Oleh
Maksun
Masalah lingkungan atau wawasan ekologi hampir tidak mendapatkan tempat dalam agama, tak
terkecuali Islam. Agama memang “mampu” berbicara panjang lebar dan detail mengenai “dunia
lain” (alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari dll), ibadah ritual (salat,
puasa, zikir, beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan, dan seterusnya),
moralitas individual dan lain-lain, tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi
(lingkungan hidup). Lingkungan padahal adalah masalah yang sangat fundamental dalam
kehidupan kita.
Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi di mana-mana. Bukankah banjir
dan sejumlah penyakit mematikan seperti demam berdarah (DB) juga sangat terkait dengan
masalah lingkungan? Lihatlah pemandangan “memerihkan” dewasa ini: gempa, tsunami, banjir,
tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil, dan sebagainya hampir datang bertubi-tubi, silih
berganti seolah tiada henti dan membuat negeri ini menjadi “negeri penuh bencana”.
Alam jagat raya ini seolah mengamuk dan destruktif sehingga menjadi ancaman serius bagi
kehidupan manusia. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah
anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah
harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana.
Kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan
sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat beragama tidak tertarik melakukan
penghijauan, kebersihan, dan kegiatan lain yang bernuansa “ramah lingkungan” dan mencegah
berbagai ekses negatif yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat?
Kenapa, misalnya, umat Islam lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, zikir
nasional, istighotsah dan semacamnya? Kenapa tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan
dan teologinya—sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi atau
katakanlah wawasan eko-teologi?
Tindakan Destruktif
Kenapa pula setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa
beban dan perasaan dosa sedikit pun menganggap sebagai takdir Tuhan? Sebagai cobaan atau
azab dari Tuhan?
Kenapa pula Tuhan selalu “dituduh” setiap terjadi malapetaka? Hampir tidak pernah, kita
menuduh diri sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana
tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai “siksa” atau “cobaan” dari
Tuhan, maka setiap kali terjadi musibah besar, yang dilakukan umat beragama adalah berdoa,
mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil nangis-nangis dan seterusnya.
Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini, akan tetapi “terapi spiritual” jenis ini,
hemat saya, di samping merendahkan (bahkan “mengolok-olok”) martabat Tuhan karena
menganggap-Nya sebagai zat yang “Maha Buas”, juga dengan cara demikian berarti kita seolah
hendak “cuci tangan”, melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.
Jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for The Perplexed, masalah krisis
lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis
orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, seharusnya manusia
yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan.
Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan
lingkungan, penebangan liar, illegal loging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan
segala tindakan merusak alam lain merupakan “sumber” malapetaka dan bencana tadi.
Bukankah Alquran sendiri juga telah mengingatkan bahwa “Kerusakan di darat dan laut adalah
akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”?
Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan
wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang
dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi
respons proporsional mengenai masalah keduniaan.
Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan
ruang privat (bukan ruang publik). Bahwa pahala dan dosa dipandang hanya berkaitan dengan
moralitas individual (bukan moralitas sosial). Bahwa ibadah yang fardlu ‘ain hanyalah yang
berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal), dan seterusnya.