berbentuk artikel,
hasil-hasil penelitian dan makalah. Abdurrahman Mas'ud telah mampu
menyampaikan gagasan-gagasan pemikirannya dengan diperkuat
hasil-hasil penelitiannya yang diramu secara baik sehingga
menghasilkan tulisan-tulisan yang dipercaya referensi studi pemikiran
Islam. Buku karyanya yang pernah diterbitkan adalah :
1. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, diterbitkan
Gama Media Yogyakarta, September2002.
2. Menuju Paradigm Islam Humanis, diterbitkan Gama Media
Yogyakarta, November 2003.
3. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,
diterbitkan LKiS Yogyakarta, Februari 2004.
4. Essai-Essai Agama &Pendidikan, Naskah 100% ready, Insya Allah
terbit April 2004.
Di samping itu, tulisannya banyak juga yang dimuat di majalah,
koran maupun dalam jurnal baik nasional maupun international.
Sebagian besar karya-karyanya disesuaikan dengan disiplin
keilmuannya, yaitu mengenai studi pernikiran dan pendidikan Islam.
Hasil karya Abdurrahman Mas'ud tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. The Pesantren Architects and Their Sosio Rekgious Teaching,
disertasi S-3, UCLA, AS, 1997, Disertasi yang disusun di
Amerika dalam rangka memperoleh gelar Ph.D.
2. "Agama & Prilaku Politisi dalam proses Pilkada", dalam Pilkada di
Era Otonomi, buku bunga rampai bersama-sama dengan
Darmanto Jatman, Novel Ali, dkk (Aneka Ilmu:2003)
3. "Sejarah dan Budaya Pesantren & Tradisi Learning Pada Era Pra
Madrasah" dalam Dinamika Pesantren dan Madrasah, Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama dengan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002. (Editor) Isma'il SM, Nurul Huda, dan Abdul
Khaliq.
4. "Pesantren dan Walisongo : Sebuah Interaksi Dalam Dunia
Pendidikan" dalam Islam Dan Kebudayaan Jawa, Pusat Kajian
Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang bekerja sama
dengan Gama Media, Yogyakarta, 2000, (Editor) Drs. H. M. Darori
Amin, M. A.
5. "Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam", dalam
Paradigma Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001.
6. "Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani", dalam
Ismail S.M & Abdul Mu'ti (Editor), Pendidikan Islam; Demokratisasi
dan Masyarakat Madani, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000.
Sedangkan yang ditulis dalam jurnal antara lain:
1. "The Transmission OfKnowkdge in Medieval Cairo", (Book
Review), Jusur, UCLA, January 1993, pp. 117-121.
2. "The Islamic Quesst: Afascinating Account of Muslim Thirst for
knowledge", Al-Thalib, MSA UCLA News Magazine, March 1993,
pp.12,14.
3. "Sunnism and Orthodoxy In The Eyes Of Modern Scholars",
PROGNOSA, Monthly Magazine In Berlin, February, 1995. pp.18.
4. "Ulama' and Muslim Intellectual In Indonesia." Jentera Times,
Monthly Magazine In Los Angeles, September 1996, pp. 22-23.
5. "Asal-usul Pemikiran Sunni: Sebuah Catatan Awal", Suara Umat,
Vol. 1, No. 2, Desember 1997, hlm. 53-56.
6. "Etika Profesi dalam Menghadapi Perubahan Millennium" dalam
Journal Bima Suci, No 11, hlm 73-77, BAPPEDA Tingkat I Jawa
Tengah, Tahun 2000.
7. "Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam” dalam
Journal Penelitian IAIN Walisongo Semarang, Edisi 17, hlm. 92-06,
Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, tahun 2001.
8. "Khalil Bangkalan (1819-1925 a.d): An Intellectual Biography"
International Journal Ihya' Ulum al-Din, volume 2, hlm. 157-170,
Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Desember2000.
9. "Mahfudz Al-Tirmisi: An Intelledual Biography", Studia Islamika 3,
No. 3, Jakarta, November 1998, hlm. 106-118.
10. "Nawawi Al-Bantani, An Intellectual Master Of The Pesantren
Tradition." Studia Islamika 3, No. 3, Jakarta, November
1996, hlm. 81-114.
11. "Reward And Punishment In Islamic Education", Ihya' Ulum al-Din
International Journal Number 1, vol. 1,2000, pp. 94, Pasca Sarjana
IAIN Walisongo Semarang.
12. "Tarekat dan Modernitas; Perspektif Pendidikan Islam" dalam
Journal Religia, Volume 3, No 2, hlm. 31-36, STAIN Pekalongan,
Juni 2000.
13. "The Da'wa Islamiyya in Medieval Java, Indionesia, "Ihya' Ulum al-
Din International Journal, Number 01, Vol. 1, 1999, pp. 25-52.
14. "Why The Pesantren In Indonesia Remains Unique And Stronger",
disampaikan dengan International Seminar On Islamic Studies In
The Asean: history, Approaches, and Future Trends. Seminar ini
dilaksanakan pada tanggal 25-28 Juni 1998 oleh College Of
Islamic Studies PSU Pattani Thailand.
15. "Diskursus Pendidikan Islam Liberal" dalam Jurnal "Edukasi" Vol.1,
Th.X/Desember/2002, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 2002.
16. "From 'Abd Allah to Khalifat Allah: Imagining a New Model of
Indonesian Muslim Education", dalam Jurnal "Edukasi" Vol. 2, Th.
XI/Januari/2004, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
2004.