Anda di halaman 1dari 23

Kerangka Dasar Teori Ilmu Pengetahuan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani hingga abad XX sekarang
ini, telah banyak aliran filsafat yang bermunculan, setiap aliran filsafat itu memiliki kekkhasan
masing-masing, sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran,
kecenderungan setiap aliran filsafat dalam mencanangkan metodenya masing-masing sebagai
satu-satunya cara yang paling tepat untuk berfilsafat, menimbulkan pertentangan yang sengit di
antara para penganut berbagai aliran filsafat tersebut.
Kegiatan pendidikan keilmuan tidak boleh berhenti pada kematangan intelektual semata,
melainkan harus menjangkau kedewaaan moral dan sosial. Penilaian akhir seorang ilmuwan
tidak boleh diletakkan kepada kemampuan berpikirnya saja melainkan harus mengikut sertakan
kedewasaan sikap dan tindakan. Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang
didekati secara filsafati dengan tujuan untuk lebih mengfungsionalkan wujud keilmuan baik
secara intelektual, moral dan sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan
mengenai ilmu itu sendiri berserta segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu
dengan berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, kebudayaan, sosial, dan bahkan politik.
Secara kurikuler, pembahasan materi filsafat ilmu harus dikaitkan deengan kegiatan pokok
keilmuan. Salah satu kegiatan pokok keilmuan yang dapat dijadikan titik tolok / point of entry
dalam membahas filsafat ilmu adalah: kegiatan penelitian ilmiah (metodologi penelitian).

Filsafat ilmu tidaklah ditujukan untuk mendidik seseorang menjadi ahli dalam filsafat ilmu
melainkan pengetahuan pelengkap bagi pendidikan keilmuan dalam berbagai disiplin ilmu.
Tugas filsuf menurut Hans Albert adalah memperjelas masalah, yang mencakup membuat cerah,
dan pantang lelah menyingkirkan teori-teori, prasangka-prasangka, dan pendapat-pendapat salah
yang sudah terbantah. Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar berpikir dalam mengolah ilmu
agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
moral, etika dan kesusilaan. Untuk itu penulis akan membahas lebih lanjut mengenai kerangka
dasar teori Ilmu pengetahuan yang meliputi Empirico-Deduktif, Dedukto-Falsifikatif, Daur
Imbas-Jabar-Tasdik ( Siklus -indukto-dedukto-validatif), Lompatan Paradigmatik: (Paradigma
Khun) dan Paradigma Merton, serta Program Penelitian atau sabuk pelindung dengan rumusan
masalah yang telah ditetapkan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diajukan pada makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah empirico-deduktif menurut F.Bacon?

2. Bagaimanakah dedukto-falsifikatif menurut Popper?

3. Bagaimanakah daur Imbas-Jabar-Tasdik ( Siklus -indukto-dedukto-validatif) menurut L.Wilardjo?

4. Bagaimanakah lompatan paradigmatik yang meliputi Paradigma Khun dan Paradigma Merton?

5. Bagaimanakah program penelitian atau sabuk pelindung menurut Lakatos?


1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah empirico-deduktif menurut F.Bacon.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah dedukto-falsifikatif menurut Popper.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah daur Imbas-Jabar-Tasdik ( Siklus -indukto-dedukto-validatif)


menurut L.Wilardjo.

4. Untuk mengetahui bagaimanakah lompatan paradigmatik yang meliputi Paradigma Khun dan
Paradigma Merton.

5. Untuk mengetahui bagaimanakah program penelitian atau sabuk pelindung menurut Lakatos.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kerangka dasar teori ilmu pengetahuan

Filsafat adalah induk dari segala ilmu. Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan
membiak dengan pesat dan spesifik, misalnya: ilmu Humaniora, Sosial, fisika, kimia, biologi,
dan matematika, dan agama, sehingga seringkali lepas dari akar filosofisnya[1]. Filsafat mengerti
apa yang seharusnya menjadi kebutuhan sehari-hari, namun filsafat tidak mengerti bagaimana
cara pengadaaanya, karena hal ini wilayah ilmu pengetahuan yang bersifat praktis dan teknis[2].
Adapun ruang lingkup dari filsafat itu sendiri adalah semua hal yang ada (bahkan yang mungkin
ada). Aspeknya yang mendasar berupa sifat hakikat dan substansinya. Sasaran penyelidikannya
adalah nilai hakiki sebuah kebenaran yang bersifat menyeluruh, abstrak dan universal.

Dari sinilah pergeseran nilai itu timbul, dimana ilmu pengetahuan yang terintegralisasi
dalam pandangan hidup, sikap dan prilaku manusia cenderung mereduksi dari kualitatif-
spiritual kuantitatif –material. Akibatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan ditunjang teknologi
lebih berfungsi sebagai eksploitasi dan reproduksi alam dengan sikap monopolistik. Alhasil sikap
tersebut akan mengubah pandangan hidup manusia menjadi positivistik-materialistik, karena
sekedar memenuhi tuntutan praktis dan pragmatis. Dampaknya lahirlah moral persaingan tak
sehat, mis: ekonomi liberal-kapitalis. Dan sebagai buahnya adalah hukum rimba. [3]

Menurut Jaih Mubarok, obyek filsafat ada 2: [4]


1. sesuatu yang tampak (empiric) → melahirkan filsafat metafisika (asal-usul alam). Bersifat
spekulatif shg butuh perenungan dan penghayatan.
2. sesuatu yang tidak nampak (abstrak) → melahirkan filsafat fisika (kealaman). Bersifat
penalaran yang teratur.

Ilmu ( Science ) adalah pengetahuan yang diperoleh dan divalidasi dengan menyusuri
daur imbas-jabar-tasdik (siklus indukto-dedukto validatif). Ilmu merupakan spesies dari genus
yang disebut pengetahuan. Pengertian ilmu mencakup sistem, proses, produk, dan paradigmanya,
(Wilardjo, 2003). Ilmu sebagai semua pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode
keilmuan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil rentetan daur-daur pengimbasan
induksi), penjabaran (deduksi) dan penyahihan verifikasi/validasi) yang terus menerus tak
kunjung usai, (Kemeny, 1959). Pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah
pencapainnya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Tidak perlu suatu pengetahuan pun
memuaskan hati atau akal budi manusia secara tuntas. Segala hasil pengetahuan bersifat
sementara dan terbuka, bertanya sambil mencari (C.verhaak, 1995).

2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat pada Abad Modern

Filsafat pada abad modern (100-1600 m), yakni masa pembebasan dari hegemoni gereja
meliputi:
 Rasionalisme

Bercorak mengedepankan rasio (pikiran) untuk mendapatkan kebenaran ilmu


pengetahuan, Ideas Claires et Distinctes (ide cemerlang pemberian Tuhan) sebagai counter efek
terhadap carak filsafat scolastik.
 Rene Descartes (1596-1650)  sebagai bapak Rasionalisme, metodenya "keragu-raguan". 
semboyan cogito Ergo Sum.
 Blaise Pascal (1623-1662m)
 Nicole Marehrance (1678-1718m)
 Spinoza (1632-1677m)

 Leibniz(1646-1716m).

 Empiris

Bercorak mengedepankan pengalaman inderawi untuk mendapatkan kebenaran ilmu


pengetahuan.
 Francis Bacon(1210-1292)  menurutnya, pengetahuan yang sejati adalah yang diterima
inderawi, yaitu melalui metode induksi.
 Thomas Hobbes(1588-1679)  menurutnya, pengalaman inderawi adalah permulaan segala
pengenalan. Dan pengetahuan rasio tidak lain hanyalah penggabungan data-data inderawi
belaka.
 John Lock(1632-1704 m)
 David Hume(1711-1776 m)
 George Barkeley(1665-1753)

 Kritisisme

Kemunculnya merupakan upaya pendamaian antara Rasionalisme dan Empirisme.


 Imanuel Khant(1724-1804 m) Sebagai pelopor kritisisme. Menurutnya:
Pengalaman manusia merupakan paduan/sintesa antara unsur-unsur apriori (rasio) dengan unsur
aposteriori (pengalaman). Bahwa pengetahuan inderawi selalu ada 2 bentuk apriori yaitu
"ruang dan waktu". Kedua-duanya berakar pada struktur subjek itu sendiri. Implikasinya,
memang ada realitas, terlepas dari subjek "das ding an sich" (benda dalam dirinya sendiri),
tetapi selalu terdapat "X" yang tak dikenal. Sementara manusia hanya mengenal gejala-
gejalanya saja, yang merupakan sintesa antara "hal-hal yang datang dari luar dengan ruang
dan waktu". Akal budi menciptakan orde (putusan2) antara data-data inderawi (materi)
dengan bentuk yang ada dalam akal budi (apriori) atau yang disebut "kategori".
2.3 Epistemologi Ilmu pengetahuan

Cabang filsafat membahas apa sarana dan bagimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan
bagimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah. Perannya menyelidiki
asal usul, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Epistimologi merupakan asas mengenai
cara "bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan".
Landasan epistimologi tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode
ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan :
a. kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
b. menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan;
c. melakukan verfikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataan secara
faktual.

Secara akronim disebut dengan logico hypotetico verficative - deducto hypothetico


verificative. Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam
mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verfikasi secara empiris berarti evaluasi
secara objektif dari satu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verfikasi ini berarti
bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin
fakta menolak hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri atas kritik terhadap
kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan
terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmtis yang prosesnya berulang berdasarkan cara
berfikir kritis.

Dalam epistimologi terdapat asas moral yang secara implisit dan eksplisit masuk dalam logico
hypotetico verficative-deducto hypothetico verificative yaitu bahwa; "dalam proses kegiatan
keilmuan maka setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang
dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak
hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual". Alirannya meliputi:
Rasionalisme (Descartes dll.), empirisme (Aristoteles, F.Bacon, TR.Hobbes, dll.), kritisisme,
positivisme, fenomenologi. Rasionalisme dan empirisme menjadi aliran yang sangat dominant
dan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Empirico-Deduktif (F.Bacon)

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya Renaissance sekitar abad XV dan XVI M.
Barangkat dari keinginan lepas dari dogma-dogma, akhirnya muncul semangat untuk menggali
kembali kekayaan filsafat Yunani klasik. Problem utama pada masa Renaissance adalah sintesa
agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era Renaissance ditandai dengan tercurahnya
perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik secara indivisu maupun social.

Di antara filosof masa Renaissance adalah Francis Bacon (1561 – 1626). Ia berpendapat
bahwa filsafat harus dipindahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat
menunjukkan Tuhan, tapi ia menganggap bahwa sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi
hanya dapat diketahui melalui wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran.
Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda
(double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Ideal ilmu menurut Francis Bacon Ilmu bagi
kemaslahatan manusia (kemanusiaan). Tujuan ilmu ialah mengusahakan posisi yang lebih
menguntungkan bagi manusia dalam menghadapi alam. Ilmu bertujuan menyodorkan sejumlah
alternatif sebagai basis pengambilan keputusan untuk mengatasi paceklik, wabah penyakit,
karena alam, kabut asap dll. Ilmu adalah kekuasaan, dan teknologi adalah tangan ilmu dalam
menggunakan kekuasaan itu. Mereka yang menguasai ilmu dan teknologi juga memiliki
kekuasaan utnuk mempengaruhi orang lain yang tak memilikinya.

Puncak masa Renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap
sebagai “Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme”. argumentasi yang dimajukan
bertujuan unutk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini Nampak dalam semboyannya
“cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam
perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran
sebagai eksistensi setiap individu. Dalam hal ini filsafat kembali mencapai kejayaannya dan
mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebanaran.

2.2 Dedukto-Falsifikatif (Popper)

Karl Raimun Popper ia merupakan seorang filosof ilmu alam dan ilmu sosial dari Austria.
Dialah pengembang realisme methaphisik. Realisme Popper berangkat dari positivime logic, ia
menolak sistem logika induktif, dan menggunakan logika deduktif dan tetap menggunakan teori
probabilistik. Popper melihat keterbatasan konfirmasi kuantitatif, sehingga ia memberi peluang
uji konfirmasi kualitatif. Popper adalah sosok filusuf kontemporer yang pola pikirannya sangat
diwarnai dan dipengaruhi oleh konstelasi zamannya.

Pemikiran Popper mendasarkan diri pada Rasionalisme kritis dan Empirisme-kritis yang
dalam bentuk metodologinya disebut "Deduktif-Falsifikatif" dengan realisasi metodologinya
Tentang Problem-Solving. Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian Popper akan
pentingnya problem sebagai esensi substansial pengetahuan manusia, karena menurut
pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan problem.

Menurut pemikiran Popper, kebenaran sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah
bukan milik manusia karena itu kewajiban manusia adalah mendekatinya dengan cara tertentu.
Kata cara tertentu menunjuk kepada ajaran Popper mengenai kebenaran dan sumber
diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio dan
pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni
harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara
pengujian "trial and error" (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga
kebenaran se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri
di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis.

Pandangan Popper mengenai kebenaran yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan
bahwa dirinya tergolong penganut Relativisme, karena menurut pemikirannya Relativisme sama
sekali tidak mengakui kebenaran sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek.
Popper mengakui bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan kebenaran sebagaimana
yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, kebenairan selalu bersifat
sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian.
2.3 Daur Imbas-Jabar-Tasdik (Siklus-indukto-dedukto-validatif) (L.Wilardjo)

Ilmu (science) merupakan pengetahuan yang diperoleh dan divalidasi dengan menyusuri
daur imbas-jabar-tasdik (siklus indukto-dedukto validatif). Ilmu sebagai semua pengetahuan
yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh sebagai
hasil rentetan daur-daur pengimbasan induksi), penjabaran (deduksi) dan penyahihan
verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai, (Kemeny, 1959). Metodis ( melalui
jalan tertentu dan setelah sampai pada pernyataan maka pernyataan tersebut harus dapat
dipertanggung jawabkan (verifikasi/falsifikasi). Menurut Kemeny (1959) menyatakan bahwa
ilmu sebagai semua pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan, tegasnya
pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil rentetan daur-daur pengimbasan (induksi), penjabaran
(deduksi), dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus-menerus tidak kunjung usai.

2.4 Lompatan Paradigmatik: (Paradigma Khun) dan Paradigma Merton

Pandangan Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya merupakan respons
terhadap pandangan neo positisvisme dan Popper. Proses verivikasi dan konfirmasi-
eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti
sejarah ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Kuhn lebih
mengekplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apakah hakikat ilmu, baik dalam
prakteknya yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris. Kuhn justru menggunakan
sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Baginya, filsafat ilmu harus berguru kepada
sejarah ilmu, sehingga dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.

Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang
umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dengan memakai istilah “paradigma”, ia bermaksud mengajukan
sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata termasuk di dalamnnya hukum
Teori Aplikasi dan instrumentasi, yang menyediakan model-model, yang menjadi sumber
komsistensi dari tradisi riset ilmiah tertentu.

Menurut Kuhn, tradisi-tradisi inilah yang oleh sejarah ditempatkan di dalam rubrik-ribrik
seperti “Ptolemaic Astronomy” (ataucopernican), ”Aristotelian dynamic” (atau Newtonian),
“corpuscular optics” (atau wave optics) dan sebagainya. Pandangan Kuhn ini telah membuat
dirinya tampil sebagai prototype pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuwan yang bersifat
positivistik. Pemikiran positivism memang lebih menggaris bawahi validitas hukum-hukum alam
dan hukum sosial yang bersifat universal, yang dapat dibangun oleh rasio. Mereka kurang
berminat untuk melihat faktor historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang
dianggap sebagai universal tersebut.

Fokus pemikiran Kuhn ini memang menentang pendapat golongan realis yang
mengatakan bahwa sains-fisika dalam sejarahnya berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta
bebas konteks. Sebaliknya ia menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku melalui apa yang
disebut paradigma ilmu.

Menurut Kuhn, paradigma ilmu adalah suatu keraangka teoritis, atau suatu cara
memandang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai
pandangan dunia (world view) nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya
ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing
dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut.
Paradigma ilmu dapat dianggap sebagai suatu skema kognitif yang dimiliki bersama.
Sebagaimana skema kognitif itu memberi kita, sebagai individu suatu cara untuk mengerti alam
sekeliling, maka suatu paradigma ilmu memberi sekumpulan ilmuwan itu suatu cara memahami
alam ilmiah. Bila seorang ilmuwan memperhatikan suatu fenomena dan menafsirkan apa makna
pemerhatiannya itu, ilmuwan itu menggunakan suatu paradigma ilmu untuk memberi makna bagi
pemerhatiannya itu. Kuhn menamakan sekumpulan ilmuwan yang telah memilih pandangan
bersama tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama) sebagai suatu “komunitas ilmiah”.

2.5 Program Penelitian / sabuk pelindung (Lakatos)


Memahami logika dasar dari filsafat ilmu Lakatosian merupakan hal yang penting.
Terdapat dua aspek utama dari filsafat ilmu Lakatos yang memberikan basis untuk
mengkonstruksi dan mengevaluasi metateori dalam domain ilmiah yang sedang diselidiki. Aspek
pertama adalah bahwa program-program penelitian metateoretis terpusat pada sebuah “inti
keras” (hard core) dari asumsi-asumsi dasar yang dikelilingi oleh sebuah “sabuk pelindung”
(protective belt) dari hipotesis-hipotesis bantu/yang menyokong (auxiliary hypotheses). Yang
kedua adalah bahwa metateori-metateori yang berkompetisi dinilai sebagai hal progresif atau
degeneratif berdasar pada kinerja pada sabuk pelindung mereka, ketimbang sebagai hal yang
keliru atau belum difalsifikasi (Popperian).
Para ilmuwan umumnya mengandalkan asumsi-asumsi metateoretis dasar (meskipun
biasanya implisit) ketika mereka membangun dan mengevaluasi teori-teori. Metateori
didefinisikan sebagai seperangkat asumsi-asumsi dasar yang disepakati bersama yang
membentuk bagaimana para ilmuwan menghasilkan, mengembangkan, dan menguji teori-teori
dan hipotesis-hipotesis tingkat-menengah (middle theories and hypotheses). Sekali asumsi-
asumsi dasar ini terbangun secara empiris seringkali tidak langsung diuji sesudahnya.
Namun, asumsi-asumsi dasar tersebut digunakan sebagai titik mula untuk penelitian lebih
jauh; yakni, asumsi-asumsi tersebut memberikan pengandaian-pengandaian a priori yang
digunakan untuk membangun model-model teoretis yang lebih spesifik. Lakatos menamai
asumsi-asumsi a priori dasar ini sebagai inti keras (hard core) dari sebuah program riset
metateoretis. Hukum gerak dari Newton menyediakan metateori bagi mekanika klasik; prinsip-
prinsip gradualisme dan tektonika piring menyediakan metateori bagi geologi; prinsip-prinsip
adaptasi melalui seleksi alam menyediakan metateori bagi biologi.
Menurut model sains Lakatosian, inti keras (hard core) dari metateori dikelilingi oleh sabuk
pelindung dari hipotesis-hipotesis bantu. Fungsi utama dari sabuk pelindung adalah menyediakan
sarana yang dapat diverifikasi untuk menghubungkan asumsi-asumsi metateoretis dengan data
yang dapat diobservasi. Secara esensial, sabuk pelindung berfungsi sebagai mesin pemecah
masalah dari program riset metateoretis karena ia digunakan untuk menyediakan bukti tak
langsung dalam rangka mendukung asumsi-asumsi dasar metateori. Sabuk pelindung melakukan
lebih banyak ketimbang hanya melindungi asumsi-asumsi metateoretis. Sabuk pelindung
menggunakan asumsi-asumsi ini guna memperluas pengetahuan kita mengenai domain-domain
partikular.
Dalam program penelitian metateoretis, sabuk pelindung menyediakan sarana yang
mumpuni untuk mempertahankan/membela inti keras (hard core) dari penolakan (refutation).
Sabuk pelindung melindungi inti keras dari penolakan dengan menyediakan tautan/hubungan tak
langsung antara data yang dapat diamati dengan asumsi-asumsi inti keras. Jadi, memfalsifikasi
sebuah hipotesis tunggal atau menolak sebuah model teoretis intermediat tidak membuat
seseorang menolak keseluruhan program penelitian metateoretis. Dalam hal ini, metateori
tersebut dapat membuktikan asertivitasnya dengan menghasilkan hipotesis (atau teori) alternatif
untuk menggantikan hipotesis yang sebelumnya telah berhasil difalsifikasikan (dibuktikan
keliru).

BAB IV
KESIMPULAN

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil diantaranya


adalah bahwa menurut pendapat Francis Bacon filsafat harus dipindahkan dari teologi, ia
termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal
dan wahyu. Pemikiran Popper mendasarkan diri pada Rasionalisme kritis dan Empirisme-kritis
yang dalam bentuk metodologinya disebut "Deduktif-Falsifikatif" dengan realisasi
metodologinya Tentang Problem-Solving. Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian
Popper akan pentingnya problem sebagai esensi substansial pengetahuan manusia, karena
menurut pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan problem. Sedangkan
menurut L.Wilarjo ilmu (science) merupakan pengetahuan yang diperoleh dan divalidasi dengan
menyusuri daur imbas-jabar-tasdik (siklus indukto-dedukto validatif). Ilmu sebagai semua
pengetahuan yang terhimpun lewat metode-metode keilmuan. Pandangan Kuhn tentang ilmu dan
perkembangannya pada dasarnya merupakan respons terhadap pandangan neo positisvisme dan
Popper. Proses verivikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, Kuhn
memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu. Terdapat dua aspek utama dari
filsafat ilmu Lakatos yang memberikan basis untuk mengkonstruksi dan mengevaluasi metateori
dalam domain ilmiah yang sedang diselidiki. Aspek pertama adalah sebuah “inti keras” (hard
core) dari asumsi-asumsi dasar yang dikelilingi oleh sebuah “sabuk pelindung” (protective belt),
yang kedua adalah bahwa metateori-metateori yang berkompetisi dinilai sebagai hal progresif
atau degenerative.

DAFTAR PUSTAKA

Popper, Karl R., 1974, Conjectures and Refutation, Harper & Row, New York,

London, Fifth Edition.

Popper, Karl R., 1966, The Open Society and Its Enemies, Vol. I & II, Roudledge

& Kegan Paul Ltd. London, Fifth Edition.

Bagus, Lorens.1996. Kamus Filsafat. Jakarta:PT Gramedia pustaka utama.


Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal. 2006. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
h. Muslih memaparkan beberapa kerangka teori baru yang berkembang dalam lapangan ilmu
pengetahuan sosial. Yakni fenomenologi, hermeunitik dan teori sosial kritis. Ketiga teori ini menolak
pandangan positivisme dan postpositivisme di dalam cara-cara memperoleh kebenaran.

Evaluasi terhadap Epistemologi Positivistik; Metode eksperimen dalam ilmu-ilmu sosial tidak
mempunyai arti yang sama dengan eskperimen dalam bidang fisika. Keajegan ilmu sosial lebih bersifat
semu dalam arti tidak akan diulang seperti dalam ilmu alam. Ilmu sosial tidak dapat dihitung secara
matematis sebagaimana ilmu alam. Dalam ilmu sosial tidak dapat dibandingkan dengan hukum kausal
sebagaimana ilmu alam. Hukum sosial tidak dapat dirumuskan secara matematis.Terlalu banyak
keunikan yang terjadi dalam tingkah laku manusia.

Secara konseptual ilmu sosial lebih mengandung pengertian teka-teki dibandingkan ilmu alam. Tingkat
predikasi ilmu alam berbeda dengan ilmu sosial (memprediksi gerhana matahari berbeda dengan
memprediksi revolusi sosial.

Perilaku manusia tidak “teratur” dan tidak “terulang” baik dilihat dari segi individu maupun masyarakat.
Oleh karena itu, tidak dapat diukur dan diramalkan secara pasti. Tingkah laku manusia dipahami secara
historis: selalu mempunyai hubungan dengan kebudayaan. Paradigma positivistik tidak mengindahkan
peran aktor dalam realitas sosial. Kecenderungan positivistik yang berpegang pada sebab-akibat
memiliki keterbatasan. Ilmu tidak pernah bebas nilai karenanya ilmuwan bukan hanya sekadar pemotret
realitas, tetapi juga berkewajiban untuk mengubahnya.

Fenomenologi, bersumber dari pemikiran filsafat sosial Edmund Husserl, seorang filsuf dari Jerman. Ia
memulai filsafat fenomenologinya dengan pertanyaan tentang “apa itu kenyataan”, yang menurut
epistemologi positvisme merupakan “emergent reality out there”. Dalam pandangan fenomenologi,
seorang peneliti sebenarnya tidak pernah melihat kenyataan secara langsung, melainkan hanya dengan
kontak (melihat, mendengar, menyentuh) tidak langsung melalui proses pemikiran manusia (the process
of human mind).

Husserl mengkritik epistemologi positivisme dengan menanyakan “ how is science able to ‘measure’
objectively an external world when the only world that individuals experience is the “life world of their
consciousness”. Melalui metode “radical abstraction” kita dapat mengungkapkan pengetahuan tentang
peristiwa di dalam apa yang ia sebut sebagai “the pure mind” dan ia menolak metode “verstehen” atau
“sympathic intropection” sebagaimana diusulkan Weber.

Pemikiran Husserl, menurut Jonathan Turner (1978) memberikan sumbangan terhadap perkembangan
Fenomenologi dalam empat hal:
1. Tekanannnya pada proses abstrak tentang pembentukan kesadaran mendorong ahli fenomenologi
utnuk mengungkapkan bagaimana proses mental individu membentuk karakter dari kehidupan sosial.
2. Perhatiannya pada proses penciptaan “life world” (dunia kesadaran) individu telah membimbing para
ahli pada pertanyaan tentang bagaimana manusia menciptakan kesadaran tentang kenyataan ( a sense
of reality) dan bagaimana kesadaran tentang kenyataan itu dapat menjadi sumber dari terjadinya tertib
sosial.
3. Kritiknya terhadap pengetahuan positif telah membuka kesadaran bahwa suatu pengetahuan obyektif
tentang manusia tidak dapat dikembangkan mengikuti logika positivisme.
4. Kegagalan Husserl untuk menemukan solusi radikal melalui pemikiran filsafati telah meyakinkan para
ahli fenomenologi bahwa untuk memahami kesadaran manusia dan kenyataan sosial hanya dapat
dilakukan dengan menemukannya di dalam interaksi sosial.

Pemikiran Husserl di atas disempurnakan muridnya Alfred Schutz yang berhasil menemukan teori
tentang kehidupan sehari-hari ( theory of everyday social life) dan teori tentang :” dunia kesadaran” (life
world of consciousness), yang akhirnya menjawab isu utama dalam fenomenologi yaitu: 1. tentang
bagaimana para aktor menciptakan dunia subyektif yang sama ( a common subjective world); dan (2)
bagaimana dunia subyektif yang mereka ciptakan itu mempengaruhi tertib (kehidupan) sosial. Secara
umum dapat dipahami sebagai kajian tentang bagaimana dunia kehidupan sosial dikontruksikan secara
sosial.

Tiga prinsip dasar yang menjadi pilar fenomenologi: (1). Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman
yang sadar. Artinya pengetahuan tidak diperoleh dari (is not interrred from) pengalaman (experience),
tetapi ditemukan (is found) secara langsung dari pengalaman secara sadar (conscious experience). (2)
Makna tentang sesuatu bagi seserorang sebenarnya terdiri dari atau terbangun oleh potensi
pengalaman seseorang berkenaan dengan obyek yang bersangkutan. Artinya bagaimana seseorang
memiliki hubungan dengan obyek akan menentukan makna obyek bersangkutan bagi seseorang. (3).
Bahwa bahasa merupakan kendaraan yang mengangkut makna-makna. Orang memperoleh
pengalaman-pengalaman melalui bahasa yang kita gunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan
pengalaman.

Fenomenologi, menurut Embree (1998), memiliki beberapa karakteristik: (1). Fenomenolgi pada
dasarnya menolak pandangan filsafat positivisme :(2) fenomenologi pada saat yang sama, juga menolak
pemikiran spekulatif (sepeculative thinking) serta kecenderungan yang bertumpu pada bahasa semata-
mata. Pengetahuan selayaknya di dasarkan pada ”intuiting’or the seeing of the matters themselves that
thought about (”instuisi atau penglihatan mengenai persoalan-persoalan yang dipikirkan sendiri. (3).
Sebagai konsekuensinya, kalangan fenomenologis menyarankan suatu metode reflekstif berkenaan
dengan proses kesadaran dengan memberikan penekanan pada persoalan bagaimana dan/atau untuk
tujuan apa proses-proses kesadaran itu digunakan. (4) fenomenologi cenderung menggunakan analisis-
analisis yang mengarah pada penggambaran (descriptions), serta pemberian makna-makna
(interpretations) atas gejala-gejala yang diteliti.

Fenomenologi memiliki 4 varian: (1) fenomenologi realistik (realistic phenomenology) yang lebih
menekankan pada pengamatan serta penggambaran esensi-esensi yang bersifat umum (seeing and
describing of universal essences). (2) Fenomenologi konstitutif (constitutive phenomenology)—lebih
memandang obyek penelitian memiliki kesadaran terhadap diri sendiri yang kemudian dapat
berimplikasi obyek menjadi subyek. (3) fenomenologi ekstensial (existential phenomenology) lebih
memberikan penekanan pada aspek-aspek keberadaan manusia di dunia ini. (4) fenomenologi
hermeneutik (hermenutical phenomenology) –yang sering disebut dengan hermeneutik (hermenutics),
yang lebih menekankan pada pemberian makna-makna (interpretations) dalam segala aspek kehidupan
(58).

Fenomenologi membantu pemahaman bahwa ternyata pola-pola kehidupan sosial yang kita anggap
hadir secara independen atau sebagai dunia yang “taken for granted” ternyata merupakan hasil proses
kontruksi sosial yang panjang. Fenomenologi mengasumsikan bahwa setiap manusia memiliki
pengalaman yang unik, maka fenomenologi melihat pentingnya metode intropeksi dan empatik
(verstehen) dalam setiap analisas sosial..

Fenomenologi Sebagai Metode Analisa Sosial. Fenomenologi merupakan kontras dari positivisme yang
melihat struktur sosial, noma-norma, peran-peran, sikap-sikap dan kelompok sebagai “emergent reality”
yang benar-benar nyata. Fenomenolog sebaliknya mempertanyakan semuanya itu.

Fenomenologi telah membantu mengenali bagaimana struktur sosial, norma-norma, peran-peran dan
sebagainya itu hanyalah merupakan konstruksi sosial, yang nampak sebagai realitas yang obyektif.
Pengenalan itu dapat dilakukan melalui suatu deskripsi dan pengujian yang terperinci tentang
bagaimana semua itu melalui proses interaksi sosial diturunkan dari apa yang oleh para ahli
fenomenologi disebut sebagai “dunia akal sehat” (the world of common sense). Para ahli fenomenologi
mengorientasikan diri nya pada kehidupan sehari-hari sebagai sikap alamiah (natural attitude). Sikap
alamiah itu beroperasi di bawah bimbingan asumsi-asumsi dasar yang diperoleh dalam kehidupan
sehari-hari yang disebut sebagai “ pengalaman-pengalaman subjektif (subjective experience).

Hermeunitika, Dari akar katanya hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja herme>neuein,
yang berarti ”menafsirkan” dan kata benda herme>mania, yang berarti menafsirkan Jadi hermeneutik
adalah studi tafsir tentang teks. Tujuannya untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang makna
teks. Tetapi kemudian pemahaman teks telah diberi arti yang lebih luas sebagai studi tentang manusia
yang bertujuan untuk mempelajari aktivitas kebudayaan sebagai teks dan berupaya untuk memperoleh
pemahaman tentang ekpresi makna agar supaya memperoleh pemahaman yang benar.

Bentuk dasar makna pertama dari herme>neuein adalah ”to express” (mengungkapkan), to assert”
(menegaskan) atau ”to say” ( menyatakan)... Arti makna kedua dari kata herme>neuein adalah ”to
explain,” menjelaskan.

Implikasi dimensi ketiga dari arti herme>neuein hampir senada dengan dua makna sebelumnya dari
hermeneutika dan teori interpretasi sastra. Pada dimensi ini, to interpret” (menafsirkan) bermakna ”to
translate” (menerjemah). Ketika sebuah teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks
dengan pembaca itu sendiri menjauhkan perhatian.

Di sini Muslih mengemukakan pandangan-pandangan dari FDE. Schleiermacher & Wilhelm Dilthey serta
Hans Georg Gadamer.

Dari sumber lain, ilustrasi hermeneuticnya Paul Ricoeur ádalah sebagai berikut :

Pertama, dari sudut pembuat (pengagas teks). Sebuah teks selalu tercipta melalui tahapan berikut: (1)
pra-figurasi , yaitu tahapan yang sebelum terumuskan (kondisi social-keagamaan, politik sebelum
regulasi itu dirumuskan). (2) Konfigurasi, yaitu ketika penulis mulai menuliskan pengalaman atau
gagasannya; (3) transfigurasi, ketika teks yang sudah dibuat itu ditafsir oleh banyak orang secara
berbeda-beda.Ketiga tahap tersebut mengandung unsur seleksi atau distorsi sesuai dengan
kepentingan-kepentingan tertentu, tak pernah murni.

Kedua, dari sudut teks sendiri. Sebuah teks sekurang-kurangnya mengandung “tiga dunia makna”: (1)
dunia “di belakang teks”, yaitu latarbelakang historis-kultural yang melahirkan teks itu. (2) dunia “ di
dalam teks”, yaitu ide-ide atau kenyataan-kenyataan yang diciptakan oleh teks itu sendiri, lepas dari
maksud si pengarang sekalipun. Artinya teks memiliki bangunan struktur sendiri. (3) Dunia “di depan
teks “ yaitu kesadaran baru setelah tercipta setelah pembaca dengan latar belakang wawasan dan
pemahamannnya sendiri membaca teks itu, semacam peleburan wawasan antara wawasan si pembaca
dengan wawasan yang dikandung teks.

Ketiga, dari sudut si penafsir . Umumnuya penefsir menghadapi teks dengan prasangka atau teks
menurut tahapan sebagai berikut: (1) pre-understanding, yaitu si penafsir menghadapi teks dengan
prasangka atau hipotesa tertentu. (tak mungkin pembaca: murni, netral dan obyektif). (2). Explanation,
yaitu upaya mengkait-kaitkan secara vertikal antara teks dengan latar belapangnya. Demikian juga
antara relasi horizontal antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam teks itu sendiri. Dengan
kata lain disini telah terjadi “kontekstualisasi” dan dekontektualisasi”. (3) Understanding mengkaitkan
semua itu dengan konteks baru dari pembaca (penafsir ) itu sendiri. Mungkin akan berubah setelah teks
ditetapkan (dibaca). (Gibbons, 2002)

Menafsir menurut Ricoeur, creative imagination of the possible, sebuah imajinasi yang mampu melihat
yang tersirat di balik yang tersurat, yang mampu menangkap ”dunia makna” baru untuk memahami
realitas kekinian manusia, yang mampu memenuhi kehidupan manusia melalui ”manusia lain”. Jadi,
hermeunitika baginya adalah proses 3 hal berikut, yaitu (1) memberi makna (making sense of) terhadap
data, (2) menafsirkan (interpreting), atau menstranformasikan (3) (transforming) data, kedalam bentuk-
bentuk narasi yang kemudiaan mengarah kepada temuan yang bernuansakan proposisi-proposi ilmiah
(thesis) yang akhirnya pada kesimpulan-kesimpulan final.

Kalau kita ingin memastikan apakah surat Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu, yang dianggap
”melecehkan” DPR, lebih disebabkan atas penafsiran yang salah oleh sekretarisnya atau karena
kesalahan teks yang ”dibocorkan”, maka peneliti harus membaca teks surat dan melakukan tafsir atas
teks asli atas kemungkinan adanya tafsir ganda, misalnya. Demikian juga jika peneliti ingin mengetahui
secara pasti tentang kontraversi Perpres 36 tahun 2005: dimana presiden dianggap salah tafsir atas
semangat UU pertanahan yang dianggap merupakan penyempurnaan ketentuan era Soekarno, dinilai
merupakan salah tafsir yang cukup serius, maka penelusuran analisa teks, merupakan salah satu cara
yang harus ditempuh.

Sementara Blumer menyarankan teknik-teknik observasional seperti sejarah hidup, otobiografi, studi
kasus, catatan harian, surat, wawancara dan yang terpenting, pengamatan peran serta (participant
observation). Sebab hanya dengan melalui hubungan yang akrab dengan mereka yang sedang diteliti,
peneliti dapat memasuki dunia dalam (inner world) mereka

Teori interpretatif atau hemeneutika, muncul dalam penelitian politik sebagai alternatif terhadap ilmu
politik positivis. Ilmu politik positivis mengambil positivisme metodologis. Menurut aliran ilmu politik
positivis, metode yang sesuai untuk mempelajari kehidupan politik dan sosial, secara prinsip, adalah
metode serupa yang dipakai dalam mempelajari ilmu alam. Pada praktik penelitian ini kemudian
diterjemahkan menjadi ilmu politik empiris.

Menurut para teori interpretatif ada beberapa masalah yang muncul dari cara pendekatan empiris
semacam itu; Pertama, pendekatan empiris mengalami keterputusan hubungan antara kehidupan
politik dengan bahasa kehidupan politik... Makna dan praktik umum yang sama dan intersubyektif ini
niscaya menuntut sebuah hermeneutika yang lebih mendalam (depth hermeneutics), yang mampu
melampaui bukti (data) yang diperoleh dari penelitian empiris. Dari perspektif ini, penjelasan ilmu sosial
empiris terhadap kehidupan politik tidaklah memadai, terutama dalam menjelaskan aspek kehidupan
sosial dan politik paling fundamental... Akhirnya karena perspektif ini berpandangan bahwa manusia
adalah agen yang menafsirkan dirinya (self interpreting agent), maka penelitian politik ”mustahil” bebas
nilai.

Dengan kata lain prinsip dasar heurmeneutika adalah: Pertama, kemampuan mengkomunikasikan
dengan pesan bahasa sistematis membuat manusia berbeda dengan makluk lainnya. Kedua, memahami
adalah menafsir. Manusia hidup pada dasarnya memahami dan segala pemahaman hidup dimungkinkan
karena manusia melakukan tindak tafsir. Ketiga, ada banyak bahasa berarti ada banyak dunia.. Keempat,
dunia manusia sudah selalu merupakan dunia rekaannya sendiri, dunia menurut tafsir bahasa manusia
sendiri.. dalam hidup “kebenaran” bukan sekedar “fakta”, melainkan masalah “makna”

Goffman mengilustrasikan peristiwa teater itu dengan kasus dokter. Dalam panggung depan, dokter
selalu menjaga citra, dokter harus tampil secara tenang dan menyakinkan, meskipun dia tidak tahu
persis tentang penyakit yang diderita pasien. Di samping ”panggung depan”, yang merupakan tempat
melakukan pertunjukan tersebut, terdapat bagian belakang layar. Pada saat istirahat, tempat praktek
itu, bisa digunakan untuk melepas jas putih dan bercanda dengan juru-rawat. Sekalipun seorang juru
rawat dapat menyaksikan panggung belakang dokter, tidak demikian halnya dengan pasien. Beberapa
menit kemudiaan ruang itu berubah menjadi ruang konsultasi yang menampilkan ”ruang depan”.

Teori kritis (critical theory); atau lebih tepatnya sebagai paradigma kritis atau critical/emancipatory
knowledge. Bagi paradigma ini ilmu sosial lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan
manusia dari segenap ketidakadilan. Paradigma ini memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik,
serta menghindari cara berfikir determinisktik dan reduksionistik. Paradigma inilah yang menjadi
penyumbang utama action research atau yang juga terkenal dengan PAR itu.

Teori kritis sering juga dilihat sebagai kritik ideologi. Dalam bidang epistemologi, kritik itu diupayakan
agar membuka selubung ideologi dari positivisme ilmiah. Teori ini muncul akibat keprihatinan yang
timbul sekitar realitas sosial maupun pengetahuan tentang realitas itu. Max Horkeimer salah satu tokoh
dari kelompok Frankfurt membedakan antara teori sosial yang menerapkan metode ilmu-ilmu alam
pada gejala manusia dan masyarakat dengan teori kritis yang ditujukan sebagai suatu teori yang bersifat
emansipatoris. Menurut Horkeimer pemisahan antara “facts” and “values” pada kenyataannya
merupakan produk masyarakat (ilmiah) tertentu. Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt sependapat bahwa
teori tidak dapat dipisahkan dari paktis dan tidak ada ilmu yang bebas nilai.

Teori kritis mengkritik prinsip positivisme logis, terutama yang berkaitan dengan klaim ilmu yang bebas
nilai dan bersifat obyektif imiah. Teori kritis ebrpendapat bahwa ilmu pengetahuan disituasikan secaar
historis dan sosial karenanya tidak universal dan tidak fundasiona. Panangannnya tentang obyektif tidak
diartikan secara sederhana sebagai mengacuk kepada realitas eksternal sebagai keberadaan obyek yang
mandiri, akan tetapi obyek yang berkaitan dengan fakta sosial hiostoris serta pola-pola yang
mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Paradigma sosial Kritis. Secara ontologis, perubahan sosial diciptakan dan sekaligus menjadi
tujuan.secara epistemologis dirumuskan dalam tiga hal yaitu: proses perubahan adalah partisipatif dan
harus ada interaksi belajar antara reseacher dan partisipan; hanya melalui perubahan sosial orang-orang
yang di level bawah dapat diangkat ke permukaan; dan tidak ada penelitian sosial yang bebas nilai (value
free). Ilmu harus memihak (how to change). Sedangkan secara metodologis, peneliti bertindak sebagai
seorang interventionis, fasilitator, dan aktivis.

Pada tekhnik pengumpulan data: tidak ada teknik yang baku, melainkan diciptakan secara kreatif dan
partisipatif; data bisa diperoleh melalui Qualitative interviewing, catatan harian lapangan (field notes),
proces material, laporan-lapora; FGD (Focus Group Discussion), PRA (Participatory Rural Appraisal), dan
RRA (Rapid Rural Appraisal).

Proses validasi hasil temuan lebih merupakan siklus dalam menciptakan link antara teori, praktik, dan
transformasi sosial.

Dalam versi teori kritis, dewasa ini setidaknya terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif yang
melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang digolongkan pada “teori sosial
regulasi” berhadapan dengan teori-teori sosial emansipatoris atau yang dikenal dengan teori kritis. Teori
regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabdi pada stabilitas, pertumbuhan, dan
pembangunan, bersifat obyektif serta politik netral dan bebas nilai.

Dalam pandangan ini teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah “rekayasa sosial” yang menempatkan
masyarakat sebagai obyek para ahli, direncanakan, diarahkan, dan dibina untuk partisipasi menurut
selera yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: dimana teorisi memiliki otoritas
kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat. Dalam hubungan ini aktivitas sosial lapangan
dan masyarakat hanya diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoritis secara
kritis.

Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru merupakan proses penyadaran kritis masyarakat
terhadap sistem dan struktur sosial “dehumanisasi” yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut
proses ini sebagai upaya counter hegemony… Dengan begitu kegiatan sosial bukanlah arena netral dan
apolitik. Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan
politik menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.

Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak
memihak, netral, obyektif, serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan
sendiri, atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan. Paham ini menolak obyektivitas dan
netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengtahuan tidak boleh dan tidak mungkin
pernah netral.

Dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan
lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses
pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap struktur sosial
yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan
(struktur) yang baru dan lebih baik.

Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak
memihak, netral, obyektif, serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan
sendiri, atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan. Paham ini menolak obyektivitas dan
netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengtahuan tidak boleh dan tidak mungkin
pernah netral.

Dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan
lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses
pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap struktur sosial
yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan
(struktur) yang baru dan lebih baik.

Tugas utama teori sosial pada dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial
sehingga memungkinkan lahirnya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial. Teori sosial
juga bertugas untuk mengubah realitas sosial yang dianggap bermasalah dan tidak adil.
Rekayasa sosial yang oleh pendekatan positivistik dianggap sebagai keharusan pendekatan, maka bagi
teori kritis dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan penindasan ilmuan terhadap masyarakat

Tugas teori sosial kritis adalah membawa praktik pembebasan. Tugas seperti ini bisa ditempuh dengan
berbagai jalan:pertama, teori sosial harus mampu menjalankan tentang bagaimana keadaan dan sistem
sosial yang ada, telah menciptakan bentuk pemahaman dan “kesadaran palsu” tentang realitas sosial
yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan sistem tersebut. Ini berarti bahwa ilmu sosial
kritis berkepentingan terhadap bangkitnya kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas sosial yang
mereka hadapi.

Kedua, teori sosial juga harus memfasilitasi timbulnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas dari
bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Beberapa tokoh yang biasanya dikaitkan dengan
paradigma ini antara lain Paulo Freire (1970) dalam bukunya yang sangat terkenal Pedagogy of the
Oppressed’ dan Gramsci yang sering disebut pewaris dalam tradisi Marxis yang radikal dan revolusioner
sekaligus pengkritiknya yang tajam.

Pertama, jauh sebelum perdebatan dan kritik mengenai perlunya pendekatan yang pluralistik, Gramsci
telah merenungkan dan mewaspadai tendensi reduksionisme di kalangan penganut Marxisme maupun
non-Marxisme. Misalnya di kalangan penganut teori Marxisme sudah sejak lama terjadi perselisihan
tafsir konsep basic (ekonomi) dan superstructure (ideologi, politik, pendidikan, budaya dan sebagainya
dimana tafsir ortodox Marxime percaya bagi ekonomi menentukan superstuktur.

Tugas teori sosial kritis adalah membawa praktik pembebasan. Tugas seperti ini bisa ditempuh dengan
berbagai jalan:pertama, teori sosial harus mampu menjalankan tentang bagaimana keadaan dan sistem
sosial yang ada, telah menciptakan bentuk pemahaman dan “kesadaran palsu” tentang realitas sosial
yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan sistem tersebut. Ini berarti bahwa ilmu sosial
kritis berkepentingan terhadap bangkitnya kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas sosial yang
mereka hadapi.

Kedua, teori sosial juga harus memfasilitasi timbulnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas dari
bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan.

Paradigma Ilmu pengetahuan menurut Habermas: pertama, paradigma instrumental knowledge. Dalam
paradima ini pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Yang
digolongkan dalam paradigma ini adalah positivisme. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang
berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan menggambil cara tradisi ilmu pengetahuan
ilmu alam, dengan kepercayaan adanya generalisasi dan universalisme.

Kedua paradigma interpretatif. Dasar filafat aliran in adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu
tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari
tradisi ini adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”.
Ketiga, adalah paradigma kritis atau critical/emancipatory knowledge. Bagi paradigma ini ilmu sosial
lebih dipahami sebaagi proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ektiadk adilan.
Paradigma ini memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berfikir
determinisktik dan reduksionistik. Paradigma inilah yang menjadi penyumbang utama action research
atau yang juga terkenal dengan PAR itu.

Tugas teori sosial kritis adalah membawa parktik pembebasan. Tugas seperti ini bisa ditempuh dengan
berbagai jalan:pertama, teoi sosial harus mampu menjalankan tentang bagaimana keadaan dan sistem
sosial yang ada, telah menciptakan bentuk pemahaman dan “kesadaran palsu” tentan realitas sosial
yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan sistem tersebut. Ini berarti bahwa ilmu sosial
kritis berkepentingan terhadap bangkitnya kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas sosial yang
mereka hadapi. Kedua, teori sosial juga harus memfasilitasi timbulnya visi alternatif tentang relasi sosial
yang bebas dari bentuk penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan.

Beberapa tokoh yang biasanya dikaitkan dengan paradigma ini antara lain Paulo Freire (1970) dalam
bukunya yang sangat terkenal Pedagogy of the Oppressed’ dan Gramsci yang sering disebut pewaris
dalam tradisi Marxis yang radikal dan revolusioner sekaligus pengkritiknya yang tajam. Pertama, jauh
sebelum perdebatan dan kritik mengenai perlunya pendekatan yang pluralistik, gramsci telah
merenungkan dan mewaspadai tendensi reduksionisme di kalangan penganut Marxisme maupun non-
Marxisme. Misalnya di kalangan penganut teori Marxisme sudah sejak lama terjadi perselisihan tafsir
konsep basic (ekonomi) dan superstructure (ideologi, politik, pendidikan, budaya dan sebagainya
dimana tafsir ortodox Marxime percaya bagi ekonomi menentukan superstuktur.

VIII BERKENALAN DENGAN EPISTEMOLOGI ISLAM

Pada bab ini, penulis mengemukakan epistemologi ilmu sebagaimana yang dikemukakan Abid Aljabiri
dalam kritik nalar arabnya, yang meliputi epistemologi bayani, irfani dan burhani.

Epistemologi bayani; sumber pengetahuan berdasar pada teks wahyu berupa al-qur’an, hadits, khabar,
ijma dan al-ilm at-taufiqi. Metodologi yang dipakai adalah ijtihadiyah istimbathiyah serta qiyas al-gaib
ala al syahid. Pendekatan yang dipakai adalah dalalah lughowiyah (bahasa). Teoritical framework-nya
adalah kerja-kerja deduktif yang berpangkal pada teks; model argumentasinya berupa ungkapan-
ungkapan pemikiran yang bersifat dialektik (jadaliyah); tolak ukur validitas keilmuan diperoleh melalui
keserupaan/kedekatan antara teks dengan realitas; prinsip-prinsip dasarnya adalah infishal
(discontinueu), keserbabolehan (atomistik tajwiz), menolak hukum kausalitas, muqarabah (kedekatan,
keserupaan), analogi deduktif, dan qiyas; hubungan subjek dengan objek adalah subjektif dimana peran-
peran subjek lebih dominan (objek bersifat pasif).

Epistemologi Irfani; berkembang sekitar abad ke-3H seiring dengan berkembangnya doktrin makrifah
dalam tradisi sufisme yang diyakini sebagai pengetahuan bathin terutama tentang Allah swt. Istilah
makrifat dipakai untuk membedakanantara pengetahuan yang diperolehmelalui pencerapan
pancaindera dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara ketersingkapan, ilham, iyan atau isyraq.
Di kalangan mereka, irfan lebih dipahami sebagai penghayatan intuitif yang diperoleh sebagai akibat dari
persatuan antara yang mengetahui dengan objek yang diketahui yang telah dianggap sebagai
pengetahuan tertinggi.

Pada epistemologi irfani ini, sumber pengetahuan diperoleh melalui pengalaman bathin (experience),
berupa pengalaman langsung (direct experience) dan bersifat preverbal atau prelogical knowledge;
methodologi perolehan pengetahuan dilakukan melalui proses al-dzauq (merasa) al-riyadhah (latihan),
al-kasyfiyah (penyingkapan), al-isyraqiyah, al-laduniyyah (penghayatan bathin, tasawwuf); pendekatan
yang dipakai adalah psiko-gnosis, intuitif, mengutamakan zauq / rasa; theoritical framework-nya adalah
dzahir – bathin, tanzil-takwil, nubuwwah – wilayah, dan haqiqi – majazi; aqal bersifat partispatif;
pernyataan-pernyataannya bersifat esoterik dengan validitas keilmuannya dilakukan melalui proses
universal reciprocity, empati, simpati dan understanding others (memahami orang/ hal-hal lain); prinsip-
prinsip dasar yang dipakai adalah al-ma’rifah, al-ittihad (penyatuan), serta al-hulul; hubungan subjek
dengan objek bersifat intersubjektive;

Epistemologi burhani; istilah burhani mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles. Ia
mendasarkan pada kekuatan natural manusia yang berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam
memperoleh pengetahuan.

Kelompok burhaniyyun menjadikan sumber pengetahuannya dari realitas (al-waqi’) (alam, sosial,
humanitas) dan al-ilm al-hushuli. Metode yang dipakai bersifat abstraksi (al-bahtsiyah tahliliyah ;
pendekatan yang dipakai filosofis, scientific; theoritical frame work-nya bersifat al-tahwuur – at-tashdiq
dan al-haddd, al-burhan (hujjah yang jelas dan distinc), menggunakan premis-premis logika, silogisme;
akal berfungsi heuristik-analitik-kritis; types of argument berupa argumentatif (exploratif, perivikatif,
eksplanatif); validitas keilmuan diperolehmelalui model-model korespondensi (hubungan antara akal
dengan realitas), koherensi (konsistensi logika) dan pragmatik (falibility of knowledge); prinsip-prinsip
dasar yang dipakai adalah idrak al-sabab, al-hatmiyyah dan al-mutabaqoh baina al-‘aql wa nidzam al-
tabi’ah; hubungan subjek dengan objek: bersifat objektif rastionalisme;

Illuminasi al-Suhrawardi, satu aspek dari epistemologi islam. Pengetahuan iluminasi didasarkanpada
adanya hubungan yang diperoleh antara subjek-objek, dengan tanpa eksistensi waktu atau terjadi dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain pengetahuan iluminai diperoleh berdasarkan pada
kesatuan antara subjek dengan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri subjek.

Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, keseluruhan esensi harus diketahui baik objek
formal maupun yang ersifat material; pengetahuan ini menuntut subjek berada pada posisi objek.
Kesadaran diri menempati posisi penting dalam filsafat ini; karena baik sebagai prinsip kosmik maupun
sebagai prinsip psikologis, kesadaran diri merupakan dasar logika dan pengetahuan iluminasi.

IX PENUTUP
Pada bagian ini penulis mengungkapkan problem filsafat ilmu dewasa ini dengan uraian kilas balik
perjalanan ilmu. Ini dilakukan penulis sebagai upaya melihat jatuh bangunnya manusia dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan. Mulai dari era metafisik abad pertengahan, rasionalisme era
renaisance, dan seterusnya hingga sekarang ini dimana ilmu-ilmu sosial memunculkan metodologi baru
berupa fenomenologi, hermeunitika dan teori kritis sebagai “perlawanan” atas positivisme yang
berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Tanpa memaksa, penulis seolah ingin menyarankan para pembaca
supaya dalam melakukan kajian-kajian di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora khususnya, dapat
memilih metodologi yang lebih relevan yang memerhatikan peran-peran subjek sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam proses keilmuan.

Alhamdulillahi rabbil alamin. ‫ الحمد هلل ربّ العالمين‬semoga apa yang ditulis memberikan nilai manfaat yang
tiada berhingga khususnya dalam memahami apa yang disebut dengan “filsafat ilmu”.

Anda mungkin juga menyukai