Anda di halaman 1dari 11

negara-negara berkembang sebanyak 2 %.

Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa


volatilitas juga secara signifikan akan mengurangi investasi.

Sejumlah ekonom lainnya juga memberikan pandangan yang buruk terhadap bunga antara lain Minsky (1985),
Bernante and Gertler (1989), Greenwald and Stiglizt (1990). Mereka berpandangan bahwa sistim suku bunga
mengakibatkan fluktuasi dan ketidakstabilan, Sehingga dalam literatur ekonomi Barat ada semacam ‘tradisi’
walaupun bukan termasuk sebagai pandangan utama, yang mengindikasikan bahwasetan-setan

ekonomi saat ini adalah hasil dari suku bunga dan sangat berhubungan dengan ekspansi
dan kontraksi pinjaman bank. Karena itu Thomas Jefferson mengatakan “I sincerely
believe that banking establishments are more dangerous than standing armies”.
Sementara itu, Maurice Allaice (1993) mengatakan pula, tujuan utama dari kebijakan
fiskal dan moneter dalam ekonomi modern (konvensional) gagal tercapai karena
fluktuasi siklikal sebagai hasil dari sistim suku bunga

Bunga juga menciptakan inflasi di mana-mana sepanjang sejarah. Roy Davis dan Glyn Davis
menyebutkan banyak negara mengalami inflasi secara hebat yang dia sebut sebagai hyper inflasi, seperti Jerman,
Perancis, Hongaria, Austria, Inggris, dan negara- negara di Amerika latin.

Dalam studi ekonomi makro, teori ekonomi mengajarkan bahwa bunga tersebut
menurunkan investasi. Jika investasi menurun maka otomatis akan menurunkan produksi
dan akibat berikutnya bunga menciptakan pengangguran dan kemiskinan. Tegasnya.
Bunga mengakibatkan bangkrutnya sektor produktif, dan menciptakan pengangguran
bagi kehidupan masyarakat. Bayangkan jika fenomena ini melanda dunia, maka bisa
dipastikan kemiskinan semakin menggurita.

Sebenarnya, ekonom ternama, Lord Keyness, pernah mengakui dan


menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau
terhentinya kegiatan industri dan kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan
yang merupakan sumber produksi. Penyimpanan (tabungan) nasabah di bank akan
berjalan terus menerus, meski suku bunga turun sampai titik nol.

Selanjutnya, menjadi fakta yang terbantahkan bahwa negara-negara penghutang dijerat hutang yang besar, 30 % di
antaranya adalah hutang bunga. Itu bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bunga atas bunga. Inilah yang
disebut dengan bunga yang berlipat ganda (compound interest). Akhirnya bunga telah menciptakan hutang menu

Bahaya Riba Bagi Perekonomian

Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari, bahwa secara ilmiah dan empiris, bunga mengandungmudharat
dan kezaliman besar bagi perekonomian umat manusia. Namun, banyak tokoh agama Islam yang tidak memiliki
latar belakang keilmuan ekonomi, belum memahami kemudratan bunga bagi perekonomian. Mereka memahami
bunga secara dangkal dan hanya memandangnya dari perspektif ekonomi mikro, padahal persoalan riba lebih
merupakan studi ekonomi makro. Membahas riba tidak boleh hanya dari sisi ekonomi mikro, tetapi juga dari sisi
ekonomi makro, bahkan sisi makronya jauh lebih besar.
Akibat kedangkalan ilmu pengetahuan tentang ilmu moneter, maka masih banyak para ulama/ustaz yang
berpandangan “sesat” tentang bunga. Sesat dalam hal ini adalah memandang bunga sebagai praktik yang sah-sah
saja. Padahal semua ahli ekonomi Islam sedunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Ijma’ tersebut
merupakan kesimpulan penelitian ilmiah dari sejumlah professor, seperti Prof. Dr M.Umer Chapra,
Prof.Dr.M.Akran Khan, Prof. Dr. Yusuf Qardhawi dan Prof Dr. Ali Al-Shabuni. Menurut penelitian mereka, tidak
ada pakar ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. Pakar ekonomi Islam di sini tidak termasuk ahli agama
Islam yang tidak faham tentang ilmu ekonomi. Ahli fikih yang tidak faham ilmu ekonomi tidak termasuk pakar
ekonomi Islam. Ijtihad ahli fiqh dalam bidang ekonomi hanya bisa diterima jika dia menguasai ilmu ekonomi, jika
tidak, maka fatwanya bisa menyesatkan.

Sebagaimana disebut di awal, bahwa bunga secara factual telah menimbulkan


kemudratan besar bagi umat manusia. Tidak terhitung jumlah ekonom yang berkeyakinan
bahwa krisis ekonomi yang melanda banyak negara dan terjadi terus menerus disebabkan
oleh sistem ribawi.

Roy Davies dan Glyn Davies dalam buku “A History of Money from Ancient Time
to the Present Day” (1996), menulis dan menyimpulkan, “Sepanjang abad 20 telah

terjadi lebih dari 20 kali krisis. Krisis ini melanda banyak negara tidak terkecuali Amerika, Inggris, Perancis Jepang,
dan negara-negara dunia ketiga. Kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan”. Gempuran krisis bisa
memiskinkan ratusan juta bahkan milyaran umat manusia di berbagai negara. Indonesia salah satu contoh yang
menjadi sasaran dari gempuran krisis tersebut.

Dalam memberikan tanggapan terhadap dampak bunga, ekonom kenamaan W.C. Mitchel dengan tepat
sekali menuturkan bahwa bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis.

Jadi secara factual dan empiris, telah terbukti bahwa sistem bunga banyak menimbulkan bencana di
berbagai negara dan bangsa. Bunga telah menciptakan ekonomi suatu negara menjadi volatile (gonjang ganjing dan
tidak stabil). Hal ini dikarenakan bunga telah membuka jalan bagi kegiatan spekulasi melalui transaksi derivatif. Jika
ekonomi suatu negara tidak stabil (volatile), maka akan terjadi penurunan ekspor dan investasi. Sebuah penelitian
yang dilakukan Esquivel and Larrain (2002) tentang dampak volatilitas nilai tukar G-3 pada negara-negara
berkembang, menyimpulkan bahwa kenaikan volatilitas 1 % pada negara-negara berkembang akan mengurangi
ekspo

mpuk yang tak terbayar. Berikut ini data hutang negara dunia ketiga sejak tahFINANCIAL
INSTRUMENT : IMPEMENTASI PSAK NO 50 DAN PSAK 55 DI
INDONESIA

Arini M.Kasaluri C1C007045


Myrna Ikawati Cs C1C007047
Putri Purwaningtyas C1C007057
Pratiwi Yustisia C1C007064

PENDAHULUAN
Dalam rangka menyelaraskan standar akuntansi keuangan khususnya untuk perbankan Indonesia
serta sejalan dengan upaya peningkatan market discipline, Bank Indonesia berinisiatif melakukan
kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk menyusun standar akuntansi keuangan
yang mengadopsi IAS 39 dan IAS 32. Penyusunan dilakukan dengan melibatkan perwakilan
perbankan, Departemen Keuangan, Bapepam, dan lembaga terkait lainnya.
Beberapa pengaturan dalam PSAK dimaksud bahkan memerlukan perubahan pola pikir dan
penyesuaian sistem internal bank. Penerapan peraturan ini tidak mungkin ditunda, karena justru
akan mempersulit posisi bank dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat serta
memperbesar masalah yang akan dihadapi.
PSAK Nomor 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan yang
menggantikan Akuntansi Investasi Efek Tertentu, dan PSAK Nomor 55 (revisi 2006) tentang
Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran yang menggantikan Akuntansi Instrumen
Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai.
PSAK 50 dan PSAK 55
PSAK 50 mengatur tentang penyajian dan pengungkapan instrumen keuangan sementara PSAK
55 mengatur tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Batas implementasi kedua
PSAK tersebut adalah 1 Januari 2009. Hal yang cukup krusial dari kedua PSAK tersebut bagi
bank adalah bahwa, kredit sebagai asset bank digolongkan pada “Loan and Receivables” yang
mana valuasinya adalah dengan cara amortized cost, hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai
kredit (dalam hal ini asset bank) akan dipengaruhi oleh proyeksi cashflow dari asset tersebut,
sehingga kredit yang dikenakan bunga dibawah bunga pasar akan terdiskon menjadi lebih kecil
dari harga perolehannya (kredit yang dikucurkan); Selain itu sistem akuntansi baru ini
memperkenalkan “Impairment” sebagai padanan PPAP/Provisi kredit, hanya saja jika pada
PPAP sudah ada ketentuannya (Kol. 1 = 1%, Kol. 2 = 5% dan seterusnya) disini impairment
sifatnya musti diperhitungkan per kasus berdasarkan probabilitas suatu kredit/kasus menjadi
default. Disatu sisi kredit yang kualitasnya baik (kelancaran pembayaran dan prospek usaha oke)
akan mengecil provisi (atau dalam hal ini impairment)nya; sementara disisi lain kredit yang
kualitasnya kurang baik akan menjadi semakin besar provisinya.
PPAP vs CKPN
Dalam regulasi itu untuk menentukan cadangan (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai/CKPN)
berdasarkan data kerugian kredit yang telah terjadi (incured loss) yang diambil dari data tiga
tahun sebelumnya.
Sedangkan penentuan pencadangan sebelumnya (Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif/PPAP), menggunakan ekspektasi kerugian kredit (expectation loss) yang ditentukan
oleh perbankan tersebut.
Kalau dalam PPAP bank bisa menentukan pencadangan 1 persen, tapi dalam perhitungan PSAK
50 dan 55 bisa 0,1 persen atau lebih, tergantung data `historis default` kredit bank tersebut.
Dengan kata lain bahwa penerapan regulasi ini bank sulit untuk memoles (dipercantik) laporan
keuangannya karena memakai sumber data yang diambil dari data-data transaksi minimal tiga
tahun atau maksimal lima tahun sebelumnya.
Beberapa kasus yang terjadi bahwa perbankan memoles laporan keuangannya dengan
memperbesar PPAP-nya sehingga akan mempengaruhi kinerjanya.

ARTIKEL
BI: Bank Asing Paling Siap Terapkan PSAK
Selasa, 11 Mei 2010 17:41 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa bank-bank asing yang
beroperasi di Indonesia justru yang paling siap menerapkan secara penuh Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55.

"Yang sudah full (penuh) menerapkan implementasi PSAK 50-55 yakni beberapa bank asing.
Bank lokal sudah menerapkan tetapi belum bisa full," kata Deputi Direktur Pengawasan Bank II
BI Duddy Iskandar, dalam acara diskusi BI dan wartawan di Jakarta, Selasa.

PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2010 dan akan diterapkan
penuh pada 31 Desember 2011 ini merupakan laporan keuangan yang mengacu pada
International Accounting Standard (IAS) 39 mengenai "Recognition and measurement of
financial instrument" dan IAS 32 mengenai "presentation and disclousures of financial
instrument".

Menurut Duddy, pelaksanaan PSAK 50 dan 55 ini banyak dikeluhkan oleh perbankan,
khususnya PSAK 55, karena bank harus melakukan penilaian debitur berdasarkan data historis
tiga tahun ke belakang dan kewajiban membuat pencadangan kredit bermasalah pada hari
dimana dia melaporkan laporan keuangannya.

"Yang menjadi permasalahan atau kendala bagi bank-bank lokal yakni perubahan mekanisme
pencadangan yang dahulu memakai PPAP namun sekarang menggunakan perhitungan
pembentukan pencadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) kolektif," katanya.

Melalui CKPN, lanjut Duddy, maka akan menganulir klasifikasi kredit bermasalah (non
performing loan/NPL) berdasarkan lima kolektibilitas (lancar, meragukan, kurang lancar, dalam
pengawasan dan macet) yang diukur dari ketepatan pembayaran, neraca keuangan dan prospek
usaha.

Kendala-kendala yang menghambat penerapan PSAK 50-55 yakni pengukuran secara individual
(impairment, kendala menghitung future cash flow debitur dengan pertimbangan recovery aset,
support group dan dalam menentukan discount rate untuk menghitung "Present Value" (nilai saat
ini).

Selain itu bank-bank juga mengeluhkan cara pengukuran kredit bermasalah secara kolektif
karena banyaknya jenis kredit dan jangka waktunya berbeda.

Duddy juga mengatakan masalah tenaga kerja (SDM) dan teknologi informasi juga menjadi
kendala penerapan PSAK 50 dan 55 ini.

"Biaya investasi IT memang cukup mahal, itu juga yang saat ini masih menjadi kendala dimana
bank-bank belum menerapkan PSAK tersebut," katanya.

Penundaan Berlakunya PSAK 50 dan PSAK 55


Bank Indonesia mewajibkan bank menyajikan laporan keuangan dengan mengacu pada PSAK
No. 50 (revisi 2006) serta PSAK No. 55 (revisi 2006) tersebut mulai tahun 2009 seperti yang
ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 kemarin.
Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI I Gde Made Sadguna menjelaskan pada
harian Bisnis Indonesia bahwa sebagian besar standar akuntansi untuk laporan keuangan bank
disesuaikan dengan standar internasional.
“PSAK 50 dan 55 sudah sesuai dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan
berlaku 1 Januari 2009. Pada 2010 akan dilakukan adopsi penuh tanpa diskresi,” katanya, seperti
yang ditulis dalam harian Bisnis Indonesia terbitan 18 Januari 2008 tersebut.
Adapun beberapa pengaturan dalam PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara
mendasar merubah metode pengakuan dan pencatatan yang diterapkan selama ini dan
dampaknya akan merubah sistim pencatatan bank khususnya, sehingga secara tidak langsung
akan memerlukan penyesuaian pada sistim internal bank.
Diharapkan dengan penerapan PSAK No. 50 dan PSAK No. 55 revisi 2006 tersebut secara tepat
dan konsisten, laporan keuangan bank dapat disajikan secara wajar dan memberikan informasi
yang lebih bermanfaat bagi pembaca laporan keuangan.
Namun, berkaitan dengan krisis finansial global yang melanda dunia dan turut berdampak pada
perekonomian di Indonesia , menyebabkan ketatnya likuiditas perbankan sehingga beberapa
waktu yang lalu pihak perbankan telah mengajukan penundaan penerapan PSAK No. 50 dan
PSAK No. 55 tersebut kepada pemerintah (Bank Indonesia), dengan tujuan agar perbankan bisa
lebih bergerak dan likuiditas sedikit longgar.
Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 30 Desember 2008 kemarin, Dewan Standar Akuntansi
Keuangan (DSAK) IAI telah mengeluarkan surat pengumuman dengan No.
1705/DSAK/IAI/XII/2008 yang berisikan bahwa DSAK IAI mengubah tanggal efektif
pemberlakuan PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Penyajian dan
Pengungkapan, sebagaimana diatur dalam paragraf 95 PSAK 50 (Revisi 2006), dan PSAK 55
(Revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan : Pengakuan dan Pengukuran, sebagaimana diatur
dalam paragraf 107 PSAK 55 (Revisi 2006), yang semula berlaku efektif untuk periode yang
dimulai pada atau setelah 1 Januari 2009 diubah menjadi untuk periode yang dimulai pada atau
setelah 1 Januari 2010.

ANALISA ARTIKEL
Penerapan PSAK 50 dan 55 diharapkan dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan dan
analisis laporan keuangan dan disiplin pasar. Selain itu, penerapan kedua standar akuntansi
secara tepat dan konsisten mendorong bank bisa membuat laporan keuangan secara lebih wajar
dan informatif.
Selama ini, penentuan cadangan memakai konsep ekspektasi kerugian kredit (expectation loss).
Dus, bank bisa menumpuk cadangan besar-besaran kalau bankir merasa default kredit-nya besar.
Celah ini yang banyak dimanfaatkan bank untuk memoles laporan keuangannya.
Modusnya, bank sengaja menumpuk pencadangan besar dengan alasan kehati-hatian, meski
kualitas kredit tidak mengkhawatirkan. Alhasil, laba ikut turun. Tujuannya menghindari pajak
atau mengatur ritme kinerja. Ke depan, bank tidak bisa lagi memainkan besar laba.
Tetapi, penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 membutuhkan sistem dan persiapan yang cukup lama
karena harus menggabungkan semua laporan keuangan dalam satu paket. Apabila regulasi itu
diberlakukan sekarang hanya bisa dijalankan secara manual, tetapi tingkat akurasinya diragukan.
Kendala-kendala lain yang menghambat penerapan PSAK 50-55 yakni pengukuran secara
individual impairment, kendala menghitung future cash flow debitur dengan pertimbangan
recovery aset, support group dan dalam menentukan discount rate untuk menghitung Present
Value.
Selain itu bank-bank mengeluhkan cara pengukuran kredit bermasalah secara kolektif. Karena
kredit banyak dan jangka waktunya berbeda.
Hal yang paling lumrah adalah masalah IT dan SDM yang memang menjadi hal paling standar
dalam penerapan PSAK ini.
Biaya investasi IT memang cukup mahal, itu juga yang saat ini masih menjadi kendala dimana
bank-bank belum menerapkan PSAK tersebut. Selain itu SDM juga bermasalah, kebanyakan saat
ini masih dalam tahap pembelajaran karena belum banyak yang menguasai.

KESIMPULAN
Dalam penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 merupakan regulasi yang bertujuan untuk mengatur
kinerja perbankan agar lebih mengarah ke discipline market dengan adanya beberapa perubahan
pada kebijakan yang ada seperti, adanya CKPN, pengakuan data historis. Dalam menerapkan
PSAK 50 dan PSAK 55 banyak konsekuensi yang dihadapi oleh perbankan dan dalam realitanya
bank asing dan bank besar yang telah mengimplementasikan revisi PSAK tersebut. Kendala yang
paling menghambat dalam penerapan PSAK ini adalah kesiapan sumber daya manusia karena.
Selain itu PSAK 50 dan PSAK 55 juga menimbulkan kontroversi, karena penerapan revisi PSAK
50 dan PSAK 55 yang mengacu pada IFRS tersebut adalah penganutan principle basis yang
dianut karena hanya prinsip dan konsep yang ditekankan dan mengaplikasiannya tergantung
pada praktek yang ada, berbeda dengan konsep sebelumnya yang menganut rule basis yang
artinya segala sesuatu diatur.

un 1973 sampai 2000.


Sumber : IMF 2000

Perangkat kapitalis, i.e. sistem moneter berbasis bunga menjadi instrumen utama yang mendukung kapitalisasi.
Pemilik modal dapat memperkaya diri tanpa harus bekerja keras .

Dalam sistem bunga, terjadi perpindahan aset dari debitur kepada kreditur secara tidak adil, karena
mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah
ketidakadilan. Karena kapitalisasi yang terbentuk sedemikian rupa di mana terjadi perpindahan kekayaan dari negara
dunia ketiga ke negara-negara maju (krditur), maka terjadilah kesenjangan yang semakin tajam antara negara-negara
pemakan riba dengan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari sistem riba. Dalam hal ini Ahmad
Kameel Mydin Meera,dalam tulisannya Theft of Nations Returning to Gold mengatakan, “Bunga memusatkan
kekayaan pada kaum minoritas dengan membebankan kaum mayoritas”

Di bawah ini terlihat dengan jelas kesenjangan pendapatan tersebut sejak tahun
1965-1990.
Shares of Total World Income, 1965-1990
D:\agustianto\agustianto.niriah.com\wp-content\uploads\2008\04\total-world-income.jpg
Dari berbagai data, teori-teori ekonomi serta fakta-fakta ekonomi, jelaslah bahwa
system bunga menimbulkan kemudhraran besar bagi kehidupan kemanusiaan. Dengan demikian bunga merupakan
sumber kehancuran ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah sesungguhnya yang dimaksudkan Alquran
pada surah Ar-Rum (39-41).”Apa

aja yang berikan dalam bentuk bunga supaya bertambah harta manusia (terjadi
pertumbuhan ekonomi), maka sesungguhnya hal itu tidak bertambah menurut Allah”.
Dalam ayat selanjutnya, yakni ayat 41 Allah berfirman, ”Telah nyata kerusakan di darat
dan di laut akibat ulah tangan manusia, supaya kami rasakan kepada mereka sebagian
dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Menurut ayat ini praktik bunga merupakan fasad fil ardhi yang menimbulkan krisis,
volatilitas, inflasi, penurunan investasi dan produksi, kemiskinan, ketidakadilan,
kesenjangan pendapatan serta berbagai kekacauan ekonomi dan bencana ekonomi
lainnya. Karena itu, tidak ada kata yang bisa menjadi kesimpulan, kecuali ”Bunga mutlak

harus kita tinggalkan. Hijrah ke sistem syari’ah mutlak kita lakukan”.


DIPOSTING OLEH Agustianto | April 3, 2008
(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam In

Anda mungkin juga menyukai