Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH ARAB

Zaman dimana kita hidup saat ini adalah salah satu dari hegemoni kebudayaan yang
merupakan bagian penting dari hegemoni ekonomi, pengendalian mata uang dan pasar dan juga
struktur dari sumber keuangan internasional. Dalam hal ini hubungan kebudayaan internasional
memiliki proporsi khusus yang signifikan terhadap pentingnya konflik dalam kebudayaan
berkomunikasi. Dalam bukunya yang berjudul Komunikasi dan Dominasi Kebudayaan Herbert I
Schiller mengatakan bahwa imperialism kebudayaan menjadi kuat dalam pengaturan dunia yang
memiliki satu pasar. Penting untuk diingat bahwa sektor kebudayaan dalam komunikasi harus
berkembang dalam pengaturan dunia dengan cara yang selaras antara hasil yang ingin dicapai
dengan tujuan secara umum dan dengan peralatan yang dapat menunjang tujuan itu menjadi
suatu kenyataan. Oleh karena itu, produksi secara kultural dan informasi ditandai dengan banyak
hal diantaranya adalah kebutuhan pasar yang mengendalikan produk dan jasa yang dihasilkan
oleh permintaan pasar secara umum. Sang penulis menyimpulkan bahwa: Imperialisme
kebudayaan adalah suatu kumpulan tindakan yang digunakan untuk mendorong masyarakat
tertentu menjadi masyarakat dunia baru dan untuk memberi peran yang dominan di dalamnya,
untuk menekan, memaksa dan bahkan terkadang memeras kelas sosial yang dominan sehingga
hal itu dapat membentuk lembaga sosial yangselaras dengan nilai-nilai dari masyarakat yang
dominan yang berada di tengah susunan itu, serta bentuk-bentuknya, dan terkadang kelas social
yang dominan itu bahkan memperkenalkan lembaga-lembaga sosial tersebut.
Pernyataan Schiller, yang merupakan kebangkitan dari keyakinan, dengan jelas menyatakan
bahwa pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh masyarakat dunia baru mengambil keuntungan
dari komunitas internasional dalam khasanah kebudayaan yang telah mengarahkan kepada
penghapusan identitas kebudayaan dan memindahkan perilaku yang beradab dari suatu bangsa
dan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ini merupakan perlawanan yang nyata
dari prinsip-prinsip hukum internasional karena setiap pasal, perjanjian dan deklarasi
internasional memberikan tekanan untuk selalu memberikan penghormatan pada identitas ciri
kebudayaan semua bangsa dan masyarakat dalam segala hal. Dalam menghadapi situasi yang
sangat kompleks dan rumit, kebudayaan Arab-Islam harus berperan dan meletakkan posisinya
dengan benar. Hal ini berarti bahwa mengambil secara jelas posisi yang ada yang dalam banyak
hal melukiskan kenyataan dunia Arab-Islam disatu sisi dana disisi lainnya menjabarkan secara
benar keinginan-keinginan, impian-impian dan aspirasiaspirasi Umma. Ini adalah subyek dua
dimensi; dimensi kebudayaan dan dimensi sosial (meliputi politik, ekonomi dan sosial) dalam
peranannya dimana didalamnya terdapat tangung jawab yang berlebihan dan tugas-tugas
berat yang harus segera diselessaikan untuk memberikan perubahan dan perbaikan selanjutnya.

Kebudayaan
Kebudayaan merupakan cermin dari masyarakat; kebudayaan mencerminkan semua aspek
kehidupan masyarakat, negara dan lingkungannya. Kita berhutang pada diri kita sendiri untuk
mengatakan dengan jujur dan terbuka bahwa kebudayaan Arab-Islam memberikan suasana
seperti sekarang ini dari tanah Arab dan dunia muslim umumnya, mendapatkan kekurangan dari
kelemahan masyarakat Arab-Islam dan memperoleh perlakuan yang semestinya-ini adalah
kebenaran yang harus dikatakan- dari keseluruhan fakta yang muncul di Arab dan negara muslim
lainnya. Hal ini menyebabkan kebudayaan ini sulit untuk bersaing di masyarakat internasional
berkaitan dengan permintaan dan penawaran dalam hal kreatifitas dan inovasi, dan dalam hal
penemuan-penemuan baru serta industri –malahan, pada tingkatan tertentu. Kesemua ini dapat
memberikan ciri pada kelemahan dan ketidakpedulian yang muncul dalam kehidupan
bermasyarakat di tanah Arab dan negara muslim lainnya, dan lebih parah lagi adalah
kekurangmampuan untuk mendapatkan kemajuan-kemajuan di semua sektor kehidupan.
Selama aspek-aspek kebudayaan yang muncul pada masyarakat Arab-Islam itu tidak selaras
dengan komponen dan nilai-nilai dasar Umma dan selama kebudayaan ini tidak melukiskan
kenyataan dari pesan-pesan peradaban yang dibawanya, maka kebudayaan ni tidak akan dapat
bersaing dalam persaingan yang memerlukan keseimbangan dalam komponen kekuatannya.
Bagaimanapn juga hal ini tidaklah berarti bahwa kebudayaan ini akan tetap diam dan statis dan
tidak mampu berpartisipasi dalam lingkup kebudayaan internasional. Kekuatan yang maha
dahsyat menginginkan zaman yang kita alami ini menjadi zaman yang penuh konflik di setiap
unsur kehidupannya. Padahal, kita tidak meyakini konflik itu; kita yakin pada perjuangan
peradaban. Jika dihadapkan pada konflik , kita menentangnya dengan berdasarkan pada
nilai-nilai kita sendiri dan juga ide-ide yang dimotivasi oleh keinginan untuk menyelamatkan
kepentingan kita sendiri. Kita cukup yakin bahwa konflik yang digembor-gemborkan akhir-akhir
ini oleh dunia barat adalah sesuatu yang tidak masuk akal, dan bahwa konflik itu terjadi antara
kekuasaan dan kelemahan, dan antara kekayaan dan kemiskinan. Dalam memilih media,
alat dan potensi dari konflik ini tidak didasarkan pada nilai moral tertentu tapi pada hukum alam
jika alam itu mempunyai hukum. Akibatnya konflik yang memanas inilah yang mampu
meruntuhkan segala halangan yang ada. Kita sangat yakin bahwa kekuatan kebudayaan Arab-
Islam terletak pada akarnya, asalnya dan komponen dasarnya. Pada waktu yang bersamaan kita
juga percaya bahwa kekuataan spiritual ini sebagai inti dari peradaban; karena peradaban itu
hanya dapat muncul dari kekuatan spiritual yang ada pada setiap jiwa manusia dan dibuktikan
dengan pemikiran yang kreatif yang membuatnya mampu mengadakan perubahan, membangun
dan mengembangkan potensi. Hubungan antara kebudayaan Arab-Islam dan kebudayaan lainnya
harus didasarkan pada pondasi yang kuat ini. Salah satu kebenaran yang harus selalu kita
kemukakan, karena kebenaran itu telah dikubur, disembunyikan dan dipalsukan, adalah
kenyataan bahwa kebudayaan Arab-Islam pada masa kini tidak menyentuh akarnya. Inilah
mengapa kebudayaan ini masih mampu untuk memberi dan berdiri menhadapi kebudayaan
lainnya, tidak hanya dalam lingkup konflik, kontes dan tantangan tapi juga dalam hal
komunikasi, dialog dan perlawanan masyarakatnya. Kebudayaan ini memiliki komponen dalam
hal bertahan hidup, pengaruh dan memasuki segala posisi karena ini adalah kebudayaan
yang kaya bukan karena warisan budayanya semata tapi karena nilainilainya, dasar-dasarnya dan
pesan-pesannya. Oleh karena itu keinginan kebudayaan Arab-Islam untuk memunculkan
hubungan dengan kebudayaan moderen lain yang didasarkan pada tingkat keseimbangan yang
masuk akal dan sama pada tingkatan inti dan pendalamannya jika tidak didasarkan pada
tingkatan tampilan dan bentuk kebudayaan itu. Pembahasan, dan bukan konflik, diantara
kebudayaan yang sejalan dengan jiwa dan semangat zaman ini dimana sisi kemanusiaan telah
mengalami kemajuan yang luar biasa dalam membuat peraturan yang umum yang mengatur
hubungan diantara individu, masyarakat dan juga suatu Negara dan bangsanya. Dibawah hukum
internasional, konflik antara kebudayaan dan peradaban menjadi tidak berarti kecuali jika hal itu
merupakan pembiasan dari semua hal yang disepakati oleh manusia selama hidupnya; itulah
landasan dari hukum internasional dan ketentuan-ketentuannya yang dimaksudkan untuk
mengatur hubungan internasional yang berlandaskan kerjasama, keberadaan dan aksi gabungan
untuk tujuan mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.
Arab telah menghapus segala kenangan pra Islam dalam benak mereka. Mereka
menggunakan Islam untuk menghapus stigma negatif mereka sebagai bangsa budak. Islam
kemudian membalikkan status bangsa mereka menjadi bangsa pilihan Allah. Jika mereka
memilih untuk jadi bodoh dan tidak tahu apa2 tentang masa lalu mereka, maka sungguh ironis
bahwasanya mereka menuduh jaman sebelum Islam sebagai jaman bodoh dan tidak tahu apa2.
Untungnya, kita masih bisa menelusuri jaman sebelum Islam di Arabia. Pepatah terkanal
mengatakan bahwa tidak mungkin bisa menghilangkan segala bukti. Sejarah Arab pra-Islam
adalah sejarah Ksatria India atas tanah tersebut, di mana masyarakat menganut cara hidup Veda.
Sebagai usaha menyusun kembali sejarah Arabia pra-Islam, kami mulai dengan nama negara itu
sendiri. Arabia itu adalah kata singkatan. Kata aslinya yang bahkan masih digunakan saat ini
adalah Arbashtan. Asal katanya adalah Arvasthan. Seperti dalam bahasa Sansekerta, huruf "V"
diganti jadi huruf "B". Arva dalam bahasa Sansekerta berarti kuda. Arvasthan berarti tanah kuda,
dan kita tahu bahwa Arabia memang terkenal akan kuda2nya. Pusat ibadah yakni Mekah juga
berasal dari bahasa Sansekerita. Kata Makha dalam bahasa Sanskrit berarti api persembahan.
Karena penyembahan terhadap Api Veda dilakukan di seluruh daerah Asia Barat di jaman pra-
Islam, maka Makha berarti tempat yang memiliki kuil untuk menyembah api.
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa Jazirah Arab, jauh sebelum masa Islam, adalah jajahan
dari Kerajaan India Kuno. Menurut sejarah, para Maharaja Candragupta (58 S.M. - 415 M.)
memperluas Kerajaan Hindu yang mencakup India, hingga jauh sampai keseluruh Teluk Arabia.
Para Maharaja ini adalah pengikut setia dewa-dewi Hindu khususnya Dewa Shiva (dewa bulan-
Allat) dan istrinya Dewi Dhurga (dewi bulan-Allah.
Para Maharaja mempersembahkan kepada dewa-dewa mereka bangunan-bangunan kuil di
seluruh wilayah kerajaan mereka (di Saudi Arabia saja sedikitnya ada 7 kuil peninggalan mereka,
termasuk Kabah yang dibangun dimasa Raja Vikramaditya masih berdiri sampai saat ini).
Bahkan setelah kerajaan Hindu ini runtuh, penduduk Arab masih percaya dan menyembah dewa-
dewa itu dan mengagungkan kuil-kuil yang ada sampai datangnya masa nabi Muhammad.
Naskah Raja Vikramaditya yang ditemukan dalam Kabah di Mekah merupakan bukti yang tidak
dapat disangkal bahwa Jazirah Arabia merupakan bagian dari Kekaisaran India di masa lalu, dan
dia yang sangat menjunjung tinggi Deva Siva lalu membangun kuil Siva yang bernama Kabah.
Naskah penting Vikramaditya ditemukan tertulis pada sebuah cawan emas di dalam Kabah di
Mekah, dan tulisan ini dicantumkan di halaman 315 dari buku yang berjudul `Sayar-ul-Okul'
yang disimpan di perpustakaan Makhtab-e-Sultania di Istanbul, Turki.Istilah Kabah sendiri
berasal dari kata Sanskrit Gabha (Garbha + Graha) yg berarti Sanctum (tempat suci).
Kitab suci Weda Harihareswar Mahatmya menyebut bahwa jejak kaki Dewa Wisnu
disucikan di Mekah. Bukti akan fakta ini adalah bahwa Muslim menyebut kuil ini Haram yang
merupakan penyesuaian dari kata Sansekerta, Hariyam, yaitu. tempat Dewa Hari alias Dewa
Vishnu. Jejak kaki Vishnu disucikan di tiga tempat suci: Gaya, Mekah dan Shukla Teertha.
Mengukir jejak kaki macam itu merupakan adat Weda yang dicontek Muslim. Muslim
menganggap bahwa ukiran jejak kaki ini disejumlah mesjid dan tempat2 suci Muslim diseputar
dunia adalah jejak kaki Muhammad ! Diluar kuil hindu, biasanya juga terdapat singasana dewa
Brahma, oleh karenanya di Mekah, singasana Brahma itu dianggap sebagai makam Ibrahim..
Tradisi Hindu lainnya yang masih berhubungan dengan kabah adalah sungai gangga, menurut
tradisi Hindu, Gangga tidak dapat dipisahkan dari lambang Siva sebagai bulan Sabit, kemanapun
lambang Siva (bulan sabit), disitu pasti juga terdapat Gangga, fakta dari persatuan tersebut
terdapat di dekat kabbah. Airnya dianggap keramat karena secara tradisional sudah dianggap
sebagai gangga sebelum Islam (yaitu Zam-zam).
Bahkan hingga hari ini, para peziarah Muslim yang menyaksikan kaabah untuk haji memandang
Zam-zam ini dengan penghormatan hingga menaruhnya kedalam botol sebagai Air keramat bagi
mereka, sama seperti yang dilakukan umat hindu hindia terhadap kesucian sungai Gangga.

SEJARAH LOMBOK
Pada awal abad ke-17, Kerajaan Karangasem dari Bali berhasil menanamkan pengaruhnya
di wilayah barat Pulau Lombok dan pada tahun 1750 seluruh wilayah PulauLombok berhasil
dikuasai kerajaan Hindu dari Bali itu. Dengan dikuasainya Pulau Lombok oleh Bali, maka orang-
orang Bali berdatangan ke Lombok sekaligus membawa serta kebudayaan mereka ke Lombok.
Namun pertentangan di antara keluarga kerajaan menyebabkan kekuasaan di Lombok terpecah
menjadi empat kerajaan kecil. Pada tahun 1838, Kerajaan Mataram dari Jawa berhasil menguasai
Lombok dan juga kemudian menaklukkan Kerajaan Karangasem di Bali. Mataram kemudian
menyatukan Lombok dengan Karangasem di bawah kekuasaannya. Di Lombok barat, Suku
Sasak yang berada di wilayah itu dapat menerima kedatangan orang-orang Bali di wilayahnya
dan kehidupan di antara kedua suku bangsa itu berjalan harmonis. Perkawinan antara orang
Sasak dan Bali pada masa itu menjadi hal yang lumrah. Orang Sasak juga belajar dari orang Bali
mengenai metode pengairan pertanian Subak. Namun, keadaan tidak sama di Lombok Timur di
mana kehadiran orang Bali ditentang oleh orang Sasak. Keadaan ini menimbulkan dua kali
perlawanan orang Sasak terhadap kekuasaan orang Bali yang ada di wilayah itu, yaitu pada tahun
1855 dan 1871. Pada tahun 1891, para pemimpin suku Sasak di Lombok Timur minta bantuan
kepada Belanda dan mengundang Belanda untuk menjadi penguasa di Lombok, menggantikan
Bali. Pada Juni 1894, Gubernur Jenderal van der Wijk membuat perjanjian dengan suku Sasak.
Dengan alasan untuk membebaskan orang Sasak dari penjajahan Bali, van der Wijk kemudian
mengirim pasukan dalam jumlah besar ke Lombok. Dan, pada tahun 1894 Belanda berhasil
mengalahkan kekuasaan Bali di Lombok. Pada masa kekuasaan Belanda di Lombok, khususnya
pada sekitar tahun 1940-an, petani dipaksa untuk menjual lebih banyak padi dan beras sebagai
bentuk pembayaran pajak oleh petani kepada penguasa Belanda. Hal ini menyebabkan jumlah
beras bagi masyarakat menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelaparan yang terjadi pada
tahun 1938, 1940, dan 1949. Lombok merupakan kawasan yang rawan kelaparan, bahkan pada
masa setelah kemerdekaan, yaitu pada tahun 1966 dan 1973.

Bahasa
Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den Berg yang
menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam
pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di
Nusantara. Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat
Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat
menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi
yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang,
menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.
Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-
lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para
walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya.
Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan
mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial
budaya.
Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat
dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya
gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila
sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin
kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin
naik kembali menjadi awan. Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-
istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik
dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih
(bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi
(teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau
genem (rajin). Pariwisata Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa
tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya krismon dan
krisis-krisis lainnya, potensi pariwisata agak terlantarkan. Lalu pada awal tahun 2000 terjadi
kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-
besaran kaum minoritas. Mereka terutama mengungsi ke pulau Bali.

Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai
didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai
penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari
bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno. Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama,
hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara.
Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali. Begitu juga dalam teknik
pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan
Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam
budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di
Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral
memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim
tanam. Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan
pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Akulturasi budaya juga
terlihat dalam agama wetu telu. Kelompok penganut agama sinkretisme islam, hindu dan
animisme. Penganut Wetu Telu mayoritas berdiam di Kampung Bayan, tempat di mana agama
itu dilahirkan. Golongan besar Wetu Telu juga boleh didapati di Mataram, Pujung, Sengkol,
Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyok dan Pasugulan.

SEJARAH ACEH
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen
atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau
Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Nanggröe Aceh Darussalam memiliki akar budaya
bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah
bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah,
Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa
Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan
kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di
Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut
dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit
perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada
Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada
bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat
diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang
berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi
(Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata
menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan
satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil
versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda. Awal Aceh
dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau
dalam bahasa Aceh: Mantee yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang
merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer) Menurut sumber sejarah narasi
lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung
Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas
Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan
Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah
ke tempat-tempat lain.

Bahasa Aceh

Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan
bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total
penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat
provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar,
kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten
Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di
beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie,
Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten
Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya
yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih
ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh
sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di
Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.

Bahasa Gayo

Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno,
meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh.
Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh
Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur.
Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-
alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.

Bahasa Alas

Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis
Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang
wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil,
merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang
menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan
Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.

Bahasa Tamiang

Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau
dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah
kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa
Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh
dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa
Tamiang.

Bahasa Aneuk Jamee

Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee
atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan
bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di
Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan
Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai
lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah
Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil
masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa
Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di
kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah
bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah
pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh.
Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’)
yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya
memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari
bahasa Minang.

Bahasa Kluet

Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan
Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet,
terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara
luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk
bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4
ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti
masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam
bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.

Bahasa Singkil

Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk
penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di
kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di
kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang
menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga
bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.
Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa
Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa
komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia.
Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok
masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.

Bahasa Haloban

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah
Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami
Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip
dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur
bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta
pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam
catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.

Bahasa Simeulue

Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi
masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian
Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini
telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue:
mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa
Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa
Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada
perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue.
misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue.
Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah
kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek
Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan
Salang.

Budaya

Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan etnis atau
wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan ?
terbuka?. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk
Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai
sejarah asal-usul dan budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya,
menurut sejarahnya, sub etnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatera
Barat (etnis Minangkabau) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan
dengan budaya etnis Minangkabau.

SEJARAH RIAU
Hasil kajian Hasan Junus, seorang peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang
ada 3 kemungkinan asal nama Riau. Pertama troponomi Riau berasal dari penamaan orang
portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Kedua mungkin berasal dari tokoh sinbad Al-bahar
dalam kitab Alfu Laila Wa laila (seribu satu malam) yang menyebut Riahi,yang berarti air atau
laut. Yang ke dua ini pernah di kemukakan oleh Oemar amin Husin. Seorang tokoh masyarakat
dan pengarang Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya propinsi Riau. Yang
ketiga berasal dari penuturan masyarakat setempat. Di angkat dari kata Rioh atau Riuh, yang
berarti ramai,Hiruk pikuk orang bekerja. Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu
setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai
Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu
Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut: Tatkala perahu-perahu
dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota kerajaan johor) di perintahkan membawa
barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat Sedang didirikan negeri
baru) di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu
yang hilir, “ dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana
di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di
maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”

Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang
berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama
itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja kecik memindahkan pusat kerajaan
melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini di pakai sebagai salah satu
negeri dari 4 negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Linggar, Johor dan pahang,.
Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah
dua. Belahan Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris,Sedangkan belahan Riau-Lingga
berada dibawah pengaruh Belanda. Dalam Zaman Penjajahan belanda 1905-1942 nama Riau di
pakai untuk sebuah keresidenan yang daerahnya meliputi kepulauan Riau serta Pesisir timur
sumatera bagian tengah. Demikian juga dalam zaman Jepang relatif masih di pertahankan.
Setelah propinsi Riau terbentuk tahun 1958, Maka nama itu di samping di pergunakan pula untuk
nama sebuah propinsi yang penduduknya dewasa itu sebagian besar terdiri dari orang melayu.
Propinsi Riau yang di diami oleh sebagian puak Melayu dewasa ini masih dapat di telusuri ke
belakang,Mempunyai suatu perjalanan yang cukup panjang. Riau yang daerahnya meliputi
Kepulauan Riau sampai Pulau tujuh dilaut Cina selatan lalu kedaratan Sumatera meliputi daerah
aliran sungai dari Rokan sampai Kuantan dan Inderagiri. Sebenarnya juga telah pernah di rintis
oleh sang Sapurba, seorang diantara raja-raja Melayu yang masih punya kerinduan terhadap
kebesaran Melayu sejak dari Sri Wijaya sampai Malaka. Seperti di ceritakan dalam sejarah
Melayu (Sulalatus Salatin) dalam cerita yang kedua, sang Sapurba telah mencoba menyatukan
daerah Bintan (kepulauan Riau) dengan Kuantan di belahan daratan Sumatera. Kemudian Raja
Kecil juga punya ambisi untuk menyatukan daerah Selat Melaka itu dengan Siak di belahan
Sumatera. Yang terakhir Raja Haji Fisabilillah mencoba menyatukan daerah kepulauan Riau
dengan Inderagiri, Diantaranya Pekan Lais.Pembentukan Provinsi Riau telah memerlukan Waktu
paling kurang 6 tahun, Yaitu dari tahun 1952 sampai 1958. Usaha pembentukan propinsi ini
melepaskan diri dari propinsi Sumatera Tengah (Yang meliputi Sumatera Barat, jambi dan Riau )
di lakukan di tingkat DPR pusat oleh ma’rifat Marjani, Dengan dukungan penuh dari seluruh
penduduk Riau. Pembentukan Propinsi ini telah di tetapkan dengan undang-undang darurat No
19/1957 yang kemudian di undangkan dengan Undang-Undang No 61 tahun 1958. Propinsi Riau
ini merupakan gabungan dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah berdri di rantau ini,
diantaranya ialah kerajaan Inderagiri (1658-1838), Kerajaan Siak (1723-185 Kerajaan Pelalawan
(1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan banyak lagi kerajaan kecil lainnya,Seperti
Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).

Bahasa Melayu Riau

Dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu Riau memang masih jauh dari ancaman kematian
atau kepunahan. Bahasa Melayu Riau masih digunakan secara lisan ataupun tulis, baik dengan
aksara Latin maupun dengan aksara Arab Melayu. Tradisi tulis juga telah menghasilkan naskah
yang kaya, baik yang bersifat sastra maupun nonsastra, yang merupakan dokumentasi yang dapat
dijadikan rujukan. Selain itu, jumlah penutur yang tergolong besar agaknya juga tidak menyusut
drastis dalam hitungan 100 tahun. Apalagi pada praktiknya, penggunaan bahasa Melayu Riau
menjadi suatu kewajiban untuk keperluan-keperluan tertentu, terutama dalam upacara-upacara
adat. Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa pergeseran penggunaan bahasa dari bahasa
minoritas ke bahasa mayoritas telah menjadi bagian dari alasan untuk memprediksi bahwa dalam
satu abad ke depan, separuh dari enam ribuan bahasa di dunia saat ini akan punah.

Budaya

Tari Zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan di kalangan raja-raja di istana setelah
dibawa oleh para pedagang-pedagang di awal abad ke-16. Tarian tradisional ini bersifat edukatif
dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu
zapin yang didendangkan. Musik pengiringnya terdiri dari dua alat yang utama yaitu alat musik
petik gambus dan tiga buah alat musik tabuh gendang kecil yang disebut marwas.
Sebelum tahun 1960, zapin hanya ditarikan oleh penari laki-laki namun kini sudah biasa
ditarikan oleh penari perempuan bahkan penari campuran laki-laki dengan perempuan.

Acara juga dilanjutkan dengan Kolaborasi Zapin dan Puisi.  Hal ini tidak aneh, karena Melayu
memang dikenal sebagai daerah selaksa pantun dan puisi. Bahkan, dapat dikatakan, puisi yang
dihasilkan etnis Melayu diperkirakan jumlahnya lebih banyak daripada gabungan seluruh puisi
yang ditulis etnis-etnis lain di Indonesia, karena kedudukan puisi dalam perkembangan budaya
Melayu bukan sekadar menjadi bahasa ungkap, pepatah, atau syair lagu, tetapi juga simbol-
simbol masyarakat Melayu.

SEJARAH JAWA
Jawa adalah nama sebuah pulau di Indonesia. Pulau ini merupakan pulau terbanyak
penduduknya, pulau terpadat penduduknya, dan pulau ketigabelas terbesar di dunia ini. Luas
pulau ini 138.793,6 km2 dengan penduduk sekitar 124 juta jiwa (kepadatan 979 jiwa per km2).
Penduduk Pulau Jawa sebagian besar adalah suku Jawa dan suku Sunda. Suku Sunda terutama
bermukim di sisi barat Pulau Jawa, sementara suku Jawa bermukim di sebelah tengah dan timur.
Di sebelah barat Pulau Jawa, banyak juga kantong-kantong komunitas suku Jawa atau suku
bangsa yang berbahasa Jawa. Sedangkan di tengah pulau Jawa ditemukan pula kantong-kantong
komunitas suku Sunda atau suku bangsa yang berbahasa Sunda, terutama di Kabupaten Brebes
dan Kabupaten Cilacap. Selain itu ada pula suku Madura, dan suku Bali di Jawa Timur dan suku
Betawi di sebelah barat Jawa di kota Jakarta dan sekitarnya

Bahasa

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama
(etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal
ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa
Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga
mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk
register.

Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus").
Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan
"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat
tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi
sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara
dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama
andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan
Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.

Budaya

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari.
Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih
hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari,
sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya
menggunakan bahasa Jawa saja. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi
berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh.
Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat
orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang
menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut
agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama
kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama
berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat
Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan
menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.

Anda mungkin juga menyukai