Anda di halaman 1dari 19

Tugas Farmakognosi

Flavonoid dan Isoflavon

Disusun oleh:

Nama : Sindy Elfas Cinthya

NPM : 260110080129

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2010
Flavonoid dan Isoflavon

Flavonoida dan isoflavonoida adalah salah satu golongan senyawa


metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan,
khususnya dari golongan Leguminoceae (tanaman berbunga kupu-kupu).
Kandungan senyawa flavonoida sendiri dalam tanaman sangat rendah,
yaitu sekitar 0,25%. Senyawa-senyawa tersebut pada umumnya dalam
keadaan terikat/konjugasi dengan senyawa gula (Snyder dan Kwon,
1987).

Senyawa isoflavon terdistribusi secara luas pada bagian-bagian tanaman,


baik pada akar, batang, daun, maupun buah, sehingga senyawa ini secara
tidak disadari juga terikut dalam menu makanan sehari-hari. Bahkan,
karena sedemikian luas distribusinya dalam tanaman maka dikatakan
bahwa hampir tidak normal apabila suatu menu makanan tanpa
mengandung senyawa flavonoid. Hal tersebut menunjukkan bahwa
senyawa flavon tidak membahayakan bagi tubuh dan bahkan sebaliknya
dapat memberikan manfaat pada kesehatan.

Senyawa flavonoida untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang


Amerika bernama Gyorgy (1936) yang sekaligus sebagai pionir (pembuka)
penggunaan senyawa tersebut di bidang terapeutik. Secara tidak sengaja,
beliau memberikan ekstrak vitamin C (asam askorbat) ke seorang dokter
untuk mengobati penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata
pasien dapat disembuhkan. Namun, pada pengobatan terhadap pasien
yang lain dengan menggunakan ekstrak vitamin C yang dimurnikan,
ternyata ekstrak ini tidak dapat menyembuhkan penderita. Kembali pada
ekstrak tidak murni tersebut, akhirnya Gyorgy menemukan senyawa yang
disebut sebagai senyawa "bioflavonoids" atau vitamin P yang dinyatakan
sebagai anti-hemorrhage (pendarahan).
Kedelai Sebagai Sumber Senyawa Isoflavon

Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak


disintesa oleh tanaman. Namun, tidak sebagai layaknya senyawa
metabolit sekunder karena senyawa ini tidak disintesa oleh
mikroorganisme. Dengan demikian, mikroorganisma tidak mempunyai
kandungan senyawa ini. Oleh karena itu, tanaman merupakan sumber
utama senyawa isoflavon di alam. Di berbagai antara tanaman,
kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman
Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai. Pada tanaman kedelai,
kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai,
khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi
tanaman. Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun
pertama dari tanaman (Anderson, 1997).

Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2--4 mg/g kedelai. Senyawa


isoflavon ini pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi
dengan senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon
ini terutama adalah genistin, daidzin, dan glisitin. Bentuk senyawa
demikian ini mempunyai aktivitas fisiologis kecil.

Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun


proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi,
terutama melalui proses hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa
isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya.
Senyawa aglikon tersebut adalah genistein, glisitein, dan daidzein.

Masyarakat Indonesia yang secara tradisi telah lama mengkonsurnsi


kedelai dalam bentuk produk-produk olahan seperti tahu, tempe, tauco,
dan kecap, banyak diuntungkan dalam berbagai faktor karena produk
tersebut mengandung nilai gizi tinggi, khususnya sebagai sumber protein;
harganya relatif murah; mengandung senyawa aktif, khususnya isoflavon
yang banyak mempunyai aktivitas fisiologis; serta produk yang dikonsumsi
merupakan produk hasil olahan sehingga telah terjadi proses dekomposisi
senyawa isoflavon kompleks menjadi senyawa isoflavon aglikon yang
aktif.

Bentuk-bentuk produk olahan makanan tersebut sekaligus merupakan


sumber isoflavon potensial untuk menunjang kesehatan tubuh kita.
Berdasarkan hal tersebut maka mengkonsumsi kedelai dalam bentuk
produk olahan terfermentasi lebih dianjurkan. Berbagai contoh kandungan
isoflavon pada kedelai dan produk olahan terdapat pada Tabel 1.

Mengingat berbagai potensi kedelai sebagai sumber gizi dan senyawa


aktif serta prospeknya untuk dikembangkannya produk-produk baru,
kedelai banyak disebut sebagai the golden bean, the miracle bean, food
for the future, dan sebagainya.

Isoflavon pada Tempe dan Prospek Pemanfaatannya

Tempe adalah salah satu makanan tradisional yang dibuat dari kedelai
melalui proses fermentasi kapang, terutama Rhizopus oligosporus. Di
Indonesia terdapat berbagai jenis tempe sesuai dengan jenis bahan baku
yang digunakan sehingga dijumpai tempe kecipir, tempe kara, tempe
benguk, tempe gembus, tempe bongkrek, dan sebagainya. Bila disebut
tempe saja, maka pada umumnya diartikan sebagai tempe kedelai.

Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini


mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Lebih
dari itu, tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai
kandungan senyawa aktif; teknologi pembuatannya sederhana; harganya
murah; mempunyai citarasa yang enak; dan mudah dimasak.

Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga


mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk
senyawa konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik.
Selama proses fermentasi, ikatan -0- glikosidik terhidrolisa, sehingga
dibebaskan senyawa gula dan isoflavon aglikon yang bebas. Senyawa
isoflavon aglikon ini dapat mengalami transformasi lebih lanjut membentuk
senyawa transforman baru.

Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon ini justru


menghasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih
tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh Murata (1985) yang membuktikan bahwa
Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) mempunyai aktivitas antioksidan dan
antihemolisis lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu, Jha (1985)
menemukan bahwa senyawa isoflavon lebih aktif 10 kali dari senyawa
karboksikroman. Hasil akhir dari transformasi isoflavon selama fermentasi
tempe dan potensi pemanfaatanya untuk obat terlihat pada tabel 2.

Transformasi Pembentukan Faktor-II

Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) merupakan senyawa yang sangat


menarik perhatian, karena senyawa ini tidak terdapat pada kedelai dan
hanya terdapat pada tempe. Senyawa ini terbentuk selama proses
fermentasi oleh aktivitas mikroorganisme. Senyawa ini mula-mula
ditemukan kembali oleh Gyorgy (1964) pada ekstrak tepung tempe.
Perkembangan selanjutnya terbukti bahwa Faktor-II tersebut pada kedelai
jumlahnya sangat kecil. Ia merupakan senyawa konjugat/terikat dengan
senyawa karbohidrat melalui ikatan glikosidik. Setelah fermentasi oleh
Faktor-II, akan dibebaskan walaupun jumlahnya sangat kecil.

Faktor-II dipandang sebagai senyawa yang sangat prospektif sebagai


senyawa antioksidan (10 kali aktivitas dari vitamin A atau karboksi kroman
dan sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon aglikon lainnya pada tempe)
serta antihemolitik (Jha, 1985). Dengan demikian, karakterisasi
mikroorganisme transforman Faktor-II perlu diteliti. Menurut penelitian
Barz dkk. (1993) biosintesa Faktor-II dihasilkan melalui demetilasi glisitein
oleh bakteri Brevibacterium epidermis dan Micrococcus luteus atau
melalui reaksi hidroksilasi daidzein. Reaksi biosintesa Faktor-II terlihat
pada gambar 1

Biosintesa Senyawa Flavon/Isoflavon

Flavon/isoflavon yang terdiri atas struktur dasar C6-C3-C6, secara alami


disintesa oleh tumbuh-tumbuhan dan senyawa asam amino aromatik fenil
alanin atau tirosin. Biosintesa ini berlangsung secara bertahap dan melalui
sederetan senyawa antara, yaitu asam sinnamat, asam kumarat, calkon,
dan flavon serta isoflavon.

Berdasarkan biosintesa tersebut maka flavon/isoflavon digolongkan


sebagai senyawa metabolit sekunder. Pada umumnya, senyawa metabolit
sekunder disintesis oleh mikroba tertentu dan tidak merupakan kebutuhan
fisiologis pokok dari mikroba itu sendiri, baik untuk pertumbuhan maupun
untuk aktivitas kehidupannya. Meskipun tidak dibutuhkan untuk
pertumbuhan, senyawa metabolit sekunder dapat juga berfungsi sebagai
nutrien darurat untuk mempertahankan hidup. Senyawa metabolit
sekunder biasanya terbentuk setelah fase pertumbuhan logaritmik atau
pada fase stationer, sebagai akibat keterbatasan nutrien dalam medium
pertumbuhannya. Keterbatasan nutrien dalam medium akan merangsang
dihasilkanya enzim-enzim yang berperan untuk pembentukan metabolit
sekunder dengan memanfaatkan metabolit primer guna mempertahankan
kelangsungan hidup. Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid (1,2-
diarilpropan) dan merupakan bagian kelompok yang terbesar dalam
golongan tersebut. Senyawa isoflavon dalam tanaman kacang-kacangan
atau Legummoceae merupakan salah satu karakteristik/sifat yang dapat
digunakan untuk identifikasi/klasifikasi tanaman.
Meskipun isoflavon merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder,
namun ternyata pada mikroba seperti bakteri, algae, jamur, dan lumut
tidak mengandung isoflavon, karena mikroba tersebut ternyata tidak
mempunyai kemampuan untuk mensintesa. Meskipun demikian, mikroba-
mikroba tertentu mampu untuk melakukan transformasi senyawa isoflavon
(Luckner, 1984).

Bioaktivitas dan Struktur

Aktivitas fisiologis senyawa isoflavon telah banyak diteliti dan ternyata


menunjukkan bahwa berbagai aktivitas berkaitan dengan struktur
senyawanya (Oilis, 1962). Aktivitas suatu senyawa ditentukan pula oleh
gugus-gugus yang terdapat dalam struktur tersebut. Dengan demikian,
dengan cara derivatisasi secara kimia dan secara biologis, dapat dibentuk
senyawa-senyawa aktif yang diinginkan. Murakami (1984)
mengemukakan bahwa aktivitas antioksidan ditentukan oleh bentuk
struktur bebas (aglikon) dari senyawa.

Selanjutnya, Hudson (dalam Achmad, 1990) menyatakan bahwa aktivitas


tersebut ditentukan oleh gugus -OH ganda, terutama dengan gugus C=0
pada posisi C-3 dengan gugus -OH pada posisi C-2 atau pada posisi C-5.
Hasil transformasi isoflavon selama fermentasi tempe daidzein, genistein,
glisitein, dan Faktor-II, ternyata memenuhi kriteria tersebut. Sistem gugus
fungsi demikian memungkinkan terbentuknya kompleks dengan logam.

Aktivitas estrogenik isoflavon ternyata terkait dengan struktur kimianya


yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat
estrogenik. Bahkan, senyawa isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih
tinggi dari stilbestrol. Oilis (1962) menunjukkan bahwa daidzein
merupakan senyawa isoflavon yang aktivitas estrogenik-nya lebih tinggi
dibandingkan dengan senyawa isoflavon lainnya.
Aktivitas antiinflamasi ditunjukkan oleh gugus C=0 pada posisi C-3 dan
gugus -OH pada posisi C-5 yang dapat membenluk kompleks dengan
logam besi, seperti quersetin. Sedang aktivitas anti-ulser ditunjukkan oleh
struktur gugus -OH yang bersebelahan, seperti pada mirisetin.

Sebagaimana diperlihatkan oleh Graham dan Graham (1991) bahwa


senyawa formononitin dan gliseolin berpotensi untuk membunuh kapang
patogen sehingga berpotensi sebagai senyawa pestisida (biopestisida). Di
atas disebutkan bahwa senyawa isoflavonoida banyak mempunyai
aktivitas biologis. Mekanisme aktivitas senyawa ini dapat dipandang
sebagai fungsi "alat komunikasi" (molecular messenger) dalam proses
interaksi antar sel yang selanjutnya mempengaruhi proses metabolisma
sel atau makhluk hidup yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat secara
negatif (menghambat) maupun secara positif (menstimulasi).

Oilis (1962) memperlihatkan fungsi isoflavon sebagai pengendali


pertumbuhan (hormonal) seperti genistein dan daidzein yang juga
mempunyai sifat estrogenik. Proteksi terhadap makhluk patogen yang
berpotensi untuk membunuh kapang patogen ditunjukkan oleh senyawa
formononitin dan gliseolin (Graham dan Graham, 1991).

Potensi Pemanfaatan Senyawa Isoflavon untuk Kesehatan

Setelah senyawa flavonoida diperkenalkan oleh Gyorgy pada untuk


penyembuhan perdarahan kapiler sub-kutan, senyawa ini makin banyak
diteliti untuk terapi. Dikemukakan pula oleh Mc. Clure (1986) bahwa
senyawa flavonoid yang diekstrak dan Capsicum anunuum serta Citrus
limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler sub-kutan.

Mekanisme aktivitas senyawa ini dapat dipandang sebagai fungsi "alat


komunikasi" (molecular messenger) dalam proses interaksi antar sel, yang
selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau
makhluk hidup yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengaruh tersebut dapat
bersifat negatif (menghambat) maupun bersifat positif (menstimulasi).

Jenis senyawa isoflavon di alam sangat bervariasi. Di antaranya telah


berhasil diidentifikasi struktur kimianya dan bahkan telah diketahui fungsi
fisiologisnya dan telah dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan. Berbagai
potensi senyawa isoflavon untuk keperluan kesehatan antara lain:

Anti-inflammasi

Berbagai senyawa flavonoid telah banyak diteliti dan bahkan beberapa


senyawa sudah diproduksi sebagai obat anti-inflammasi.

Loggia dkk., (1986) mengekstraksi apiginin dan luteolin dari tanaman


Chamomilla recutita yang terkenal mempunyai potensi anti-inflammasi dan
banyak digunakan baik sebagai obat tradisional maupun obat resmi yang
telah diformulasikan oleh industri farmasi. Kedua senyawa flavonoida
tersebut mampunyai aktivitas anti-inflamasi serupa dengan indomethacin,
yaitu jenis obat anti-inflammasi yang telah banyak dipasarkan. Dari hasil
penelitiannya, dapat dicatat pula bahwa senyawa flavonoid tersebut harus
dalam keadaan "bebas" atau aglikon. Artinya, tidak dalam keadaan terikat
dengan senyawa lain, misalnya dalam bentuk ikatan glikosida.

Di samping senyawa flavonoida alami, terdapat pula senyawa flavonoid


sintesis atau semi-sintesis yang berpotensi sebagai obat anti-inflammasi,
yaitu O-ß- hidroksiethil rutin dan derivat quercetin.

Mekanisme anti-inflammasi menurut Loggia, dkk., (1986), terjadi melalui


efek penghambatan pada jalur metabolisme asam arakhidonat,
pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin, atau aktivitas "radical
scavenging" suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih
terlidung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas
sel. Senyawa flavonoida lain yang dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi
adalah toksifolin, biazilin, haematoksilin, gosipin, prosianidin, nepitrin, dan
lain-lain.

Anti-tumor/Anti-kanker

Senyawa flavonoida dan isoflavonoida banyak disebut-sebut berpotensi


sebagai antitumor/antikanker. Proses pembentukan penyakit kanker dapat
dibagi dalam 2 (dua) fase, yaitu fase inisiasi dan fase promosi. Senyawa
flavonoida seperti quercetin dan kaemferol terbukti sebagai senyawa
mutagenik pada sel-sel prokariotik dan eukariotik (Fujiki, dkk., 1986).
Karena sifat inilah maka senyawa-senyawa flavonoida tersebut semula
diduga sebagai inisiator terbentuknya sel tumor. Hal ini berkenaan dengan
realitas bahwa semua inisiator bersifat mutagenik (menyebabkan mutasi
pada DNA atau kerusakan irreversibel). Namun, dugaan tersebut ternyata
salah mengingat tidak terbukti pada tikus. Bahkan, senyawa flavonoida
tersebut terbukti menghambat aktivitas senyawa promotor terbentuknya
tumor, sehingga senyawa-senyawa di atas disebut sebagai antitumor.

Dari sejumlah senyawa flavonoida dan isoflavonoida tersebut, yang


banyak disebut-sebut berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah
genestein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Potensi tersebut
antara lain menghambat perkembangan sel kanker payudara
(Lamastiniere dkk., 1997) dan sel kanker hati (Hendrich, dkk., 1997).
Penghambatan sel kanker oleh senyawa flavon/isoflavon ini terjadi
khususnya pada fase promosi (Fujiki dkk., 1986).

Genestein yang merupakan salah satu komponen isoflavon tersebut juga


terdapat pada kedelai dan tempe. Penghambatan sel kanker oleh
genestein ini diterangkan oleh Peterson dkk., (1997) melalui mekanisma
sebagai berikut:
 Penghambatan pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel
yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel
kanker payudara yang terinduski dengan nonil-fenol atau bi-fenol A)
yang diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel,
khususnya penghambatan pembentukan protein yang mengandung
tirosin.
 Penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II
 Penghambatan regulasi siklus sel
 Sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat
reaktif terhadap senyawa radikal bebas
 Sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor
pertumbuhan betha atau TGFß). Mekanisme ini dapat berlangsung
apabila konsentrasi genestein lebih besar dari 5 µM.

Gambaran umum menunjukkan bahwa yang isoflavon berfungsi sebagai


antikanker adalah suatu realita bahwa di negara-negara ASEAN dan
Jepang di mana konsumsi kedelai relatif tinggi dibandingkan dengan
negara lain, misalnya Amerika dan Australia, penyakit kranker payudara,
kanker prostat, dan uterus lebih rendah.

Anti-virus

Senyawa flavonoid sebagai anti-virus mula-mula diketemukan pada


senyawa quercetin yang berefek "propilaktik" apabila diberikan pada tikus
putih yang terinfeksi intraserebral dengan berbagai lenis virus (Selway,
1986). Pengaruh antivirus apabila dikaitkan dengan strukturnya maka
terlihat adanya korelasi di mana sifat antivirus terutama ditunjukkan oleh
senyawa aglikon. Sebaliknya, senyawa isoflavon dalam bentuk ikatan o-
glikosida tidak mempunyai efek antivirus (eg: rutin dan naringin).

Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi


melalui penghambatan sintesa asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada
translasi virion atau pembelahan dari poliprotein. Percobaan secara klinis
menunjukkan bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk
penyembuhan pada penyakit demam yang disebabkan oleh rhinovirus,
yaitu dengan cara pemberian intravena dan juga terhadap penyakit
hepatitis-B. Sementara itu, berbagai percobaan lain untuk pengobatan
penyakit liver masih terus berlangsung.

Anti-allergi

Senyawa flavonoida khellin (dimethoxy-methyl-furano-chromone) yang


terdapat pada tanaman Ammi visnaga, telah berhasil diformulasikan
menjadi obat (FPL-670: disodium kromoglikat), antara lain untuk penyakit
asma, rhinitis, konjunctivitis, dan gastro-intestinal (Gabor, 1986).

Aktivitas anti-allergi bekerja melalui mekanisme sebagai berikut:

 Penghambatan pembebasan histamin dari sel-sel "mast", yaitu sel


yang mengandung granula histamin, serotinin, dan heparin.
 Penghambatan pada enzim oxidative nukleosid-3', 5' siklik
monofosfat fosfodiesterase, fosfatase alkalin, dan penyerapan Ca.
 Berinteraksi dengan pembentukan fosfoprotein.

Senyawa-senyawa flavonoid lainnya yang digunakan sebagai anti-allergi


antara lain adalah terbukronil, proksikromil, dan senyawa kromon.

Pengaruh pada Sistem Sirkulasi dan Penyakit Jantung Koroner

Berbagai pengaruh positif isoflavon terhadap sistem peredaran darah dan


penyakit jantung banyak ditunjukkan oleh para peneliti pada aspek yang
berlainan. Hasil penelitian Chen dkk., (1986) menyatakan bahwa isoflavon
dan poli-metoksiflavone yang diekstrak dari tanaman Leguminosa Milletha
riticalata dan Baishinia champiomi yang terikat pada protein, mempunyai
sifat menghambat agregasi platelet (keping-keping sel darah), dilatan
koroner, dann menghambat introphy otot jantung (cardio trophyc)
sehingga dapat memperlancar sistem sirkulasi darah.

Murata dan Ikehata (1968) mengatakan bahwa efek antihemolisis


(pecahnya sel-sel darah merah) dari ekstrak tempe naik berbanding lurus
dengan waktu inkubasi. Hasil ekstraksi tersebut, setelah dikristalisasi dan
diidentifikasi, ternyata mempunyai struktur 6, 7, 4'-trihidroksi isoflavon
(Faktor-II) dengan daya antihemolisis setaraf dengan vitamin E dalam
percobaannya pada darah yang tanpa atau telah diinduksi lebih dulu
dengan asam dialurat.

Di samping aktivitas tersebut, senyawa flavon mempunyai aktivitas


vasodilator yang telah dijual dalam bentuk obat, yaitu Crataegut
(Schwabe) dan Cratylene (Madaus) yang diekstrak dari tanaman Citaegus
oxycantha. Obat lain yang berpotensi pula untuk melancarkan sirkulasi
darah yaitu Tebonin (Schwabe) yang diekstrak dari tanaman Ginko biloba
(Achmad, 1990).

Studi di Universitas Yale menunjukkan bahwa pasien penderita (Osler-


Weber-Rendu atau OWR) dengan diet kedelai hampir dapat
menghentikan perdarahan hidung. OWR adalah penyakit keturunan
dimana pasien menderita perdarahan hidung pada periode tertentu karena
mutasi genetik yang menyebabkan kerusakan protein yang berfungsi
sebagai signal terhadap hormon TGF-ß (transforming growth factor-
betha). Penghentian perdarahan ini dapat diteranngkan melalui fungsi
isoflavon sebagai interface dengan TGF-ß.

Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu


6,74' tri hidroksi isoflavan, terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi
pembuluh darah (konsentrasi 5 µg/ml) dan juga berpotensi menghambat
pembentukan LDL (low density lipoprotein). Dengan demikian, isoflavon
dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada pembuluh darah (Jha,
1985; Jha, 1997).

Pengaruh isoflavon terhadap penurunan tekanan darah dan risiko CVD


(cardio vascular desease) banyak dihubungakan dengan sifat
hipolipidemik dan hipokholesteremik senyawa isoflavon (Teramoto, dkk.
2000).

Estrogen dan Osteoporosis

Estrogen merupakan hormon yang diproduksi terutama oleh ovarium dan


sebagian oleh ginjal pada bagian korteks adrenalis. Dalam tubuh kita
berfungsi antara lain untuk pertumbuhan secara normal, serta untuk
memelihara kesehatan tubuh pada orang dewasa, baik pada wanita
maupun pada pria. Khusus pada wanita, hormon ini peranannya lebih
luas, tidak saja berfungsi sebagai sistem reproduksi, tetapi juga berfungsi
untuk tulang, jantung, dan mungkin juga otak (Barnes dan Kein, 1998).

Pada wanita menjelang menopause, produksi estrogen menurun


sehinngga dapat menimbulkan berbagai gangguan. Untuk itu, perlu
dipikirkan bagaimana mensubstitusi hormon agar fungsi hormonalnya
masih dapat dipertahankan. Dalam keadaan demikian, penggunaan
estrogen yang dikombinasikan dengan progesteron sinttetik (hormon RT)
dapat mencegah proses osteoporosis. Di sisi lain, dikatakan bahwa
estrogen juga dapat mencegah risiko kanker.

Dalam melakukan kerjanya, estrogen membutuhkan estrogen reseptor


(ERs) yang dapat "on/off" di bawah kendali gen pada kromosom yang
disebut _-ER. Beberapa target organ seperti pertumbuhan dada, tulang,
dan empedu bersifat responsif terhadap _-ER ini. Isoflavon, khususnya
genistein, dapat terikat dengan _-ER. Walaupun ikatannya lemah, tetapi
dengan ß-ER mempunyai ikatan sama dengan estrogen.
Senyawa isoflavon terbukti juga mempunyai efek hormonal, khususnya
efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon yang
dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol ini mempunyai
struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Mengingat hormon
estrogen berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses
klasifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses klasifikasi. Dengan kata
lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga
tulang tetap padat dan masif.

Anti-kolesterol

Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol telah terbukti tidak saja


pada binatang percobaan seperti tikus dan kelinci, tetapi juga pada
manusia. Efek yang lebih luas terbukti pula pada perlakuan terhadap
tepung kedelai, di mana tidak saja kolesterol yang turun, tetapi juga
trigliserida VLDL (very low density lipoprotein) dan LDL (low density
lipoprotein). Di sisi lain, tepung kedelai dapat meningkatkan HDL (high
density lipoprotein) (Amirthaveni dan Vijayalaksha, 2000). Menurut Zilliken
(1987), Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) merupakan senyawa
isoflavon yang paling besar pengaruhnya.

Mekanisme lain penurunan kolesterol oleh isoflavon diterangkan melalui


pengaruh terhadap peningkatan katabolisme sel lemak untuk
pembentukan energi, yang berakibat pada penurunan kandungan
kolesterol (Sekiya, 2000).

Penutup

Mengingat potensi kandungan isoflavon pada kedelai dan produk-produk


turunannya, maka pengembangan produk dalam bentuk makanan
fungsional/makanan kesehatan dipandang sebagai upaya terobosan yang
mempunyai arti strategis, baik ditinjau dan segi tekno-ekonomi maupun
dan segi kesehatan. Berdasarkan potensi senyawa isoflavon maka
berbagai jenis produk dapat didesain, baik kandungan maupun bentuknya,
sesuai dengan tujuan pembuatan produk. Untuk itu, penelitian terapan
dan investasi diperlukan untuk realisasi pengembangan produk-produk
tersebut.

Sumber :

Suyanto, Pawiroharsono. 2008. Prospek dan Manfaat Isoflavon pada


Kesehatan, Direktorat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi.

KOMBINASI TRAIL-QUERCETIN : SEBAGAI JAWABAN ATAS


PERMASALAHAN RESISTENSI PADA SEL KANKER KOLON

By: Nunuk A Nurulita

TRAIL (tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand) dapat


menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh permasalahan resistensi. Terapi kombinasi dibutuhkan untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Flavonoid Quercetin digunakan
sebagai kombinasi TRAIL dalam penelitian ini, diharapkan dapat
meningkatkan sensitivitas sel kanker yang resisten terhadap TRAIL,
sehingga terjadi induksi apoptosis lagi. Quercetin dapat menyebabkan
akumulasi DR4 dan DR5 di lipid rafts pada permukaan membrane sel.
Pemberian quercetin sebagai kombinasi TRAIL dapat memfasilitasi
pembentukan death-inducing signaling complex/DISC dan aktivasi
caspases yang merupakan respon dari stimulasi DR. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa quercetin mampu meningkatkan efisiensi terapi
menggunakan TRAIL.
Quercetin telah banyak diteliti sebagai agen kemopreventif pada berbagai
jenis sel kanker, khususnya kanker kolon. Senyawa flavonid ini telah
terbukti mempunyai efek kemopreventif pada proses karsinogenesis yang
diperantarai oleh mutasi gen RAS, melalui mediasi degradasi protein Ras
onkogenik. Quercetin juga mampu mensensitisasi apoptosis oleh CD95
dan meningkatkan efek apoptosis TRAIL melalui defosforilasi Akt.

TRAIL merupakan anggota tumor necrosis factor yang dapat memacu


apoptosis dengan cara membentuk homotrimerik dengan DR4 dan DR5
yang menjadi awal aktivasi signal kematian sel. selanjutnya menarik
protein adaptor, fas-associated death domain sehingga terjadi aktivasi
jalur signal kematian melalui aktivasi procaspase 8 dan 10. selain itu
TRAIL juga dapat berikatan dengan decoy receptor (DcR) tetapi tidak
menimbulkan aktivasi signal kematian sel. penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa presentasi  DR4 dan DR5 hanya terdapat pada
permukaan membrane sel kanker, sedang pada sel normal hanya DcR
saja.

Pada penelitian ini digunakan 3 (tiga) jenis sel kanker kolon, yaitu: HT-29,
SW-620, dan Caco-2. HT-29 dan SW-620 merupakan sel
adenokarsinoma, sedangkan Caco-2 adalah sel intermeat adenoma.
Kombinasi TRAIL dengan quercetin tampak memberikan efek sensitisasi
yang siqnifikan pada sel HT-29 dan SW-620. efek yang muncul tampak
sebagai efek sinergis kedua agen yang termanifestasi sebagai potensiasi
efek apoptosis. Sedangkan pada sel Caco-2 hanya memberikan efek
aditif.

Pemberian TRAIL dapat menyebabkan peningkatan ekspresi DR4 dan


DR5, sedangkan pada pemberian quercetin tidak menimbulkan efek
tersebut. Kombinasi antara TRAIL dengan quercetin tidak menunjukkan
adanya efek sinergisme peningkatan ekspresi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa quercetin tunggal maupun kombinasi tidak berefek
pada ekspresi DR. tetapi pada saat dilakukan konfirmasi pada protein-
protein proapoptosis tampak adanya peranan quercetin dalam memacu
apoptosis baik diberikan tunggal dan semakin nyata pada saat sebagai
kombinasi TRAIL. Protein tersebut yaitu PARP, Bid, t-Bid, Bax, Cyt C, dan
caspase 3. Tetapi data flowcytometry dengan pengecatan Anexin V
menunjukkan pemberian quercetin tunggal belum mampu menginduksi
apoptosis secara signifikan, walaupun pada level protein telah terjadi
nduksi ekspresi beberapa protein proapoptosis.

Gambar 1. Perkiraan mekanisme sensitisasi quercetin pada sel yang


diberi perlakuan TRAIL (von Haefen, C., et al., 2004, Multidomain Bcl-2
homolog Bax but not Bak mediates synergistic induction of apoptosis by
TRAIL and 5-FU through the mitochondrial apoptosis pathway, Oncogene,
23, 8320–8332).

Karena tidak berefek pada ekspresi DR4 dan DR5, maka diduga
quercetimn mempunyai peran pada pembentukan komplek DISC sebagai
respon stimulasi TRAIL. Eksperimen dengan metode imunopresipitasi dan
wester blot menunjukkan bahwa quercetin memacu pembentukan agregat
DR4 dan DR5 pada permukaan membrane sel, yang selanjutnya menarik
FADD dan procaspase 8 pada komplek tersebut. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa bagian plasma membrane yang banyak
mengandung kolestrol dan glikospingolipid (Lipid rafts) mempunyai peran
dalam inisiasi kematian sel yang diinduksi DR. quercetin terbukti mampu
menginduksi akumulasi DR4 dan DR5 dengan mekanisme redistribusi
pada lipid rafts tersebut.

Redistribusi DR4 dan DR5 oleh quercetin tunggal pada plasma membrane
belum cukup untuk memacu kematian sel, tetapi mempunyai kontribusi
yang sangat berarti dalam mensensitisasi sel kanker terhadap TRAIL.
Efek induksi apoptosis kombinasi TRAIL dengan quercetin tampak
mengaktifkan 2 (dua) jalur signaling dari apoptosis jalur eksternal, yaitu
aktivasi procaspase 8 mengaktivasi caspase efektor memacu apoptosis,
dan caspase 8 menyebabkan pemotongan Bid menjadi bentuk aktif t-Bid,
yang dapat menginduksi pelepasan Cytocrome C dan aktivasi caspase 9,
7, dan 3.

Kombinasi TRAIL dan quercetin menghasilkan efek sinergisme dalam


induksi apoptosis sel kanker kolon melalui aktivasi jalur intrinsic
(mitokondia) dan ekstrinsik (death receptor). Data penelitian ini dapat
digunakan sebagai dasar usulan terapi kombinasi TRAIL-quercetin
sebagai solusi dari permasalahan resistensi TRAIL pada sel kanker kolon.

Anda mungkin juga menyukai