Anda di halaman 1dari 4

Overfishing Bagaimana Mengatasinya?

2009-11-26 21:56:00

Kadang kala kita membaca artikel di berbagai media (surat kabar)


istilah overfishing muncul. Istilah ini menggambarkan keadaan
sumberdaya ikan di suatu daerah yang mengalami tingkat penangkapan
yang berlebih. Berlebih di sini menggambarkan tingkat eksploitasi yang
tinggi yang tidak sebanding dengan kemampuan sumberdaya ikan untuk
pulih kembali.

Oleh karenanya dalam keadaan demikian hasil tangkapan nelayan menjadi


menurun. Pada kondisi seperti ini sering kita dengar keluhan-keluhan
nelayan dan bahkan sering pula timbul konflik perebutan daerah
penangkapan di antara mereka. Tidak jarang konflik semacam ini
berakhir dengan jatuhnya korban manusia atau tenggelamnya kapal. Oleh
karena itu beberapa kalangan menganggapnya overfishing sebagai
penyebab malapetaka.

Berbeda dengan sumberdaya mineral, sumberdaya ikan merupakan


sumberdaya yang mampu pulih kembali. Namun demikian, sumberdaya ikan
(sumberdaya ikan diartikan semua fauna akuatik, dengan demikian
termasuk udang, penyu dll.) bukan tidak terbatas.

Walaupun perairan laut kita cukup luas yang dihuni oleh berbagai jenis
sumberdaya ikan, ternyata mempunyai keterbatasan. Selain masalah
lingkungan alam yang membatasinya yaitu habitat tempat hidupnya,
sumberdaya ikan sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia, terlebih
dengan meningkatnya permintaan akan sumberdaya protein bagi kebutuhan
manusia.

Sayangnya, selama ikan masih berada di dalam perairan, dia tidak


menjadi milik siapapun, kecuali kalau sudah ditangkap. Ini berarti
tidak ada property right, kecuali kalau ikan sudah di atas dek kapal
atau sudah dibudidayakan dalam jaring apung. Tidak adanya property
right maka keberhasilan seseorang dalam usaha penangkapan akan
mendorong orang lain untuk ikut menangkapnya. Oleh karena itulah maka
dalam rangka kegiatan penangkapan ikan di laut diperlukan adanya
peraturan-peraturan tertentu.

Peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan penangkapan tertuang dalam


Undang-Undang Perikanan No. 31/2004. Dalam UU itu disebutkan bahwa
yang mempunyai kewenangan pemberian ijin penangkapan adalah Pemerintah
baik Pemerintah Pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan) maupun
Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten). Pemerintah Pusat mempunyai
kewenangan dalam perijinan bagi kapal-kapal yang berukuran lebih dari
30 GT (gross ton), sedangkan Pemerintah Daerah (Provinsi) mempunyai
kewenangan dalam pemberian ijin penangkapan bagi kapal-kapal yang
berukuran 30GT ke bawah. Dengan adanya UU Pemerintahan Daerah No.
32/2004, sebagian kewenangan Pemerintah Propinsi diserahkan kepada
Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini adalah perijinan bagi kapal-kapal
yang berukuran 10 GT ke bawah.

Kepadatan Nelayan

Pembangunan perikanan di waktu yang lalu, khususnya pada era orde baru
mengalami kemajuan yang cukup berarti dengan meningkatnya produksi
perikanan dari sekitar 1 juta ton pada tahun 1970 menjadi lebih dari 4
juta ton pada tahun 2000 atau meningkat empat kali lipat dalam kurun
waktu 30 tahun. Peningkatan ini terjadi karena peningkatan jumlah
kapal serta penggunaan alat-alat penangkapan yang semakin canggih.
Pada tahun 1986, Pemerintah juga mulai mengijinkan kapal-kapal asing
untuk menangkap ikan di perairan kita sehingga mau tidak mau juga ikut
meningkatkan hasil tangkapan. Sayangnya kapal-kapal asing itu tidak
mendaratkan ikannya di pelabuhan kita tapi langsung dibawa ke
negaranya, sehingga kita tidak memperoleh data tangkapan yang pasti.

Demikian halnya sebagian besar kapal-kapal penangkapan ikan nasional


pun yang notabene mendaratkan ikannya di tempat-tempat pendaratan ikan
juga tidak memberikan data hasil tangkapan kepada Pemerintah sehingga
Pemerintah hanya dapat membuat estimasi yang didasarkan kepada ukuran
kapal.

Padahal hasil tangkapan sangat bervariasi, sehingga estimasi banyak


yang meleset. Kalau estimasi semacam ini dipakai sebagai dasar
kebijakan dalam perijinan khususnya dalam mengalokasikan jumlah kapal,
maka dapat dimengerti kalau alokasi jumlah kapal berpeluang meleset
atau tidak sesuai dengan daya dukung sumber. Akibatnya kita sering
baca di surat kabar tentang adanya keluhan dan konflik nelayan akibat
hasil tangkapan yang semakin menurun sampai mencapai keadaan yang
dikategorikan sebagai overfishing.

Banyak sudah tulisan para peneliti dalam berbagai forum seminar atau
workshop yang menyebutkan bahwa beberapa jenis ikan di berbagai
kawasan Indonesia khususnya di mana terjadi kepadatan nelayan
mengalami overfishing. Daerah yang sering disebutkan adalah kawasan
pantai Selat Malaka, pantai Utara Jawa dan pantai Sulawesi Selatan.
Bahkan akhir-akhir ini di perairan Arafura banyak kapal-kapal asing
yang menangkap di sana. Selain hasil tangkapan para nelayan semakin
sedikit, ukuran ikan yang ditangkap juga semakin kecil. Kepadatan
nelayan ini terjadi akibat tidak dikendalikannya secara baik ijin
penangkapan.

Bahkan hingga saat ini walaupun ada ijin penangkapan bagi kapal-kapal
di atas ukuran 30 GT oleh Pemerintah pusat, tidak ada Pemerintah
Daerah yang membatasi jumlah ijin penangkapan bagi kapal-kapal yang
berukuran 30 GT ke bawah, kecuali untuk perikanan lemuru di Selat
Bali. Khusus di Selat Bali sudah ada kesepakatan antara Pemerintah
Propinsi Bali dan Jawa Timur dalam membatasi jumlah armada penangkapan
ikan lemuru di sana sejak tahun 1977.

Tidak hanya di Indonesia

Tidak adanya pembatasan jumlah ijin penangkapan di beberapa Propinsi


diperburuk lagi dengan adanya persepsi yang keliru dari sebagian
Pemerintah Daerah yang berusaha meningkatan pendapatan daerah (PAD)
dari seluruh sektor yang ada di daerahnya. Sudah sepatutnya para
Gubernur, Bupati dan Walikota untuk bersikap hati-hati kalau ingin
meningkatkan PAD di sektor yang mengeksploitir sumberdaya alam seperti
sektor perikanan.

Meningkatkan PAD dapat berarti menambah jumlah ijin penangkapan karena


semakin banyak ijin akan semakin meningkatkan pemasukan PAD. Namun
perlu diketahui bahwa meningkatkan jumlah ijin penangkapan berarti
menambah jumlah kapal yang beroperasi dan ini pada akhimya berakibat
menurunkan hasil tangkap per kapal mengingat keterbatasan sumberdaya
ikan seperti yang diuraikan di depan.

Jika ini terjadi maka pajak pendapatan negara dari individu pelaku
penangkapan dengan sendirinya akan menurun, disamping keadaan
sumberdayanya sendiri akan semakin memprihatinkan yang ditandai dengan
gejala-gejala yang diakibatkan oleh overfishing. Dengan kata lain,
meningkatkan pendapatan daerah melalui PAD dari sektor perikanan kalau
tidak dikendalikan dengan baik dapat disamakan sebagai upaya bunuh
diri. Uraian singkat di atas menunjukan bahwa overfishing bukanlah
merupakan suatu sebab melainkan merupakan akibat dari pengelolaan
perikanan yang tidak baik.

Kejadian overfishing bukan terjadi di Indonesia saja. Justru karena


meningkatnya gejala overfishing di berbagai kawasan dunia yang muncul
pada era tahun 1980an akhimya mendorong tercapainya kesepakatan global
yang dituangkan dalam suatu buku pedoman Kode Etik Perikanan Yang
Bertanggung Jawab. Buku pedoman ini dirumuskan oleh para ahli
perikanan dunia dimana pertemuannya difasilitasi oleh FAO selama
periode 1991-1995 dan akhirnya buku tersebut diadopsi oleh
negara-negara anggota FAO pada akhir tahun 1995.

Dalam Kode Etik inilah disepakatinya beberapa petunjuk bagaimana


caranya agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan perikanan. Kode Etik
yang sudah berumur lebih dari 10 tahun inilah yang harusnya selalu
menjadi acuan pembangunan perikanan bagi penanggung jawab perikanan
agar kasus overfishing tidak terjadi.

Salah satu pedoman dalam kode etik itu adalah kewajiban para pelaku
penangkapan untuk memberikan data yang benar kepada Pemerintah sebagai
dasar dalam menentukan jumlah alokasi kapal. Bila data yang dipakai
dalam kebijakan pemberian alokasi jumlah kapal tidak benar, maka dapat
berakibat kebijakannya menjadi tidak benar.
Apabila kebijakan yang dirumuskan tidak benar, misalnya jumlah kapal
terlalu banyak, maka yang rugi adalah para pelaku penangkapan itu
sendiri. Oleh karenanya data dan informasi hasil tangkapan dari para
pelaku penangkapan menjadi syarat mutlak bagi terselengganya proses
perijinan yang kuat, disamping perlunya kepatuhan para pelaku
penangkapan terhadap aturan main yang ada.

Sumber : Majalah Demersal

http://agromaret.com/artikel/73/overfishing_bagaimana_mengatasinya

Anda mungkin juga menyukai