Anda di halaman 1dari 4

“TAMBANG” – judul postingan bung Ambrosius Harto - sangat menggugah saya untuk

mengingatkan pengusaha tambang bahwa 52 tahun tidak cukup untuk mereklamasi kawasan
hutan bekas pertambangan. Awal Juni lalu saya bersama teman dari ANTARA Biro Tokyo
(Benny S Butar-Butar) dan NHK Tokyo (Dwi Riska) sempat memotret sejarah dan kondisi
“Ashio Restoration Project” di Ashio, Nikko, sekitar 180 km utara Tokyo. Kami juga sempat
berbincang-bincang dengan Direktur Jenderal Kehutanan Wilayah Kanto (Kobayashi) yang
bertanggung jawab atas keberhasilan reboisasi wilayah Ashio.

Dalam “The historical implications of the Ashio Copper-mine poisoning incidents”


(www.unu.edu/unupress/unupbooks/), kegiatan penambangan di kawasan hutan Ashio (2.400 ha)
menimbulkan tidak saja kerusakan lingkungan tetapi juga sangat mengancam jiwa masyarakat.
Tambang tembaga Di Ashio ditemukan pada 1610. Mulai 1890 akibat yang ditimbulkan industri
penambangan tembaga ini menjadi isu sosial, puncaknya pada tahun 1896-1897 ketika hutan
habis dibabat untuk digunakan sebagai bahan bakar industri.

Masyarakat di 52 desa (9 di Chiba, 7 di Saitama, 4 di Tokyo, dan 25 di Ibaraki) terancam


jiwanya karena beras yang dimasak mengandung cadmium. Mereka terpaksa megungsi ke daerah
yang aman karena air di Watershed Watarase dan Tone sebagai sumber hajat hidup telah
terkontaminasi bahan pollutant seperti arsenic, mercury, chlorine, sulfur, aluminum oxide,
magnesia, iron, copper sulphate (blue vitriol), dan nitric dan phosphoric acids. Disebutkan pula
bahwa polusi yang ditimbulkan proses penambangan tembaga: (1) Asam Sulfat dari refining
process dan logam yang mengandung debu yang ditimbulkan dari asap refinery; dan (2) air yang
mengadung asam merusak lapisan permukaan tanah. Tembaga juga mengandung arsenic,
cadmium, zinc, serta sedikit emas dan perak. Dalam refining proces, arsenic yang lepas ke udara
dan bercampur asam sulfat yang sangat berbahaya bagi semua mahluk hidup.

Demo dan petisi menuntut ditutupnya industry Ashio Copper Mine terus dilancarkan sejak 1890.
Robert Stolz dalam Remake Politics: Not Nature: Tanaka Shozo’s Philosophies of “poison” and
“flow” and Japan’s Environment mencatat Tanaka (1841-1913), pemimpin desa yang menjadi
politisi dari Partai Progressive (Kaishinto), juga editor the Togichi News sangat berperan dalam
menyuarakan keluhan masyarakat. Bersama para aktivis lingkungan, Tanaka
mendokumentasikan kerusakan lingkungan yang ditimulkan Ashio Copper Mine, yang kemudian
dijadikan bahan referensi dalam pidato-pidatonya di Parlemen untuk mengkritisi pemerintah
dalam hal isu polusi.

Cerita Tanaka tidak saya teruskan, tapi intinya saya hanya ingin menyampaikan bagaimana
sosok Tanaka membawakan kepentingan rakyat. Cerita selanjutnya adalah pada 1952 Pemerintah
mulai melakukan kegiatan reklamasi kawasan bekas penambangan di areal hutan Ashio dengan
blok vegetasi sebagai penahan longsor. Selanjutnya pada tahun 1956 diilakukan kegiatan
penanaman skala besar. Untuk areal yang curam dan sulit dijamah, digunakan system
aeroseeding menggunakan helicopter untuk menyemprotkan pupuk, benih rumput dan tanaman,
serta emulsi aspal sebagai stabilizer. Biayanya? Direktur Jenderal Kehutanan Wilayah Kanto
(Hiroyuki Kobayashi) menyebutkan angka Rp. 1 juta yen atau Rp. 100 juta rupiah per ha. Angka
itu termasuk biaya untuk pemeliharaan untuk selama satu tahun saja.
Bagimana Hasilnya? Anda lihat sendiri, kata Kobayashi “Tidak semua tanaman bisa tumbuh
karena tanahnya sebagian masih mengandung asam sulfat – meski telah dilakukan pemupukan.
Sebagian masih berupa rumput dan semak. Tanaman Japanese Larch yang berumur 52 tahun pun
baru berdiameter 20 cm-an. Meskipun demikian Pemerintah masih terus melakukan penanaman,
bahkan beberapa LSM turun tangan menghutankan kawasan ini”.

Sejak penanaman skala besar tahun 1956 - karena kondisi tanah yang menjadi asam, kawasan
malah ditumbuhi semak belukar dan rumput. tulisan kanji berbunyi "Mari Hijaukan Kawasan ini.
Foto benny S. Butar-Butar (ANTARA)

Pemerintah juga menyisakan 400 ha lahan dibiarkan apa adanya sebagai “monument lahan
kritis” yang kini menjadi salah satu obyek turisme. Ini salah satu satu upaya Pemerintah untuk
menyadarkan masyarakat bahwa betapa penambangangan yang tidak bertanggung jawab
memiliki ongkos ekologi yang sangat besar, termasuk dampaknya terhadap masyarakat di sekitar
kawasan, lingkungan dan keberlanjutan alam.

Di sini saya ingin menyampaikan bahwa bercermin dari pengalaman Jepang, sepertinya
Pemerintah harus mempertimbangkan untuk melakukan kajian manfaat dan kerugian yang
ditimbulkan dalam melakukan penambangan di kawasan hutan, karena: (1) Karakter industri
pertambangan cenderung merusak alam. Usaha penanaman dengan rumput dan tanaman hutan
secara besar-besaran dan dana yang sangat besar selama 52 tahun terbukti tidak cukup untuk
mengembalikan hutan ke kondisi semula ; (2) Kegiatan reklamasi lahan bekas penambangan
membutuhkan kebijakan yang konsisten, komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mengatur
kegiatan penambangan, serta memberikan skala prioritas pada kegiatan ini. Pemerintah jangan
pernah mentolerir penambangan terbuka di hutan lindung.
Sebagai catatan yang temukan di blogspot “KULI TAMBANG”, data tahun 2005 menyatakan
bahwa Chili merupakan penghasil tembaga terbesar di dunia, disusul oleh AS dan Indonesia.
Tambang tembaga terbesar di Indonesia terdapat di area Grasberg, Papua.

Salam Kompasiana

UN Menebangi Sejuta Pohon


Adit, ipar saya, siap UASBN di sekolahnya tahun ini. Ani, anak Amaq Sapri tetangga saya pun
sudah siap UN di SMP di Selong. Begitu juga Azmi, tetangganya bulan ini siap mengikuti UN di
SMAN 1 Selong tempat sekolahnya. Dan saya yakin, semua anak sekolahan di Indonesia sudah
siap ujian nasional di sekolah masing-masing.

Lalu pemerintah? Ya. Mereka sudah siap menebang lebih dari sejuta pohon di negeri ini.
Menebang pohon, karena bahan dasar pembuatan kertas, pulp, ya dari batang pohon itu sendiri.
Kertas yang disiapkan menjadi lembar soal dan jawaban murid se-Indonesia di ujian nasional
(UN).

Jadi, UN pun menjadi penyebab kerusakan hutan, yaitu pengambilan kayu secara berlebih demi
kepentingan industri, misalnya industri kertas. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya
tingkat kebutuhan kertas. Saat ini produksi kertas Indonesia menduduki peringkat ke-12 dunia,
dengan pangsa 2,2 persen dari total produksi dunia yang mencapai 318,2 juta ton per tahun.

Bila total kebutuhan kertas tahun lalu mencapai 6,45 juta ton. Maka, pada tahun ini diprediksi
kebutuhan kertas dunia mencapai 425 juta ton per tahun (Hurter,1998). Artinya, empat tahun
yang akan datang, dunia akan membutuhkan tambahan produksi kertas sebanyak lebih dari 100
juta ton per tahun.

Lalu, bila melihat kualitas kertas soal dan jawaban UN selama ini, jelas kertas itu adalah kertas
cetak kualitas terbaik. Menurut APKI kapasitas jenis kertas terbesar adalah kertas tulis cetak
yang mencapai 4,4 juta ton. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan kertas, pemerintah
menggalakkan suatu program HTI (Hutan Tanaman Industri).

Dengan adanya program ini diharapkan industri kertas dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa
mengandalkan kayu hutan alam. Namun ironisnya, program tersebut tidak membuahkan hasil
yang maksimal. HTI belum mampu menyuplai seluruh kebutuhan kayu bagi industri di
Indonesia, sehingga banyak perusahaan berupaya memperoleh bahan baku melalui pasar gelap
(ilegal logging).

Fenomena tersebut dapat dilihat dari data-data suplai kayu untuk industri kertas dan pulp.
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dari satu dekade sebelumnya industri
kertas dan pulp nasional mendapat pasokan 100 juta meter kubik kayu sebagai bahan mentah.
Namun hanya 8 persen dari produksi HTI. Sisanya 92 persen adalah kayu illegal. Jadi,
pemerintah siap melaksanakan UN dengan kertas ujian dari 92 persen kayu ilegal. Ironis.

Padahal, berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas (2008), jumlah
peserta ujian SD/MI/SDLB mencapai 4.599.217 siswa, SMP/MTS/SMPLB sejumlah 3.567.472
siswa, dan SMA/MA/SMK sebanyak 2.260.148. Selain itu, pada jenjang SD 3 pelajaran yang
diujikan, untuk SMP 4 mata pelajaran, sedangkan pada jenjang SMA 6 mata pelajaran.

Lalu, bila diasumsikan soal ujian tiap mata pelajaran pada jenjang SD, SMP, dan SMA adalah
empat lembar kertas. Maka kertas yang akan dibutuhkan pada tingkat SD mencapai 55.190.604
lembar kertas. Sedangkan untuk jenjang SMP adalah 57.079.552 lembar kertas, dan untuk
jenjang SMA jumlah kertas yang diperlukan 54.243.552 lembar. Jadi total kertas yang di
keluarkan oleh negara untuk pelaksanaan UN sebanyak 166.513.708 lembar kertas. Nilai tersebut
seharga dengan 166.513,708 ton.

Jika tiap ton kertas membutuhkan 10 pohon, maka untuk menghasilkan 166.513,708 ton kertas
diperlukan 1.665.137,08 pohon tiap tahunnya. Hmmm….
Bila harga per kertas adalah Rp. 50,- maka dalam tiap pelaksanaan UN pemerintah harus
mengeluarkan biaya sebesar Rp. 8.325.685.400. Itu baru kertasnya saja, belum biaya pencetakan,
dan lain-lainnya. Inilah sebuah pemborosan di negeri berkembang yang miskin.

Agar pendidikan pro lingkungan, efektif, dan murah. Harus diterapkan metode lain, metode yang
lebih ekonomis yaitu menggunakan proyektor, misalnya. Setiap murid diberi satu lembar kertas
untuk menjawab. Tiap sekolah hanya butuh minimal 1 proyektor saja, dan itu dapat digunakan
berulang-ulang. Sedangkan kertas soal hanya dapat digunakan sekali, lalu menjadi sampah
kering.

Dari semua uraian di atas seperti halnya simbiosis mutualisme, di mana suatu peristiwa saling
menguntungkan, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang sangat banyak dalam
pelaksanaan UN, kerusakan hutan dan dampaknya dapat terkurangi, dan dapat meningkatkan
kecerdasan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai