(Istanbul, Turki)
Analisis dengan menggunakan Analisis Dramaturgi
A. Menghayalkan
Bagian Pertama Para penari Darwis mengenakan topi panjang Sikke yang
melambangkan pusara atau batu nisan bagi egonya. Jubah putih atau disebut Tennure
adalah kain kafan yang melepaskan tabir ego dari Jubah Hitam (Hirka) yang menyelimuti
spiritualitasnya dalam mencapai kebenaran. Saat bersiap dan dalam gerakan berhenti,
para penari memeluk dan menyilangkan tangannya, hal ini menggambarkan keesaan dan
kesatuan Tuhan.
Saat berputar tangannya direntangkan, tangan kanan menghadap ke atas besiap
menerima kemurahan Tuhan. Tangan kirinya menghadap ke bawah beralih dari kanan ke
kiri melalui jantung hidupnya. Hal ini menunjukkan bagaimana meneruskan nikmat
spiritual dari Tuhan kepad manusia lain melalui ‘mata Tuhan”. Berputar dengan poros
jantung dari kanan ke kiri, sang darwis memeluk seluruh umat manusia dan ciptaan
dengan kasih sayang dan cinta. Ritual dimulai dengan sebuah eulogi “Nat-I Sarif” kepada
Nabi, sebagai perwakilan cinta, dan nabi-nabi sebelum beliau. Memuji mereka berarti
memuji Tuhan yang telah menciptakan mereka. Bagian Kedua Bagian kedua adalah suara
genderang sebagai symbol perintah Tuhan pada makhlukNya. “Jadi, maka jadilah”, “Kun
fa ya Kun” Bagian Ketiga Bagian ketiga adalah tambahan instrument “taksim” yang
seakan berkata melalui “ney” seruling panjang khas pemusik rumi. Ini menunjukkan
“Hembusan Nafas Kehidupan” pada semua mahluk. Itulah tiupan keTuhanan.
Bagian Keempat Bagian keempat yaitu sambutan salam sesama darwis dan kondisi
larut dalam putaran “Devr-i Veled” yang diiringi musik “peshrev”. Bagian ini
menyimbolkan salut dan salam antar jiwa yang lepas dari keterikatan pada bentuk dan
badan. Bagian Kelima Bagian ini yaitu Sema atau berputar. Terdiri dari empat salam.
Pada penghujung masing-masing kembali pada keadaan bersiap, para penari
menunjukkan persaksian atas kesatuan Tuhan. Salam pertama adalah kelahiran kesadaran
dan rasa manusia atas kebenaran. Penerimaan yang utuh atas keberadaan tuhan sebagai
pencipta dan diri manusia sebagai ciptaan. Salam kedua menggambarkan kelemahan
manusia yang menyaksikan kemegahan penciptaan didepan keagungan tuhan dan
kemurahanNya. Salam ketiga adalah tranformasi dri kelemahan menjadi cinta sehingga
menjadikan akal tunduk pada cinta. Ini adalah bentuk utuh berserah diri, pemusnahan diri
dalam zat yang dicinta, suatu peleburan.
Bentuk ekstase ini dalam ajaran Islam adalah tingkat tertinggi yang disebut
“Fanafillah”. Akan tetapi, derajat tertinggi dalam Islam adalah derajat Nabi Muhammad
Sallallahu alayhi wasalam, yang lebih “layak” disebut sebagai hamba atau pelayan
Tuhan, baru kemudian disebut sebagai utusan tuhan. Tujuan Tarian Sema bukanlah
ekstase tak berujung dan hilangnya kesadaran pikiran. Pada masa penghentian salam ini,
penari mengenali keberadaannya, tangan bersilang menunjukkan kesadaran dan
kemengertian ke Maha Esa-an Tuhan. Salam keempat seperti sebagaimana Nabi saw
sampai ke singgasana Arsy dan kemudian kembali ke bumi menjalankan tugasnya. Penari
darwis mencapai kondisi “Fanafillah”, kembali dalam tugasnya sebagai ciptaan pada
kondisi kehambaan setelah berakhirnya perjalanan spiritualnya. Dia menjadi pelayan
Tuhan, kitab-kitabNya, para nabiNya dan pelayan bagi ciptaanNya. Bagian Keenam
Bagian ini diakhiri dengan pembacaan Al Qur’an, khususnya Surat Al Baqarah ayat 115:
“Dan milik Allah Timur dan Barat. Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah.
Sungguh Allah Maha Luas, Maha Mengetahui’. Bagian Ketujuh Bagian ketujuh adalah
doa untuk arwah para nabi dan mukminin.
B. Menuliskan.
Samâ', tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi
(1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara atau ritual yang
diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi antara makhluk dengan
Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang masing-masing mengandung makna.
Tarian mistis yang penuh simbolisme ini pertama kali menginspirasi Rumi setelah
kehilangan guru spiritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi. Ia adalah seorang
darwis misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh perhatian Rumi,
hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari seorang teolog dialektis
menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams membuat putera Rumi
menyepadankannya dengan Khidr.
Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama
Shalahuddin Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi
menari hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut Rumi mengalir
ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.
Bagi Rumi menari adalah Cinta. Dan Rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah
berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia
dipanggil Sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi Cinta Ilahi.
“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq at-Thayr
milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi keliling.
Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan digubah untuk
mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumi di sebuah kebun anggur
Meram di luar Konya . Bersama Husamuddin lah Matsnâwî tercipta. Sehingga karya
monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i Husam (Bukunya Husam).
D. Menyaksikan
Dalam pertunjukan Tari Sema, penonton pada dasarnya akan diajak untuk berdzikir
dan mendekatkan diri kepada Allah, melalui gerak tarian dan pembacaan Ayat Al-Qur'an
yang dibacakan penonton akan terbawa kedalam ekstase kecintaan kepada Allah.
TUGAS TEATER I
ANALISIS
Oleh:
Hayanto
(080110201079)
FAKULTAS SASTRA
SASTRA INDONESIA
2010