Anda di halaman 1dari 7

Menggugat Nasionalisme Kita

Maklumat Anak Marhaen


Oleh: Daud Azhari1

"Politik bagi saya bukanlah pertama-tama menciptakan suatu ide,


tapi bagi saya politik ialah menyusun suatu machtsvorming yang terpikul oleh ide.
Hanya machtsvorming yang terpikul oleh ide itulah
yang bisa mengalahkan musuh-musuh kita."
(Soekarno, 1901-1970)

Indonesia sejak Orde Baru sampai saat ini mengalami dilematisasi


kebangsaan, yakni antara ideologi negara di satu pihak dan ideologi atau
keyakinan agama di pihak lain. Dengan memutlakkan kekuasaannya melalui
berbagai undang-undang yang harus di junjung tinggi oleh setiap warga negara
menjadikan negara represif, karena untuk mempertahankan kekuasaannya.
Namun, terkadang apa yang telah diundangkan tidak sesuai dengan kenyataan
hidup masyarakat. Akibatnya, muncullah gerakan-gerakan separatisme maupun
gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Gerakan-gerakan ini patut dicurigai
karena dalam bentuknya yang sempurna akan menjadi ancaman bagi NKRI.

Di samping itu gerakan-gerakan ini muncul akibat krisis kepercayaan


masyarakat terhadap pemerintah. Karena selama ini kebijakan-kebijakan
pemerintah dinilai tidak relevan dan tidak seimbang dengan Sumber Daya Alam
(SDA) Indonesia, serta minimnya perhatian pemerintah terhadap rakyat miskin
yang jumlahnya masih banyak di berbagai daerah di Indonesia.

Gerakan-gerakan ini sudah tersebar hampir di seluruh NKRI, dengan


merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia, hingga
merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid-masjid,
perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Dengan mempertahankan nilai-nilai
kultural dan dengan kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumber-
sumber ajaran agama, gerakan-gerakan ini menjadi semakin lunak dan mudah
diterima di semua lapisan masyarakat. Karena siapa saja yang tidak mengikuti
petunjuknya, maka dianggap telah keluar dari ajaran agama. Sebab apa yang
mereka yakini memiliki dimensi perjuangan dan kelanggengan cita-cita.

Jika gerakan-gerakan ini tidak kita kontrol atau kita biarkan, Quo Vadis
Republik Indonesia? Tidakkah kita ingat "Maklumat dari Bung Karno kepada
kaum Marhaen Indonesia"? Apakah kita lupa dengan pidato Bung Karno 1 Juni
1945 dalam Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI)?
Jangan sekali-kali melupakan sejarah!!!

Wasiat Bung Karno Kepada Kaum Marhaen Indonesia

1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta

Lht. Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm. 169 (Sebenarnya ini merupakan
perkataan Jawaharlal Nehru yang di adopsi oleh Bung Karno sebagai landasan pergerakannya.
Bung Karno mengatakan: "Perkataan Jawaharlal Nehru ini saya ambil sebagai perkataan saya sendiri")

1
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih
sulit karena melawan bangsamu sendiri." (Soekarno 1901-1970)

Itulah wasiat yang disampaikan Bung Karno (BK) kepada kaum Marhaen
Indonesia. Di tangan kaum Marhaen, transformasi dapat terlaksana. Dulu musuh
kita adalah imperialis bangsa asing, sekarang adalah imperialis bangsa sendiri.
Inilah yang dikhawatirkan BK.

Di sebuah tulisannya, BK juga berpesan:"Bukan jangan banyak bicara,


bekerjalah!, tetapi banyak bicara, banyak kerja!", artinya kita tidak boleh "terpaku"
pada aksi ekonomi saja dengan mengabaikan aksi politik. Masyarakat yang hanya
"terpaku" pada aksi ekonomi saja adalah masyarakat "nasionalis konstruktif".
Mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan, namun akhirnya hanya
mempunyai harga "penambal" belaka. Kaum Marhaen Indonesia harus
mempunyai semangat nasionalitas, menumbuhkan kesadaran, dan mempunyai
harapan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kaum Marhaen
sebagai agent of change harus mampu mengorganisir masyarakat untuk melakukan
berbagai transformasi, baik yang bersifat kultural maupun politis.

Mahatma Ghandi (1869-1948), seorang nasionalis India pernah berkata:


”Nasionalisme-ku adalah kemanusiaan. Ia harus sosio-nasionalis, yakni seorang nasionalis
yang mau memperbaiki masyarakat dan yang kemudian anti segala kebijakan yang
mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat." Dari kutipan ini kita bisa menarik
kesimpulan bahwa seorang nasionalis harus berani "membuka mata" di depan
keadaan-keadaan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Seorang nasionalis
harus mengutamakan perjuangan nasional dengan menumbuhkan kesadaran dan
perasaan nasional. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan.

Dalam wasiatnya, BK berkali-kali mengingatkan kita akan bahaya


penjajahan oleh bangsa sendiri atau apa yang disebut BK "kapitalis bangsa
sendiri." Di mana-mana antitesa sama, yakni antara yang di atas dan di bawah,
antara yang menguasai dan dikuasai, antara yang menang dan kalah, antara yang
menindas dan tertindas. Tetapi di Indonesia dan di negeri lainnya yang sudah
merdeka, ada dua golongan yang ber-antitesa. Kaum kapitalis dengan buruh
Indonesia dan kaum kapitalis negeri-negeri merdeka dengan para buruhnya, pada
umumnya dari satu nusa dan bangsa. Karena itu, di sebuah negara merdeka,
antitesa tak mengandung rasa kebangsaan, tak menumbuhkan semangat
nasionalitas dan kemanusiaan.

Berbeda dengan Indonesia ketika sebelum merdeka, antara yang menindas


dan tertindas, antara yang kalah dan menang, antara penguasa dan yang dikuasai,
adalah berlainan kebangsaan, berlainan suku, berlainan ras, berlainan darah.
Karena itulah maka di negeri jajahan antitesa itu menjadi bermakna, yakni
menumbuhkan semangat nasionalitas dan rasa kemanusiaan.

Jika kita perhatikan uraian di atas, sangat jelas perbedaan antara ketika
Indonesia di bawah imperialisme dan ketika Indonesia sudah merdeka. Jika
sebelum merdeka, musuh kita jelas (imperialis). Namun, setelah merdeka menjadi
penjajahan terselubung, meminjam istilah Herbert Marcuse, repressif tolerance,

2
yaitu suatu keadaan yang tampaknya toleran dan memberi kesan seolah-olah
memberi kebebasan yang seluas-luasnya, padahal maksudnya penindasan.

Di samping itu, penguasa juga sangat bijak dengan berbagai


kebijaksanaannya untuk menghangatkan suasana. Padahal, kebijaksanaan terletak
di antara ketololan dan sikap berhati-hati yang berlebihan.

Musuh kita kini telah jelas. Oleh karena itu, wahai para kaum Marhaen
Indonesia, bersatulah. Kini saatnya kita bangkit bersama melawan imperialis
bangsa sendiri dengan membangkitkan semangat nasionalisme dan pluralitas
untuk mencapai Indonesia jaya.

Konstruksi Gerakan Kaum Marhen Indonesia


Melihat rakyat Indonesia yang terus-menerus menderita dan dijajah oleh
kapitalisme-imperealisme Eropa (Belanda) dengan sistem ekonomi monopoli dan
pemaksaan, membuat Bung Karno segera mengambil tindakan-tindakan praksis
perjuangan ke arah Indonesia yang merdeka dan bersatu. Solusi yang di tawarkan
Bung Karno adalah "asas perjuangan non–kooperatif" dengan penjajah. Asas
perjuangan non-kooperasi ini digalang melalui berbagai cara. Salah satunya
adalah menghimpun dan menggerakkan massa aksi rakyat (dalam terminologi
Bung Karno diidentifikasikan dengan kaum Marhaen).

Dari pernyataan tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan: Apa dan


siapa Marhaen? Dan kenapa harus Marhaen?

Marhaen adalah seorang petani yang dijumpai Bung Karno secara kebetulan
ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigelereng, Bandung. Ketika itu Marhaen
sedang menggarap sawahnya dan kemudian Bung Karno menghampirinya seraya
mengajaknya bicara.

"Bung Karno : Tanah ini milik siapa?


Marhaen : Saya.
Bung Karno : Cangkul ini milik siapa?
Marhaen : Saya.
Bung Karno : Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?
Marhaen : Punya saya.
Bung Karno : Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?
Marhaen : Untuk saya.
Bung Karno : Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?
Marhaen : Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.
Bung Karno : Apa kamu juga bekerja menggarap tanah orang?
Marhaen : Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya
sendiri.
Bung Karno : Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?
Marhaen : Benar, saya hidup dalam kemiskinan."2

2
Taufik Adi Susilo, SOEKARNO: Biografi Singkat (1901-1970), (Jogjakarta: Garasi, 2008), hlm. 84-85

3
Berdasarkan pembicaraan Bung Karno tersebut di atas dengan Marhaen,
maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa Marhaen adalah seorang petani yang
mempunyai alat-alat produksi sendiri, tidak menjual tenaga kerjanya kepada
majikan sebagai seorang buruh (pekerja upahan), tapi hidupnya melarat. Inilah
kemudian yang menggusarkan pemikiran Bung Karno. Kenapa seorang yang
memiliki tanah dan alat-alat produksi melarat?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Bung Karno menggunakan pisau


analisis Marxisme. Jika Marxisme menggunakan proletar sebagai barisan-muka
revolusi, "pembawa panji-panji" dan kaum tani dijadikan kawan, maka Bung
Karno menempatkan kaum tani sebagai kaum yang memiliki peran yang sangat
besar dalam perjuangan revolusi, oleh karena keadaan di Indonesia tidak sama
dengan keadaan di Eropa. Karena di Indonesia 75% industri-kapitalisme
pertanian.3 Jadi, Marhaen dimelaratkan oleh sistem, yakni sistem kolonialisme
ekonomi monopolistis.

Dari pertemuan tersebut kemudian Bung Karno menjadikan Marhaen


sebagai simbol untuk membangkitkan petani dan kaum-kaum melarat Indonesia.
Dan kemudian berkembanglah paham Marhaenisme. Persoalannya, apakah
nasionalisme Marhaenistis mampu menentang dan mengalahkan "penjajahan
yang terselubung" yang bersembunyi dibalik dinding ideologi negara dan
keyakinan agama yang menjadi ancaman nasionalisme kita, ancaman
nasionalisme Marhaenistis, dan ancaman nasionalisme Indonesia?

Marhaenis serentak menjawab: Ya. Hanya nasionalisme Marhaenistis satu-


satunya yang cocok dengan sifat masyarakat Indonesia, cocok dengan keadaan
nyata, cocok dengan realitas Indonesia. Dengan kebulatan tekad, dengan suatu
keinsyafan, dan dengan keinginan dan kemauan semangat nasionalisme
marhaenistis, maka Marhaen mampu menentang dan mengalahkan "penjajahan
yang terselubung" tersebut.

Bung Karno dalam artikelnya "Maklumat Bung Karno kepada Kaum


Marhaen Indonesia" mengatakan:
"Kaum Marhaen Indonesia, masih tetap keinginan saya melihat satu
barisan Marhaen yang radikal dan Marhaenistis; satu barisan yang niscaya
membesarkan kekuasaan kita. Marilah kita senantiasa membesar-besarkan
machtsvorming kita itu.

Marilah kita berjuang dengan berdiri tegak serapat-rapatnya, rapat di


dalam perjuangan biasa, lebih rapat di dalam masa musuh mengamuk dan
merajalela. Marilah kita memeras tenaga menjalankan suruhan sejarah; suruhan
sejarah yang hanya kaum Marhaen sendiri bisa melaksanakannya, yakni
mendatangkan suatu masyarakat yang adil dan sempurna!

Adil dan sempurna buat negeri Indonesia!


Adil dan sempurna buat bangsa Indonesia!
Adil dan sempurna buat Marhaen Indonesia!”4

3
Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, hlm. 256
4
Ibid., hlm. 169-170

4
Dari tulisan Bung Karno tersebut diatas, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa hanya dengan menjaga persatuan dan kesatuan, Indonesia menjadi negara
yang besar. Bahwa hanya ditangan kaum Marhaen sendiri sebagai pewaris
semangat nasionalisme Bung Karno yang bukan hanya sekedar cinta tanah air,
tapi semangat anti-penjajahan dan keadilan ekonomi, yang mampu
mendatangkan suatu masyarakat adil dan sempurna untuk negeri, untuk bangsa,
dan khususnya untuk Marhaenisme Indonesia.

Dan pada pidato 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidikan Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Bung Karno dengan brilian
menyampaikan gagasan-gagasannya. Marilah kita simak inti daripada gagasan-
gagasan tersebut:
"..... Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca
Indra. Apalagi yang lima bilangannya? Pandawa pun lima orangnya. Sekarang
banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan
ketuhanan, lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal
dan abadi.

Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka dengan bilangan lima
itu?

Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada


saya, apakah "perasaan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya
pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia merdeka, Weltanschauung kita. Dua
dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan
perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
socio-nationalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tapi politiek-economische


democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid,
demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang
dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati
satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-
democratie, dan Ketuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah
yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini,
dan minta satu dasar saja? Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi
menjadi satu. Apakah sebagai yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita
semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia,
bukan Van Eck buat Indonesia – semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima
menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan
Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang
kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong
Royong!

"Gotong-royong" adalah faham dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan",


saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-

5
royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan
anggota yang terhormat Soekardjo: satu satu karyo, satu gawe.

Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama!


Gotong-royong adalah pembanting-tulang bersama, pemerasan keringat bersama,
perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan
bersama! Itulah gotong-royong!"5

Pemikiran Bung Karno ini kemudian menjadi Philospfische Grondslag atau


"Dasar Negara Bagi Indonesia Merdeka" yang merupakan mutiara cemerlang
yang keluar dari hasil pemikiran Bung Karno. Bung Hatta juga pernah
berpendapat: "Itu pidato Soekarno terbaik dari banyak pidato yang pernah
diucapkannya."6

Ini merupakan bukti bahwa Bung Karno adalah seorang nasionalis dengan
tradisi pemikiran Marxis. Bung Karno tidak hanya melihat ketidak adilan
ekonomi oleh kapitalis akibat "cara produksi dan hubungan produksi" saja.
Namun, apa saja yang menjadikan rakyat sengsara, yang memecah-belah
Republik Indonesia, sesungguhnya itulah musuh utama kaum Marhaen. Bung
Karno mengatakan:

"Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut dialektik satu-satunya golongan


yang sungguh-sungguh ber-antitesa dengan borjuisme dan kapitalisme itu, dan
yang kemudian bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan borjuisme
dan kapitalisme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa
menjalankan "pekerjaan-riwayat" alias "historische taak", menghilangkan segala
borjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!"7

Berdasarkan uraian tersebut di atas hanya kaum Marhaen dengan


pergerakannya yang mampu menentang dan mengalahkan kolonialisme dan
imperealisme. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang dengan semangat
nasionalisme Marhaenistis menjadi agent of change di negara Indonesia. Sekarang
telah jelas bagi kita, mengapa Bung Karno menjadikan Marhaen sebagai ruh
pergerakannya.

Namun, apakah konsep tersebut masih relevan dengan kenyataan sekarang


di Indonesia? Oleh karena sekarang musuh kita bukanlah kolonialisme dan
imperealisme, borjuisme dan kapitalisme, tapi musuh kita adalah "penjajahan
yang terselubung", penjajahan bangsa sendiri yang bersembunyi di balik ideologi
negara dan keyakinan agama? Lalu apakah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) sebagai "pewaris sah" ajaran Bung Karno mampu menyempurnakan ajaran
tersebut sesuai dengan perkembangan zaman?

Ini menjadi penting untuk diperbincangkan, dengan mencari relevansi dari


ajaran Bung Karno dan mengembangkan ajaran Bung Karno sesuai dengan
tuntutan zaman adalah mutlak bagi kaum Marhaen. Dan inilah yang menjadi
5
Nurani Sayomukti, SOEKARNO & NASAKOM, (Jogjakarta: Garasi, 2008), hlm. 183-184
6
A.M. Hanafi, MENTENG 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), hlm. 222
7
Ibid., hlm. 184

6
kajian penulis bersama teman-teman dalam forum "Bung Karno: Membangun
Indonesia Kembali", (forum diskusi mahasiswa, pengkaji dan peneliti Soekarnoisme,
Universitas Bung Karno Jakarta).(*)

Anda mungkin juga menyukai