Anda di halaman 1dari 14

Mon, 30 Apr 2007 19:05:49 -0700

Smogabermanfaat

http://www.sehatgroup.web.id/artikel/1082.asp?FNM=1082

Demam

Apakah demam itu ?

Pengukuran suhu

Fisiologi demam

Dampak menguntungkan terhadap fungsi imunitas

Dampak negatif

Demam pada infeksi virus

Demam pada infeksi bakteri

Efek obat pereda demam

Rekomendasi tata laksana demam


            Pengobatan dengan
antipiretik
            Parasetamol
            Aspirin
            Obat anti inflamasi non
steroid
Terapi suportif
            Upaya suportif yang
direkomendasikan
            Upaya suportif yang
tidak direkomendasikan

Kesimpulan

APAKAH DEMAM ITU?

Tubuh kita memiliki hipotalamus anterior di otak


yang bertugas mengatur agar suhu tubuh stabil
(termostat) yaitu berkisar 37 +/- 1 derajat selsius.
 

Pengukuran Suhu

Suhu di daerah dubur (temperatur rektal) paling


mendekati suhu tubuh sebenarnya (core body
temperature). Suhu di daerah mulut atau ketiak
(aksila) sekitar 0,5 sampai 0,8 derajat lebih
rendah dari suhu rektal, dengan catatan setelah
pengukuran selama minimal 1 menit. Tidak dianjurkan
mengukur (“menebak”) suhu tubuh berdasarkan
perabaan tangan (tanpa mempergunakan termometer)
 

Fisiologi Demam (Bagaimana Demam Terjadi)

Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi


mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga
bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti
kompleks imun, atau inflamasi (peradangan)
lainnya. Ketika virus atau bakteri masuk ke dalam
tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau
leukosit melepaskan “zat penyebab demam (pirogen
endogen)” yang selanjutnya memicu produksi
prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang
kemudian meningkatkan nilai-ambang temperatur dan
terjadilah demam. Selama demam, hipotalamus cermat
mengendalikan kenaikan suhu sehingga suhu tubuh
jarang sekali melebihi 41 derajat selsius.  

DAMPAK DEMAM

Dampak Menguntungkan terhadap Fungsi Imunitas


(Daya Tahan) Tubuh

Beberapa bukti penelitian ‘in-vitro’ (tidak


dilakukan langsung terhadap tubuh manusia)
menunjukkan fungsi pertahanan tubuh manusia bekerja
baik pada temperatur demam, dibandingkan suhu
normal. IL-1 dan pirogen endogen lainnya akan
“mengundang” lebih banyak leukosit dan
meningkatkan aktivitas mereka dalam menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Demam juga memicu
pertambahan jumlah leukosit serta meningkatkan
 produksi/fungsi interferon (zat yang membantu
leukosit memerangi mikroorganisme).  

Dampak Negatif

Pertama, kemungkinan dehidrasi (kekurangan cairan


tubuh). Ketika mengalami demam, terjadi
peningkatan penguapan cairan tubuh sehingga anak
bisa kekurangan cairan.  

Kedua, kekurangan oksigen. Saat demam, anak dengan


penyakit paru-paru  atau penyakit
jantung-pembuluh darah bisa mengalami kekurangan
oksigen sehingga penyakit paru-parau atau kelainan
jantungnya   infeksi saluran napas akut (Isakan
semakin berat.  

Ketiga, demam di atas 42 derajat selsius bisa


menyebabkan kerusakan neurologis (saraf), meskipun
sangat jarang terjadi. Tidak ada bukti penelitian yang
menunjukkan terjadinya kerusakan neurologis bila
demam di bawah 42 derajat selsius.  
Terakhir, anak di bawah usia 5 tahun (balita),
terutama pada umur di antara 6 bulan dan 3 tahun,
berada dalam risiko kejang demam (febrile
convulsions), khususnya pada temperatur rektal di
atas 40 derajat selsius. Kejang demam biasanya
hilang dengan sendirinya, dan tidak menyebabkan
gangguan neurologis (kerusakan saraf). Lihat
guideline kejang demam.  

Demam seringkali disertai dengan gejala lain


seperti sakit kepala, nafsu makan menurun
(anoreksia), lemas, dan nyeri otot. Sebagian besar
di antaranya berhubungan dengan zat penyebab demam
tadi.  

Demam pada Infeksi Virus

Demam pada bayi dan anak umumnya disebabkan oleh


infeksi virus. Pada demam yang disertai sariawan, ruam
cacar, atau ruam lainnya yang mudah dikenali,
virus sebagai penyebab demam dapat segera
disimpulkan tanpa membutuhkan pemeriksaan khusus.
Demam ringan juga dapat ditemukan pada anak dengan
batuk pilek (common colds), dengan rinovirus salah
satu penyebab terseringnya. Penyebab lain demam pada
anak adalah enteritis (peradangan saluran cerna)
yang disebabkan terutama oleh rotavirus.

Penyakit yang disebabkan virus adalah


self-limiting disease (akan berakhir dan sembuh dengan
sendirinya).  

Demam pada Infeksi Bakteri

Di antara demam yang disebabkan oleh infeksi


bakteri pada anak, salah satu yang paling sering
ditemukan adalah infeksi saluran kemih (ISK).
Umumnya tidak disertai dengan gejala lainnya.
Risiko paling besar dimiliki bayi yang berusia di
bawah 6 bulan.  

Infeksi bakteri yang lebih serius seperti


pneumonia atau meningitis (infeksi selaput otak) juga
dapat menimbulkan gejala demam. Namun demikian
persentasenya tidaklah besar. Dari bayi > 3 bulan
dan anak 1-3 tahun dengan demam > 39C, hanya 2%
(1–3.6%) saja yang bakterinya sudah memasuki
peredaran darah (bakteremia).  
Pada golongan usia ini, program imunisasi HiB
berhasil menurunkan risiko meningitis bakterial
secara sangat signifikan. S. pneumoniae (penyebab
utama infeksi bakteri yang cukup serius) hanya
ditemukan pada < 2 % populasi. Dan sebagian besar
anak dalam golongan usia ini dapat mengatasi S.
pneumoniae tanpa antibiotika. Hanya 10 %-nya yang
berlanjut menjadi pneumonia yang lebih berat dan
3-6 % menjadi meningitis.  

Usia yang menuntut kewaspadaan tinggi orangtua dan


dokter adalah usia di bawah 3 bulan. Bayi harus
menjalani pemeriksaan yang lebih teliti karena 10
%-nya dapat mengalami infeksi bakteri yang serius,
dan salah satunya adalah meningitis. Untuk
memudahkan penilaian risiko tersebut, Rochester
menetapkan beberapa poin untuk mengidentifikasi
risiko rendah infeksi bakteri serius pada bayi yang
demam. Kriteria Rochester ini adalah: 

Bayi tampak baik-baik saja

Bayi sebelumnya sehat :

Lahir cukup bulan (≥ 37 minggu kehamilan)

Tidak ada riwayat pengobatan untuk hiperbilirubinemia


(kuning) tanpa sebab yang jelas

Tidak ada riwayat pengobatan dengan antibiotika

Tidak ada riwayat rawat inap

Tidak ada penyakit kronis atau penyakit lain yang


mendasari demam

Dipulangkan dari tempat bersalin bersama / sebelum ibu


Tidak ada tanda infeksi kulit, jaringan lunak, tulang,
sendi, atau telinga

Nilai laboratorium sebagai berikut  :

Leukosit 5000 – 15000/µl

Hitung jenis neutrofil batang 1500/µl

≤10 leukosit/LPB di urin

≤ 5 eritrosit (sel darah merah)/LPB pada feses bayi


dengan diare  

Walaupun diketahui bahwa sebagian besar penyebab


demam adalah infeksi virus, namun data menunjukkan
bahwa justru sebagian besar tenaga medis
mendiagnosisnya  sebagai infeksi bakteri. Dalam
satu penelitian di Amerika Serikat, persentase ini
mencapai 56 %. Dan pada penelitian yang sama masih
ditemukan adanya pemberian antibiotik pada demam
yang belum jelas diidentifikasi penyebabnya (virus
atau bakteri).  

Efek Obat Pereda Demam (Antipiretik)

Sebuah penelitian melaporkan relawan dewasa yang


secara sukarela diinfeksi virus Rhinovirus dan
diterapi dengan aspirin dosis terapetik (dosis
yang lazim digunakan dalam pengobatan), lebih
cenderung menjadi sakit dibandingkan yang
mendapatkan plasebo. Hasil serupa (meski tidak
signifikan), dilaporkan dengan penggunaan aspirin
dan parasetamol. Lebih lanjut, penggunaan kedua
obat ini, ditambah ibuprofen, meningkatkan penyumbatan
di hidung (obstruksi nasal) dan menekan respon
antibodi  Penelitian-penelitian lain belum
menunjang temuan ini.  

Pada sebuah survei terhadap 147 anak dengan infeksi


bakteri, tidak ada perbedaan lama rawat inap pada
mereka yang diberi dua atau lebih obat
antipiretik, dibandingkan yang menerima satu, atau
sama sekali tidak diberi antipiretik.  

Sebuah penelitian randomized terhadap anak-anak


demam yang diduga akibat virus, menunjukkan
parasetamol tidak mengurangi lamanya demam dan
tidak menghilangkan gejala-gejala yang terkait. Namun
demikian, parasetamol membuat anak sedikit lebih
aktif dan lebih bugar.  

REKOMENDASI TATA LAKSANA DEMAM

Pengobatan dengan Antipiretik

Mekanisme Kerja

Parasetamol, aspirin, dan obat anti inflamasi non


steroid (OAINS) lainnya adalah antipiretik yang
efektif. Bekerja dengan cara menghambat produksi
prostaglandin E2 di hipotalamus anterior (yang
meningkat sebagai respon adanya pirogen endogen).
 

Parasetamol

Parasetamol adalah obat pilihan pada anak-anak.


Dosisnya sebesar 10-15 mg/kg/kali.  

Parasetamol dikonjugasikan di hati menjadi turunan


sulfat dan glukoronida, tetapi ada sebagian kecil
dimetabolisme membentuk intermediet aril yang
hepatotoksik (menjadi racun untuk hati) jika jumlah
zat hepatotoksik ini melebihi kapasitas hati untuk
memetabolismenya dengan glutation atau sulfidril
lainnya (lebih dari 150 mg/kg). Maka sebaiknya
tablet 500 mg tidak diberikan pada anak-anak (misalnya
pemberian tiga kali tablet 500 mg dapat
membahayakan  bayi dengan berat badan di bawah 10
kg). Kemasan berupa sirup 60 ml lebih aman.
Aspirin

Merupakan antipiretik yang efektif namun


penggunaannya pada anak dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Aspirin bersifat iritatif
terhadap lambung sehingga meningkatkan risiko ulkus
(luka) lambung, perdarahan, hingga perforasi
(kebocoran akibat terbentuknya lubang di dinding
lambung). Aspirin juga dapat menghambat aktivitas
trombosit (berfungsi dalam pembekuan darah)
sehingga dapat memicu risiko perdarahan).
Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus
terbukti meningkatkan risiko Sindroma Reye, sebuah
penyakit yang jarang (insidensinya sampai tahun
1980 sebesar 1-2 per 100 ribu anak per tahun), yang
ditandai dengan kerusakan hati dan ginjal. Oleh
karena itu, tidak dianjurkan untuk anak berusia <
16 tahun.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Jenis OAINS yang paling sering digunakan pada anak


adalah ibuprofen. Dosis sebesar 5-10 mg/kg/kali
mempunyai efektifitas antipiretik yang setara
dengan aspirin atau parasetamol. Sama halnya dengan
aspirin dan OAINS lainnya, ibuprofen bisa
menyebabkan ulkus lambung, perdarahan, dan
perforasi, meskipun komplikasi ini jarang pada
anak-anak. Ibuprofen juga tidak direkomendasikan
untuk anak demam yang mengalami diare dengan atau
tanpa muntah.  

Jenis Lainnya

Turunan pirazolon seperti fenilbutazon dan dipiron,


efektif sebagai antipiretik, tetapi jauh lebih
toksik (membahayakan).

Terapi Suportif

Upaya Suportif yang Direkomendasikan

Tingkatkan asupan cairan (ASI, susu, air, kuah


sup, atau jus buah). Minum banyak juga mampu menjadi
ekspektoran (pelega saluran napas) dengan mengurangi
produksi lendir di saluran napas. Jarang terjadi
dehidrasi berat tanpa adanya diare dan muntah
terus-menerus.. Hindari makanan berlemak atau yang
sulit dicerna karena demam menurunkan aktivitas
lambung.

Kenakan pakaian tipis dalam ruangan yang baik


ventilasi udaranya. Anak tidak harus terus berbaring
di tempat tidur)tetapi dijaga agar tidak melakukan
aktivitas berlebihan.

Mengompres atau anak dengan air hangat dapat


dilakukan jika anak rewel merasa sangat tidak nyaman,
umumnya pada suhu sekitar 40 selsius. Mengompres
dapat dilakukan dengan meletakkan anak di bak
mandi yang sudah diisi air hangat. Lalu basuh badan,
lengan, dan kaki anak dengan air hangat
tersebut.  

Umumnya mengompres anak akan menurunkan demamnya dalam


30-45 menit. Namun jika anak merasa semakin tidak
nyaman dengan berendam, jangan lakukan hal ini.
 

Upaya Suportif yang Tidak Direkomendasikan

Upaya ‘mendinginkan’ badan anak dengan melepaskan


pakaiannya, memandikan atau membasuhnya dengan air
dingin, atau mengompresnya dengan alkohol. Jika
nilai-ambang hipotalamus sudah direndahkan
terlebih dahulu dengan obat, melepaskan pakaian anak
atau mengompresnya dengan air dingin justru akan
membuatnya menggigil (dan tidak nyaman), sebagai
upaya tubuh menjaga temperatur pusat berada pada
nilai-ambang yang telah disesuaikan. Selain itu
alkohol dapat pula diserap melalui kulit masuk ke
dalam peredaran darah, dan adanya risiko toksisitas.
 

KESIMPULAN

Pandangan masyarakat akan demam terus berubah. Kini


demam dianggap sebagai respon ‘sehat’ terhadap
penyakit dan dianggap wajar. Pengobatan secara
‘agresif’ harus dibuktikan oleh bukti-bukti
ilmiah. Sehingga terapi yang rasional adalah
menenangkan pasien dan tenaga kesehatan, serta
meyakinkan bahwa merekalah yang ‘mengendalikan’
penyakit anaknya, bukan ‘dikendalikan’ penyakit.
 
Upaya menangani demamnya bukanlah prioritas utama.
Tindakan pertama adalah mengidentifikasi adakah
infeksi bakteri (pneumonia, otitis media,
faringitis streptokokus, meningitis, atau sepsis), dan
kalau perlu merujuk ke RS untuk tindakan
selanjutnya.  

Baik orangtua maupun  tenaga kesehatan seharusnya


tidak otomatis memberikan obat pereda demam pada semua
anak demam. “Tangani anaknya, bukan
termometernya”. Usaha meredakan demam lebih
ditujukan mengatasi ketidaknyamanan anak (jika memang
signifikan), dan biasanya diperoleh melalui
pemberian parasetamol secara oral pada anak yang
hanya mengalami demam tinggi saja. Hal ini akan
menciptakan layanan kesehatan (dan keluarga) yang
efisien semata-mata ditujukan bagi kebaikan anak,
menekankan pada upaya mencari penyebab serta
melalui usaha mengurangi polifarmasi yang tidak perlu,
serta memprioritaskan pengobatan esensial saja.

(Disusun oleh dr Arifianto dan dr Nurul Itqiyah


Hariadi)  

Beberapa waktu lalu prof zullies,Apt Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada
(UGM) dan Dosen Universitas Islam Indonesia (UII)  jogjakarta mendapat pertanyaan dari
seorang pembaca blognya, di kutipkan sesuai aslinya :

First choice nyeri dan demam kan parasetamol. yang paling aman juga parasetamol. Tapi
kenapa di obat demam untuk anak seperti bodrexin, contrexyn, inzana, isinya aspirin dan
glisin semua? kalau apoteker ingin memilihkan obat demam untuk anak, pilih sirup yang
isinya parasetamol atau obat2 tadi yang (diiklankan) memang untuk anak2?

Kemudian disambung oleh yang lain dengan postingan berita di Kompas seperti ini:

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah riset independen Retail Audit Nielsen, Indonesia Urban
mengungkapkan bahwa sekitar 70 persen konsumsi obat penurun demam anak di wilayah
perkotaan di Indonesia adalah mengandung asam asetilsalisilat (acetyl salicylic acid). Asam
asetilsalisilat adalah jenis bahan aktif yang tidak sesuai untuk konsumsi anak-anak karena
diduga dapat menyebabkan sindroma Reye.

Inilah Penjelasan Prof.Zullies….


Well, kawan….. Ada apa dengan asam asetil salisilat atau asetosal? Apa benar bukan
pilihan yang tepat untuk obat penurun panas atau penghilang nyeri pada anak-anak? Aku
pernah menulis di blog ini tentang bagaimana memilih analgesik yang pas… (bisa dilihat di
sini). Tapi tulisan itu masih agak luas, yaitu menguraikan berbagai jenis obat penghilang rasa
sakit dan radang. Asetosal  termasuk obat yang banyak dipakai untuk mengatasi radang, sakit,
dan demam. Nah, tulisan kali ini akan menyoroti asetosal saja, dan ada sedikit tambahan
tentang parasetamol.

Bagaimana kerja asetosal sebagai obat turun panas dan penghilang nyeri (analgesik)?

Asam asetil salisilat atau asetosal banyak dijumpai dalam berbagai nama paten, salah
satunya yang terkenal adalah Aspirin. Seperti halnya obat-obat analgesik yang lain,
ia bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri adalah
suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan radang/inflamasi. Ia
terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase
(COX). Dengan penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk, dan
nyeri atau radang pun reda.

Prostaglandin juga merupakan senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh oleh
hipotalamus sehingga menyebabkan demam. Hipotalamus sendiri merupakan bagian dari
otak depan kita yang berfungsi sebagai semacam “termostat tubuh”, di mana di sana terdapat
reseptor suhu yang disebut termoreseptor. Termoreseptor ini menjaga tubuh agar memiliki
suhu normal, yaitu 36,5 – 37,5 derajat Celcius.

Pada keadaan tubuh sakit karena infeksi atau cedera sehingga timbul radang, dilepaskanlah
prostaglandin tadi sebagai hasil metabolisme asam arakidonat. Prostaglandin akan
mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus, di mana hipotalamus akan meningkatkan
titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini
disebabkan karena termostat tadi menganggap bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas
normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan
utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas
normal karena memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di
atas inilah yang disebut dengan demam. Karena itu, untuk bisa mengembalikan setting
termostat menuju normal lagi, perlu menghilangkan prostaglandin tadi dengan obat-obat yang
bisa menghambat sintesis prostaglandin.

Efek samping asetosal?

Selain memiliki efek utama sebagai obat anti radang dan turun panas, asetosal memiliki
beberapa efek lain sebagai efek samping.  Efek samping yang pertama adalah asetosal dapat
mengencerkan darah. Kok bisa? Ya…., karena asetosal bekerja secara cukup kuat pada enzim
COX-1 yang mengkatalisis pembentukan tromboksan dari platelet, suatu keping darah yang
terlibat dalam proses pembekuan darah. Penghambatan sintesis tromboksan oleh asetosal
menyebabkan berkurangnya efek pembekuan darah. Sehingga, asetosal bahkan dipakai
sebagai obat pengencer darah pada pasien-pasien pasca stroke untuk mencegah serangan
stroke akibat tersumbatnya pembuluh darah.
Apa implikasinya? Karena dia memiliki efek pengencer darah, maka tentu tidak tepat jika
digunakan sebagai obat turun panas pada demam karena demam berdarah. Bayangin,… pada
demam berdarah kan sudah ada risiko perdarahan karena berkurangnya trombosit, kok mau
dikasih asetosal yang juga pengencer darah…. Apa ngga jadi tambah berdarah-darah
tuh….. !!

Efek samping yang kedua dari asetosal atau Aspirin, dan sering menimpa anak-anak, adalah
terjadinya  Sindrom Reye, suatu penyakit mematikan yang menganggu fungsi otak dan hati.
Gejalanya berupa muntah tak terkendali, demam, mengigau dan tak sadar. Banyak studi telah
menunjukkan adanya hubungan antara kejadian syndrome Reye pada anak-anak dengan
penggunaan aspirin. Memang sih, angka kejadiannya tidak terlalu banyak, tapi sekali terjadi
akibatnya sangat fatal. Sehingga, aspirin direkomendasikan untuk tidak digunakan sebagai
turun panas pada anak-anak.

Efek samping asetosal yang ketiga sama dengan obat analgesik golongan AINS lainnya,
adalah gangguan lambung, dan pernah dibahas di posting ini.

Hmm…. efek samping berikutnya adalah risiko kekambuhan asma bagi mereka yang punya
riwayat asma. Aspirin atau asetosal termasuk salah satu analgesik yang sering dilaporkan
memicu kekambuhan asma, sehingga perlu hati-hati juga untuk pasien yang punya riwayat
asma.

Kekuatiran lain dari penggunaan asetosal adalah seringkali mereka ditampilkan dalam bentuk
seperti permen jeruk. Okelah,…. memang tujuannya supaya anak tidak merasa sedang minum
obat, karena seperti makan permen. Tapi justru bisa jadi, karena dianggap permen, anak-anak
bisa minta lebih dari dosis yang seharusnya. Jika menyimpannya tidak hati-hati, anak-anak
bisa cari sendiri “permen” tadi dan mengkonsumsinya tanpa sepengetahuan ortunya.
Sehingga bisa dibayangkan jika asetosal dikonsumsi dalam dosis lebih dari seharusnya…..

Wah, lalu gimana dong?

Obat pilihan untuk turun panas pada anak-anak

Sampai sejauh ini, obat pilihan untuk analgesik dan antipiretik (turun panas) pada anak-anak
masing dipegang oleh parasetamol. Obat ini relatif aman dari efek samping seperti yang
dijumpai pada aspirin jika dipakai dalam dosis terapi yang normal. Efek sampingnya berupa
gangguan hati/liver dapat terjadi hanya jika dipakai dalam dosis yang relatif besar (> 4 gram
sehari). Namun perlu diketahui bahwa parasetamol tidak memiliki efek anti radang seperti
aspirin atau analgesik OAINS lainnya.

Mengapa parasetamol relatif lebih aman dari efek samping?

Yups….. ada sedikit perbedaan mekanisme aksi parasetamol sebagai analgesik dan
antipiretik. Ternyata, selain ada enzim siklooksigenase COX-1 dan COX-2 yang
mengkatalisis pembentukan prostaglandin di jaringan, ada pula COX-3, yang lebih banyak
terdapat di otak dan sistem saraf pusat. Nah, parasetamol ini ternyata lebih spesifik
menghambat COX-3 yang ada di otak tadi, sehingga menghambat produksi prostaglandin
yang akan mengacau termostat di hipotalamus tadi. Kerja ini menghasilkan efek menurunkan
demam. Selain itu, karena prostaglandin juga terlibat dalam menurunkan ambang rasa nyeri,
maka penghambatan prostaglandin dapat memberikan efek anti nyeri atau analgesik. Karena
spesifik pada COX-3, tidak menghambat COX-2, maka efeknya sebagai anti radang di
jaringan jadi kecil. Di sisi lain, karena juga tidak menghambat COX-1, maka efeknya
terhadap gangguan lambung juga kecil karena tidak mempengaruhi produksi prostaglandin
jaringan yang dibutuhkan untuk melindungi mukosa lambung. Juga tidak memiliki efek
mengencerkan darah. Jadilah,… parasetamol relatif aman terhadap efek samping lambung,
perdarahan, asma, dan juga syndrom Reye, dan merupakan pilihan yang aman dan tepat
untuk obat turun panas dan analgesik pada anak-anak.

Demikianlah kira-kira pemilihan obat analgesik dan antipiretika yang tepat untuk anak-anak.
Semoga bermanfaat.

sumber : prof.zullies,Apt blog’s

Ada banyak obat penghilang rasa sakit


(painkiller/ analgesik), yang paling populer di antaranya adalah aspirin, parasetamol dan
ibuprofen. Masing-masing lebih efektif dibandingkan yang lain dalam mengurangi rasa sakit
pada kondisi yang berbeda-beda, antara lain tergantung pada sifat dan penyebab rasa sakit,
usia dan riwayat medis pasien.

Aspirin

Aspirin merupakan jenis pereda sakit paling tua yang telah beredar di pasar lebih dari 100
tahun. Untuk sakit kepala, nyeri menstruasi, atau sakit gigi, banyak orang  yang
mengandalkan aspirin untuk mengurangi rasa sakit. Aspirin juga diandalkan sebagai obat
pasca stroke.

Aspirin memang manjur pada sebagian besar kondisi, tetapi tidak cocok untuk semua pasien.
Anak-anak di bawah dua belas tahun dan wanita hamil tidak disarankan meminum aspirin.
Untuk rasa nyeri akibat pendarahan, aspirin juga tidak disarankan karena efeknya dalam
mengencerkan darah sehingga dapat memperparah pendarahan.

Parasetamol

Parasetamol sangat populer terutama untuk meringankan gejala  pilek dan flu. Parasetamol
dapat mengurangi sakit kepala, nyeri tubuh dan demam pada anak-anak maupun dewasa.
Dokter juga meresepkannya selama kehamilan. Namun, dosis yang diberikan harus tepat
karena dapat menimbulkan keracunan bila berlebihan. Anak-anak atau orang dengan kelainan
fungsi hati dan ginjal harus mendapatkan takaran parasetamol yang tepat.
Ibuprofen

Ibuprofen dapat mengurangi demam dan rasa sakit ringan sampai sedang. Bila diberikan
sebagai sirup, ibuprofen juga bermanfaat untuk anak-anak. Wanita hamil tidak disarankan
mengkonsumsi ibuprofen karena diduga dapat membahayakan pembuluh arteri
janin, menimbulkan edema dan menghambat kontraksi sehingga menunda kelahiran anak.

Penggunaan ibuprofen harus diusahakan dalam dosis terkecil yang memungkinkan. Pada
orang dewasa, dosis maksimum harian ibuprofen adalah 1200 mg. Dosis yang lebih banyak
tidak lebih baik dalam mengurangi sakit dan demam. Orang-orang tua (lansia) memerlukan
dosis yang lebih rendah karena metabolisme tubuh mereka tidak lagi bekerja cepat sehingga
mereka cenderung mempertahankan obat penghilang rasa sakit lebih lama dalam tubuh.

Kombinasi

Beberapa obat menggabungkan beberapa zat aktif, misalnya aspirin dicampur dengan
parasetamol. Kafein kadang-kadang juga ditambahkan. Apakah kombinasi produk itu
membantu meredakan nyeri lebih baik dibandingkan dengan pemberian secara terpisah, tidak
selalu terbukti secara ilmiah. Kafein mungkin berkhasiat bagi penderita migrain, namun tidak
untuk rasa sakit dari sumber lain. Kafein bahkan dapat menimbulkan efek ketagihan obat.

Kesimpulan

 Baik aspirin, parasetamol atau ibuprofen, pada dasarnya ketiganya sama-sama


berisiko terhadap fungsi ginjal atau menimbulkan reaksi alergi. Namun, jika
dibandingkan dengan aspirin dan parasetamol, ibuprofen menunjukkan efek samping
yang lebih sedikit pada lambung dan usus serta sirkulasi darah.
 Obat dengan satu bahan aktif selalu lebih baik daripada produk kombinasi. Kafein
tidak selalu bermanfaat untuk pengobatan sakit kepala.
 Untuk mencegah nyeri pencernaan, sebaiknya meminum obat anti nyeri tidak dalam
keadaan perut kosong.
 Sebaiknya menelan tablet dengan air (tidak dengan makanan padat, misalnya dengan
pisang). Tablet effervescent ASA lebih dianjurkan karena obat tidak terkonsentrasi di
dalam perut. Selain itu, tablet effervescent bekerja lebih cepat.
 Minumlah obat maksimal 3 kali sehari. Jika rasa sakit Anda berlanjut selama lebih
dari tiga hari, atau memerlukan anti nyeri lebih dari sepuluh hari  per bulan, Anda
sebaiknya memeriksakan diri ke dokter.

Anda mungkin juga menyukai