Anda di halaman 1dari 4

GUSDUR DAN MARX

Oleh: Daud Azhari, SH.

Pesona pagi begitu kelam ketika langit tertutup awan hitam. Semua jendela di pesantren itu
(Pesantren Ciganjur, milik Gusdur) tertutup dan tak satupun suara burung terdengar bernyanyi,
seperti kehilangan sahabat yang selalu menemani. Kamar-kamar semua terkunci rapat, bagai
negara kehilangan kedaulatannya. Sang fajar seperti tak sanggup lagi menari bersama mentari
menyambut pagi. Namun, hanya hati yang selalu berdzikir dan berdo’a untuk-nya. Mereka semua
pandai, ahli tasawuf. Tapi, tak ada yang mampu menerka pengorbanan dan keikhlasan-nya.

Tanggal 30 Desember 2009 merupakan hari tangisan beribu umat. Indonesia kembali
kehilangan kharismanya. Indonesia telah kehilangan inspirator yang mencerdaskannya. Inspirator
itu adalah K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur). Gusdur telah banyak memberikan sumbangan
pemikiran, seperti: Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981. Pergulatan Negara,
Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001. dll. Merupakan kumpulan artikel Gusdur yang
dikumpulkan menjadi sebuah buku. Gusdur telah membuka banyak sekali ruang-ruang untuk masa
depan Indonesia. Membela kaum yang termarjinalkan dan toleransi antar umat beragama
merupakan salah satu sumbangan terbesar Gusdur kepada bangsa Indonesia. Gusdur meyakini
bahwa kebenaran “mutlak” hanya milik Allah. Tidak ada satupun kebenaran (sesungguhnya) pada
manusia. Keyakinan Gusdur berdasarkan pada QS. Yunus: 99 :

              
 

”Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ?”

Maka tidak salah jika Gusdur dinilai sebagai bapak pluralis dan multikultural, seperti yang
disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato sambutan dalam acara
pelepasan jenazah Gusdur di Tebuireng, Jombang.

Sisi lain dari Gusdur yang jarang diketahui bahkan dipublikasikan oleh media adalah
Gusdur bukan hanya sebagai kiai “politisi” (layaknya mantan Presiden). Tetapi, Gusdur juga
mengaji (mengajarkan ngaji) kepada santri-santrinya (layaknya para kiai salaf) kitab-kitab/literatur
universal dari para ulama sebelumnya. Selain mengaji, Gusdur tidak pernah melarang santri-santri-
nya untuk mempelajari pemikiran-pemikiran barat yang notabenenya nonmuslim. Dengan kata
lain, penampilan boleh Nabi Muhammad. Tapi, pemikiran seperti K.H Marx.

Gusdur yang berasal dan dibesarkan dilingkungan pesantren yang terus-menerus selalu
terhimpit oleh tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang mau tidak mau ingin mencoba
melepaskan diri dengan menawarkan sejumlah asumsi-asumsi dan teori-teori. Dan Gusdur-lah
sebagai seorang kiai mampu membuka cakrawala berfikir bagi para ulama’ dengan menempatkan
“cinta damai” pada aras eksklusive pemikiran-nya, agar mampu mengikuti dinamisasi sayembara
pemikiran-pemikiran barat kontemporer.

Gusdur adalah seorang intelek yang ingin membebaskan manusia layaknya K.H Marx.
Seperti yang dikutip Kang Arif, dalam bukunya: Gusdur dan Ilmu Sosial Transformatif: “Suatu
gerakan pembebasan yang sesungguhnya adalah pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun
kecuali manusia itu sendiri.” Jadi, Gusdur sangat manusiawi.

Kedua tokoh ini memiliki beberapa persamaan1 meskipun terdapat perbedaan di antara
mereka. Marx yang digusarkan pemikirannya oleh situasi politik di Prussia pada waktu itu (Negara
terbesar di kawasan Jerman Utara) yang semakin reaksioner, membuat Marx harus mengakhiri
kuliahnya di Bonn dan segera pindah ke Berlin. Disana Marx langsung tertarik dengan filsafat
Hegel yang mengedepankan rasionalitas dan kebebasan. Dari Hegel, Marx menemukan senjata
intelektual untuk menghancurkan Negara Prussia yang memberangus kebebasan rakyatnya.
Anilisis Hegel mengenai masyarakat modern menarik minat Marx. Kekhasan masyarakat modern
adalah perpisahan antara civil society dan negara. Civil society adalah lingkungan sosial manusia
diluar keluarga maupun negara. Lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhan
manusia. seperti: Lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi, dan lain sebagainya. Yang khas
dalam lingkungan tersebut adalah manusia didalamnya berlaku egois. Itulah prinsif utama civil
society. Dalam hal ini orang sering bersaing dengan orang lain. Orang bekerja, bersekolah,
menggunakan fasilitas rekreasi, semata-mata bukan karena orang itu senang bekerja, suka sama
gurunya, atau suka sama pengelola tempat rekreasi, melainkan karena fungsinya. Jadi, karena
mereka membutuhkannya. Darisinilah kemudian Marx melihat manusia sebagai ditentukan oleh
masyarakatnya.

Setajam apapun analisis Hegel. Marx menilainya (Hegel) hanya sebatas teori atau
perumusan pikiran. Masyarakat Prussia yang nyata, masih tidak ter-rasionalkan dan terbebaskan.
Yang masih diperlukan, pikiran itu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, teori harus menjadi
praktis. Keyakinan Marx adalah seperti ini: jika kita menganut teori dan mengabaikan aplikasi,
maka kita akan berjalan seperti orang buta didalam Gua yang meraba-raba dalam kegelapan.
Sedangkan, jika kita menganut aplikasi dan mengabaikan teori, maka kita akan mengalami
kebekuan doktrin. Jadi, antara teori dan aplikasi merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak
bisa dipisahkan.

Marx menemukan arah pemikirannya ketika Hegel di kritik oleh Feuerbach (muridnya
sendiri). Menurut Hegel, manusia adalah wujud Allah dalam alam semesta. Dalam manusia Allah
mengungkapkan diri. Manusia merasa berfikir dan bertindak sesuai dengan kebebasannya atau
kehendaknya, tetapi dibelakangnya Allah menyatakan diri. Nah, disinilah kritik Feuerbach.
Menurut Feuerbach, Hegel mengutamakan agama dalam rasionalitas. Artinya, Allah adalah nomor

1
Disini harus dibedakan makna antara persamaan dan kesamaan. Persamaan disini berarti sama dalam pemikiran.
Tetapi, tidak sama dalam sikap atau keyakinan. Sedangkan kalau kesamaan sudah tentu persis antara pemikiran dan
sikap atau keyakinan.
satu dan manusia nomor dua. Padahal Allah adalah ciptaan manusia. Dengan kata lain, bukan
Allah yang menciptakan manusia, tapi manusia yang menciptakan Allah. Feuerbach adalah
seorang ateis. Agama (Allah) baginya hanya pikiran manusia saja. Manusia beragama karena tidak
mampu melawan kekuatan dari dalam maupun dari luar dirinya sendiri. Karena agama manusia
terasing.

Dari Feuerbach itulah kemudian Marx menemukan kata kunci bagi pemikirannya, yakni;
Alienasi (keterasingan). Namun, Marx-pun mengkritik Feuerbach. Menurut Marx, bukan agama
yang menjadikan manusia terasing. Agama hanyalah masalah sekunder. Manusia beragama atau
tidak, itu tidak akan membebaskan manusia dari keterasingannya. Kritik ini kemudian tertuang
dalam tesis ke-11 Marx: “Tugas seorang filsuf adalah bukan untuk menginterpretasikan dunia, tapi
bagaimana mengubahnya”. Bagi Marx yang menjadikan manusia terasing terdapat dalam
masyarakat. Keterasingan itu harus dicari di dalam masyarakat. Marx menemukan keterasingan
itu. Keterasingan adalah konsekuensi dari sistem perekonomian, yakni; kapitalistik. Sistem kapital
mencabut manusia dari akar ke-manusiaannya. Manusia telah dibuat seakan tidak manusiawi oleh
sistem tersebut.

Marx sendiri melihat manusia sebagai “kerja”. Apapun yang dilakukan atau dikerjakan
manusia, semua pasti ekonomi (uang). Kerja yang merupakan sarana untuk mengembangkan diri
di dunia ternyata telah dimanipulasi oleh kapitalis. Karena kerja telah dimanipulasi maka, mau
tidak mau para pekerja harus rela mengontrakkan diri untuk bekerja sesuai yang ditentukan oleh si
pemilik. Akibatnya manusia terasing dari dirinya sendiri sekaligus orang lain.

Pada titik ini kemudian Marx membagi tatanan sosial kemasyarakatan menjadi dua bagian
yang terdiri dari: Infrastruktur (lapisan bawah) dan Suprastruktur (lapisan atas). Pada Infrastruktur,
Marx meletakan ekonomi. Ini menandakan bahwa ekonomilah yang menjadi penentu. Jika
ekonomi telah dimiliki bersama, maka dengan sendirinya masyarakat tidak akan melarat, atau
tidak akan ter-Alienasi. Sedangkan dalam Suprastruktur terdapat: Ideologi, Agama, Negara,
Kebudayaan, Pendidikan, dll. Nah, disinilah kemudian Gusdur menentang pendapat Karl Marx ini.
Menurut Gusdur, Marx juga memutar balikkan fakta, layaknya Feuerbach yang menuduh Hegel
memutar balikkan fakta. Sangat tidak tepat, jika Marx menempatkan agama pada suprastruktur
(lapisan atas). Sebenarnya agama (Islam)-lah yang merupakan pembebasan 2. Munculnya agama
(Islam), jika dilihat historisnya, merupakan protes terhadap ketidakadilan yang terdapat di
pedagang Jazirah Arab waktu itu.

Agama (Islam) sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan ini memungkinkan bagi
berkembangnya masyarakat yang cinta damai. Gusdur membedakan konsep pembebasan dari
agama lain. Misalnya, konsep pembebasan dalam agama kristen yang lahir dari konsep
penyelamatan (salvation) atas dosa asal yang diturunkan ke ranah praksis sosial, sehingga dosa
individual tergerak kearah pembebasan dosa sosial. Jika demikian, pembebasan (agama kristen)
bukan sebagai peneguhan iman atas sikap manusia terhadap agama. Tetapi lebih dominan pada

2
Karena Gusdur seorang muslim dan berangkat dari tradisi pesantren. Maka, Gusdur pun gerah ketika membaca
tulisan-tulisan Marx yang menempatkan agama pada lapisan atas (Suprastruktur). Gusdur bukanlah Niethzche yang
individualis dan juga bukan Marx yang sosialis.
aksi praksis dunia yang semakin tua. Bagi Gusdur agama (Islam)-lah yang mempunyai konsep
yang kompleks tentang pembebasan. Sebab, kurang lebih di dalam Al-Qur’an terdapat 80% ayat
yang menerangkan hubungan antara manusia.

Dari sini kemudian Gusdur melangkah lebih jauh dengan mengaitkan agama dan
pembangunan. Sebab, hakikat dari agama yang sesungguhnya adalah memanusiakan manusia,
bukan hanya sebatas ritual dan seremonial belaka, yang terpenting bagaimana menjalin hubungan
dengan sesama atas dasar ke agamaannya. Gusdur menggunakan dua pendekatan, yakni:
suplementer dan komplementer.

Dalam pendekatan suplementer, agama adalah penunjang upaya membangun. Artinya,


agama harus merangkul setiap upaya pemerintah dan melegitimisir upaya-upaya tersebut guna
mencapai tujuannya. Agama dalam pedekatan ini hanya sebatas pelengkap saja. Agama hanya
sebagai “pembantu” pemerintah dalam mensosialisasikan kerja-kerjanya. Akibatnya, akan
melahirkan karikatur-karikatur agama yang lebih ekstrem karena agama terlalu berbau manifulasi
di kalangannya sendiri. Gusdur tidak banyak memberikan penjelasan dalam pendekatan ini.

Pendekatan komplementer justru sebaliknya. Agama tidak hanya sebagai pelengkap,


melainkan terlibat secara keseluruhan dalam menetapkan sasaran pembangunan. Peran agama dari
awal harus di tunjukan guna menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara penyelenggaraannya.
Pendekatan ini memiliki arti jangka panjang karena membentuk pandangan dunia dan etos kerja
para penganutnya. Pendekatan ini mengisyaratkan lembaga-lembaga ke agamaan tidak menjadi
pasif. Kerja-kerja pemerintah harus terus dikawal dan jika bertentangan dengan agama, maka
lembaga-lembaga ke agamaan tersebut harus memberikan kontribusi yang riil sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam pedoman keagamaannya.

Asumsi-asumsi ini tidak banyak dijelaskan Gusdur, mungkin karena waktu itu Gusdur
menjadi ketua PBNU. Karena jika tidak berbenturan dengan itu, Gusdur pasti melebihi Karl Marx.
Layaknya Niethzche, Gusdur selalu mengakhiri tulisannya dengan tanda tanya. Karena apa yang
diyakini hari ini belum tentu benar esok hari.

Jika Marx berangkat dari situasi politik reaksioner yang membuatnya tidak nyaman, maka
Gusdur justru berangkat dari agama yang menentramkannya.

    


“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Anda mungkin juga menyukai