Anda di halaman 1dari 8

Menanti Kebangkitan Pancasila dalam Esensi Undang- Undang Pemanfaatan

Sumber Daya Alam

Alit Amarta Adi

NIM : 10/ 305791/ PHK/ 6315

Pendahuluan
Konon, Phoenix, seekor burung dalam mitos akan menemui ajalnya dengan
terbakar habis. Dari sisa- sisa abu jasadnya, Phoenix kemudian bangkit kembali dan
akan hidup sampai seribu tahun. Siklus tersebut terjadi berulang- ulang sehingga
Phoenix dianggap sebagai burung abadi1. Garuda Pancasila sebagai lambang negara
Indonesia, pada bagian dadanya terdapat perisai yang memuat lima lambang filosofi
hidup berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Sebagai filosofi hidup
berbangsa dan bernegara, Pancasila seharusnya juga menjadi nilai- nilai yang menjadi
landasan bagi pembentukan peraturan perundang- undangan Republik Indonesia.
Peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam
ternyata banyak yang bertentangan dengan nilai- nilai Pancasila terutama nilai Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Esensi dari peraturan perundang- undangan
tersebut umumnya adalah mencari pemasukan sebanyak- banyaknya melalui
pemanfaatan sumber daya alam dengan mempermudah ijin, memberikan kebebasan
bagi siapa pun untuk bersaing memperebutkan ijin atas pencarian, pengambilan dan
pengelolaan dan memberikan kemudahan dan keringanan bagi pemegang ijin. Di sisi
lain, masyarakat setempat tidak diberikan dukungan yang cukup untuk menjadi pihak
yang terutama dalam menikmati sumber daya alam yang berada di daerah tempat
tingggalnya. Hal tersebut merupakan pengkhianatan (atau lebih ekstrim lagi:
pembunuhan) terhadap Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila tidak dibiarkan hidup
dalam esensi peraturan perundang- undangan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.
Pancasila “dibunuh” oleh para pembentuk undang- undang, “jasadnya dibakar habis”
dan diganti dengan filosofi Neo- liberalisme 2. Sementara segelintir orang menikmati

1
Thomas Bulfinch, 1913, Bulfinch's Mythology: the Age of Fable or Stories of Gods and Heroes,
Thomas Y. Crowell Company, New York, hlm.287-288.

2
Istilah Neo- liberalisme digunakan untuk menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pasar
dengan penekanan pada efisiensi, selera konsumen, pemikiran transaksional, dan otonomi individu.

1
upah perselingkuhan dengan Neo- liberalisme, lebih dari puluhan juta rakyat Indonesia
hidup dalam kemiskinan dan menanti Pancasila bangkit kembali dari sisa- sisa abu
jasadnya, mengalahkan Neo- liberalisme dan mengantarkan rakyat Indonesia kedalam
kesejahteraan.

Quo Vadis? Mau Kemana Kita?


“...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial...”3.

Para pendiri negara Indonesia merumuskan tujuan negara Indonesia adalah sebagaimana
tercantum dalam kutipan di atas, yang pada akhirnya adalah menuju kepada
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pandangan bahwa tujuan negara adalah kesejahteraan
rakyat juga dikemukakan oleh para pakar, diantaranya adalah Hugo Grotius yang
menyatakan bahwa:
“Negara adalah sekelompok manusia bebas yang secara bersama- sama menggabungkan dirinya dengan
tujuan untuk menikmati pengaturan oleh hukum dan demi kesejahteraan umum”4.

Senada dengan Grotius adalah Charles E. Merriam yang menyatakan bahwa fungsi
negara adalah untuk mewujudakan keamanan ekstern, ketertiban intern, keadilan,
kebebasan dan kesejahteraan umum5.
Pakar politik Miriam Budihardjo menyatakan bahwa terlepas dari ideologinya, setiap
negara menyelenggarakan beberapa fungsi minimum yang perlu, antara lain
melaksanakan penertiban, pertahanan, menegakkan keadilan dan mengusahakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya6.

Dengan otonomi individu/ kebebasan menentukan pilihan maka negara dan korporasi lepas dari tanggung
jawab atas risiko yang terkandung dalam pilihan yang dibuat oleh individu tersebut. Lihat: Aihwa Ong,
2006, Neoliberalism as Exception: Mutations in Citizenship and Sovereignty, Duke University Press,
Durham, hlm.1.

3
Alinea IV Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4
Johann Caspar Bluntschli, 2009, The Theory of State, Bibliolife LLC, tanpa kota, hlm.65-66.
5
Miriam Budihardjo, 2008, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, hlm.56.
6
Ibid.

2
Kesejahteraan Rakyat; Apa Itu?
Kesejahteraan rakyat atau kesejahteraan sosial (social welfare) adalah penyediaan
pemerintah dalam bentuk bantuan ekonomi bagi individu yang memerlukannya 7.
Seorang pakar bernama Charles H. Zastrow menyatakan bahwa kesejahteraan sosial
diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan- kebutuhan sosial, keuangan, kesehatan dan
hiburan bagi semua individu dalam suatu masyarakat8.
Lebih lanjut, para pakar lain seperti Rosalie Ambrosino, Robert Ambrosino, Joseph
Heffernan dan Guy Shuttlesworth, menyatakan bahwa istilah ‘kesejahteraan sosial’
merujuk pada lingkup luas kegiatan terorganisasi badan- badan publik atau badan-
badan sukarelawan dalam upaya mencegah, mengurangi penderitaan atau berkontribusi
untuk memecahkan serangkaian masalah sosial tertentu9. Pada konkretnya,
kesejahteraan sosial menunjuk pada tersedianya fasilitas publik seperti perpustakaan,
taman umum dan rumah sakit.

Indonesia Negeri yang Kaya dengan Sumber Daya Alam


Berdasarkan data Badan Intelijen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency),
Indonesia mempunyai sumber daya alam andalan berupa minyak bumi, timah, gas alam,
nikel, kayu, bauksit, lahan pertanian yang subur, batu bara, tembaga, emas, perak10.
Pada tahun 2009, produksi minyak bumi diperkirakan mencapai 1.023 juta barrell per
hari (peringkat ke- 22 dunia) dengan cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai
3,99 milyar barrell (peringkat ke- 29 dunia). Pada tahun 2008, produksi gas alam
diperkirakan mencapai 70 milyar meter kubik (peringkat ke- 12 dunia) dengan cadangan
gas alam pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 3.001 trilyun meter kubik (peringkat
ke- 12 dunia) tetapi terhitung pada 31 Desember 2009, Indonesia masih mempunyai
hutang luar negeri mencapai 150,7 milyar Dollar Amerika.

Liberalisasi dan Privatisasi. Kenapa Bukan Nasionalisasi (atau setidaknya


Intervensi untuk Melindungi Usaha Rakyat?
Dengan hutang luar negeri mencapai 150,7 milyar Dollar Amerika, pembentuk undang-
undang malah melakukan (atau setidak- tidaknya membiarkan) liberalisasi11 yang
7
http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=welfare, diakses 3 November 2010.
8
Charles H. Zastrow, 1999, The Practice of Social Work, Pacific Grove: Brooks/ Cole, Belmont-
California, hlm.6.
9
Rosalie Ambrosino,Robert Ambrosino,Joseph Heffernan,Guy Shuttlesworth, 2007, Social Work and
Social Welfare: an Introduction, Thomson Brooks/ Cole, Belmont- California, hlm.5.
10
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html, diakses 3 November 2010.
11
Dalam MacMillan Dictionary, Liberalisasi berarti membuat hukum atau peraturan menjadi kurang ketat
sehingga orang menjadi lebih bebas. Lihat:

3
mendorong privatisasi12 pengelolaan sumber daya alam. Kenapa tidak melakukan
nasionalisasi13 perusahaan- perusahaan yang mengelola pemanfaatan sumber daya
alam?. Bolivia dibawah kepemimpinan presiden Evo Morales melakukan nasionalisasi
terhadap tambang gas alam Bolivia pada tanggal 1 Mei 2006 14 dan nasionalisasi
terhadap Chaco yang merupakan anak perusahaan British Petroleum (BP) pada tanggal
23 Januari 200915. Chile dibawah kepemimpinan presiden Salvador Allende melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan- perusahaan tambang tembaga pada tahun 1971 16.
Selain itu, Venezuela dibawah kepemimpinan presiden Hugo Chavez melakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan pemurnian minyak Orinoco Belt17. Negara- negara
seperti Bolivia, Chile, Venezuela memang tidak menganut Pancasila sebagai landasan
hukumnya tetapi negara- negara tersebut menganut asas kesejahteraan sosial untuk
rakyatnya dan berani melakukan nasionalisasi sumber daya alam. Sila ke- lima
Pancasila berbunyi ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Jadi mengapa
Indonesia (yang mengaku) menganut Pancasila sebagai landasan hukumnya tidak berani
melakukan nasionalisasi demi kesejahteraan sosial rakyatnya? atau setidak- tidaknya
melakukan intervensi legislatif dengan membuat undang- undang yang melindungi dan
mengutamakan masyarakat setempat dalam mengakses dan memanfatkan sumber daya
alam dan juga melakukan review/ perbaikan materi undang- undang yang berasas
liberalisme?. Mengapa justru pembentuk undang- undang menciptakan kondisi

http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/liberalize#liberalization, diakses 3 November


2010.
12
Dalam Oxford Dictionary, Privatisasi berarti pemindahan suatu usaha, industri atau jasa dari
kepemilikan/ penguasaan negara kepada swasta. Lihat:
http://oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0663190#m_en_gb0663190.004, diakses 3 November
2010.
13
Dalam Oxford Dictionary, Nasionalisasi berarti pemindahan cabang utama industri atau perdagangan
dari kepemilikan swasta menjadi kepemilikan atau penguasaan negara. Lihat:
http://oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0549220#m_en_gb0549220.006, diakses 3 November
2010.

14
Bolivia: President Evo Morales Nationalizes Natural Gas Resources,
http://www.allbusiness.com/government/elections-politics-campaigns/8608452-1.html, diakses 3
November 2010.

15
Bolivia Nationalize BP Subsidiary,
http://www.cnn.com/2009/WORLD/americas/01/23/bolivia.nationalization/index.html#cnnSTCText,
diakses 3 November 2010.

16
The World: Chile: Owner of the Future,
http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,877026,00.html, diakses 3 November 2010.

Venezuela Takes Over Refineries, http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/6610333.stm, diakses 3


17

November 2010.

4
kebebasan bersaing dalam mendapatkan ijin pencarian, pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam?.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Kehutanan


Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan merupakan peraturan yang
mengatur tentang pemanfaatan hutan di Indonesia. Dalam Pasal 29 tercantum bahwa
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada perorangan,
koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah. Sepintas lalu rumusan Pasal 29 tersebut tampak memberikan
kesempatan yang sama kepada perorangan dan koperasi untuk dapat memperoleh izin
pemanfaatan hutan tetapi rumusan tersebut menyimpan filosofi kebebasan bersaing.
Bagaimana perorangan atau koperasi jika bersaing langsung dengan badan usaha milik
swasta?. Kemungkinan besar perseorangan atau koperasi akan kalah bersaing dengan
badan usaha milik swasta. Selain itu, seharusnya dalam undang- undang kehutanan
dicantumkan ketentuan yang memberikan jatah untuk perorangan dan koperasi dengan
persentase tertentu dari kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan. Akan sangat baik jika
persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Dengan demikian pemanfaatan hutan dan hasil
hutan tidak didominasi oleh badan usaha milik swasta dan memberikan jaminan
kepastian ketersediaan akses pemanfaatan hutan bagi usaha kecil milik rakyat dan
koperasi.
Selain mengenai kebebasan bersaing dalam mendapatkan izin dan tidak adanya jatah
khusus bagi usaha kecil milik rakyat dan koperasi, hak masyarakat adat untuk
memanfaatkan hutan juga dibatasi dengan ketentuan Pasal 67 dimana masyarakat
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut berarti bahwa untuk
melakukan usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan, masyarakat adat harus
mendapatkan izin (sebagaimana usaha perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta
dan badan usaha milik pemerintah). Hal tersebut tentunya menghambat masyarakat adat
untuk mencapai kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya alam di lingkungan tempat
tinggalnya. Sebaiknya masyarakat adat diberikan prioritas untuk memanfaatkan hutan
dan hasil hutan dalam ‘area jatah 33-50 %’ dalam alinea diatas serta diberikan
kemudahan dalam hal izin.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Minyak dan Gas


Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan
peraturan yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam minyak dan gas bumi
di Indonesia. Dalam Pasal 9 ayat (2) tercantum bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat
melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1), kegiatan
Usaha hulu mencakup ekplorasi dan eksploitasi. Pertanyaan nya: apakah Bentuk Usaha

5
Tetap itu?. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) c Undang- Undang Nomor 17 tahun
2000 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan, Bentuk Usaha Tetap adalah:
bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di
Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor
cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi,
pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa
dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak
didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu badan usaha asing cukup
dengan mengirimkan perwakilan sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai ‘Bentuk
Usaha Tetap’ tanpa perlu mendirikan badan usaha berdasarkan hukum Indonesia sudah
dapat melaksanakan kegitan pencarian dan penambangan minyak dan gas bumi! Apa-
apaan ini?. Bukankah ini sama dengan mempermudah badan usaha asing untuk
memanfaatkan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Indonesia?. Hal tersebut
membuat badan usaha Indonesia akan menghadapi persaingan lebih berat. Mengapa
pembentuk undang- undang tidak memberikan proteksi dan prioritas bagi badan usaha
milik warga negara Indonesia?.
Dalam Pasal 22 ayat (2) dicantumkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil
produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Mengapa hanya 25 %? seharusnya tidak boleh kurang dari 50 %, bukankah minyak dan
gas bumi tersebut milik Indonesia?.
Kemudian dalam Pasal 28 ayat (2) dicantumkan bahwa harga Bahan Bakar Minyak dan
harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Bukankah ini merupakan asas kebebasan bernegosiasi atau kebebasan dalam menyusun
kontrak?. Mengapa rumusan pasal tersebut begitu mengambang dan tidak tegas?.
Mengapa tidak dirumuskan bahwa standar harga Bahan Bakar Minyak Bumi tidak boleh
lebih rendah dari standar harga OPEC (Organization of the Petroleum Exporter
Counry)/ Organisasi negara- negara pengekspor minyak. Untuk penentuan harga gas
bumi memang belum ada standar baku tetapi dapat dibandingkan dengan harga yang
ditetapkan oleh negara- negara angggota GECF (Gas Exporting Country Forum)/
Forum negara- negara pengekspor gas.

Undang- Undang Bermasalah: Undang- Undang Pertambangan


Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara merupakan
peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pemanfaatan mineral dan batu
bara di Indonesia. Dalam Pasal 22 f dicantumkan bahwa salah satu kriteria bagi suatu
lokasi untuk ditetapkan sebagai wilayah pertmbangan rakyat (WPR) adalah merupakan
wilayah atau tempat kegitan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-

6
kurangnya lima belas tahun. Jika demikian maka lokasi tersebut kemungkinan besar
sudah tidak produktif lagi. Selain itu jangka waktu Ijin Usaha Pertambangan (IUP)
Operasi Produksi untuk pertambangan dalam Pasal 47 juga terlalu lama. IUP Operasi
Produksi untuk pertambangan mineral logam, batu bara dan mineral bukan logam jenis
tertentu adalah paling lama dua puluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-
masing sepuluh tahun, sehingga total keseluruhan dapat mencapai empat puluh tahun.
Sedangkan untuk IUP Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam adalah
paling lama sepuluh tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- masing lima tahun,
sehinggga total keseluruhan dapat mencapai dua puluh tahun. Dengan periode selama
itu maka kemungkinan besar ketika IUP berakhir maka pertambangan sudah tidak
produktif lagi selain itu keuntungan hanya akan dinikmati segelintir pihak saja dan
kurang mendukung pemerataan.
Pada Pasal 51 dicantumkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam
diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dengan cara lelang. Dengan
mekanisme lelang memang pemerintah akan mendapatkan penawaran tertinggi tetapi
hal tersebut membuat daya saing koperasi dan perseorangan lebih lemah dari pada
badan usaha yang umumnya bermodal besar. Seharusnya pembentuk undang- undang
memberikan jatah untuk koperasi dan perseorangan dengan persentase tertentu dari luas
wilayah ijin usaha pertambangan yang ditetapkan setiap tahunnya. Akan sangat baik
jika persentase tersebut mencapai 33- 50 %. Mekanisme lelang dapat dipertahankan
tetapi koperasi dan perseorangan tidak berhadapan langsung dengan badan usaha dalam
suatu lelang. Akan lebih adil jika badan usaha bersaing dengan badan usaha, dan
koperasi atau perseorangan dengan koperasi atau perseorangan lainnya.

Kesamaan Masalah Pada Undang- Undang Pemanfaatan Sumber Daya Alam


Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang- Undang Nomor
22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun
2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sebagai undang- undang yang mengatur
pemanfaatan tiga sumber daya alam andalan Indonesia kesemuanya sarat dengan asas
Neo- Liberalisme: kebebasan bersaing, kebebasan bernegosiasi dalam kontrak. Selain
sarat dengan asas Neo- Liberalisme, ketiga undang- undang tersebut tidak memiliki
suatu ‘jaring pengaman’ atau jaminan pelindungan yang memadai bagi usaha kecil
milik rakyat dan koperasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Bahkan
terdapat indikasi bahwa ketiga undang- undang tersebut mempermudah masuknya
badan usaha asing dan memberikan keuntungan yang terlaluu besar pada badan- badan
usaha asing tersebut.

Dimanakah Asas Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Sosial?


Dominannya asas Liberalisme dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi,
dan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara membuat
saya berpikir: dimanakah nilai- nilai Pancasila khususnya ‘keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia’ yang seharusnya menjadi dasar pembentukan ketiga undang- undang

7
tersebut? Dimanakah nilai kesejahteraan sosial yang diamanatkan dalam pasal 33
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945?.
Bukankah Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan?, lalu dimanakah asas kekeluargaan tersebut dalam ketiga undang- undang
tadi?.
Bukankah, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat?, lalu mengapa
mekanisme penetapan harga cenderung merugikan pemerintah?, mengapa kewajiban
pemegang izin usaha eksplorasi dan eksploitasi begitu ringan?.

Kerinduan Akan Nilai- Nilai Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat: Sebuah
Penantian
Akhirnya sampai dengan saat ini, rakyat Indonesia sedang merindukan nilai- nilai
keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat untuk menjadi landasan pembentukan
peraturan perundang- undangan. Rakyat Indonesia masih menanti- nanti kebangkitan
kembali Pancasila sebagai landasan hukum Indonesia. Penantian yang entah sampai
kapan akan tergenapi.

Anda mungkin juga menyukai