Nusantara Cultural Heritage State License atau NCHSL merupakan sebuah konsep perlindungan hukum
terhadap ekspresi budaya tradisional di Indonesia.
Mengapa Diperlukan Upaya Perlindungan Ekspresi Budaya?
‐ Ribuan artefak budaya Indonesia di klaim oleh pihak asing.
‐ Klaim tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi akibat diberlakukan sejumlah peraturan atas
hak kekayaan intelektual (HAKI) oleh World Trade Organization (WTO). Peraturan ini menyebabkan
warga Negara Indonesia yang melakukan ekspor produk budaya ke luar negeri terancam sangsi.
Walaupun jelas‐jelas produk tersebut berasal dari tradisi budaya bangsa Indonesia.
‐ Klaim pihak asing tersebut mengancam integritas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia atas budaya.
Mengapa Kita Harus Membuat Konsep Hukum Baru?
Saat ini, ada tiga aliran (konsep) hukum perlindungan budaya. Berikut ini akan dijabarkan konsep dan
kerugiannya (tiga konsep tersebut) bagi Indonesia.
1. HAKI KONVENSIONAL
Konsep yang dibawa:
Kepemilikan dipegang oleh individul/perusahaan.
Ada proses pendaftaran ke lembaga HAKI untuk mendapatkan kepemilikan.
Kerugiannya bagi Indonesia:
Kebanyakan ekspresi atau produk budaya tradisional tidak diketahui atau tidak
memiliki penemu‐nya. Akibatnya, kita tidak dapat memiliki HAKI artefak budaya
tersebut.
Proses pendaftaran membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Diperkirakan ada jutaan
artefak budaya tradisional. Akibatnya, proses pendaftarannya akan memakan dana
yang sangat besar. Bukankah lebih baik jika dana tersebut kita gunakan untuk hal
lain yang lebih mendesak: seperti kesehatan, pendidikan, subsidi BBM dan lain
sebagainya.
Mempermudah upaya eksploitasi budaya Indonesia oleh pihak asing. Sebuah
perusahaan desain kaliber internasional hanya perlu datang membeli lisensi ke
sebuah individu/perusahaan lokal tertentu. Negosiasi tersebut tentu saja tidak
seimbang. MNC hanya perlu mengeluarkan beberapa juta rupiah untuk membeli
sebuah desain batik tertentu, lalu mengkomodifikasi sedemikian rupa dan
mendapatkan miliaran dolar dari desain tersebut.
Jika terjadi sengketa sengketa hukum, kemampuan untuk melakukan pembelaan
tentu saja tidak akan seimbang. Apakah semua individu/perusahaan di Indonesia
mampu membayar pengacara untuk menuntut sebuah perusahaan raksasa asing
dalam pengadilan di luar negeri?
2. OPEN SOURCE
Konsep yang dibawa:
Kepemilikan dipegang oleh seluruh umat manusia.
Setiap orang berhak menjual, menggunakan, dan mengembangkannya. Namun,
tidak ada satu orangpun yang boleh memilikinya.
Kerugiannya bagi Indonesia:
Kita hanya akan mendapatkan pengakuan: “ia berasal dari Indonesia”. Namun, kita
tidak akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari artefak budaya tersebut.
3. WIPO
Konsep yang dibawa:
Kepemilikan dipegang komunitas yang mengembangkan atau memelihara artefak
budaya tersebut.
Ada proses pendaftaran ke lembaga HAKI untuk mendapatkan kepemilikan.
Kerugiannya bagi Indonesia:
Mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Orang Sunda tidak dapat berkreasi
secara bebas mengembangkan Batik Jawa. Orang Jawa harus meminta lisensi ke
orang Batak untuk dapat mengembangkan ulos. Orang Papua tidak merasa memiliki
songket dari Palembang, demikian seterusnya. Lalu dimanakah posisi persatuan dan
kesatuan Indonesia?
Konflik antar wilayah atau kelompok. Ada banyak artefak budaya Indonesia yang
terdapat di lebih dari satu wilayah atau kelompok tertentu. Misalnya, ada sebuah
motif ukiran tertentu terdapat di dua wilayah atau suku yang berbeda. Lalu
komunitas yang mana berhak untuk memilikinya? Akibatnya akan terjadi konflik
antar wilayah atau antar suku. Setiap wilayah atau kelompok akan bertempur untuk
mempertahankan warisan nenek moyaknya, yang merupakan "harga diri"
komunitasnya.
Meningkatkan resiko konflik dan perpecahan dalam komunitas‐komunitas budaya di
Indonesia (akibat perebutan kekuasaan dan nilai ekonomi di dalamnya).
Mempermudah upaya eksploitasi budaya Indonesia oleh pihak asing. Sebuah
perusahaan desain kaliber internasional hanya perlu datang membeli lisensi ke
sebuah komunitas budaya lokal tertentu. Negosiasi tersebut tentu saja tidak
seimbang. MNC hanya perlu mengeluarkan beberapa juta rupiah untuk membeli
sebuah desain batik tertentu, lalu mengkomodifikasi sedemikian rupa dan
mendapatkan miliaran dolar dari desain tersebut.
Jika terjadi sengketa sengketa hukum, kemampuan untuk melakukan pembelaan
tentu saja tidak akan seimbang. Apakah semua komunitas budaya di Indonesia
mampu membayar pengacara untuk menuntut sebuah perusahaan raksasa asing
dalam pengadilan di luar negeri?
Konsep Yang Diusulkan Dalam NCHSL
NCHSL pada dasarnya adalah gabungan dari tiga aliran tersebut. Penggabungan tiga konsep tersebut dilakukan
untuk menjawab tantangan kompleksitas permasalah perlindungan hukum atas kekayaan budaya di Indonesia.
Konsep yang diusulkan adalah:
‐ Ia hanya berlaku hanya untuk produk budaya yang tidak terakomodasi oleh HAKI konvensional.
Artefak budaya yang terakomodasi oleh HAKI konvensional, tidak dipayungi oleh NCHSL. Artinya,
NCHSL tetap menghormati HAKI konvensional.
‐ Untuk urusan di dalam negeri ia bersifat seperti “open source”. Setiap warga Negara Indonesia dalam
wilayah NKRI bebas untuk menggunakan, menjual dan mengembangkannya.
‐ Untuk urusan ke luar negeri, artefak budaya tradisional Indonesia dimiliki oleh NEGARA (perluasan
dari konsep WIPO).
Untuk informasi lebih jauh teman‐teman dapat membacanya di:
‐ http://budaya‐indonesia.org/iaci/NCHSL (konsep umum).
‐ http://budaya‐indonesia.org/iaci/Naskah_Akademik_NCHSL (usulan naska akademik RUU).
‐ http://budaya‐indonesia.org/iaci/Usulan_RUU_NCHSL (usulan RUU).
Apakah NCHSL Realistis Untuk Diperjuangkan?
NCHSL adalah sebuah konsep baru. Ia tidak pernah ada sebelumnya. Lalu pertanyaannya, apakah ia realistis
untuk diperjuangkan?
Tahun 1957, Indonesia memiliki permasalah geopolitik. Jika mengacu pada hukum internasional, maka batas
wilayah laut NKRI hanya 12 mil dari wilayah daratan. Akibatnya, wilayah NKRI menjadi terpisah‐pisah. Laut
antara Kalimantan dan Jawa bukan menjadi milik Indonesia, tetap perairan internasional. Untuk mengatasi
masalah ini, Djuanda Kartawidjaja mengusulkan sebuah konsep hukum laut yang baru. Usulan ini kemudian
disepakati oleh dunia, dua puluh lima tahun setelah ia didiklarasikan.
Perjuangan Djuanda telah menginspirasi kita semua. Jika Djuanda mampu mewujudkan kedaulatan Indonesia
atas lautan, mengapa kita tidak mampu memperjuangkan kedaulatan Indonesia atas budaya? Ini adalah
tanggung jawab kita, sebagai generasi penerus Indonesia.
Langkah Perjuangan
Langkah perjuangan yang dipilih adalah menggunakan “model Djuanda”. Langkah tersebut antara lain:
1. Menyusun RUU NCHSL >>> sudah dilakukan.
2. Melakukan pematangan konsep dan sosialisasi ke sejumlah pemangku kepentingan di Indonesia,
seperti: komunitas budaya, DPR (partai politik), pemerintah (Departemen Hukum dan Ham serta
Departemen Budaya dan Pariwisata) >>> sedang dilakukan.
3. Disahkan menjadi Undang‐Undang >>> belum dilakukan.
4. Sosialisasi ke sejumlah pihak‐pihak lain di dunia, khususnya ke Negara‐negara yang mengalami
permasalahan yang sama >>> belum dilakukan.
5. Konvensi dan ratifikasi di forum internasional >>> belum dilakukan.