EKOLOGI TERAPAN
Oleh:
NRP : P052100091
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
1
—memiliki tantangan baru untuk konservasi (Peters dan Darling, 1985; Peters dan
Lovejoy 1992; Hannah et al. 2002a). Dengan spesies yang makin terisolasi dalam
fragmentasi, perubahan iklim yang cepat dapat memaksa migrasi; namun tidak
seperti migrasi yang terdahulu, di masa depan spesies akan menemui pabrik-
pabrik, pertanian, jalan tol, dan pemukiman perkotaan dalam perjalanannya.
Sinergi antara perubahan iklim dan fragmentasi habitat adalah aspek perubahan
iklim yang paling mengancam untuk keanekaragaman hayati; dan hal ini
merupakan tantangan utama menghadapi konservasi. Observasi terkini
memberikan sinyal jelas bahwa perubahan telah berjalan, namun dalam rentang
waktu yang sangat singkat—yaitu dalam sepuluh tahun dimana perubahan iklim
akibat kegiatan manusia telah dapat diukur (bagian 2). Pemahaman yang lebih
lengkap terhadap perubahan iklim dan dinamika keanekaragaman hayati dapat
diketahui melalui studi pada perubahan masa lampau (bagian 3). Model iklim di
masa depan dan sistem biologis memberi tambahan wawasan, dan memungkinkan
dampak eksplisit kuantitatif dan geografis serta solusi untuk di eksplorasi (bagian
4). Jalur pemahaman tersebut—dari paleoekologi hingga perubahan masa kini,
dari pemodelan hingga sintesis multidisiplin –dan strategi konservasi yang
berevolusi dari pemahaman tersebut (bagian 5 dan 6) adalah topik dari edisi kali
ini.
PERUBAHAN
Perubahan iklim dan konsekuensi biologisnya sedang berlangsung. Perubahan
dalam fisiologis, fenologi dan distribusi spesies adalah bukti dari perubahan
keanekaragaman hayati yang sedang terjadi dalam beberapa dekade terakhir,
secara langsung terkait dengan tren suhu terbaru (Hughes 2000; Root et al. 2003;
Parmesan dan Yohe 2003). Perubahan masa depan sangat mungkin menjadi lebih
besar, baik dikarenakan fragmentasi habitat dan perubahan iklim yang makin
intensif. Kemampuan kita untuk mengkonservasi sumberdaya makhluk hidup dari
planet akan meningkat terkait kemampuan kita untuk mengatur perubahan iklim,
dan mengatur perubahan biotik yang berasosiasi dengannya.
Pengetahuan fisiologi dan biogeografi pada beragam spesies menyebabkan
harapan terhadap bagaimana mereka akan memberi respon terhadap perubahan
iklim—khususnya pada tren temperatur. Analisis ekstensif dari dampak
perubahan iklim baru-baru ini terhadap keanekaragaman hayati telah
mengungkapkan serangkaian perubahan yang sebelumnya telah diprediksi.
Pergeseran rentang spesies di kutub dan dataran tinggi telah diamati pada burung,
komunitas laut, kupu-kupu (gambar 1.1), dan serangga lainnya.
2
Gambar 1.1 Pergeseran daerah jelajah
Kupu-kupu Edith checkerspot (Euphydryas
editha). Kepunahan populasi tinggi di
daerah Selatan dan dataran rendah sebagai
bagian dari daerah jelajah spesies ini, seperti
diprediksikan oleh teori perubahan iklim.
Sumber: Camille Parmesan, Climate and
Species Range, 1996, Nature, 382, 765-766.
Spesies tidak hanya harus menemukan habitat yang tepat pada iklim masa depan
yang berubah, tetapi taksa yang berbeda akan mengalami tingkat pergerakan yang
diferensial. Spesies mobil seperti burung dapat mengubah rentang perubahan
secara cepat, sedangkan spesies seperti reptil dan tanaman cenderung untuk
bergerak lebih perlahan. Dengan demikian, disamping stres yang mungkin
dihadapi dalam merespon iklim, tingkat perbedaan respon mengimplikasikan
bahwa komunitas spesies saat ini akan mengalami pemisahan. Fungsi ekosistem
yang diturunkan dari komunitas tertentu dari spesies akan juga berubah,
sebanding dengan kecepatan dan skala perubahan iklim. Saat ini data tentang
perubahan pada spesies individual menunjukkan respon yang jelas, namun
konsekuensi dari pemisahan komunitas dari spesies sebagian besar tidak
diketahui.
Sebuah contoh dari perubahan ini datang dari terumbu karang, sebuah sistem yang
sangat beragam berubah menjadi sensitif terhadap peningkatan temperatur yang
cepat. Koral mengeluarkan simbiotik alga mereka ketika tiba-tiba terjadi
pemanasan, seringkali mengakibatkan kematian koral. Ekstrim El-Nino dalam
dekade terakhir, bersamaan dengan keseluruhan tren peningkatan temperatur,
telah menghancurkan terumbu karang di daerah tropis. Apalagi, kerusakan
tersebut bergabung dengan dampak tekanan manusia pada sistem terumbu karang,
termasuk pemancingan yang berlebihan, aliran polutan, pemakaian racun, dan
teknik penggunaan bahan peledak dalam memancing. Gangguan komunitas
terumbu karang ini dan peningkatan temperatur serta permukaan laut adalah
contoh dari sinergi antara penguatan ancaman.
BELAJAR DARI MASA LALU
Para ahli biologi telah berusaha untuk memahami dampak potensial dari iklim
masa depan yang beragam melalui penggunaan analogi masa lampau dan
3
wawasan dari teori. Mungkin wawasan yang paling penting dari perubahan masa
lampau adalah bahwa spesies akan merespon iklim secara independen satu sama
lain. Selama porsi yang signifikan dari zaman es dan transisi interglasial saat
sekarang, distribusi dan kombinasi dari tipe polen tidak memberikan asosiasi
analog terhadap komunitas vegetasi saat ini (Overpeck et al. 1991). Yaitu ketika
spesies bergerak, mereka bergerak pada tingkat dan arah yang berbeda, tidak
sebagai kelompok. Sehingga, pengelompokan spesies selama periode transisi
seringkali tidak sama dengan saat sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa dimasa
depan, kisaran spesies individualistik, independen, bergeser dan dimungkinkan
juga muncul spesies asosiasi yang baru.
Masa lampau juga menawarkan wawasan pada tingkat perubahan, baik pada iklim
dan juga respon biotik. Iklim telah berubah secara cepat pada masa lampau
(gambar 1.2), dan keanekaragaman telah berada pada kepunahan yang relatif
sedikit (Huntley, volume saat ini; Bush, volume saat ini; Roy dan Pandolfi,
volume saat ini). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kapasitas inheren untuk
berurusan dengan perubahan yang dinamis yang dapat dimasukkan dalam strategi
konservasi. Kehilangan habitat saat ini merupakan kendala yang sangat besar
sebagai respon terhadap perubahan iklim, bagaimanapun juga pada tingkat
organisme individual, populasi dan keseluruhan spesies. Sebagai tambahan,
perubahan iklim akan begerak diatas kisaran yang telah didefinisikan oleh
serangkaian variabilitas alami dimasa lampau (Bush 2004; Overpeck et al.,
volume saat ini).
Gambar 1.2 Insolasi matahari, volume es global, temperatur, permukaan laut, dan tingkat CO 2
untuk belahan bumi utara selama 450.000 tahun yang lalu. Perhatikan bahwa temperatur
diperkirakan oleh permukaan laut dan perubahannya yang sangat diperhalus –terdapat banyak
perubahan iklim yang cepat dan besar yang tidak terwakilkan.
Perubahan temperatur regional yang cepat pada masa lampau telah temasuk
transisi hingga 10oC atau lebih dalam hitungan tahun atau dekade. Perubahan
global yang cepat umumnya telah rebih rendah dari besarnya, tetapi seringkali
lebih besar. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan pola iklim global atau
sirkulasi laut dalam. Sebelas ribu tahun yang lalu telah telah luar biasa hangat dan
4
stabil, yang berarti bahwa terdapat sedikit preseden dari masa lampau untuk
kemungkinan perubahan masa datang.
Vegetasi masa lampau memberi respon terhadap perubahan iklim pada tingkat
rata-rata yang berkelanjutan 1oC per millenium, mengindikasikan prediksi
kredibel dari perubahan vegetasi masa depan tidak dapat mengabaikan dinamika
perkembangan waktu dari sistem ekologi. Lebih lanjut, karena perkiraan tingkat
kenaikan suhu rata-rata selama abad berikutnya atau dua, melebihi tingkat rata-
rata yang berkelanjutan selama 120.000 tahun terakhir, hal ini tidak mungkin
bahwa kondisi paleoklimatik direkonstruksi dari kondisi skala waktu millenium
yang secara analog dekat untuk dunia yang berubah dengan cepat menghangat
secara antropologis. Iklim masa depan mungkin tidak hanya akan sangat berbeda
dengan iklim saat ini, iklim tersebut mungkin juga akan berbeda dari yang
disimpulkan dari data paleoklimatik dan dari beberapa spesies yang telah ada dan
beradaptasi secara evolusioner. Oleh karena itu, perubahan dimasa lampau
memberi hanya sedikit konteks untuk mengukur masa depan—tidak secara utama
sebagai analog yang tepat, tetapi sebagai alat untuk memverifikasi model perilaku
dari iklim atau dinamika sistem ekologi yang kemudian digunakan untuk
memproyeksikan kondisi masa depan yang dipercepat oleh perubahan iklim akibat
manusia.
SUDUT PANDANG MASA DEPAN
Memahami program masa depan dan perubahan lain membutuhkan proyeksi
gangguan manusia kedepannya, termasuk iklim. Untuk memprediksi iklim masa
depan kita, pertama yang kita butuhkan adalah memproyeksikan skenario emisi
manusia dan perubahan penggunaan lahan, dan kemudian menggunakan
perubahan-perubahan itu sebagai input ke model komputer dari iklim bumi, model
yang paling komprehensif adalah model GCM (General Circulation Model) dan
AOGCMs (Coupled Atmosphere Ocean General Circulation Models). Menurut
Setiadi penggunaan model digunakan karena:
Fenomena alam yang akan dikaji merupakan suatu sistem yang sangat
kompleks sehingga sulit untuk dianalisa.
Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan percobaan terhadap alam yang
sesungguhnya menjadi terlalu mahal.
Resiko dari melakukan percobaan terhadap alam yang sesungguhnya
menjadi terlalu berbahaya.
Melakukan percobaan terhadap alam yang sesungguhnya secara teknis
tidak memungkinkan.
Proyeksi magnitudo GCM terhadap perubahan temperatur global bervariasi
diantara model (Grassl 2000). Terdapat juga variabilitas intermodel dalam
proyeksi daerah distribusi perubahan. Variabilitas intermodel ini tidak besar untuk
memperkirakan perubahan suhu global dalam kisaran 2030-2050. Belum ada
variabilitas daerah yang cukup antara model, bahkan dalam proyeksi "jangka
pendek". Dengan kata lain, bahkan ketika model setuju cukup erat tentang
perubahan temperatur global, prediksi mereka untuk daerah tertentu mungkin
sangat bervariasi. Pelat 2 mengilustrasikan perubahan temperatur global yang
5
diproyeksikan untuk 2030-2050 dengan menggunakan GCM dan
menggunakannya dibawah skenario emisi.
Perbedaan model menjadi jauh dimasa depan. Pelat 3 mengilustrasikan proyeksi
perubahan temperatur untuk 2080-2100 menggunakan model yang sama dan
skenario emisi yang sama. Variasi dalam model prediksi memperkenalkan
ketidakpastian dalam analisis kemungkinan efek biologi dari perubahan iklim di
masa depan.
Ketika perubahan temperatur global menyisakan tolak ukur politik untuk
keseluruhan kepentingan kebijakan perubahan iklim, temperatur global bukan
merupakan indeks keanekaragaman hayati yang berarti (Hannah et al. 2002b).
Temperatur global menyembunyikan pola perubahan iklim yang penting untuk
keanekaragaman hayati. Misalnya, terdapat perjanjian yang luas diantara GCM
bahwa temperatur saat malam hari akan meningkat melebihi temperatur siang
hari, dengan implikasi penting pada dampak biologis. Karena temperatur rendah
terjadi saat malam hari dan banyak tanaman dibatasi oleh temperatur minimum,
beku atau dingin, temperatur malam hari yang menghangat memberikan dampak
signifikan untuk menentukan perubahan pada distribusi tanaman.
Temperatur global juga menyembunyikan variasi regional dan tren penting pada
spesies dan ekosistem. Variabilitas regional adalah sumber ketidakpastian, tetapi
hal ini juga sangat relevan untuk pemahaman dampak keanekaragaman hayati.
Seperti misalnya, perubahan temperatur diharapkan lebih besar pada daratan
dibanding lautan. Karena mereka meliputi dua per tiga pemukaan bumi, termal
laut besar mengeluarkan pengaruh yang kuat untuk menahan peningkatan
temperatur global. Temperatur global juga tidak secara seragam terdistribusi pada
daratan dan lautan, khususnya selama transisi iklim menuju ekuilibrium baru.
Kecuali atas lembaran es raksasa, daratan biasanya lebih cepat menghangat
daripada lautan. Oleh karena itu, temperatur global meningkat, meminimalisasi
perubahan seperti yang pernah dialami oleh sebagian besar ekosistem terestrial.
Hal ini dapat di ilustrasikan oleh bagan proyeksi temperatur yang berubah pada
daratan dan lautan pada ketinggian tertentu (seperti pada pelat 1, yang juga
mengindikasikan titik lokasi keanekaragaman hayati pada garis lintang).
Lebih jauh, dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati tergantung
pada lebih dari sekedar perubahan temperatur. Presipitasi, peristiwa ekstrim dan
faktor iklim lainnya mungkin lebih penting daripada temperatur pada berbagai
pengaturan (Easterling et al. 2000). Variasi regional berada pada kondisi tinggi
pada semua variabel. Dalam hal ini ketidakpastian bahkan lebih besar antara
region dan model. Pelat 4 mengilustrasikan prediksi perubahan presipitasi untuk
2030-2050 oleh 2 GCM terkemuka dan GCM lainnya dijalankan dibawah
skenario emisi.
Untuk memahami variabilitas regional pada skala yang tepat untuk penilaian
dampak, proyeksi skala yang lebih teliti dibandingkan yang dihasilkan oleh GCM
adalah penting. Skala pada proyeksi GCM terlalu kasar untuk aplikasi dampak
regional. Seperti misalnya, seluruh pegunungan di Utara Barat Amerika dari
Sierra Nevada hingga Rocky diwakili sebagai sebuah “punggung bukit barisan”
yang luas pada kebanyakan GCM. Skala yang lebih teliti pada GCM dapat
6
memperbaiki representasi ini, namun tetap saja lebih kasar dibandingkan divisi
ekologis luas seperti batas air. Sayangnya, waktu komputasi yang diperlukan
meningkat pesat, seiring model skala yang lebih kecil, oleh karena itu solusi lain
untuk memperoleh hasil skala yang lebih teliti untuk analisis regional, sangatlah
dibutuhkan.
Satu pendekatannya adalah dengan menggunakan model skala regional GCM
(Raper dan Giorgi, volume ini). Pendekatan ini menggunakan model iklim
regional (RCM) yang sangat menyerupai prinsip GCM. RCM dapat mencakup
hanya pada daerah yang terbatas, tetapi dengan resolusi yang lebih. RCM
menerjemahkan nilai GCM (biasanya rata-rata lebih dari beberapa ratus kilometer
pada skala) kedalam sebuah mesh skala yang lebih halus (10 hingga 50 km grid
sel) yang lebih dekat pada dimensi pada sebagian besar aplikasi ekologi (Root dan
Schneider, 1993). Grid RCM masih terlalu besar daripada awan individual atau
pohon, namun metode tersebut tidak membawa skala model iklim dan skala
respon ekologis menjadi lebih dekat. RCM juga penting dalam mereproduksi efek
perubahan tutupan lahan (sebagai contoh, penggundulan hutan untuk padang
rumput) pada curah hujan dan variabel iklim regional lainnya.
Perubahan Keanekaragaman Hayati Pada Skala Global
Model vegetasi global, limit bioma, dan tanggapan fisiologis tanaman
dimungkinkan berubah berdasarkan proyeksi GCM. Model-model tersebut
mengalami perkembangan dari model korelatif sederhana hingga model dinamis
kompleks. Makin canggih, model dinamis disebut sebagai Dynamic Global
Vegetation Models (DGVMs). Model tersebut menggunakan model matematis
fotosintesis, cadangan karbon tanaman, dan faktor lain untuk mensimulasi bentuk
vegetasi pada lokasi tertentu (Betts dan Shugart, volume ini). Pelat 5
menunjukkan seberapa baik keenam model tersebut mensimulasikan pola vegetasi
global saat ini.
DGVMs berguna untuk pemodelan efek masa depan dari peningkatan CO2 dan
perubahan iklim pada vegetasi global (Cramer et al. 2000). Pelat 6
mengilustrasikan perubahan vegetasi dimasa depan yang disimulasikan oleh
sebuah komposit dari 6 DVGM pada pelat 5 dalam respon terhadap perubahan
iklim dan CO2. Seringkali model ini menunjukkan tipe vegetasi utara meluas
kearah kutub dan beberapa transisi dari hutan tropis lembab menjadi savana.
Model yang paling canggih dapat mewakili efek perubahan tersebut dalam
vegetasi pada CO2 atmosferik serta iklim (Woodward et al. 1998). Timbal balik
siklus karbon ini cenderung memperburuk efek perubahan iklim. Sebagai contoh,
kehilangan hutan menjadi savana dapat melepaskan CO2 ke atmosfer,
mempercepat pemanasan dan memicu kehilangan hutan yang lebih jauh lagi. Pelat
7 menunjukkan hasil dari model timbal balik siklus karbon. Hal ini
mengindikasikan penekanan utama dari kehilangan hutan di Amazon—sebuah
dampak potensial yang serius yang menjadi subjek penelitian saat ini. Pentingnya
hasil-hasil model tesebut digarisbawahi oleh observasi dari perubahan baru-baru
ini pada komposisi hutan Amazon yang mungkin menjadi hasil dari peningkatan
kadar CO2 (Phillip et al. 2003; Laurence et al. 2004).
7
Pemusatan Pada Pergeseran Jelajah Spesies
Pemodelan secara global telah memberikan manfaat dalam menyediakan sebuah
pandangan secara umum dari perubahan yang mungkin terjadi dalam bentuk
pertumbuhan dan distribusi vegetasi, namun perencanaan konservasi
membutuhkan informasi tentang pergeseran jelajah spesies pada situs dan derah
tertentu. Oleh karena itu, lebih rinci, pemodelan regional dari perubahan biotik
adalah kepentingan mendasar dalam memahami dampak perubahan iklim dalam
keanekaragaman hayati (Hannah et al. 2002b).
Proyeksi model iklim regional atau atau proyeksi downscaled GCM dapat
digunakan untuk model vegetasi sama seperti yang digunakan pada skala global.
Gambar 1.5 mengilustrasikan hasil korelatif sederhana terhadap latihan
pemodelan bioma untuk Afika Selatan (Rutherford et al. 1999). Hasilnya
menunjukkan perubahan mencolok yang memprioritaskan hal tersebut untuk
diteliti (seperti daerah dimana investigasi dampak terhadap spesies individu dapat
dibenarkan), mengilustrasikan penggunaan skala analisis sederhana.
Pemodelan pergeseran jelajah spesies dapat mengungkap dampak terhadap
keanekaragaman hayati dalam ketelitian yang lebih besar (Peterson et al. volume
ini). Metode korelatif dapat diaplikasikan pada pemodelan spesies, atau teknik
statistikal seperti GAM atau GLM dapat digunakan untuk mensimulasikan
distribusi dari ruang iklim yang tepat bagi spesies di masa depan. Pelat 8
mengilustrasikan hasil dari usaha pada tanaman dari Family Protea di Afrika
Selatan. Perubahan ini dapat saja substansial, dan polanya merupakan salah satu
pergeseran jelajah individualistik. Model-model rinci seperti ini membantu
menjelaskan kemungkinan perubahan masa depan dalam keanekaragaman hayati
dan memberikan proyeksi eksplisit secara spasial untuk digunakan dalam
perencanaan konservasi.
8
Gambar 1.5 Bioma perubahan Fynbos dan Karoo sukulen Afrika Selatan di bawah alternatif
skenario iklim di masa mendatang. Analisis ini dilakukan sebagai bagian dari studi tentang
Perubahan Iklim di Negara Afrika Selatan. Analisis ini menggunakan pemodelan bioma korelatif
korelatif dan data iklim downscaled. Daerah putih yang mengganti dua bioma vegetasi dalam
proyeksi masa depan adalah kondisi iklim yang tidak memiliki hubungan dengan bioma saat ini di
Afrika Selatan. Ini mungkin sesuai terhadap vegetasi yang lebih cocok pada daerah kering di
Botswana atau Namibia.
9
Selanjutnya, perubahan iklim akan berdampak pada sistem manusia, sehingga
perubahan, sering meningkat, dalam dampak terhadap keanekaragaman
hayati. Pada daerah tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi, petani
cenderung tidak memiliki sumber daya atau informasi yang dibutuhkan untuk
beradaptasi secara efektif terhadap perubahan kondisi, dan lebih cenderung
mengandalkan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan pengganti. Pada
daerah-daerah tersebut, kegagalan panen dapat memicu peningkatan eksploitasi
hutan atau satwa liar. Bahkan kekurangan sementara dalam makanan atau
pendapatan dapat mengakibatkan kerugian permanen pada tutupan hutan atau
keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh dampak jangka panjang dari
pembukaan lahan dan pemanenan berlebihan.
Pertanyaan teoritis sulit akan berkembang --- seperti, "Apa vegetasi alami?"
Ketika kondisi iklim tidak memiliki analog bersejarah dan spesies tidak bisa lagi
bergerak bebas masuk dan keluar dari daerah, preseden alami mungkin tidak
menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Mengelola untuk mempertahankan
kondisi titik referensi sejarah (misalnya, kontak pra-Eropa) akan mencoba
memaksa vegetasi untuk menyesuaikan iklim yang tidak lagi ada. Namun
memperkirakan spesies apa yang akan menemukan iklim baru yang sesuai dan
bagaimana mereka akan berinteraksi dalam kompetisi dengan satu sama lain baik
di luar kemampuan kita saat ini untuk memprediksi. Dimana mungkin ada nilai-
nilai rekreasi yang kuat terkait dengan nilai-nilai keanekaragaman hayati tertentu
(misalnya, penutup pohon), mungkin ada tekanan sosial yang kuat untuk
mempertahankan unsur-unsur ini, bahkan ketika proses alam mengarah pada
transisi menuju kondisi baru (misalnya, padang rumput).
10
dalam yang telah tinggal selama beberapa periode terakhir interglasial, dapat
berujung pada kepunahan yang menyebar luas --- jelas merupakan situasi yang
tidak dapat dikelola dan dipertahankan untuk keanekaragaman hayati.
Membatasi konsentrasi gas rumah kaca merupakan tugas yang lebih besar serta
banyak tantangan. Membatasi perubahan iklim memerlukan penstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca. Hal ini memerlukan perubahan besar selain
penandatanganan Protokol Kyoto --- yang hanyalah langkah pertama dalam
kerjasama internasional untuk mengkonservasi atmosfer. Ini mengimplikasikan
evolusi masyarakat yang menjadi karbon-netral dalam skala global abad ini. Ini
berarti menghilangkan semua kendaraan berbahan bakar fosil, pesawat terbang,
dan fasilitas pembangkit listrik atau mengimplementasikan penyerapan karbon—
mungkin saja di bawah tanah--pada skala besar (Watson, dalam buku
ini). Meskipun ini mungkin terdengar seperti skenario fiksi ilmiah untuk para ahli
biologi yang bukan ahli energi, namun jika alternatifnya adalah hilangnya
keanekaragaman hayati yang tak terkendali dan tak bisa di hindari, maka ahli
biologi punya alasan kuat untuk mendukung perubahan ini. Memahami apa
maksud dan alternatif-alternatif tersebut merupakan bagian penting dari menjawab
tantangan bahwa perubahan iklim bertanggung jawab terhadap keanekaragaman
hayati.
Salah satu bagian dari solusi adalah tidak menunda lebih lanjut. Makin lama
kegiatan tersebut tertunda maka semakin pendek waktu yang akan tersedia untuk
mengimplementasikan sumber-sumber energi alternatif atau aktivitas
penyimpanan ulang. Karena pertumbuhan ekonomi jangka-panjang pada dasarnya
adalah eksponensial, maka tampaknya biaya besar yang terjadi di awal hanya
memberikan penundaan waktu di mana pada akhirnya didefinisikan bahwa tingkat
kesejahteraan ekonomi tercapai (Azar dan Schneider 2002). Bagian lain dari
solusi ini adalah bekerja secara sepantasnya dalam perdebatan kebijakan publik,
11
sebuah perdebatan dimana ahli biologi telah banyak diam, tetapi menentukan
implikasi besar bagi masa depan keanekaragaman hayati.
Bab yang ada dalam buku ini dibagi menjadi 6 bagian. Bab 2 tentang pertanyaan,
"Apa itu perubahan iklim?" Ini menjelaskan dasar komponen sistem iklim, hal-hal
yang mengarahkan sistem iklim, dan bagaimana kegiatan manusia yang
mempengaruhi iklim. Setelah itu, masing-masing bagian dibuka dengan bab
singkat memperkenalkan prinsip-prinsip yang relevan dari ilmu perubahan iklim,
untuk membantu pembaca meletakkan perubahan biologis yang berkorespondensi
sesuai pada konteks. Bagian-bagian tersebut diatur dengan menyajikan perubahan
baru-baru ini pada bagian pertama, kemudian diikuti oleh perubahan masa lalu,
proyeksi perubahan masa depan, dan bab-bab yang berhubungan dengan
konservasi dan respon kebijakan.
12
literatur tentang perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh,
Parmesan (Bagian II) menyajikan sinopsis studi klasiknya tentang pergeseran
rentang pada kupu-kupu Edith’s checkerspot, serta wawasan penyajian metode
yang ia digunakan dalam penelitian itu. Setiap studi kasus dimaksudkan untuk
memberikan selingan kepada pembaca, dan wawasan yang lebih luas pada bab
yang terkait.
13
BAB II
Terdapat bukti yang jelas untuk variasi substansial pada iklim bumi, baik secara
global dan regional, yang berkisar dari tahun hingga millenia. Banyak jenis bukti
telah dianalisis, termasuk catatan instrumental, catatan sejarah, dan data
paleoklimatik (indikator yang digunakan untuk menyimpulkan iklim masa
lalu). Baru-baru ini, kegiatan manusia telah diidentifikasi sebagai kontributor
global dalam perubahan iklim regional (IPCC 2001). Ini berarti bahwa untuk
memahami variasi iklim dan perubahan, adalah penting untuk menilai sensitivitas
iklim terhadap berbagai faktor, baik manusia dan alami (Karl dan Trenberth,
2003). Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar yang kita bahas
dalam bab ini tentang komponen dari sistem iklim, variabilitas mereka, perubahan
iklim dan penyebabnya, kemampuan untuk memprediksi variasi dan perubahan,
dan bagaimana mereka akan termanifestasikan serta dapat diketahui.
14
Radiasi keluar
Gambar 2.1. Komponen sistem iklim yang di ilustrasikan secara skamatik dengan menyertakan
beberapa interaksi utamanya dan sumber perubahannya (Sumber: di adaptasi dari Trenberth,
Hoghton, dan Filho 1996)
Sumber energi yang mengatur iklim adalah radiasi dari matahari. Jumlah rata-rata
energi pada tingkat permukaan yang datar di luar atmosfer 342 Wm -2. Unit ini
Watts per meter persegi, yang mengacu pada tingkat energi per satuan
luas. Terintegrasi di atas bumi, jumlah ini menjadi sekitar 175 PetaWatts (Peta
adalah 10 15 atau 1 diikuti 15 nol). Pembangkit listrik terbesar memiliki kapasitas
sekitar 1000 megawatt, sehingga jumlah energi ini setara dengan 175 juta dari
pembangkit listrik! Sekitar 31 persen tersebar atau dipantulkan kembali ke
angkasa oleh molekul, partikel udara yang berukuran sangat kecil (dikenal sebagai
aerosol) dan awan di atmosfer, atau dengan permukaan bumi, yang tersisa sekitar
235 Wm -2 untuk menghangatkan permukaan bumi dan atmosfer (Gambar
2.2). Energi yang masuk diseimbangkan rata-ratanya oleh bumi dengan
meradiasikan sejumlah energi yang sama kembali ke angkasa. Hal ini dilakukan
dengan memancarkan radiasi "panjang gelombang" termal yaitu, bagian
inframerah dari spektrum. Sebagian besar radiasi bumi ke angkasa dihalangi oleh
atmosfer dan diemisikan kembali, baik ke atas maupun ke bawah, membuat
atmosfer jauh lebih hangat. Penyelimutan ini dikenal sebagai efek rumah kaca
alami. Gas rumah kaca yang paling penting adalah uap air, yang menimbulkan
sekitar 60 persen dari efek rumah kaca saat ini, dan karbon dioksida (CO 2), yang
menyumbang sekitar 26 persen (Kiehl dan Trenberth 1997).
15
Gambar 2.2. Keseimbangan radiasi bumi. Radiasi matahari yang datang sebesar 342 Wm -2
sebagian di pantulkan oleh awan dan atmosfer, atau pada permukaan, namun 45% diserap oleh
permukaan. Sumber: diadaptasi dari Kiehl dan Tranberth 1997.
Awan menyerap dan memancarkan radiasi termal dan juga memiliki efek yang
menyelimuti mirip dengan gas rumah kaca. Tapi awan juga merupakan reflektor
kecerahan radiasi matahari sehingga dengan demikian awan juga bertindak untuk
mendinginkan permukaan. Terdapat pembatalan antara dua efek yang berlawanan,
efek global bersih dari awan di iklim saat ini, sebagaimana ditentukan oleh
pengukuran berbasis ruang, adalah pendinginan kecil dari permukaan. Energi
yang diterima di permukaan bervariasi baik secara latitudinal maupun
longitudinal, karena geometri bumi matahari, efek atmosfer yang dibahas di atas,
dan distribusi pada tanah (termasuk fitur geografis), laut, dan lautan es, yang
secara diferensial memantulkan dan menyerap radiasi matahari yang masuk. Hal
ini menimbulkan berbagai fitur sirkulasi atmosferik dan samudera.
Karena rotasi bumi, sirkulasi atmosfer dari planet ini sangat berhubungan erat
melalui gelombang skala-besar. Akibatnya, wajar jika terjadi fitur berlawanan
secara bersamaan seperti angin dingin di belahan bumi Utara dengan angin hangat
Selatan. Pada skala waktu yang lebih lama dan musiman, hubungan ini sering
disebut sebagai telekoneksi. Sebuah analogi dapat dibuat seperti jungkat-jungkit
jika satu sisi naik, yang lain turun. Dalam atmosfer dan laut, analogi jungkat-
jungkit mungkin terkait di seluruh dunia dalam cara yang kompleks hal tersebut
dikarenakan bentuk bumi, rotasi, dan perbedaan lautan-daratan.
16
dunia. Seiring peningkatan temperatur permukaan laut (SST) di pusat dan timur
Pasifik, termoklin lautan menjadi semakin dalam. Pusat utama konveksi atmosfer
dan curah hujan mengikuti perairan hangat ke sentral pasifik dan mengubah pola
pemanasan atmosferik, yang, pada gilirannya, mengubah sirkulasi atmosfer di
seluruh dunia. El Nino merupakan penyebab dominan kekeringan dan banjir di
berbagai belahan dunia. Begitupula La Nina, kecuali di tempat-tempat berbeda
dengan El Nino.
Gambar 2.3. Skema perubahan di Pasifik Tropikal dari kondisi normal ke kondisi El Nino.
Digambarkan bahwa pola temperatur permukaan laut (SSTs), dengan suhu 29 oC di bagian barat
(bayangan yang paling gelap). Terlihat indikasi termoklin lautan di atas tercampur dengan baik.
Sumber: Hak cipta University Corporation for Atmospheric Research.
El Nino juga secara jelas berperan dalam modulasi pertukaran karbon dioksida
dengan atmosfer. Kenaikan arus (upwelling) yang normal dari perairan dingin
yang kaya nutrisi dan air yang kaya CO2 di pasifik tropikal mengalami penurunan
selama El Nino. Kehadiran nutrisi dan sinar matahari mendorong perkembangan
dari fitoplankton, zooplankton, dan produktivitas primer, untuk kepentingan
banyak spesies ikan. Oleh karena itu El Nino memiliki efek signifikan pada
banyak spesies. Variasi multidekade ENSO terkait dengan variasi suhu, tekanan,
dan sirkulasi di pasifik utara, disebut sebagai osilasi dekade pasifik (PDO).
Telekoneksi penting lainnya meliputi Osilasi Atlantik Utara (NAO) dan Amerika
Utara-Pasifik (PNA). NAO ini berkaitan dengan kekuatan permukaan angin barat
di atas Atlantik Utara dan udara Arktik dingin ke Eropa. NAO terkait erat dengan
"model tahunan Utara”, kadang-kadang disebut osilasi Arktik, yang meliputi
badai yang berasal dari barat dan serangan di sekitar udara Arktik pada seluruh
belahan bumi (karenanya, “berbentuk gelang” – terkait dengan cincin). Pola
telekoneksi PNA dikaitkan dengan Kepulauan Aleut yang biasanya lebih rendah
dari normal dan wilayah yang lebih rendah dari tekanan normal di sebelah
tenggara Amerika Serikat, sementara tekanan lebih tinggi dari normal di atas
17
bagian barat Amerika Utara. PNA dikaitkan dengan skala suhu yang besar dan
anomali curah hujan di Pasifik Utara dan wilayah Amerika Utara.
Gambar 2.4. Gambaran skematik dari sirkulasi lautan secara global dan sirkulasi thermohalin Atlantik. Bayangan yang lebih terang mengind
Panas dilepaskan ke atmosfer
Merupakan hal yang mudah untuk menentukan wujud dan bentuk perubahan iklim
serta variasi dari perspektif rangkaian waktu statistik. Variasi iklim dan perubahan
dapat diwujudkan dalam berbagai cara, seperti digambarkan dalam gambar
2.5. Salah satu contoh dari variasi iklim periodik rutin adalah siklus musiman,
yang tentunya merupakan perubahan besar dalam variabel iklim selama tahun ini,
dengan dampak yang sangat besar pada biota (Gambar 2.5a). Biasanya,
bagaimanapun, kerangka waktu tahunan adalah waktu minimum yang digunakan
untuk menggambarkan variabilitas iklim dan perubahan. Hal ini jarang bagi iklim
untuk mewujudkan sebuah periodisitas seperti siklus musiman, dan paling sering,
pada skala waktu antar tahunan dan lebih besar, variasi di kuasi periodik
terbaik. Seperti halnya dengan siklus El Niño / La Niña tersebut. El Niño terjadi
sekitar setiap tiga sampai tujuh tahun selama beberapa ratus tahun
terakhir. Peristiwa ini akan ditetapkan sebagai variasi iklim. Kami membedakan
antara variasi iklim dan perubahan dari perspektif semi-permanen. Sebagai
contoh, meskipun ada konsekuensi yang sangat besar bagi biota itu, kekeringan
skala waktu sepuluh tahunan pada tahun 1930-an di banyak wilayah Amerika
Serikat dan kekeringan Sahel yang memuncak pada 1970-an dan 1980-an
dianggap sebagai variasi iklim, bukan perubahan. Selama kekeringan, iklim secara
signifikan berbeda dari dekade sebelumnya, namun bila dilihat dari skala waktu
18
satu abad, itu dianggap sebagai variasi, bukan perubahan semi-permanen dari
keadaan iklim rata-rata. Jika, dilihat dari sisi lain, iklim yang terbukti nonstasioner
dalam domain waktu yang menarik, lalu diskontinuitas, melonjak, dan trennya
(Gambar 2.5 b dan c) semua hal tersebut merupakan manifestasi perubahan
iklim. Iklim dasar baru muncul seperti perubahan iklim. Kadang-kadang,
bagaimanapun, ketika domain waktu mengembang, apa yang pernah dipandang
sebagai diskontinuitas atau tren dapat mengungkapkan dirinya untuk menjadi
bagian dari siklus, seperti kemajuan dan kemunduran gletser. Penting untuk
dipertimbangkan bahwa perubahan tidak terbatas pada perubahan rata-rata, tetapi
adalah deskripsi lengkap dari suatu distribusi statistik. Ini berarti, sebagai contoh
bahwa perubahan iklim dan variasi juga dapat didefinisikan dengan perubahan
variabilitas rata-rata (Gbr. 2.5 d).
Bahkan setelah domain waktu yang menarik perhatian telah ditetapkan untuk
perubahan iklim atau variasi, penting untuk mengenali dan mengklasifikasikan
batas spasial. Sebagai contoh, adalah mungkin untuk mendapatkan respon yang
berbeda dari wilayah ke wilayah, yang mencerminkan batas-batas dari perubahan
iklim atau variasi. Hal ini bahkan mungkin untuk mendapatkan perubahan tanda
berlawanan, seperti pergeseran utara dalam jalur badai yang menimbulkan lebih
kering, kondisi sedikit badai ke arah selatan, namun lebih basah, kondisi badai
lebih ke arah utara. Demikian pula, sebuah variabel iklim tertentu, seperti suhu,
mungkin menunjukkan perubahan tanda, sedangkan variabel lain, seperti
kecepatan angin, mungkin menunjukkan sedikit perubahan selama domain waktu
yang sama, namun kita akan mengklasifikasikan iklim memiliki diubah jika salah
satu dari parameter yang diperlukan untuk menentukan perubahan iklim.
19
badai, angin topan, badai salju, dan sebagainya. Dalam kerangka kerja, cuaca
dipandang sebagai salah satu potret dari sebuah sekumpulan peristiwa itu, ketika
terpadu atas ruang dan waktu, mendefinisikan iklim.
Pemahaman kami tentang penyebab variasi iklim dan perubahan itu terbatas
sebagian karena ada banyak kemungkinan penyebabnya, biasanya disamarkan
oleh interaksi yang kompleks. Interaksi tersebut termasuk perubahan eksternal
terhadap sistem iklim sebagaimana juga yang terjadi pada internal, yang memaksa
iklim untuk berperilaku secara spesifik. Perubahan kekuatan pada iklim eksternal
dapat mempengaruhi variabel internal dengan sistem iklim dalam cara yang
kompleks yang berusaha menyeimbangkan diri untuk efek umpan balik iklim. Hal
ini terjadi ketika perubahan dalam salah satu bagian dari sistem iklim bertindak
untuk memperkuat (umpan balik positif) atau mengurangi (umpan balik negatif)
arah awal perubahan. Mungkin contoh yang paling jelas umpan balik berkaitan
dengan iklim dan tutupan es. Seiring dengan suhu global dingin, salju dan es
meningkat, memantulkan lebih banyak radiasi matahari kembali ke angkasa,
mengarah ke umpan balik positif dengan meningkatkan pendinginan
awal. Rangkaian saling melekat dari atmosfer, laut, kriosfer (merupakan bagian
dari bumi di mana air atau tanah yang beku), dan permukaan tanah mengarah ke
interaksi yang kompleks dan umpan balik.
Model simulasi iklim selama periode tertentu dapat diverifikasi dan divalidasi
terhadap catatan observasi. Model yang dapat menggambarkan sifat perubahan
iklim, variasi, kondisi stabil iklim berfungsi tidak hanya sebagai ukuran
pemahaman kita, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman ini. Setelah
dievaluasi, mereka kemudian dapat digunakan untuk tujuan prediksi. Dengan
kekuatan skenario spesifik, model dapat memberikan respon skenario iklim yang
layak. Mereka adalah cara utama dalam memprediksi iklim, meskipun akhirnya
20
prediksi mungkin akan diperoleh dengan berbagai cara, termasuk tingkat
perubahan iklim global yang diamati.
Aerosol terjadi di atmosfer karena fenomena alam, misalnya, mereka ditiup dari
permukaan padang pasir atau daerah kering. Letusan dari Gunung Pinatubo di
Filipina pada bulan Juni 1991 menambah jumlah aerosol ke stratosfer, selama
beberapa tahun radiasi matahari yang tersebar, menyebabkan kehilangan radiasi di
permukaan dan pendinginan di sana. Kegiatan manusia berkontribusi terhadap
pembentukan partikel aerosol terutama melalui injeksi belerang dioksida ke
atmosfir (yang berkontribusi menjadi hujan asam), terutama dari pembangkit
listrik dan melalui pembakaran biomassa. Karena sebagian besar aerosol
antropogenik di introduksikan dekat permukaan bumi di mana mereka dapat
21
tercuci keluar dari atmosfer oleh hujan, mereka biasanya tetap di atmosfer hanya
untuk beberapa hari, dan mereka cenderung terkonsentrasi dekat sumber, seperti
daerah industri. kekuatan radiatif memaksa sehingga membentuk pola regional
yang sangat kuat, dan kehadiran aerosol dapat membantu menyembunyikan
sementara setiap pemanasan global yang timbul akibat peningkatan gas rumah
kaca.
Pada skala waktu ribuan tahun, jumlah radiasi mencapai bumi dipengaruhi oleh
variasi pada orbit bumi, yang dikenal sebagai "siklus Milankovitch" (Gambar 2.6).
Saat bumi mengitari matahari dengan sumbu yang miring 23,5 o dan orbit elips,
tapi berputar seperti pemintal di ruang angkasa (Gambar 2.6a). Bumi lebih dekat
dengan matahari sekitar 3 Januari dan paling jauh pada tanggal 5 Juli (belahan
bumi Utara mengalami musim panas), tetapi karena putaran ini bergerak seiring
waktu, Kutub Utara menempuh lingkaran di ruang angkasa dengan siklus sekitar
22.000 tahun. Selain itu, kemiringan bumi bervariasi dari 21,1o hingga 24,5oC
selama 41.000 tahun (Gambar.2.6b), dan eksentrisitas dari orbit (Gbr. 2.6 c)
berubah dari hampir melingkar (Eksentrisitas = 0,00) menjadi lebih elips
(Eksentrisitas = 0,06), dengan siklus sekitar 100.000 dan 400.000 tahun. Dengan
orbit yang mendekati lingkaran, hal ini hanya sedikit mempengaruhi ketika bumi
berada pada titik terdekat dari matahari, tetapi dengan meningkatnya eksentrisitas,
tren pergerakan menjadi lebih penting. Efek gabungan dari faktor-faktor tersebut
mengubah jumlah radiasi matahari yang mencapai bagian atas atmosfer. Paling
signifikan adalah perbedaan radiasi matahari di satu belahan bumi dibandingkan
dengan yang lain serta perubahan musim.
22
Gambar 2.6. Perubahan dalam karakteristik orbital
yang menghasilkan variasi radiasi matahari yang
datang (total iradiasi matahari) (Wm-2) mencapai
puncak atmosfer.
Gambar 2.6 menunjukkan hubungan yang menarik antara volume es dan jumlah
radiasi matahari yang diterima pada musim panas di belahan bumi utara. Sekitar
20.000 tahun yang lalu, glasial maksimum terakhir mulai berkurang seiring radiasi
musim panas meningkat. Koneksi serupa terjadi selama masa glasial sebelumnya,
misalnya, 135.000 dan 200.000 tahun yang lalu. Penelitian ini telah menyebabkan
teori-teori dimana glasiasi utama didominasi oleh belahan bumi Utara karena
lebih banyak dataran tersedia di mana salju dan es terakumulasi. Perlu dicatat
bahwa perubahan radiasi panas untuk lintang tengah dan tinggi merupakan urutan
besar yang lebih besar daripada perubahan untuk dunia. Oleh karena itu,
pentingnya siklus Milankovitch harus muncul melalui amplifikasi nonlinier dalam
sistem iklim. Ini termasuk perubahan dalam Albedo permukaan dari perubahan
vegetasi, salju dan es (Lahr dan Foley 1994). Setelah lapisan es benua besar
terbangun, kemudian perubahan pada sirkulasi atmosfer dan kelautan juga terjadi
karena berbagai alasan (misalnya, berbeda lautan-dataran kontras suhu yang
mempengaruhi musim hujan, perubahan elevasi permukaan tanah karena
ketebalan es, dll).
23
preseden, sehingga sulit untuk memprediksi kapan periode arus inter-glasial
(hangat) mungkin berakhir, walaupun bahkan di sana telah ada campur tangan
manusia dengan proses atmosfir (Paillard 2001).
24
Knight 1998; Groisman et al IPCC2001. 1999;). Secara umum, sebagai perubahan
iklim, ada kemungkinan perubahan diperkuat dengan ekstrem (Katz 1999).
Suhu rata-rata Hemisfer didominasi oleh perubahan atas daratan, yang lebih besar
dari lautan, dan dengan demikian menjadi paling besar ketika perubahan atas
Eurasia dan Amerika Utara dalam tahap ini. Pola “lautan dingin-dataran hangat"
telah terbukti terkait dengan perubahan dalam sirkulasi atmosfer dan, khususnya,
kecenderungan untuk NAO yang berada di fase positif.
Demikian pula, pola telekoneksi PNA dalam fase positif sering dikaitkan dengan
indeks negatif osilasi selatan, atau, dengan kata lain, El Nino hangat fase dari El
Nino - Southern Oscillation (ENSO). El Nino terlibat dengan gerakan panas di
Samudera Pasifik tropis, pemanasan meningkat dari penumpukan gas rumah kaca
dapat mengganggu (lihat Gambar. 2.3). Model iklim tentu menunjukkan
perubahan El Nino dengan pemanasan global, tetapi tidak mensimulasikan dengan
ketepatan yang cukup untuk ilmuwan mempercayai hasilnya. Kemungkinan
bahwa perubahan dalam ENSO akan terjadi, tetapi sifat mereka, bagaimana besar
dan cepat mereka, serta implikasinya terhadap iklim regional di seluruh dunia
sangat tidak menentu dan bervariasi dari model ke model.
Mungkin cara utama bahwa pemanasan global dan El Nino bisa memperkuat satu
dengan yang lainnya dan sangat mempengaruhi lingkungan serta masyarakat
adalah melalui pengaruh mereka pada siklus karbon. Penurunan pengeluaran
CO2 dari lautan selama El Nino (Feely et al 1999 ) cukup untuk mengurangi
penumpukan CO 2 di atmosfer 1,5-0,7 ppm -1 th. El Nino juga mempengaruhi
timbulnya kebakaran, yang menghasilkan emisi CO2 lebih besar, sementara
perubahan curah hujan dan suhu dataran, melalui telekoneksi, dimana
pengambilan CO2 oleh biosfer terestrial ditingkatkan (Braswell et al 1997).
Ada bukti bahwa perubahan NAO mungkin, setidaknya sebagian, terkait dengan
perubahan suhu permukaan laut tropis (Hoerling et al 2001.), Yang pada
gilirannya ditingkatkan oleh pemanasan global. Di belahan bumi selatan, jenis
perubahan yang sama terjadi di mana angin barat menjadi lebih kuat, dan ini
disebut sebagai "Southern Hemisphere Annular Mode" (SAM) (Thompson dan
25
Solomon 2002). Perubahan ozon stratosfir juga dapat menjadi faktor dalam
sirkulasi atmosfer dan perubahan dalam pusaran kutub di kedua belahan.
Pada skala waktu abad, peningkatan gas rumah kaca secara terus menerus di
atmosfer dapat menyebabkan sistem iklim merespon melalui perubahan dalam
sirkulasi laut dan, khususnya, perlambatan dalam sirkulasi termohalin
Atlantik. Peningkatan curah hujan diharapkan pada pertengahan hingga lintang
tinggi sebagai penghangat iklim karena udara yang lebih hangat dapat menahan
kelembaban lebih banyak, dan ini dapat mengakibatkan penyegaran dari laut pada
saat yang sama dengan penghangatan, mengurangi sirkulasi termohalin. Karena
sirkulasi ini transportasi panas kedaerah kutub, sebagian melalui perairan hangat
di aliran Teluk, setiap perubahan dapat memiliki efek regional mendalam di Eropa
dan sekitarnya. Masih ada ketidakpastian yang cukup tentang betapa pentingnya
hal ini, walaupun nampaknya lebih penting dengan peningkatan gas rumah kaca
yang cepat dan besar.
Perubahan iklim diperkirakan akan mengubah ciri sirkulasi khusus. Hal ini dapat
dilihat melalui penurunan atau peningkatan dalam berbagai jenis secara
ekstrem. Sebagai contoh, kita telah diamati pada abad kedua puluh di Amerika
Utara (dan daerah lainnya) bahwa suhu harian rata-rata menurun menjadi
sejumlah awan dan suhu umum meningkat. Penurunan ini kemungkinan menjadi
pembekuan, yang bisa jadi sangat penting untuk membunuh serangga dan
penyakit jamur yang sangat dapat mempengaruhi flora dan fauna. Berbagai
macam variabilitas alami terkait dengan semua elemen yang membentuk-hari
cuaca hari (misalnya, suhu, curah hujan, radiasi matahari, kecepatan angin,
kelembaban) berarti bahwa perubahan dan variasi iklim cenderung menjadi
rumit.
RINGKASAN
Perubahan adalah bagian alami dari sejarah iklim bumi. Iklim melibatkan variasi
di mana atmosfer dipengaruhi oleh dan juga saling mempengaruhi dengan
berbagai bagian dalam sistem iklim, dan kekuatan "eksternal". Untuk cukup
mencirikan perubahan iklim, waktu dan skala ruang atas terjadinya perubahan
harus diketahui dengan baik statistik dari perubahan-misalnya, monoton, non
linier, osilasi, dan sebagainya. Ini termasuk kelompok variabel yang membentuk
iklim, seperti suhu, curah hujan, angin, kelembaban, dan radiasi matahari. Sebuah
tantangan utama adalah untuk mengisolasi penyumbang dari kekuatan eksternal
yang spesifik dan umpan balik internal. Sejumlah besar analisis sekarang
menunjukkan bahwa perubahan yang disebabkan manusia untuk komposisi
atmosfer perubahan iklim saat ini dan diharapkan untuk terus melakukannya ke
masa mendatang. Sebagai kemajuan perubahan, kemungkinan untuk diwujudkan
dalam corak sirkulasi alami, seperti ENSO, NAO, PDO, sirkulasi laut, dan urutan
khusus cuaca hari ke hari. Perubahan ini diharapkan memiliki dampak besar.
Sebagai contoh, siklus hidrologi dapat mempengaruhi perubahan suhu,
kelembaban udara balik, curah hujan (jumlah, frekuensi, dan tingkat), tingkat
26
keparahan kekeringan, salju menutupi secara lama dan sangat tebal, dan faktor
lainnya. Perubahan iklim akan menjadi kompleks, dan reaksi mahluk hidup akan
bervariasi dalam ruang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Hannah, L., T.E Lovejoy, dan S.H Scheneider. 2005. Climate Change and
Biodiversity. Yale University. United States of America.
Indrawan, M., R.B. Primack, dan J.Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Trewartha, G.T dan L.H. Horn. 1995. Pengantar Iklim (5th ed.), diterjemahkan
oleh: Sri Andani. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
27