Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem endokrin terdiri dari berbagai kelenjar yang mengeluarkan berbagai


macam hormon secara langsung kedalam darah. Sebagian dari hormon ini bersifat
regulatorik; hormon ini merangsang sekresi hormon-hormon yang aktif secara
metabolis dari kelenjar lain. Hormon-hormon pepetida atau protein dan
katekolamin tidak dapat menembus sendiri membran lemak suatu sel karena
ukuran moekulnya yang besar atau polaritas muatan listrik molekul sehingga tidak
dapat larut dalam lemak. Karena itu agar dapat bekerja hormon-hormon ini harus
berinteraksi dengan reseptor dipermukaan sel. Molekul reseptor untuk hormon
tertentu tidak akan mengenali hormon lain. Ketika hormon berikatan dengan
reseptor akan terjadi serangkaian aktivasi yang menyebabkan terbentuknya
“perantara kedua” (second messenger) yang menyalurkan sinyal stimulasi
kedalam sel. Contoh perantara kedua ini misalkan adenosin 3’-5’-monofosfat
(AMP siklik, cAMP), inositol fosfat, dan ion kalsium (Gardner & Shoback, 2007).
Sebagian besar fungsi endokrin diatur melalui kelenjar hipofisis, dimana
kelenjar ini dikendalikan oleh hipotalamus. Bagian posterior hipofisis
mengeluarkan sebagian hormon (vasopresin dan oksitosin) yang memiliki efek
langsung pada organ target (end organ). Dari bagian anterior hipofisis
mengeluarkan sekelompok hormon perangsang yang beredar ke kelenjar endokrin
lain dan menyebabkan kelenjar-kelenjar tersebut mengeluarkan hormon yang
secara langsung mempengaruhi organ sasaran (end organ).
Hipofisis mengeluarkan banyak hormon sehingga terkadang disebut
sebagai “kelenjar utama” (master gland) tubuh. Lobus anterior atau
adenohipofisis terdiri dari sel-sel sekretorik khusus. Hormon-hormon yang
dikeluarkannya merangsang sekresi endokrin oleh kelenjar adrenal (hormon
adrenokortikotropik, ACTH); kelenjar tiroid (thyroid-stimulating hormone, TSH);
dan gonad (folicle-stimulating hormone, FSH; luteinizing hormone, LH).
Hipofisis anterior juga mengeluarkan hormon pertumbuhan (GH), yang secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan tulang dan metabolisme tubuh secara
keseluruhan. Selain itu hipofisis anterior juga mensekresi prolaktin, yang

1
merangsang pertumbuhan payudara dan pembentukan air susu. Lobus posterior
disebut juga neurohipofisis. Bagian ini mengeluarkan hormon antidiuretik (ADH,
atau vasopresin), suatu hormon polipeptida yang meningkatkan tekanan darah dan
juga mengatur sekresi air dengan mengurangi aliran urine pada tubulus ginjal.
Selain itu hipofisis posterior mengeluarkan oksitosin, suatu okata peptida yang
merangsang kontraksi uterus saat persalinan dan mengeluarkan air susu dari
payudara saat menyusui (Gardner & Shoback, 2007).

2
BAB II
TIROID DAN PARATIROID
Oleh : Erwin Firman S., S.Farm., Apt.

A. Kelenjar Tiroid
A.1 Fungsi dan Metabolisme Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid membentuk hormon-hormonnya dari iodium dan asam
amino esensial tirosin. Sebagian besar iodium masuk kedalam tubuh melalui
saluran cerna sebagai iodida (I-). Dalam kelenjar tiroid, enzim-enzim
mengoksidasi iodida menjadi iodium organik, yang digabungkan kedalam
monoiodotirosin diiodotirosin. Senyawa yang mengandung satu dan dua
iodida ini merupakan pembentuk utama bagi hormon tiroid aktif tiroksin (T4),
yang memiliki empat molekul iodida, dan triiodotironin (T3) yang memiliki
tiga molekul iodida (Ganong, W., F., 2005)
Kelenjar tiroid merespon terhadap stimulasi oleh hormon hipofisis anterior
TSH, yang juga disebut tirotropin, dengan membentuk tiroksin. Pembentukan
TSH oleh hipofisis terjadi karena stimulasi terhadap kelenjar tersebut oleh
peptida disebut TRH, yang berespon aktif terhadap kadar aktif T3 dan T4
bebas dalam darah yang mengalir ke hipotalamus. Apabila kadar hormon
turun, TRH akan memicu sekresi TSH, yang kemudian mempercepat semua
aspek metabolisme iodium dan pembentukan hormon tiroid (Gambar 1)
(Gardner & Shoback, 2007).
Dalam serum T4 lebih banyak daripada T3, tetapi secara fisiologis T3 jauh
memiliki peranan penting bagi tubuh. T3 merupakan penyebab utama efek
hormon tiroid, dan T4 tidak memiliki aktivitas endokrin langsung sampai
diubah lagi menjadi T3 (Gambar 1). Tiroksin memiliki waktu paruh satu
minggu dalam sirkulasi, sedangkan T3 memiliki waktu paruh hanya sekitar
satu hari. Sekitar sepertiga tiroksin diubah menjadi T3 dan jika terjadi
pengeluaran satu atom iodium dari cincin yang lain menghasilkan reverse T3
(rT3), yang masih belum diketahui efek fisiologis pada tubuh. Baik T3
maupun T4 terikat dengan protein serum, terutama thyroxine-binding globulin
(TBG). Efek hormon tiroid yang mudah diamati adalah adanya pengendalian

3
konsumsi oksigen oleh tubuh. Hormon-hormon tiroid juga mengatur atau
mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan protein, mobilisasi elektrolit, dan
perubahan karoten menjadi vitamin A (Gardner & Shoback, 2007; Ganong,
W., F., 2005).

HIPOTALAMUS

TRH

HIPOFISIS ANTERIOR

TSH

NEGATIVE
FEEDBACK TIROID

T3 rT3 T4
IODIUM

DEIODINASI
DEAMINASI
KONJUGASI
KADAR T4 SERUM > T3
AKTIVITAS T4 < T3

Gambar 1. Respon pembentukan PTH (Gardner & Shoback, 2007).

A.2 Pemeriksaan Aktivitas Tiroid


a. Pengukuran Kadar Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3)
Immunoassay otomatis digunakan secara luas untuk mengukut kadar T3
dan T4 secara terpisah. Antibodi pada pemeriksaan ini bersifat sangat spesifik,
sehingga dalam pengukuran tidak ada reaksi silang yang bermakna antara T3
dan T4. Pengukuran T4 bermanfaat untuk memastikan kecurigaan kelainan
tiroid, tetapi pengukuran tersebut juga bersifat diagnostik pada situasi-situasi
hipertiroidisme yang jarang dijumpai T4 rendah atau normal dan T3 tinggi
(Sacher & McPherson, 2000).

4
b. Thyroxine-binding globulin (TBG)
Konsentrasi protein pengikat mempengaruhi kadar T3 dan T4 serum,
tetapi status tiroid fisiologik sangat tercermin dari jumlah hormon aktif bebas
yang ada. Apabila kadar T3 dan T4 total abnormal, kita perlu mengevaluasi
protein pengikat tiroid yang utama, TBG. Kadar TBG dapat diukur secara
langsung dengan RIA, tetapi uji yang biasanya dilakukan untuk mengetahui
aktivitas TBG adalah uji penyerapan T3 (T3 uptake test). Uji penyerapan T3
mencerminkan junlah TBG yang ada dan jumlah hormon yang melekat
padanya (Sacher & McPherson, 2000).
Pengukuran T3 dan T4 bebas secara langsung sulit dilakukan karena
jumlah keduanya sangat sedikit dan besarnya interferensi dari fraksi terikat.
Metode utama untuk pengukuran T4 bebas adalah dialisis kesetimbangan,
tetapi metode ini memerlukan peralatan dan keahlian khusus. Metode lain
adalah putative RIA untuk T4 bebas, walaupun metode ini sangat dipengaruhi
oleh T4 yang terikat ke albumin. Metode yang paling banyak digunakan untuk
T4 bebas adalah indeks tiroksin bebas (free thyroxine indexs, FTI; suatu angka
tanpa satuan) yang dihitung sebagai hasil (T4 yang diukur) x (nilai penyerapan
T3). Penghitungan ini mempertimbangkan baik kadar hormon absolut maupun
kapasitas TBG mengikat hormon. FTI kadang-kadang disebut sebagai “T7”.
FTI rendah pada hipotiroidisme dan tinggi pada hipertiroidisme (Sacher &
McPherson, 2000).
c. Stimulasi Thyroid-Stimulating Hormone
Aktivitas tiroid diatur oleh kebutuhan tubuh akan hormon. Apabila fraksi
bebas hormo tiroid yang beredar dalam sirkulasi kurang, hipotalamus
menghasilkan TRH, yang memicu peningkatan kadar TSH untuk merangsang
sekresi tiroid. Pengukuran TSH memerikan informasi mengenai fungsi tiroid
dan hipofisis.
Immunoassay untuk TSH telah menjadi sangat spesifik untuk TSH melalui
penggunaan antibodi monoklonal. Namun, pada beberapa keadaan yang
sangat jarang, kadar FSH, LH, atau hCG yang sangat tinggi dapat
memperlihatkan reaktifitas silang pada pemeriksaan untuk TSH. Umumnya,

5
pemeriksaan-pemeriksaan TSH telah sangat distandardisasi serta tersedia pada
immunoanalyzer otomatis (Sacher & McPherson, 2000).
Pada hipotiroidisme primer, kadar TSH secara konsisten meningkat;
pemeriksaan TSH paling bermanfaat dalam membedakan antara defisiensi
tiroid primer dari hipotiroidisme akibat disfungsi hipofisis. Kadar TSH juga
membantu membedakan hipotiroidisme sejati dari kondisi eutiroid fungsional
dengan kadar hormon tiroid yang rendah (Sacher & McPherson, 2000).
d. Stimulasi Hipotalamus
Saat ini tersedia preparat TRH yang dimurnikan sehingga kita dapat
mengevaluasi secara keseluruhan lengkung umpan balik tiroid-hipofisis-
talamus. Pada hipotiroidisme primer dan pada keadaan gangguan homeostasis
tiroid, kadar TSH tidak meningkat setelah distimulasi oleh TRH. Apabila
pemberian TRH tidak menimbulkan respon TSH pada pasien yang hipertiroid,
hal ini menunjukkan bahwa produksi hormon tiroid berlangsung secara
autonom. Pada pasien hipotiroid, respon subnormal terhadap TRH
mengisyaratkan disfungsi hipofisis tetapi tidak dapat membedakan antara
hipotiroidisme primer dan gangguan akibat depresi psikiatrik berat atau
malnutrisi (Sacher & McPherson, 2000).
e. Antibodi tiroid
Autoantibodi tiroid yang paling sering diukur adalah autoantibodi terhadap
tiroglobulin dan terhadap antigen-antigen mikrosom sel epitel tiroid.
Immunoglobulin yang dulu disebut “stimulator tiroid kerja lama” (LATS,
Long Acting Thyroid Stimulator) adalah salah satu autoantibodi yang efeknya
merangaang sel sasaran. LATS, yang sekarang sering disebut dengan
immunoglbulin perangsang tiroid (thyroid stimulating immunoglobulin, TSIg
atau TSI), bereaksi dengan reseptor permukaan sel yang biasanya berikatan
dengan TSH. Immunoglobulin ini kemudian merangsang aktivitas enzim-
enzim intrasel, dan meningkatkan aktivitas sel epitel yang bekerja diluar
pengaturan umpan-balik untuk TSH (Sacher & McPherson, 2000).

6
A.3 Gangguan Tiroid
a. Hipotiroidisme
Pada defisiensi tiroid terjadi hipometabolisme generalisata, suatu sindrom
yang sering disebut miksedema. Gejala yang spesifik antara lain perlambatan
refleks tendon, tekstur kulit menjadi kasar, wajah terlihat bengkak, intoleransi
terhadap dingin, penurunan keringat, gangguan daya ingat, dan perlambatan
aktivitas berbicara. Pasien yang mengalami hipotiroidisme berat kadar enzim-
enzim dalam otot cenderung meningkat misalkan kreatinin kinase (CK) dan
laktat dehidrogenase (LDH). Temuan laboratorium diagnostik adalah
penurunan T4 serum, kadar TSH meningkat tiga kali atau lebih dibandinkan
denga normal, kecuali pada kasus-kasus hipotiroidisme akibat gangguan
fungsi hipofisis. Hipotiroidisme kongenital menyebabkan retardasi mental
yang berat yang irrebersibel dan disertai perubahan tubuh khas disebut
kretinisme (Sacher & McPherson, 2000).
b. Hipertiroidisme
Tiroid menghasilkan hormon dalam jumlah berlebihan dari bagian-bagian
nodular lokal jaringan hiperfungsi (adenoma atau gondok nodular toksik) atau
dari hiperaktivitas keseluruhan (gondok toksik difus, penyakit Graves). Pada
hipertiroidisme, penguraian dan ekskresi meningkat lebih besar daripada
sintesis, sehingga kadar kolesterol, fosflipid, dan trigliserida dalam sirkulasi
turun. Fibrilasi atrium sering dijumpai pada hipertiroidisme, terutama usia
diatas 60 tahun, karena eksitasi jantung oleh hormon meningkat. Pada
penyakit Graves, tetapi tidak pada gondok nodular toksik, sering terjadi
penonjolan bola mata yang berlebihan (eksoftalmos) dan pelebaran jaringan
palpebra. Sebagian pasien mengalami kelainan mata sebelum kelainan
metabolik terjadi, suatu keadaan yang disebut penyakit Graves eutiroid.
Pada sebagian besar tipe hipertiroid, T3 dan T4 tinggi, disertai
peningkatan penyerapan T3 dan T4 bebas atau indeks tiroksin bebas yang
sangat tinggi.kadar TSH dapat tertekan sehingga terkadang sampai tidak
terukut (Sacher & McPherson, 2000).

7
c. Tiroiditis
Tiroid jarang diserang oleh peradangan akut, tetapi infiltrasi limfosit dan
fibrolisis relatif sering terjadi. Gambaran histologik yang sering dijumpai
adalah peradangan kronis yang diperantarai sistem imun; keadaan ini disebut
tiroiditis limfositik atau penyakit Hashimoto yang sering menyebabkan
pembesaran kelenjar. Tanda lain adalah tingginya titer antibodi terhadap
tiroglobulin dan antigen mikrosom. Kadar horon kemungkinan normal saat
gondok baru disadari, tetapi seiring dengan destruksi jaringan pasien sering
menjadi hipotiroid. Pengukuran T4 biasanya memperlihatkan hasil normal
saat pertama kali muncul. Terdapat juga tiroiditis subakut dimana terjadi
dalam epidemi-epidemi lokal, yang mengisyaratkan bahwa penyebab
kemungkinan suatu virus (Sacher & McPherson, 2000).
d. Sindrom “Eutiroid “
Pada penyakit-penyakit berat, praalbumin serum turun cepat, dan turunnya
praalbumin ini menurunkan kapasitas pengikatan hormon. Selain itu, jumlah
T4 yang dideiodinasi menjadi T3 turun secara berkala; sementara itu terjadi
peningkatan jalur-jalur metabolisme yang menghasilkan produk inaktif,
reverse T3. Hormon aktif berkurang, demikian juga kapasitas pengikatan
hormon, sehingga FTI tetap normal tap sebagian pasien ada yang mengalami
penurunan FTI tetapi secara metabolis eutiroid. Pada kasus-kasus pasien
seperti ini, kadar TSH yang normal membuktikan status eutiroid. Apabila
penentuan kadar reverse T3 dapat dilakukan, diagnosis “sakit eutiroid” dapat
dipastikan dengan membuktikan terjadinya peningkatan reverse T3 (Sacher &
McPherson, 2000).

B. Kelenjar Paratiroid
B.1 Fungsi dan Metabolisme Hormon Paratiroid
Kelenjar paratiorid menghasilkan dua macam hormon yaitu hormon
paratiroid dan kalsitonin. Hormon paratioroid (PTH, parathotmon) memiliki
pengaruh modulasi yang paling signifikan sedangkan kalsitonin merupakan
hormon yang dikeluarkan oleh chief cells tiroid, memiliki efek langsung dan
tidak langsung pada tulang dan ginjal untuk mengurangi kadar kalsium dalam

8
darah. Kalsium dan fosfor membentuk bagian mineral dari tulang. Kalsium
dalam bentuk terionisasi mempengaruhi eksitabilitas saraf-otot, koagulasi
darah, pengangkutan kalium dan natrium menembus membran sel, dan
aktivitas sekretorik kelenjar eksokrin. Fosfat adalah unsur essensial pada
senyawa-senyawa penyimpan energi, asam nukleat, nukleotida, fosfolipid, dan
molekul kompleks lain yang penting untuk struktur, fungsi dan replikasi sel
(Gardner & Shoback, 2007).
Sekresi PTH terjadi apabila kadar kalsium serum rendah; jika kadar
kalsium yang tinggi akan menekan sekresi PTH. Kerja PTH pada tulang
adalah untuk membebaskan kalsium dari tulang kedalam darah. Dalam ginjal,
PTH menekan reabsorbsi ditubulus dan menekan reabsorbsi fosfat, sehingga
terjadi penurunan ekskresi kalsium dan peningkatan pengeluaran fosfat. Selain
itu, PTH juga mengurangi ekskresi H+ dan mengeluarkan lebih banyak,
disertai retensi H+ dan Cl-. Kadar kalsium yang tinggi memicu pembentukan
kalsitonin oleh tiroid. Kalsitonin juga menghambat osteoklas yang
mereabsorpsi tulang sehingga kalsium tidak direabsorpsi untuk masuk ke
darah (Gardner & Shoback, 2007).

B.2 Pemeriksaan Aktivitas Paratiroid


Evaluasi fungsi paratiroid serta metabolisme kalsium dan fosfor dimulai
dari mengukur kadar kalsium, fosfos, dan PTH serum, tetapi sering kemudian
diperluas sehingga mencangkup pemeriksaan fungsi pencernaan, ginjal, dan
asam-basa.
a. Kadar Kalsium dan Fosfor
Kadar kalsium serum mencakup kalsium terionisasi bebas dan
kalsium terikat protein, dimana hanya bagian ang terionisasi bebas yang
memiliki fungsi fisiologik. Sekitar separuh dari kalsium serum total berada
dalam keadaan terionisasi. Kalsium terionisasi dapat diukur dengan suatu
elektroda selektif-ion, dengan hasil yang dinyatakan dalam miliekivalen
atau milimol (Sacher & McPherson, 2000).
Fosfor diukur dalam bentuk fosfat; yang hasilnya tidak dapat
dinyatakan dalam miliekivalen karena berbagai gugus fosfat yang secara

9
normal ada pada pH fisiologik memiliki valensi yang berbeda. Kadar
fosfat sedikit lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa dan cenderung
lebih tinggi secara bermakna pada malam hari dibandingkan pagi hari
(Sacher & McPherson, 2000).
b. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid disekresikan terdiri dari 84 asam amino (yang
disebut bentuk utuh) yang berasal dari pemutusan prohormon peptida 115-
asam amino sebelum diekskresikan oleh chief cells. Aktivitas hormonal
PTH berasal dari residu 1 sampai 34 terminal amino (N) pada molekul
utuh. Bagian terminal karboksi (C) PTH secara biologis nonfungsional.
Untuk mengetahui aktivitas paratiroid pada seorang pasien sebaiknya
dilakukan pengukuran terhadap PTH utuh atau fragmen N terminal.
c. Metabolit Vitamin D
Metabolit vitamin D yang paling mudah diukur adalah 25-
hidroksiolekalsiferol (25-(OH)D3), bentuk monohidroksilasi yang keluar
dari hati untuk hidroksilasi selanjutnya oleh ginjal (Sacher & McPherson,
2000).
d. Kalsitonin
Pengukuran kalsitonin (tirokalsitonin) dalam serum umumnya
dicadangkan untuk evaluasi karsinoma medularis tiroid, yang
mengeluarkan kalsitonin pada konsentrasi kira-kira proposional dengan
massa tumor. Kalsitonin dapat diukur dengan menggunakan
radioimmunoassay (Sacher & McPherson, 2000).

B.3 Gangguan Paratiroid


a. Gangguan yang menyebabkan peningkatan kalsium serum
Produksi PTH yang berlebihan dapat terjadi pada
hiperparatiroidisme primer, yang biasanya akibat dari adenoma solitar;
atau sebagai respon paratiroid terhadap penurunan kadar kalsium serum.
Sedangkan penyebab untuk hiperparatiroidisme sekunder adalah penyakit
ginjal. Kalsium fosfat memiliki kalarutan yang rendah dan mudah
mengendap. Kadar kalsium serum akan turun jika fosfat serum kadarnya

10
meningkat, dengan menurunnya fungsi ginjal, maka terjadi retensi fosfat
yang akan menekan kadar kalsium dan memicu sekresi PTH.
b. Gangguan yang menyebabkan penurunan kalsium serum
Sebagian hipokalsemia terjadi akibat defisiensi PTH atau vitamin
D karena kadar absolut yang memang rendah atau adanya penurunan
responsivitas. Hipoparatiroidisme primer dapat terjadi akibat
pengangkatan kelenjar secara bedah. Pseudohipoparatiroidisme adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan penurunan responsivitas jaringan
terhadap PTH. Penyakit ini menyebabkan postur tubuh pendek, wajah
bundar, gemuk, retardasi mental. Apabila tanpa kelainan kalsium dan
fosfor, sindrom ini disebut pseudo-pseudohipoparatiroidisme.
c. Gangguan metabolisme fosfat
Ginjal mengendalikan ekskresi fosfat. Penyakit ginjal yang parah
menyebabkan retensi fosfat dan peningkatan kadar fosfat serum.
Peningkatan kadar fosfat serum menyebabkan penurunan kadar kalsium
serum dan penurunan ini akan merangsang sekresi PTH. Penyakit gagal
ginjal kronis menyebabkan gangguan hiperparatiroidisme sekunder
(Sacher & McPherson, 2000).

11
BAB III
PANKREAS
Oleh : Raswita Diniya, S.Farm., Apt.

A. Kelenjar Pankreas
Pankreas endokrin tersebar sebagai pulau-pulau (islets) Langerhans
ditengah-tengah kelenjar pancreas eksokrin. Sel-sel ini menghasilkan tiga hormon
salah satunya yaitu insulin yang dihasilkan oleh sel-sel beta. Di Pankreas hormon
ini mendorong pemakaian glukosa :
- meningkatkan pemasukan glukosa dan kalium ke dalam sebagian besar sel
somatik
- merangsang sintesis glikogen di hati dan otot
- mendorong perubahan glukosa menjadi asam – asam lemak dan
trigliserida
- meningkatkan sintesis protein
Secara keseluruhan efek hormon ini adalah untuk mendorong penyimpanan energi
dan meningkatkan pemakian glukosa.
Sel – sel alfa menghasilkan glukagon, yang meningkatkan sintesis protein
dan pembebasan glukosa sehingga glukosa darah meningkat dan membalik efek
insulin. Sel – sel beta dalam keadaan normal memotong proinsulin untuk
menghasilkan insulin dan peptida C. Sel – sel delta menghasilkan somtostatin,
suatu peptida yang menghambat sekresi glukagon dan insulin, hormon ini juga
menghambat hormon pertumbuhan dan hormon – hormon hipofisis yang
mendorong sekresi tyroid dan adrenal

B. Hormon Insulin
Fungsi :
Metabolisme KH
• Uptake glukosa pada otot, hati dan jaring lemak
• Sintesa glikogen yang disimpan dalam hepar dan otot
• Pemecahsn glikogen
• Pembentukan glukosa dari asam amino, laktat dan piruvat

12
Metabolisme protein
• Rangsang transport aktif asam amino ke dalam hepar
• Rangsang sintesi protein
Meningkat oleh karena dipengaruhi :
• Peningkatan glukosa darah, asam amino tertentu, keton dan asam
lemak, peningkatan kadar growth hormon, ACTH, glukagon, gastrin dan sekretin
• Penghambatan dipengaruhi :
• Peningkatan hormon somatostatin, epinefrin dan noreepinefrin

C. Diabetes Melitus
Pengertian
Sindroma klinik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif
Etiologi
- sel beta pankreas : penurunan kualitas atau kuantitas insulin
- reseptor insulin : penurunan kualitas atau kuantitas
- pasca reseptor : gasngguan sistem enzim
- Inhibitor insulin : adanya antibodi insulin, counter regulatory hormon
( glukagon, epinefrin, kortisol, growth hormon
DM tipe I
Defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel beta
Penyebab : autoimun, idiopatik
• Mudah ketoasidosis
• Obat harus insulin
• Onset akut
• Biasanya kurus
• Biasanya pada usia muda
• Berhubungan dengan HLA DR 3 dan DR 4
• Islet cell AB + (ICA) proses autoimun
• Kembar identik 30 – 50 % terken

13
• Insulin serum rendah
DM tipe II
• Tidak mudah ketoasidosis
• Obat tidak harus insulin
• Onset lambat
• Gemuk, tidak gemuk ( namun obesitas sebagai faktor pencetus)
• Biasanya > 45 tahun
• Riwayat keluarga DM 30 %
• Kembar identik ± 100%
• Insulin serum rendah
DM tipe lain :
1. Defek genetik fungsi sel beta : MODY (maturity Onset Diabetes of the
Young) atau mutasi mitikondria DNA 3243
2. penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, pankreatektomi
3. Endokrinopati : akromegali, cushing, hipertiroid
4. Akibat obat : glukokortikoid, hormon tiroid
5. Infeksi : Cytomegalo virus, rubella
6. Imunologi : antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain : sindrom down, klinfelter, turner

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengendalian glukosa


- stres yang tinggi : RASA CEMAS, PENYAKIT, INFEKSI DAN
TRAUMA
- Peningkatan konsumsi makanan
- Olahraga kurang
- Pengaruh hormon : insulin, glukagon, kortikosteroid, katekolamin, growth
hormon, estrogen, tiroksin, aldosteron
- Obat : diuretik tiazid, kontrasepsi oral
- Penyakit : penyakit hati, penyakit ginjal
- Konsumsi alkohol

14
D. Uji Toleransi Glukosa
Syarat tes toleransi glukosa oral
1. ambulatoir, exercise minimal
2. bebas kopi, alkohol, rokok, kortikosteroid, diuretika, obat hipoglikemik
oral
3. tidak stress / ssakit berat
4. tidak ada gangguan absorpsi
5. diet karbohidrat > 100 kal/ hari selama 3 hari
GTT oral dipengaruhi oleh banyak variabel fisiologi dan menjadi subyek dari
banyak intrepretasi diagnostik yang berbeda-beda. GTT Intravena lebih sulit lagi
untuk diintrepetasi, jarang diindikasikan untuk tujuan diagnosis, pasien yang
menjalani GTT harus dalam : keadaan status gizi normal, tidak boleh meminum
salisilat, diuretik, anti kejang, steroid, atau kontrasepsi oral, jangan merokok,
makan atau minum apapun selama 12 jam sebelum pemeriksaan.
GTT jangan dilakukan pada pasien yang harus tirah baring atau tidak dapat
bergerak atau pasien yang makanannya tidak adekuat. Pasien harus
mengkonsumsi paling sedikit 150 g KH setiap hari selama 3 hari sebelum
pemeriksaan dan tidak boleh meminum alkohol. Dosis standar GTT bervariasi 50
g, 75 g, atau 100 g atau menyesuaikan dosis glukosa dengan ukuran tubuh, dengan
menggunakan patokan 1,75 g/kg BB atau 50 g/m2 luas permukaan tubuh.
Protokol untuk untuk mengambil sampel, al :
Evaluasi saat puasa serta pada 1 – 2 jam
Ambil spesimen pada jam ketiga
Ambil spesimen pada 1/2 jam dan 1,5 jam

Intrepetasi
• Dua jam setelah pemberian beban glukosa, normalnya kadar glukosa darah
turun pada kadar glukosa darah puasa
• Peningkatan yang menetap pada 2 jam adalah abnormal
• Peningkatan sedang pada 2 jam dan kadar 3 jam yang normal
mengisyaratkan gangguan metabolisme glukosa tanpa jelas mengidap
diabetes

15
• Peningkatan yang sangat tajam diikuti oleh penurunan sampai kadar
subnormal dapt terjadi pada hipertiroidisme dan penyakit hati alkoholik
• Seiring dengan pertambahan usia, kecepatan penurunan glukosa
berkurang, kadar 2 jam pada orang yang tidak mengidap diabetes dan
mereka yang riwayat keluarganyanegatif meningkat rata – rata 6 mg/dl
untuk setiap dekade setelah usia 30 tahun
• Pengambilan urine secara bersamaan digunakan apabila glukosa diberikan
bersama dengan cairan dalam jumlah besar, pengambilan urine pada 1,5
sampai 2 jam tidak sulit, dan hasilnya mungkin memperlihatkan seberapa
benyak glukosa yang dikeluarkan oleh pasien pada tingkat hiperglikemia
tertentu. Apabila terjadi glukosuria tanpa hiperglikemia, pasien harus
dievaluasi untukmengetahui ada tidaknya gangguan fungsi tubukus giinjal.

E. Pemantauan Pengendalian Diabetes


Pemeriksaan urine
Dengan strip yang mengandung enzime, pasien dapat dengan mudah
mendeteksi kebocoran glukosa di urine setelah makan, untuk pasien diabetes
yang stabil, pemeriksaan urine merupakan terapi yang memuaskan, baik terapi
diet, obat hioglikemia oral atau insulin, namun harus diketahui bahwa
konsentrasi kadar glukosa urine mencerminkan kadar glukosa sebelumnya dan
mungkin tidak secara akuratr menunjukkan perubahan akut dalam pengaturan
glukosa
Pemeriksaan glukosa urine (penyaring)
1. reduksi : fehling / benedict : kurang spesifik, positis palsu karena
reduktor,fruktosa, maltosa, laktosa, vit C, salisilat, INH, PAS, penicillin
2. enzimatik : clinistik, glukotest, lebih spesifik, negatif palsu pada usia
lanjut karena glomerulosklerosis yaitu nilai ambang ginjal terhadap
glukosa meningkat atau adanya infeksi pada saluran kemih (glukosa
menurun karena dikonsumsi sel kuman / radang ).
Tes keton uria ( dengan nitropusid )
• Hanya deteksi aceton / aceto acid
• Tidak dapat deteksi beta hydroxy butiric acid

16
• Positif palsu pada kelaparan, diet tinggi lemak, alkoholic ketoasidosis,
demam atau pada diabetik ketoasidosis mayoritas beta OH butiric acid
sehingga keton uria sering negatif
Pemeriksaan glukosa darah
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sampel tusukan uung jari dengan
pengukur – pengukur elektronik yang dapat dibawa, yang menggunakan strip
reagen serupa dengan yang digunakan untuk pemeriksaan glukosa urine.
Hasil pemeriksaan yang bersifat segera ini sangat penting untuk menentukan
jumlah insulin yang yang tepat untuk pemberian berikutnya, sehingga
pengendalian glukosa darah menjadi lebih baik melalui umpan balik dari pasien.
Pemantauan sendiri glukosa darah sangat efektif untuk mengurangi angka
terjadinya penyulit diabetes
Pemeriksaan ini untuk informasi segera

Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (HBA1c)


HB terglikosilasi merupakan istilah yang mencakup berbagai tipe HB yang
berikatan dengan glukosa/karbohidrat pada gugusan asam amino bebas
HBA1c merupakan varian HB yang berikatan dengan karbohidrat pada gugusan
valin dari N terminal pada rantai beta
Pada kadar glukosa darah yang tinggi, molekul hemoglobin secara ireversibel
menyerap satu gugus glukosa di rantai beta. Pada orang normal 3 – 6 %
hemoglobin mengalami glikosilasi dalam bentuk A1c
Pada hiperglikemia A1c dapat meningkat sampai setinggi 18 – 20 %.
Mekanisme pembentukan HBA1c pada DM
• Reaksi non enzimatik dari glukosa dengan HB di dalam sel darah merah
(reaksi maillard)
• Membran eritrosit permeabel terhadap glukosa
• Pembentukan HBA1c tergantung pada konsentrasi glukosa darah
o Reaksi antara gugusan aldehid dari glukosa dengan gugusan amino
bebas dari HB menjadi aldimine (basa schiff) yang labil/reversibel
o Amadori membentuk ketoamine yang stabil
o Reaksi dipengaruhi oleh suhu, PH dan konsentrasi ion

17
• Hilangnya HBA1c tergantung umur eritrosit
Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengankut oksigen,
tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian
diabetes selama 3 – 5 minggu sebelumnya.
Bila kadar glimik normal maka kadar HB1c akan kembali normal dalam waktu
sekitar 3 minggu
Pada pasien dengan hemolisis episodik atau kronis, darah mengandung sel darah
merah muda yang persentasenyua lebih besar sehingga HB1c mengalami
pengenceran ke kadar yang sangat rendah.
Sel – sel darah merah yang tua, karena berada di dalam sirkulasi lebih lama
daripada sel – sel muda, memiliki kadar hemoglobin A1c yang lebih tinggi.
Pemeriksaan ini untuk informasi jangka panjang
Pemeriksaan HBA1c :
• Bahan : hemolisat
• Serum/plasma tidak dapat digunakan
• Whole blood tidak dapat langsung diperiksa sebab HBA1c terdapat di
dalam eritrosit, dengan Roche COBAS INTEGRA analyzer dapat
digunakan whole blood yang dapat memproses hemolisis
Intrepetasi hasil pemeriksaan
• Normal : HBA1c < 7 %
• Perlu perbaikan terapi > 8 %
• Perubahan HBA1c > 0,5 % menunjukkan perubahan kontrol metabolik
secara klinis bermakna
• Perubahan < 0,5 % karena variasi pemeriksaan
Intrepetasi HBA1c pada anemia
• Perdarahan akut / kronik meningkatkan produksi sel darah merah muda
sehingga HBA1c menurun
• Pengaruh HB pathi
o Mutasi rantai globin mempengaruhi reaktivitas gugusan N-terminal
rantai beta dengan glukosa

18
o Varian HB co-eluted dengan HBA1c pada ion exchange
cromatography
o HBS dan HBC meningkatkan HBA1c
o HBF tidak berpengaruh pada metode tina count/ cobas integra
karena antibodi yang dipakai bekerja terhadap rantai beta (HBF
tidak mempunyai rantai beta)

Pemeriksaan fruktosamin
Prosedur ini didasarkan pada pengukuran protein – protein serum yang
mengalami glikosilasi, teruatam albumin, yang mengikat glukosa analog dengan
pembentukan nonenzimatik hemoglobin terglikosilasi. Karena albumin memiliki
waktu paruh dalam sirkulasi 20 hari, jumlah fruktosamin mencerminkan periode –
periode hiperglikemik dalam beberapa minggu sebelumnya
Pengukuran fruktosamin dapat sangat bermanfaat untuk memantau pengidap
diabetes yang juga mengidap anemia hemolitik kronis dan penyakit lain yang
memperpendek masa hidup sel darah merah
Pemeriksaan ini untuk informasi jangka pendek

19

Anda mungkin juga menyukai