Anda di halaman 1dari 4

Malpraktik

Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia.
Hampir semua media belakangan ini baik lokal maupun nasional memberitakan tentang
kasus yang menimpa Prita vs Rumah sakit OMNI International. Kasus semacam ini tentu
akan semakin sering terjadi nanti kalau tidak ada penanganan hukum yang cepat terhadap
pelaku, terutama pihak Rumah sakit OMNI maupun dokter sebagai pelaku profesi.

Dalam etika profesi yang disahkan oleh setiap lembaga mempunyai fungsi pengawasan
yang kuat dan nyata terhadap pelaku dan benar-benar harus dipatuhi sebagai seorang
dokter. Jejak rekam medis yang akurat merupakan keinginan setiap pasien untuk
mengetahui apa penyakit yang dideritanya. Ketidakpastian jejak rekam medis tersebut
tentu saja menambah kontroversi kasus dugaan malpraktik, karena dapat dikategorikan
sebagai euthanasia (tindakan medis untuk mengakhiri hidup orang). Euthanasia di
Indonesia merupakan tindakan yang melanggar hukum karena identik dengan upaya
pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Soal Definisi
Hingga saat ini belum ada definisi yang resmi dan disepakati oleh kalangan profesi dan
undang-undang mengenai apa yang dimaksud dengan malpraktik. Akan tetapi, dari
berbagai referensi dapat dibaca dan diketahui bahwa malpraktik pada dasarnya adalah
tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan standard operating
procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-undang yang berlaku—baik disengaja
maupun akibat kelalaian—yang mengakibatkan kerugian dan kematian terhadap orang
lain. Batasan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa malpraktik sebenarnya tidak
hanya terjadi pada kelompok profesi dokter saja. Tetapi juga dapat terjadi pada kelompok
profesi lainnya seperti advokat (pengacara), notaris, akuntan, dan profesi lainnya.

Namun, bila dibandingkan dengan kelompok profesi lainnya, malpraktik yang dilakukan
oleh dokter—disebut juga dengan malpraktik medis—ternyata menimbulkan akibat lebih
“dramatis” bila dibandingkan dengan malpraktik yang dilakukan oleh advokat, notaris,
maupun akuntan. Dari kasus Prita, misalnya, dapat dicermati bahwa tudingan dokter yang
melakukan malpraktik dapat ditujukan terhadap suatu tindakan kesengajaan (dolus)
ataupun kelalaian (culpa) seorang dokter dalam menggunakan keahlian dan profesinya
secara bertentangan dengan SOP yang lazim dipakai di lingkungan kedokteran yaitu
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) dan Undang Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.

Sanksi Hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter sebagaimana contoh kasus Prita terbukti
dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah
hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum
yaitu menghilangkan nyawa seseorang, serta tidak menutup kemungkinan juga dapat
mengancam dan membahayakan keselamatan jiwa ibu yang melakukan aborsi. Perbuatan
tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang
mulia.

Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan
terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam
menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), serta Undang-undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana.

Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan


celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan
kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam
dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan
atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut
hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter
tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan
jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan
pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode
etik profesi praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah
menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang
menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
(culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Kepastian Hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para
dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan
malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian
akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah
penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.

Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan
sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan
baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang
dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa
dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan
medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang
dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
(3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang
dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara,
notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang
untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik.
Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar

kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang
diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-
undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang
memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam
hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang
bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun
perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi
fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan
keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya
kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan
agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.n

Anda mungkin juga menyukai